Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramayana (Seri 3)

Pada pertemuan yang kemudian telah dikisahkan, sesudah Wiswamitra selesai menceritakan kisah Mahabali, Wiswamitra bermaksud akan segera melaksanakan upacara yagna dan meminta Rama dan Laksmana yang melindungi upacara tersebut.


Wiswamitra segera mengumpulkan sekelompok besar orang suci dan mengadakan persiapan untuk sesaji yagna, sedangkan Rama dan Laksmana menjaga daerah itu. Sementara itu para asura berkumpul di langit di atas tempat suci itu, siap mengganggu upacara yagna tersebut. Para raksasa itu membawa banyak sekali senjata mematikan; mereka menjerit, melengking, melolong dan dengan pelbagai cara lain berusaha membuat kekacauan. Mereka mengguyur tempat suci itu dengan air dan sampah kotor; mereka berteriak mengancam, memaki-maki dan menghujat; merenggut batu-batu besar kemudian melontarkannya ke bawah; dan bersama-sama membuat gangguan magis yang mengerikan.


Orang-orang suci itu tampak ketakutan. Rama menasihati para petapa itu, “Tidak usah dihiraukan. Lanjutkan saja doa kalian.”


Kata Laksmana kepada Rama, “Aku akan membereskan mereka.” Ia menembaki para raksasa itu dengan anak panah, sementara Rama melontarkan anak panahnya ke atas dan membuat sebuah payung untuk melindungi api upacara kurban semoga tidak padam tersiram darah para asura yang mati. Subahu dan Marica, belum dewasa Tataka berusaha sebaik mungkin untuk membalas dendam ajal ibu mereka dan menujukan serangan mereka kepada Rama, yang dengan bidikan pertama anak panahnya membuat Marica terlempar jauh dan tercebur ke dalam laut; anak panahnya yang kedua menghabisi Subahu. Para raksasa yang tadinya berkumpul dengan penuh semangat itu mundur dengan panik.


Upacara kurban berhasil diselesaikan. Wiswamitra menyatakan, “Rama, hanya kamu yang bisa membantuku melaksanakan kiprah ini. Upacara ini bukan untuk kepuasan pribadiku, tetapi demi kebaikan umat insan itu sendiri.”


Tanya Rama, “Selanjutnya apa?”


“Sekarang sudah banyak yang kamu selesaikan. Namun masih banyak lagi kiprah menantimu,” kata Wiswamitra, secara tak eksklusif menyinggung tugas-tugas yang harus diselesaikan Rama dalam inkarnasi ini. “Untuk dikala ini mari kita melanjutkan perjalanan ke kota Mantili, tempat Raja Janaka akan menyelenggarakan sesaji yagna besar-besaran, dan banyak lagi yang akan tiba ke sana; tentu kamu akan menyukai hiburan ini.” Meskipun memberi kesan bahwa langkah ini ialah semacam relaksasi buat Rama, dari kemampuan meramalnya, Wiswamitra tahu bahwa ini hanya sekadar awal dari serentetan panjang insiden yang terkait dengan masa depan Rama.


Setelah melaksanakan perjalanan selama sehari, mereka tiba di sebuah lembah tempat Sungai Gangga mengalir. “Di sana kamu lihat,” kata Wiswamitra, “Sungai Gangga, sungai paling suci di dunia, bermula dari pegunungan Himalaya, sungai ini mengalir melalui gunung-gunung dan lembah-lembah, menyeberangi beberapa kerajaan. Hari ini ia memang mengalir dengan tenang, tetapi pada awalnya… Sekarang dengarkan kisahnya.”


KISAH GANGGA


Setiap jengkal tanah di atas bumi, menyerupai yang sekarang mungkin sudah kausadari, punya satu relasi suci. Dewi Pertiwi sudah ada semenjak awal penciptaan, lantaran ia ialah salah satu dari lima unsur zaman purba. Dewi Pertiwi sudah menyaksikan tak terhitung pasangan kaki berlarian ke sana sini demi ribuan tujuan dan pencarian, baik maupun jahat, dan akan terus berlangsung hingga Sang Waktu (“Kala”) menelan dan mencernakan segala sesuatu. Bahkan sesudah para pelaku lenyap, setiap jengkal tanah masih menyimpan kesan dari semua yang telah terjadi sebelumnya. Kita gres bisa mencapai pemahaman penuh ketika menyadari relasi suci dan relasi lainnya dari setiap bidang tanah yang kita injak. Kalau tidak, kita bagaikan orang buta yang berjalan melalui taman dan serambi-serambi yang diterangi lampu. Itu sebabnya saya menjelaskan kepadamu kisah dari setiap tempat yang sudah kita lalui. Sekarang kamu melihat sungai itu. Itulah Sungai Gangga yang mengalir sepanjang lembah, mengalir turun dari pegunungan Himalaya, sambil membawa di dalam dirinya pepohonan obat dan unsur-unsur langka yang ditemukannya dalam perjalanan. Ia mencari jalan melalui banyak kerajaan, dan setiap jengkal tanah yang ia sentuh menjadi suci; Gangga membersihkan dan mengubah; orang sekarat yang menyesap air itu atau kalau bubuk tulangnya dilarung di situ, maka ia akan menerima pengampunan. Sekarang kamu sanggup melihat betapa damai dan indahnya sungai itu. Namun, dulu Gangga harus dijinakkan dan dikendalikan sebelum bisa menyentuh bumi ini; kisahnya melibatkan nasib nenek moyangmu, zaman dahulu.


