Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemilau Purnama (Part 2)

“Benar-benar anak macan dia”! Aria mengusap peluh di dahinya. Kini dua abang beradik itu tengah duduk menyantap makan malam.

“Hus! jangan berkata begitu lah! bagaimanapun beliau itu ponakanmu”! Rangga melotot pada adiknya yang cengegesan.

“Jadi kapan kita pulang! saya takut orang-orang serem itu mengejar hingga ke sini”!

“Besok pagi kita pulang ke Jakarta”. Rangga menjawab tegas. Dalam hatinya pun beliau merasa takut sesuatu lebih jelek terjadi sebelum mereka hingga dengan selamat ke rumah.

“Cepat habiskan makanannya! kita seharusnya gak membiarkan Saga sendiri di dalam kamar”! Mereka melangkah ke luar restoran hotel dan pribadi menaiki lift menuju kamar.

“Saga! jangaaaan”! Pekikan terdengar ketika badan kecil itu sudah bersiap meluncur dari jendela. Tapi bukan Rangga namanya, pemegang piala kejuaraan lari paling cepat semenjak SD hingga sebelum menjabat sebagai dirut perusahaan ternama, bila untuk menyelamatkan putra mahkotanya saja gagal.

Seperdetik sebelum badan putranya meninggalkan jendela, lebih dulu tangannya mencengkram berpengaruh pinggang mungil itu.

“Astaga! anakmu ini benar-benar binal”! Aria masih memegang dadanya yang hampir tak bernafas ketika melihat pemandangan itu.

“Saga! jangan lagi nak! ayah tak mau kehilangan kamu”! Didekapnya badan kecil yang meronta itu kuat-kuat. Airmatanya tak disadari mengalir membasahi rambut keriting putra yang sangat dirindukannya.


“Nah, Saga? kita sedang naik pesawat! kau suka kan? kita akan terbang menyerupai burung-burung”! Rangga mengukuhkan sabuk pada badan putranya. Anak itu tak menjawab, tentu sebab beliau tak memahami bahasa yang diucapkan dua lelaki absurd yang menculiknya.


Hanya bola matanya yang bergerak-gerak liar. Sesekali verbal kecilnya mengeluarkan bunyi gemeletuk penuh kemarahan.

“Kasihan kau nak! tentu tumbuh di hutan telah menjadikan kau liar begini”!

“Hus! tak bisakah membisu verbal kau itu hah”? Lagi-lagi Rangga melotot pada Aria yang selalu merasa menyudutkan anaknya.


“Ya ia lah! maaf! maaf”! Seperti yang mengerti maksud mereka Saga pun ikut melotot pada umnya.


 


Selama penerbangan menuju Jakarta Saga tidur gelisah di pangkuan ayahnya. Sesekali dari mulutnya terdengar erangan memanggil kata “Ibu”.

Rangga semakin mengeratkan pelukannya pada badan mungil itu, seolah-olah takut apabila anak itu hingga terlepas lagi dari hidupnya.

Matanya menerawang kosong ke luar jendela. Dilihatnya awan putih berarak-arak seakan tiada ujungnya.

Dari gumpalan putih awan itu memorinya kembali ke pedalaman, yang beberapa jam kemudian ditinggalkannya.

“Kenapa kau tak mau ikut Sibiel? Aku ini suamimu, kita harus hidup bersama menyerupai dulu! Aku janji, tak kan pernah meninggalkan kau dan anak kita lagi, saya janji!” Tangannya gemetar memegang tangan Sibiel yang tak sedikitpun enyah dari tempatnya.

Kini bulir biru pekat itu menatap balik ke matanya, seakan ingin menusuk sedetak jantung di dada lelaki itu.

“Tidak kanda, saya tidak bisa ikut denganmu, ayah sedang sakit keras, saya tak mungkin meninggalkannya. Gumamnya penuh ketegasan, menciptakan dada lelaki itu dipenuhi kecemasan.

“Ibuuu”! Percakapan penuh ketegangan itu terputus, seiring teriakan kecil itu semakin menjauh.

“Saga? Kanda! Aku mohon! Jangan ambil dia! Jangan kanda!” Matanya memelas, sungguh-sungguh memohon, menciptakan Rangga salah tingkah. Namun sebelum semuanya tenang, dari rerimbunan pohon terdengar teriakan yang memekakan telinga.

Sibiel semakin pucat, di sisi lain beliau ingin mengejar putranya yang sudah tak terlihat, namun suara-suara di belakangnya pun ialah ancaman bagi lelaki yang selalu dicintainya.

