Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sekolah (Yang Katanya) Inklusif

Namaku Chia, mereka biasa memanggilku dengan sebutan Teacher Chia. Sejak kecil tidak pernah terlintas sedikitpun dibenakku untuk menjadi seorang guru. Terlebih menjadi guru bagi belum dewasa berkebutuhan khusus. Seperti harapan kebanyakan anak kecil yang ingin menjadi dokter, akupun demikian. Namun ternyata takdir Tuhan membawaku untuk menjadi seorang guru. Ya, seorang guru bagi belum dewasa berkebutuhan khusus.


Awalnya, dunia belum dewasa berkebutuhan khusus merupakan dunia asing bagiku. Aku tidak mempunyai sanak-keluarga yang merupakan individu berkebutuhan khusus maupun guru bagi belum dewasa berkebutuhan khusus itu sendiri. Aku hanya mengenal dunia belum dewasa berkebutuhan khusus dari luar dan sesuai ekspetasiku yang masih awam. Hingga secara tidak sengaja, saya menentukan jurusan “Pendidikan Luar Biasa” sebagai pilihan kedua dikala SPMB dan ternyata alasannya ketidaksengajaan itulah yang merupakan gerbang perkenalanku dengan dunia belum dewasa berkebutuhan khusus. Karena ketidaksengajaan itulah yang sekarang membawaku menapaki garis-garis takdir hidupku untuk menjadi guru bagi mereka. Hingga kusadari kini, menjadi guru belum dewasa berkebutuhan khusus merupakan salah satu kehormatan terbesar dalam hidupku.


Saat ini saya mengajar di salah satu sekolah inklusif di Jakarta. Sekolah inklusif merupakan sekolah yang mendapatkan belum dewasa berkebutuhan khusus untuk sanggup berguru bersama dengan belum dewasa reguler lainnya. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pasal 32 yang menyatakan bahwa: “Pemerintah menjamin adanya hak anak berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus”. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan, tak terkecuali belum dewasa berkebutuhan khusus. Dengan adanya pendidikan inklusif ini diperlukan belum dewasa berkebutuhan khusus sanggup berguru maupun bersosialisasi dengan siswa reguler lainnya tanpa batasan maupun sekat-sekat pemisah.


Di sekolah inklusif tersebut saya mendampingi 3 anak berkebutuhan khusus di dalam satu kelas. Sebagai seorang guru pendamping khusus di sekolah inklusif, tugasku tidak hanya mendampingi belum dewasa berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran di kelas namun saya juga menciptakan aktivitas khusus/IEP untuk belum dewasa berkebutuhan khusus yang kudampingi. Program khusus tersebut berisikan program-program yang telah kususun berdasarkan hasil observasi, wawancara terhadap orang tua, serta data-data pendukung wacana anak yang kudampingi. Program-program tersebut berisikan aktivitas pengembangan akademik maupun aktivitas pengembangan vocational yang diperlukan sanggup membantu belum dewasa berkebutuhan khusus dalam membuatkan kemampuannya.


Sekilas sepertinya gampang menjadi guru bagi belum dewasa berkebutuhan khusus di sekolah inklusif, namun sesungguhnya tantangan yang kuhadapi tidaklah kecil. Aku harus memperkenalkan dunia kepada murid-muridku dan akupun harus memperkenalkan murid-muridku kepada dunia. Mengapa tak mudah? alasannya dahulu dunia belum dewasa berkebutuhan khusus yang banyak dikenal yakni dunia segregatif. Dimana belum dewasa berkebutuhan khusus hanya bersekolah di sekolah khusus (SLB), yang rata-rata siswanya hampir mempunyai diagnosis yang sama. Sedangkan di sekolah inklusif belum dewasa berkebutuhan khusus diperkenalkan dengan dunia yang sebenarnya. Dimana latar belakang siswa sangat bermacam-macam sehingga heterogenitas terasa sangat kental.


Menurutku, hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan sekolah yang inklusif yaitu dengan adaptasi proses pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang mencakup: kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pengajar, proses pembelajaran, maupun penilaian. Namun sesungguhnya tantangan terbesar bagi sekolah inklusif yakni penerimaan siswa reguler yang merupakan siswa lebih banyak didominasi kepada siswa berkebutuhan khusus yang merupakan minoritas. Ketidakpahaman belum dewasa reguler terhadap kondisi belum dewasa berkebutuhan khusus sering menjadi alasan terjadinya tindak bullying, diskriminasi sosial, maupun penolakan secara ekspresi maupun non ekspresi terhadap belum dewasa berkebutuhan khusus.


Setelah saya perhatikan, untuk beberapa kasus belum dewasa berkebutuhan khusus ibarat anak berkebutuhan khusus yang mempunyai self defense yang rendah, gangguan komunikasi, impulsif, dll sering dijadikan target empuk bagi beberapa belum dewasa reguler untuk melaksanakan bullying, diskriminasi, maupun penolakan terhadap keberadaan belum dewasa berkebutuhan khusus tersebut. Seperti mengejek belum dewasa berkebutuhan khusus di depan umum dan menyebabkan anak berkebutuhan khusus menjadi materi tertawaan, dengan sengaja mengajarkan hal yang tidak baik (karena sebagian anak berkebutuhan khusus dengan self defense rendah gampang untuk di-provokasi), tidak mau bergaul atau melibatkan belum dewasa berkebutuhan khusus dalam suatu kegiatan/pertemanan alasannya dianggap abnormal dan ‘berbeda’, dll.