Sakara yang amat perkasa, salah seorang moyangmu, sekali waktu pernah memerintah bumi ini. Ia memiliki banyak sekali putra, semuanya pemberani dan mengabdi pada ayahanda mereka. Pada suatu dikala yang tepat dalam perjalanan hidupnya, Sakara merencanakan untuk menyelenggarakan suatu upacara kurban yang amat penting—”Persembahan Kuda”.


Untuk menyiapkan upacara ini, seekor kuda yang gagah dihiasi dengan amat glamor dilepaskan dan berlari semaunya melewati garis depan banyak negeri, dan setiap negeri yang membiarkan kuda itu lewat dianggap telah mendapatkan kekuasaan pemilik kuda tersebut. Namun di mana saja kalau ada yang berusaha menangkap kuda tersebut, ini dianggap suatu tantangan dan menimbulkan peperangan. Pemilik kuda itu menyerang negeri tempat kuda itu ditangkap dan membebaskannya lagi, begitu terus-menerus hingga kuda itu pulang ke negerinya sendiri. Lalu semua negeri yang sudah dilewati kuda itu menjadi taklukan raja tersebut, dan sang raja merayakan kemenangannya dengan “Persembahan Kuda” agung yang menjadikannya penguasa tertinggi di bumi. Mereka yang menyelenggarakan program semacam itu bisa memastikan kemenangan dan pada hasilnya sanggup meluaskan kerajaannya serta menantang Batara Indra sendiri. Oleh karenanya, Indra dan semua yang kuasa amat waspada dan gelisah manakala ada planning pelaksanaan kurban semacam itu, dan berusaha sekuat tenaga untuk menggagalkannya.


Ketika kuda Sakara mulai keluar dari negerinya, Indra menculiknya dan menyembunyikannya di dunia bawah tanah yang terdalam hingga tidak kelihatan, di belakang Begawan Kapila, yang sudah semenjak dulu mengasingkan diri jauh dari bumi untuk bersemadi. Waktu diketahui bahwa kuda itu hilang di bawah tanah, putra-putra Sakara mulai menggali lubang yang lebar dan dalam, kemudian turun ke perut bumi. Mereka menemukan kuda mereka ditambatkan di belakang seseorang yang sedang bersemadi. Mereka merenggut kuda itu dan memukuli orang suci tersebut; dengan tuduhan telah mencuri kuda. Dituduh menyerupai itu, begawan tersebut menatap mereka dengan murka dan menghanguskan mereka menjadi abu. Salah seorang anggota rombongan yang berhasil selamat dalam ekspedisi ini, cucu dari sang raja, minta maaf kepada begawan tersebut kemudian pulang ke rumah da membantu sang raja renta menuntaskan “Persembahan Kuda” tersebut. Kelak Raja Sakara mengundurkan diri dan digantikan cucunya itu, yang memiliki putra, Bagiratha, si pembawa Sungai Gangga turun ke bumi.


Waktu Bagiratha sudah remaja dan mengetahui nasib nenek moyangnya, ia bersumpah untuk membantu mereka mendapatkan pengampunan, tak rela membiarkan roh mereka gentayangan di udara dan mayat mereka tidak dirawat dengan layak. Ia berdoa dengan khusyuk selama sepuluh ribu tahun kepada Brahma, Sang Pencipta, yang menasihati untuk meminta sumbangan Syiwa semoga menurunkan Gangga dari kahyangan yang tinggi dan mencuci tulang belulang mereka dengan air suci itu. Bagiratha berdoa selama sepuluh ribu tahun dan Syiwa menampakkan diri serta berjanji akan mengabulkan permintaannya kalau entah dengan cara bagaimana Bagiratha bisa membujuk Gangga turun. Lalu Bagiratha berdoa kepada Gangga selama lima ribu tahun. Gangga muncul di hadapannya dengan menyamar sebagai seorang gadis cilik yang semok dan berkata, “Syiwa telah berjanji untuk membantumu, tidak diragukan lagi, tetapi kalau Gangga turun dengan kekuatan penuh, bumi tidak akan berpengaruh menanggungnya; tidak ada yang pernah bisa menanggung kekuatan turunnya Gangga. Syiwa mau membantumu—tetapi carilah apa bahu-membahu yang ia inginkan. Berdoalah kepadanya lagi.”


