Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Janji..

Hari itu menjadi hari yang benar-benar tak pernah  diperlukan oleh Donny. Mereka berdua memang telah menciptakan kesepakatan semenjak awal pelantikan korelasi mereka, tapi sungguh Donny tak menyangka bahwa apa yang ia sepakati bersama Dara benar-benar akan terjadi, bahkan dalam waktu yang begitu cepat.


“Dara? Kok nggak bilang kalau mau ke sini?” Donny melangkah melewati pintu depan rumahnya, menatap sesosok bayang kabur yang ditangkap oleh sisa-sisa penglihatannya. Sudah bertahun-tahun penglihatan cowok jangkung itu terus menurun bertahap sehingga sekarang ia hanya bisa melihat sosok orang lain dalam bentuk bayangan yang bergerak di hadapan matanya.


“Iya,” hanya itu sepatah kata yang bisa diucapkan Dara untuk menanggapi perkataan lelaki di depannya. Ia sadar bahwa hari ini dirinya memang tidak ibarat biasa. Biasanya Dara selalu memberi kabar kalau ingin berkunjung ke rumah kekasihnya itu, bahkan ia minta dijemput di depan gang alasannya ialah tidak mau jalan sendirian. Bagaimana pun kondisi penglihatan gadis itu juga tak jauh berbeda dengan Donny, ia kurang percaya diri untuk berjalan sendirian mencari rumah yang sudah berkali-kali dikunjunginya alasannya ialah kondisinya sebagai tunanetra.


“Kalau kau bilang, ‘kan saya jemput di depan gang,” Donny melangkah mendekati Dara. Ia ingin memberi sedikit pelukan kilat, namun Dara segera meletakkan sebelah tangannya di dada Donny, memberi arahan pada cowok itu untuk tetap menjaga jarak. “Kenapa,Sayang?”


“Ehm… Aku… Ada yang ngantar…”


Donny mengangkat wajah, mengalihkan pandang pada sekeliling teras rumahnya, mencari-cari sosok bayang lain yang mungkin ada di sana dan tertanggkap matanya. Tak usang ia mencicipi sesosok badan yang mendekat, bayang badan itu lebih lebar dan tegap dengan langkah yang tampak tegas dan pasti. Meski tak bisa melihat wajah itu, tapi Donny tahu bahwa orang  yang sedang mendekatinya ialah laki-laki. Hatinya yang dipenuhi kerinduan pada gadis yang amat dicintainya tiba-tiba bermetamorfosis sebuah kecemasan. Ia merasa bahwa hal yang tak ingin ia alami akan terjadi hari ini.


“Fauzan.”  ujar cowok itu seraya meraih tangan Donny dan menjabatnya dengan bersahabat.


“Oh…” Kegelisahan merambahi otak Donny, membuatnya tak bisa bicara lebih banyak. Beberapa ketika ketiganya terdiam, tak ada yang bersedia membuka ekspresi untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.


“Aku mau bicara sama kamu, Don. Berdua,”  Dara alhasil memecahkan  keheningan, “Bisa?”


Donny melongo sejenak, menelan ludah. Ia tahu bahwa firasat buruknya memang benar. “Oh iya, di dalam aja.”


“Sebentar ya, Zan.” Pamit Dara dengan bunyi yang amat pelan seraya mengikuti langkah Donny yang menggandengnya memasuki rumah dan meninggalkan Fauzan sendirian di teras.


Donny membawa gadis itu ke dalam kamarnya, daerah yang sudah biasa mereka gunakan untuk saling berkasihan dan melepas rindu  yang membelenggu selama hari-hari mereka tak sempat bertemu. Tak bisa Donny menahan diri untuk menarik Dara ke dalam pelukannya sesudah mereka menutup pintu kamar. Dara tak menolak pelukan itu, bahkan balas memeluk badan tinggi besar itu dengan erat, lebih erat dari biasanya.


“Kamu kenapa, sayang?” tanya Donny dengan  lembut seraya mencium rambut Dara. Keduanya masih saling memeluk. Tidak ada jawaban, Dara hanya menggelengkan pelan kepalanya yang ia benamkan di dada kekasihnya.


Diam, lama.


“Kamu nggak tanya siapa pria yang mengantarku itu?”


“Sudah tahu, Fauzan ‘kan?” 


Dara mendongak, menatap bayang samar wajah lelaki yang masih memeluknya erat, “Bukan itu… Maksudku…”


“Iya, saya tahu kok,”  potong Donny cuek.


