Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ancaman Pertama

Ketika cinta berubah menjadi rubah nakal, berkembang menjadi dalam wujud seram dan menciptakan yang menerimanya memaksa memejam atau takut kelimpungan. Ketika itu saya dan kau yang  awam pada arti  cinta akan tahu bahwa cinta bukan selalu perihal kelembutan dan kelemahan. Ia bisa juga perihal segumpal bara yang jikalau tak kau genggam erat dengan paksa, terbakarlah kau sudah.


Bagi sebagian besar orang, ancam mengancam mungkin akan segera ditautkan dengan perihal kriminalitas, anarkisme, ataupun sarkasme. Tapi begitu mengejutkannya ketika pertama kali saya tahu bahwa ancam mengancam sangat mungkin dilakuakn dalam dunia pendidikan,  terutama pendidikan khusus.


Pertama kalinya saya “melihat” guru mengancam muridnya ialah ketika saya “melihat” Torey mengancam Sheila yang kerap menjadikan mitra sekelasnya kecelakaan dan terluka. Lalu bahaya murid kepada guru yang dilakukan Kevin kepada Torey yang dianggapnya sama dengan orang cukup umur yang selalu tiba kepadanya dan menganggapnya anak gila.


Awalnya saya mengira, bahaya demi bahaya yang ada di antara guru dan murid akan merenggangkan keduanya. Mungkin menciptakan murid membenci guru. Mungkin menciptakan guru semakin bertaring di hadapan murid. Tapi dari kedua dongeng di atas, ternyata tak segala mungkin benar terjadi. Torey bisa mengubah bahaya itu sebagai cinta dan keseriusannya untuk menjaga dan mencintai anak-anaknya.


Sempat terbersit dalam pikiran saya, apa yang hendak saya ancam pada murid saya kelak jikalau saya ada di posisi Torey? Lantas hal apa kira-kira yang menciptakan saya mengancam murid saya untuk pertama kalinya.


Dan eng ing eng. Pertanyaan ini terjawab sudah tanpa pernah saya percaya waktunya.


Di sekolah daerah saya mengajar, cukup banyak anak keturunan Arab, baik lelaki ataupun perempuan. Di kelas kecil saya yang hanya berisi 15 murid saja terdapat 5 anak keturunan Arab yang dua di antaranya ialah anak wanita dengan paras yang saya akui mereka cantik.


Belakangan saya tahu bahwa satu dari tiga murid istimewa saya punya ketertarikan pada salah satu anak wanita keturunan Arab tersebut. Hal ini bermula ketika saya gres melangkahkan kaki ke kelas sehabis upacara. Saat itu, hampir seluruh murid dalam kelas mengerubuni saya yang gres menjejaki depan pintu kelas.


“Ibu Listya, Ibu Listya, tadi Firdaus meluk-meluk Mariam terus waktu upacara!”


“Iya, Bu. Firdaus peluk Mariam dari belakang. Pukul pantat Mariam juga.”


“Aku juga tadi dipukul sama Firdaus, Bu Listya.”


Sedikitnya tiga aduan itulah yang saya terima ketika saya gres menginjakkan kaki di kelas. Dengan cepat mereka meraih tangan saya, memanggil nama saya –dengan sebutan Listya sebab mereka tidak bisa menyebut Lisfa –kemudian meluncurlah aduan atau kadang muncul tangis tiba-tiba untuk “menarik perhatian” saya.


Hal yang saya lakukan jikalau ini terjadi hanya mendengarkan sambil tetap berjalan dan duduk di kursi saya. Lalu saya akan menghampiri Firdaus dengan masih tetap dikerumuni bawah umur lainnya.


“Firdaus …, apa kabar?” saya membuka basa-basi sambil mengusap kepalanya.


“Omelin aja, Bu Listya. Firdaus biasanya diomelin sama Tetehnya!” ocehan bawah umur lainnya belum juga berhenti.


“Firdaus, tadi waktu upacara apa yang kau lakukan?”


“Berdiri di belakang Mariam,” jawabnya jujur.


“Firdaus juga peluk-peluk Mariam, Bu Listya. Ibu harus percaya sama kita!” Huhf, bawah umur ini tetap belum mau berhenti mengadu.


“Iya, ibu percaya. Ibu cuma mau tanya sama Firdaus. Kalian membisu dulu dan dengarkan ibu bicara sama Firdaus, ya,” saya mencoba menciptakan mereka diam.


“Firdaus, lihat mata ibu!” perintah yang biasa saya lakukan sebelum saya “bercakap-cakap” dengan murid saya.


“Benar tadi kau peluk-peluk Mariam waktu upacara?”