Setelah Bagiratha melanjutkan semadinya, Syiwa muncul lagi dan berkata kepadanya, “Biarkan Gangga turun saya akan membantumu. Aku akan menjaga semoga tak setetes pun air itu terbuang sia-sia atau dibiarkan menyakiti siapa saja.” Ini mulai bermetamorfosis serangkaian tantangan antara Syiwa dan Gangga, dan Bagiratha merasa dilempar-lemparkan di antara kedua yang kuasa yang saling menantang tersebut. Tetapi tanpa gentar (namanya juga berarti upaya tak kenal lelah), secara keseluruhan ia berdoa selama tiga puluh ribu tahun, mengalami penderitaan-penderitaan berat—seperti contohnya hidup dari dedaunan kering yang rontok, kemudian dari udara, kemudian dari sinar matahari, dan pada tahahp terakhir ia bahkan tidak hidup dari ini semua dan bertahan hidup mudah tanpa makan apa-apa, tak menyadari apa pun tujuannya sendiri dan keyakinan pada maksud hidupnya.


Pada final penebusan dosa Bagiratha, Gangga, yang berasal dari dunia yang jauh dari Brahma, Sang Pencipta, mulai turun berupa air bah yang gemuruh menggelegar. Seperti dijanjikan, Syiwa muncul dalam insiden itu persis ketika air bah tersebut hampir menimpa dan menghancurkan bumi. Syiwa mengambil ancang-ancang, menjejakkan kakinya kuat-kuat, kedua lengan bertolak pinggang, dan menahan dampak curahan itu di atas kepalanya, dan air bah berbahaya itu eksklusif masuk ke dalam rambut Syiwa yang jalin-menjalin dan kusut. Meski sudah memperagakan kehebatan dan kesombongan, Gangga tidak berdaya lagi—begitu jinak dan amat membisu sehingga Bagiratha mulai merasa gelisah. Gangga terlihat menyerupai mati dan seolah semua doa serta upaya penebusan Bagiratha pada hasilnya tidak menghasilkan apa-apa. Syiwa memahami ketakutan Bagiratha dan membiarkan setetes air jatuh dari rambutnya yang dengan penuh semangat dan saksama dibawa oleh Bagiratha ke bawah tanah di atas bubuk nenek moyangnya dan membantu jiwa mereka mendapatkan pengampunan. Dengan demikian, Bagiratha tidak hanya membantu nenek moyangnya, tetapi semua umat manusia, lantaran di tepi Sungai Gangga bangkit kuil suci yang tak terhitung jumlahnya, dan memberi mineral bagi jutaan hektar tanah dan penduduk di sepanjang alirannya. Lubang besar yang digali putra-putra Sakara waktu mencari kuda mereka juga dipenuhi air dan di masa sekarang menjadi lautan-lautan.


* * *


Kota Mantili sudah tampak dari kejauhan. Sementara melewati tanah yang agak ditinggikan di samping dinding-dinding bentengnya, Rama melihat sepotong watu yang tak berbentuk, bangkit setengah terpendam di dalam tanah. Waktu Rama melewatinya, debu kakinya jatuh ke atas watu tersebut, dan mengubahnya, dikala itu juga, menjadi seorang perempuan cantik. Ketika perempuan itu menyembah dan bangkit di samping dengan hormat, Wiswamitra memperkenalkannya kepada Rama. “Jika kamu pernah mendengar ihwal Begawan Gautama, yang kutukannya mengakibatkan badan Indra terselimuti seribu biji mata, seluruhnya… Wanita ini ialah istri Begawan Gautama, namanya Ahalya.” Dan Wiswamitra menceritakan kisah perempuan itu kepada Rama.


KISAH AHALYA


Dari unsur-unsur kecantikan luar biasa, Brahma pernah membuat seorang gadis, dan diberi nama Ahalya (dalam bahasa Sanskerta berarti tanpa-cela). Batara Indra, yang kuasa tertinggi di antara para dewa, tertarik pada kecantikan gadis itu dan yakin bahwa hanya ia yang pantas meminangnya. Melihat kesombongan dan kecongkakan Indra, Brahma mengabaikan yang kuasa itu, mencari Begawan Gautama, dan menyerahkan gadis itu kepada sang Begawan. Gadis itu tumbuh di bawah asuhan sang Begawan dan ketika tiba saatnya sang Begawan mengantarnya kembali kepada Brahma dan menyerahkan gadis itu.


Brahma menghargai kemurnian hati dan pikiran Gautama (tidak pernah sekali pun terlintas hal mesum dalam pikirannya) dan berkata, “Nikahi dia, ia cocok untuk menjadi istrimu, atau lebih tepatnya, hanya kamu yang pantas menjadi suaminya.” Demikianlah maka gadis itu menikah, diberkati oleh Brahma dan dewa-dewa lainnya. Karena sudah semenjak kecil ikut Gautama, Ahalya tahu kebutuhan Gautama dan karenanya terbukti merupakan istri yang sempurna, dan mereka hidup bahagia.


Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus Kisah Ramayana ini.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ramayana (Seri 3)"