“Tahu apa?” bunyi Dara mulai gelisah, ia mendorong badan Donny perlahan, meminta cowok itu untuk melepaskan pelukannya.


“Dia…” Donny sengaja menggantung kalimatnya. Ia menarik nafas panjang, membelai lembut pipi kiri Dara. “Dia orang awas yang kau pilih untuk menjagamu.”


Diam. Hening, sunyi.


Tidak ada yang meneruskan pembicaraan hingga Dara mulai terisak pelan. “Maaf…”


“Nggak apa-apa, ini ‘kan sudah jadi kesepakatan kita semenjak awal.” Donny mengusap rambut lurus gadis itu. “Kita ini tunanetra, bagaimana pun kita memang perlu orang awas untuk menjaga kita. Aku nggak bisa lihat, mungkin saya nggak akan bisa menjagamu sebaik Fauzan. Karena alasan ibarat itulah dulu kita berjanji untuk saling tulus melepaskan kalau kau bertemu dengan lelaki awas yang benar-benar menyayangimu, begitu pun denganku. Kamu ingat itu ’kan, Ra?”


“Tapi Don, apa kau memang berharap itu benar-benar akan terjadi?”


“Tentu saja tidak. Kalau saya tahu jadinya begini, saya nggak akan berjanji ibarat itu.”


Dara semakin terisak, wajahnya semakin basah.


“Sejak kapan kau bertemu dia?”


“Dia teman kuliahku dulu, dan ternyata kami satu kantor. Kami mulai dekat dua bulan terakhir. ”


“Fauzan…” Donny tampak berpikir, “Aku ingat nama itu. Bukankah kau pernah menyukai pria itu ketika kalian sama-sama kuliah?”


Dara tidak menjawab.


“Kenapa kau nggak bilang kalau kalian satu kantor dan korelasi kalian  sudah mulai dekat?”


“Aku nggak bisa, Don” Dara kembali memeluk erat lelaki di hadapannya, membenamkan wajah di dadanya yang lebar membasahi kaos yang dikenakan cowok itu dengan air mata. “Aku masih sayang.”


“Sudah, sayang.” Donny merengkuh gadis itu semakin dekat dalam pelukannya, “Toh ini juga yang diinginkan oleh orang tuamu. Bukankah mereka mengharapkan kau berpasangan dengan lelaki awas yang bisa menjaga dan melindungimu ibarat Fauzan?”


“Kalau saya dengan Fauzan, kemudian kau gimana?” Dara melepas pelukannya.


“Nggak usah khawatirkan aku,” Donny tersenyum, mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. “Aku ‘kan ganteng, nanti juga ada yang naksir.”


Dara yang semenjak tadi terisak tiba-tiba terkekeh mendengar ucapan itu dan menepuk pelan dada Donny. “Kamu ingat perjanjian kita yang satu lagi?”


“Yang mana?”


“Kalau suatu hari kita punya pasangan masing-masing, kita akan tetap menjaga komunikasi dan menjadi teman untuk seterusnya. Ingat?”


Donny tersenyum teringat akad itu. “Iya, saya ingat.”


“Kalau gitu akad dulu,” Dara menarik jari kelingking  Donny dan menautkannya pada jari kelingkingnya sendiri. “Aku akan tetap ada buat kamu. Cerita padaku kalau kau punya masalah, saya akan bantu sebisa mungkin. Jangan lupa juga untuk dongeng padaku kalau nanti kau sudah sanggup penggantiku. Janji?”


Dara memang sedikit manja dan kekanak-kanakan. Tapi inilah salah satu sifat Dara yang menciptakan Donny gemas dan tak kuasa menahan rindu tiap kali mereka terpisah oleh jarak dan waktu.


“Iya, saya janji,” ungkapnya seraya mengecup kening gadis itu dengan seluruh rasa sayang yang dimilikinya. Jemari Donny menelusuri wajah Dara, mulai dari pelipis, pipi, dan bibir. Diusapnya bibir yang terasa lembap dan lembut itu dengan jari telunjuk, “Untuk yang terakhir, boleh?”


Donny tak menunggu jawaban, dikecupnya lembut bibir itu. Tak ada perlawanan, bahkan ia mencicipi bibir gadis itu bergerak pelan memberi balasan. Keduanya menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Ini yang terakhir dan tidak akan pernah ada lagi momen ibarat ini untuk mereka berdua.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Janji.."