“Nggak… Nggak!” jawabnya cepat sambil menggoyangkan tubuhnya yang cukup besar dibandingkan sahabat sekelasnya.


“Bohong! Bohong! Firdaus, ayo ngaku sama Bu Listya!” bunyi kelas kembali berisik.


“Firdaus …,” saya menyebut namanya dengan lembut dengan pengutamaan seakan saya berkata ‘Lihat mata saya dan mengakulah, Nak!’.


“Lupa! Aku lupa, Bu! Lupa!” Firdaus memperlihatkan kepanikan. Saya mulai khawatir anak ini anak tantrum.


“Oke! Semua kembali ke daerah duduk masing-masing ya. Biar nanti Ibu Listya bicara berdua dengan Firdaus!” perintah saya pada anak lainnya semoga kerumunan ini lekas bubar dan Firdaus tidak semakin panik.


Jam-jam berikutnya kelas berlangsung dengan teramat canggung. Pendekatan yang bermacam-macam dan percakapan yang saya hubungkan dengan insiden di ketika upacara hanya berbuah jawaban, “Aku gak sengaja, Bu”. O, ya sudahlah!


Hari-hari berikutnya saya lebih sering bercerita perihal perbedaan wanita dan laki-laki. Juga perihal apa yang boleh dilakukan pria pada perempuan, atau sebaliknya.


Saya pikir apa yang saya ceritakan kepada bawah umur istimewa ini, terutama Firdaus,  telah mereka pahami dengan baik. Sebab, setiap satu kalimat yang saya tanamkan pada mereka selalu berbalas satu pertanyaan dari mereka. Mengapa, Bu? Kenapa, Bu? Dan banyak lagi hingga mereka mengakhirinya dengan ajakan “Oooh”.


Tapi saya dibentuk terkejut lagi ketika pada jam istirahat di hari lain. Hari itu saya ikut bermain “Kambing Kurban”  bersama bawah umur di kelas. Kami tertawa bersama dan saling berteriak ketika ada yang menjadi kambing ingin dipotong dan akal-akalan mengamuk.


Ketika itu kami sedang berlari dalam kelas, tetiba bunyi nyaring menghentikan tawa kami. Salah seorang anak menjerit ketakutan! Buruknya, saya tidak tahu siapa yang menjerit.


Mata saya pribadi menelusuri mereka satu satu. Hingga pandangan saya terpaku pada wajah Mariam yang menatap saya dengan mata basah. Beberapa meter di dekatnya Firdaus sedang bersandar di tembok kelas. Nyaris ke pojok antara tembok dan lemari kelas. Matanya menatap saya sekilas, kemudian tertunduk dan ia mulai memainkan kedua tangannya.


“Kamu kenapa, Mariam?” saya bertanya sambil berlutut dan mengusap air matanya. Anak-anak lainnya mengerubuni kami dan yang lain melamun di kursi masing-masing sambil melihat kami dari kejauhan.


“Firdaus mukul aku, Bu Listya,” jawabnya masih sambil menitikkan air mata.


Saya menatap Firdaus beberapa jenak kemudian kembali bertanya pada Mariam, “Yang mana yang dipukul?”


Mariam menunjuk kea rah bokongnya. Lalu menunduk.


“Sudah. Sudah. Sekarang kami kembali ke daerah duduk ya. Ibu mau bicara dulu sama Firdaus,” Mariam mengangguk dan kembali ke bangkunya sambil dibuntuti teman-teman sekelasnya yang berbisik-bisik perihal insiden yang gres saja terjadi.


“Apa yang kau lakukan ke Mariam?” saya bertanya pada Firdaus sambil mengusap lengannya.


“Nggak. Nggak. Aku gak pegang-pegang Mariam!” Firdaus mulai panik dan hendak lari. Saya meraih tangannya dan memegangnya dengan cukup erat.


“Ayo, Firdaus harus jujur jikalau bicara.”


“Tidak boleh bohong! Gak sengaja, Bu!” jawabnya sambil menunduk.


“Oke. Gak apa-apa kalau kau gak sengaja,” saya tetap memegang lengannya erat-erat. “Kamu lihat mata ibu! Kamu tahu kan …,” Firdaus hendak melarikan diri. Saya semakin erat memegang tangannya.


“Kamu tahu kan pria itu dilarang sembarangan me …,”


“Memegang, memeluk perempuan!” Firdaus meneruskan kalimat saya.


“Nah, kau sudah tahu kan? Terus, kenapa kau tadi memukul pantat Mariam?”


“Gak sengaja! Aku gak sengaja!”


“Oke! Mulai sekarang, kau gak boleh pegang atau pukul dengan gak sengaja. Oke?”