“Pergilah kanda! Ayo pergi! Lari yang kencang!” Pada akibatnya ditepiskannya tangan Rangga, kemudian beliau berlari menghambur ke lain arah. Namun sebelum Rangga menyadari hal itu, bunyi orang-orang yang sudah mengepungnya terdengar semakin dekat.


“Maafkan ayah Saga, sebab untuk sementara harus memisahkanmu dulu dengan ibumu, tapi ayah janji, suatu hari akan menjemput ibumu dan kita akan berkumpul menyerupai dulu. Lirihnya sambil mengusap kepala Saga yang terkulai di dadanya.


 

“Maaf mah! Saga masih belum terbiasa dengan kita, saya mohon mamah mau bersabar membantunya”! Rangga menceritakan keadaan putranya yang begitu hingga rumah mengamuk tak terkendali. Piring berisi masakan dan gelas-gelas yang dihidangkan di atas meja berhamburan mengakibatkan bunyi gaduh mengerikan. Sementara perempuan itu bangkit ketakutan di bersahabat Aria.

Saga sudah mulai lunak, beliau terkulai lemas di pangkuan ayahnya.

“Mamah mengerti Rangga, dan mamah akad akan lebih bersabar”. Airmatanya mulai menetes membasahi wajahnya yang masih terlihat cantik. Betapa beliau amat merindukan cucu yang selama ini hanya sanggup dibayang-bayang dari dongeng sulungnya.


***

“Aku ikut ya um”! Remaja tampan itu Saga. duabelas tahun usianya. Tumbuh di antara keluarga yang hangat, penuh cinta kasih dari ayah, paman dan Neneknya.


Meskipun tangan-tangan halus perempuan itu telah menghilangkan sebahagian prilaku liarnya, tapi Saga tetap pada pribadinya yang memang dilahirkan dari alam.


Anak itu begitu kuat, rahangnya keras, tulang belulangnya menonjol membuktikan kekuatan penuh ada dalam dirinya.

“Besok kau ujian! jadilah anak yang baik”! Aria menjawab sambil mengulur kail pancingnya.

“Ah! ikut lah um! ujian kan besok, mancingkan sekarang! ikut yah”? Anak itu merajuk sambil menggelayuti pundak umnya yang tak kalah kekar.

“Tanya ayahmu saja lah”! Kemudian dibereskannya alat pancing itu dalam bagasi.

“Boleh kan yah”? Aria menatap ayahnya yang tengah membaca surat kabar.

“Boleh! tapi pulang sebelum maghrib”! Jawab Rangga singkat tanpa menoleh sedikitpun pada putranya.


“Lihat um! saya sanggup ikan besar”! Tubuhnya menyembul dikedalaman. Aria yang berada di tepi sungai bersama teman-temannya terbelalak ngeri. Sungai yang dalam dan deras itu bukan main berbahayanya. Tapi seolah bermain di darat Rangga malah dengan santai timbul karam dan dalam waktu amat singkat tangannya berhasil mencengkram seekor ikan besar.

“Wah! mahir sekali ponakanmu itu! ayo! sini! bawa ikannya”!

“Belajar berenang dari mana anak itu Ri? belum pernah saya melihat anak seberani dia”? Teman-teman Aria terlihat keheranan.

Sementara Yang ditanya hanya merenung menyerupai sedang mengingat-ingat sesuatu.

***

“Sudahlah ayah! jangan memaksakan lagi pergi ke sana! ajudan ayah sudah jadi korbannya, apa ayah mau kehilangan tangan kiri juga? atau lebih parah

ayah bukan cuma dipanah tapi dipanggang jadi makan malam mau”?

“Hus! Saga! jangan bicara sembarang begitu nak! tak baik mengatai ayahmu yang tidak-tidak”!

“Ya ia deh nek! cuma bercanda kok”! Pemuda itu merajuki neneknya sambil tertawa cengengesan.

“Sementara Ayahnya yang tiada lain ialah Rangga hanya tersenyum ketir melihat ke tangan palsunya.

“Aku yang kali ini akan menjemput ibu! ayah cukup membekaliku doa saja yah, agar saya selamat”!

Ternyata Saga yang melihat prihatin kondisi ayahnya sudah punya rencana untuk segera menyusul ibunya di pedalaman sana.

Dia sudah bukan anak dewasa di sungai pancing itu. Tadi malam ialah perayaan ulangtahunnya yang ke-22.