Tindakan yang tak terpuji tersebut tentunya sanggup menghambat perkembangan akademik maupun sosial belum dewasa berkebutuhan khusus. Di satu sisi dengan diadakannya sistem inklusif diperlukan belum dewasa berkebutuhan khusus mendapatkan pendidikan yang baik dan sanggup bersosialisasi dengan semua siswa namun di sisi lain mereka mendapatkan penolakan dari lingkungan inklusif itu sendiri.


Tindakan bullying, diskriminasi, maupun penolakan terhadap keberadaan belum dewasa berkebutuhan khusus memang menjadi PR utama sekolah-sekolah yang menerapkan sistem inklusif. Saat suatu sekolah telah siap menerapkan sistem inklusif tentunya banyak konsekuensi yang harus dilakukan. Diantaranya menyebabkan sekolah benar-benar inklusif bagi belum dewasa berkebutuhan khusus. Pentingnya proses mengedukasi para siswa reguler maupun orang bau tanah anak reguler untuk mengetahui bahwa di sekolah tersebut ada belum dewasa berkebutuhan khusus yang memerlukan layanan khusus dibanding belum dewasa reguler lainnya.


Hal-hal sederhana yang sering kulakukan dalam memperkenalkan sekolah inklusif yakni dikala class time saya menawarkan video wacana macam-macam anak berkebutuhan khusus yang sanggup ditonton oleh belum dewasa reguler dan belum dewasa berkebutuhan khusus di dalam kelas. Dimana di dalam video tersebut digambarkan ibarat apa belum dewasa berkebutuhan khusus beserta karakteristiknya. Selain itu akupun sering menawarkan video motivasi yang berisikan belum dewasa berkebutuhan khusus sanggup berprestasi di banyak sekali bidang, baik bidang akademi, olahraga, keterampilan, dll layaknya belum dewasa reguler lainnya. Bahwa keterbatasan mereka bukalah menjadi kendala untuk mereka berprestasi. Bahwa keterbatasan mereka bukan berarti dunia mereka terbatas.


Contoh lain dalam memperkenalkan ‘inklusif’ pada siswa reguler yakni dikala pembagian kerja kelompok. Aku sering memasangkan belum dewasa berkebutuhan khusus dengan belum dewasa reguler di dalam satu kelompok. Tujuannya sederhana, semoga belum dewasa berkebutuhan khusus sanggup berinteraksi dengan belum dewasa reguler lainnya. Sebagian siswa reguler merasa kesulitan dikala bekerja sama dengan belum dewasa berkebutuhan khusus dan tak sedikit yang menolak secara ekspresi maupun non verbal. Namun tidak sedikit siswa yang mempunyai tenggang rasa yang tinggi untuk membantu temannya yang berkebutuhan khusus dalam suatu pekerjaan kelompok. Penting untuk mengedukasi para siswa reguler untuk berguru mendapatkan karakteristik anak berkebutuhan khusus yang beragam, namun yang tak kalah penting yakni menanamkan kekuatan serta support yang besar kepada anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Bahwa di sekolah inklusiflah dunia yang sebenarnya. Dimana sekolah inklusif terdiri dari siswa yang beragam, dan terkadang tidak semua siswa reguler mendapatkan dengan baik kondisi mereka. Untuk itu pemantauan yang intensif serta support yang penuh perlu diberikan kepada belum dewasa berkebutuhan khusus semoga mereka sanggup berkembang dengan optimal di lingkungan inklusif.


Itu hanya segilintir tantangan bagi sekolah inklusif, seyogyanya menurutku sekolah inklusif banyak memberi kebaikan maupun manfaat bagi belum dewasa berkebutuhan khusus maupun anak reguler. Sekolah inklusif sanggup mengenalkan anak berkebutuhan khusus maupun anak reguler wacana adanya heterogenitas pada setiap diri manusia. Dengan adanya pemahaman bahwa setiap orang “berbeda” dan ada beberapa temannya yang memerlukan “layanan khusus” maka tidak tidak mungkin muncul banyak sekali abjad siswa yang mau membantu orang lain yang kesulitan, berempati tinggi, menghargai sesama, paham akan kesetaraan manusia, dll.


Dengan banyaknya pekerjaan rumah sekolah inklusif, bukan berarti pendidikan inklusif hanya bisa jalan ditempat. Pendidikan inklusif harus dikembangkan ke arah yang lebih baik. Kerjasama antara orang tua, guru, serta lingkungan sekolah sanggup membuatkan pendidikan inklusif itu sendiri. Saat kita percaya segala sesuatunya berproses, begitupun dengan sekolah inklusif. Semoga pendidikan inklusif sanggup mendidik insan Indonesia yang inklusif. Sesuai dengan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetap satu jua, begitu pun dengan landasan inklusif. Dimana setiap orang memang dilahirkan “berbeda” dan kiprah insan lainnya bukanlah mempermasalahkan perbedaan itu namun merangkul perbedaan itu. Semoga!



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Sekolah (Yang Katanya) Inklusif"