Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kritik Terhadap Kebiasaan “Cime’Eh” Di Suku Minangkabau

Cime’eh, mungkin pembaca gres mendengar istilah ini. Penulis pun sebenarnya agak resah menjelaskan apa sebenarnya cime’eh itu. Yang pasti, cime’eh yaitu sebuah kata Bahasa Minangkabau (atau yang banyak dikenal sebagai Bahasa Padang), yang kurang lebih mengacu pada tindakan mencela/mengomentari perbuatan yang dilakukan orang lain. Komentar tersebut biasanya bersifat menghina, meledek, dan semacamnya.   Lalu, apa alasan penulis mengangkat tema ini? Salah satu alasan penulis yaitu rasa jengkel penulis melihat kebiasaan orang Minangkabau (dan mungkin juga banyak dilakukan oleh orang Indonesia pada umumnya) yang sangat bahagia menomentari perbuatan orang lain. Penulis -yang juga merupakan salah satu serpihan dari suku Minangkabau- tidak habis pikir, mengapa kebiasaan cime’eh tersebut sangat berkembang bahkan nyaris menjadi budaya di masyarakat luas.   Salah satu pola kecil dari kebiasaan cime’eh, suatu hari penulis melihat seorang anak yang sedang makan. Memang cara makan anak tersebut agak berbeda dengan cara makan pada umumnya. Anak tersebut makan bertahap (suapannya tidak sebanyak orang makan pada umumnya). Kemudian, orang bau tanah anak tersebut berkomentar, “Capek tau liat kau makan kaya gitu. Bla Bla Bla Bla.”   Dari situ muncul pikiran di otak penulis, “Yang makan kan si anak itu, kok orang tuanya yang ribut komentar? Ya udah lah, terserah beliau mau makan dengan cara apa -selama masih dengan cara yang wajar-, yang penting makanannya habis.”   Itulah salah satu pola kecil cime’eh yang ada di masyarakat. Contoh yang lebih kompleks lagi, penulis memiliki sepupu seorang tunanetra yang tinggal di Sumatra Barat. Seringkali, dikala beliau ingin menaiki kendaraan umum, terlontar perkataan dari penumpang lain, “Geser seketek Kiah!” (artinya: Geser sedikit Pengemis!)   Entah mungkin lantaran mereka tidak mengetahui atau sebab-sebab lain, yang saya resah mengapa tunanetra selalu identik dengan Pakiah (bahasa Minangkabau, artinya pengemis)? Mungkin teman-teman tunanetra di belahan Indonesia lainnya juga pernah mengalami hal yang demikian.   Kembali ke permasalahan cime’eh, memang sulit mengurangi kebiasaan tersebut dari masyarakat, lantaran kebiasaan tersebut sudah usang mendarah daging di masyarakat, khususnya di Minangkabau. Dalam goresan pena ini, penulis bukan bermaksud menjatuhkan budaya manapun, bukan pula bermaksud menjelek-jelekkan suku manapun. Di sini penulis hanya ingin memberikan bahwa cime’eh yaitu kebiasaan yang kurang baik. Setiap orang punya cara masing-masing untuk melaksanakan acara mereka, jadi janganlah mengomentari/mencela tindakan yang dilakukan orang lain sekalipun itu aneh. Jika ingin memberitahu, beritahulah dengan cara yang lebih baik, bukan dengan cara mencela.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kritik Terhadap Kebiasaan “Cime’Eh” Di Suku Minangkabau"