Bukan main tampan dan gagahnya anak itu, wajahnya lingkaran menyerupai ibunya, matanya yang biru gelap pun ialah turunan niscaya ibunya.

“Hati-hati kau nak! awas bila pulang tidak membawa ibumu”! Sang nenek pun mewanti-wanti. Dia sudah tak banyak khawatir sebab sepenuhnya percaya pada kemampuan cucunya.

Perkampungan pedalaman itu sudah banyak mengalami perubahan. Para penduduk sudah mulai mendapatkan kebudayaan insan umumnya. Mereka sudah rapi dalam pakaian

dari kain yang didapat dari pasar-pasar perkampungan di tepi hutan.

Beras, jagung, umbi sudah dibiasakan jadi masakan sehari-hari.

Pada jalanan yang berbukit itulah seorang perjaka tampan berjalan. Penampilannya terperinci menunjukan bukan penduduk kampung yang diinjaknya. Dia ialah Saga.

Pemuda gagah dari Jakarta, yang tiba hendak menjemput bunda tercinta.

“Apa anda mengenal ibu saya”? Dia mengawali percakapan dengan seorang perempuan yang tengah mencuci sayuran di sungai.

Sungai itulah yang jadi daerah terakhir sebelum berpisah dengan ibunya belasan tahun lalu.

“Ibu kau yang berjulukan Sibiel itu sudah tidak ada”! Perempuan dengan rambut terurai ke tanah itu menjelaskan masih dengan bahasa mereka. Beruntung Saga masih menghafal banyak kosa kata dan isyarat dari ayahnya sehingga sanggup leluasa bicara mencari informasi.

“Lalu dimana beliau sekarang”? Wajahnya menegang, jangan-jangan telah terjadi sesuatu yang jelek pada ibunya.

Dari perempuan itu mengalirlah sebuah drama memilukan hingga menciptakan pedoman airmata dari wajahnya.


“Bagaimana nak? kau berhasil”? Bapak renta sang kepala kampung memulai percakapan sesudah Saga duduk di hadapannya.

Sinar la mpu minyak menggambarkan samar raut wajah muram perjaka itu.

“Terlambat pak! saya tidak berhasil menemukan ibu di sana, malahan justru menerima dongeng sangat menyedihkan”.

Kemudian diceritakannya apa saja yang tadi didengar dari perempuan renta pedalaman bekas tetangga keluarganya.

Cerita singkat yang diawali dengan maut kakeknya beberapa tahun sesudah pengambilan paksa dirinya, kemudian perbuatan biadab putra kepala suku yang merenggut kehormatan ibunya, hingga insiden pengusiran secara keji perempuan yang tengah hamil besar hasil perbuatan bejad lelaki itu ke luar dusun.

Pak renta mendengarkan dengan sesekali mengangguk-angguk. Tak disadari bulir bening ikut merembes dari matanya.


“Sebentar nak! bila tidak salah, beberapa tahun kemudian ke desa ini pernah ada seorang perempuan hamil dari pedalaman. Dia malah melahirkan di sini dibantu oleh dukun kampung. Apakah mungkin itu ibumu”?

Bagai menerima suntikan semangat Saga menegangkan urat dahinya. Tatapannya lurus ke bola mata pak Tua.

“Benarkah itu pa? coba ceritakan pada saya wacana perempuan itu”!

“Kira-kira 15 tahun lalu, tiba seorang perempuan pedalaman berwajah menyerupai bulan dan berkulit amat terang”,

“Ya ya ya ya! itu niscaya ibu saya pak”! Saga tak sanggup menguuasai diri sehingga memotong dongeng pak Tua.

“Dia tiba tengah malam dalam keadaan sangat mengkhawatirkan. Sepertinya beliau akan segera melahirkan. Beruntung kami yang menemukannya segera membawa ke rumah dukun beranak, kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang juga amat elok parasnya”.

“Lalu? dimana mereka kini pak”? Saga lebih antosias. Kini dipegangnya erat pergelangan lelaki itu.

“Sayang sekali, sehari sesudah melahirkan perempuan itu bersama bayinya menghilang. Bahkan tak usang penduduk dusun pedalaman berdatangan mencari perempuan itu.


Mungkin itulah alasan kenapa beliau tiba-tiba menghilang sebab takut penduduk dusun pedalaman akan mencari dan mencelakakannya.

Sejak itu kami pun tak mencari mereka lagi hingga sekarang”.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kemilau Purnama (Part 2)"