“Oke, Bu. Aku gak pukul dan pegang Mariam. Nayla juga, Dinda, Zahra, sama Ririn,” beliau menyebutkan semua sahabat wanita di kelasnya.


“Oke. Kita bikin kesepakatan ya,” kata saya dengan pengutamaan bunyi dan lebih berkata ‘atau kau mau saya ancam!’.


“Iya!”


“Gimana kalau kau pukul  atau pegang teman-teman wanita sembarang kau bakalan pulang jam 12 siang!” saya mulai memberikan bahaya dalam sebuah perjanjian.


“Iya,”


“Apa yang iya?”


“Kalau pegang atau pukul teman-teman wanita sembarangan, saya pulang jam 12 siang!”


“Janji? Kamu mau pulang jam 12?”


“Janji. Nggak mau pulang jam 12, Bu!”


“Kalau gak mau pulang jam 12, apa yang harus kau lakukan?” saya menegaskan lagi bahaya ini.


“Aku gak pegang atau pukul anak wanita sembarangan!” jawab Firdaus yang kini sudah tidak berusaha lari lagi.


Hari itu lagi-lagi Firdaus melanjutkan kegiatan di sekolah dengan sikap badan yang canggung. Mungkin sebab takut salah. Atau beliau takut pada saya? Entahlah.


Sejauh ini saya marasakan bahaya pertama yang saya  lakukan cukup efektif. Setiap jam istirahat tiba dan kami bermain bersama bawah umur lainnya di kelas, Firdaus tetap memperlihatkan sikap keinginannya untuk menyentuk Mariam. Tapi gerakannya masih bisa dikontrolnya dengan cara beliau menghentikan gerakan tangannya di jarak 10 cm dari badan Mariam.


Jujur, saya sangat menghargai caranya berusaha mematuhi bahaya saya. Maka setiap kali saya melihatnya menjaga gerakan tangannya, saya akan tersenyum dan mengelus kepalanya.


Kadang memang dilematis ketika saya mempunyai prinsip “saya tidak akan pernah memaksa sebab saya tidak suka dipaksa”. Kemudian realitasnya saya harus berhadapan dengan bawah umur yang harus dipaksa melaksanakan  perilaku-perilaku yang dianggap baik oleh sekitarnya.  Beberapa jenak saya berpikir mungkin saya terlalu keras kepada bawah umur dengan menciptakan bahaya menyerupai ini. Tapi lain ceritanya ketika saya menyebarkan dongeng dengan orang renta murid. Ternyata mereka berkata, “Ibu lembut banget itu mah. Dia harus sering-sering diancam kalau begitu!”


Duh. Gubrak! Saya pribadi jatuh sejatuh jatuhnya ketika orang renta mereka berkata demikian. “Saya tidak bisa! Saya tidak bisa!” selalu itu yang saya katakana pada diri sendiri.


Bagi saya, bahaya bukanlah satu-satunya cara untuk menciptakan anak patuh pada guru atau orang tua. Toh, saya hanya ingin berlakukan sesuai dengan apa yang sudah saya terima di kursi kuliah. Bahwa bahaya guru pada anak harus realistis dan bersifat mendidik.


Tapi sejauh ini, dengan segenap sisa kejujuran yang saya punya, bahaya pertama ini saya lakukan sebab saya mencintai Firdaus dan bawah umur lainnya di kelas. Saya ingin bawah umur istimewa saya juga mengerti batasan wanita dan laki-laki. Saya ingin mereka juga bisa bersikap sopan menyerupai anak pada umumnya.


Saya ingin mengajarkan pada mereka bahwa “kegalakan” dan ancaman-ancaman yang saya buat tidak untuk mengganggu emosi mereka. Apalagi hingga mereka merasa tertekan. Saya niatkan bahaya pertama, kedua, dan selanjutnya yang saya berikan kepada murid-murid saya sebagai daerah memperkenalkan cinta saya pada mereka. Sebagai daerah mengenalkan kehidupan sebetulnya pada mereka.


Bukan dari apa yang saya katakan mereka bisa memahami cinta yang saya punya. Melainkan dari sikap dan sikap saya sehabis ancaman-ancaman itu datang, ketika mereka berusaha mematuhi bahaya dan menjauhi hukuman, dan ketika mereka benar-benar menyadari kesalahan, di ketika itulah saya berdoa semoga mereka benar-benar memahami arti cinta dan kasih yang sesungguhnya dari sesosok guru yang selalu ingin mencar ilmu dari mereka.(nir)


 


Catatan:


*Tantrum adalah kondisi anak mengamuk sebab tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya atau ketika anak tidak menyukai suatu kondisi.


*Nama bawah umur dalam goresan pena bukan nama sebenarnya, tetapi huruf mereka nyata.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ancaman Pertama"