Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bias Danau Cinta (Part I)

Halo! Kartuneters! barangkali ada yang minat baca satu Fiksi lagi yang ingin saya bagikan! semoga sanggup terhibur, yah! … BIAS DANAU CINTA ***   Biarpun tampaknya hanya lembar-lembar lama yang sudah patut dimusiumkan pada dasar rasa paling kelam, lantaran untuk terulang atau hanya sebagai kenangan itu terlampau suram. Namun terperinci lembar-lembar itu tiap baris mempunyai sejuta makna indah, entah itu birunya persahabatan, merahmudanya cinta, hitam-putihnya karia perjalanan. Ah! sungguh terlalu nano-nano rasa itu bila kini terjelma segelas minuman pengantar memori bertahun silam. Sekarang dimanakah kalian? sosok-sosok andal dengan wajah-wajah siap masa depan. Lihatlah sebuah areal kampus di penghujung Bandung utara itu! luas, megah, sejuk, asri, edikatif, relijius terutama terlihat begitu ceria. Itulah kampus kami! 4 tahun lamanya kami menjadi bagiannya, berguru banyak hal, bukan sekedar akademis, namun kami berguru membangun puing-puing masa cukup umur menjadi sebuah kemandirian yang utuh, tegar, siap menjadi diri sendiri, siap memenuhi persyaratan persaingan bersama jutaan penduduk produktif negeri ini. Ayah, Ibu, mereka semua kami tinggal di rumah, hanya bertugas mendoakan supaya kami pulang dengan sebuah gelar masa depan. Kami tanggalkan pula pernak-pernik yang jadi cuilan betapa indahnya seorang remaja, Sehingga tak perlu ada lagi rengekan manja atau goresan-goresan diary pada binder tas sekolah. Seindah senja Bandung utara, sebuah danau yang entah siapa pemberinama sehingga tercetus kata kramat Danau cinta, dari airnya yang sudah agak coklat tak terawat, menyembul sebias warna jingga. begitu indah, begitu ceria, begitu bercahaya. Sesekali beberapa ekor ikan yang hingga sekarangpun saya tak tahu namanya, menyembul dalam bias, mendekat teratai renta hingga ke tepi. Dari sanalah lembar-lembar lama ini mulai tertulis. Danau cinta, berada tepat di cuilan terdepan dari area kampus Universitas Pendidikan ternama di kota Bandung. Bagian terpaforit para mahasiswa yang selalu ramai dikunjungi sekitar siang dan sore hari, ketika mereka melaksanakan jeda perkkuliahan atau malah waktu absen dari kelas. Di sekitar danau yaitu area istirahat paling nyaman berupa bangku-bangku watu di bawah pohon dengan tingkat kerindangan yang menciptakan semua akan menjadi tak bergeming dari urusan apapun. kolam-kolam kecil kawasan kami merendam sebagian kaki, tampak sudah tak jernih lagi, mungkin lantaran sudah mendapatkan ribuan kaki insan yang mengotorinya. Yang tidak kebagian dingklik watu untuk duduk, memanfaatkan bawah umur tangga yang mengelilingi area itu percis ibarat sedang nonton teater dari tribun kelas festifal. Burung-burung di atas kepala ibarat turut mencicipi keceriaan para mahasiswa itu dengan berterbangan dari dahan satu ke dahan lain sambil mengeluarkan kicauannya yang merdu. Pada dingklik watu itu nampak banyak sekali pemandangan, dari pasangan muda yang tengah asyik berpandangan, kumpulan mahasiswi yang tengah cekikikan merumpi, atau seorang mahasiswa kutu buku yang duduk sendiri dengan buku tebal berserakan. Sementara pada bawah umur tangga ada rapat santai para organisasi kampus, membicarakan program kompetisi dari penulisan karia ilmiah hingga dengan sepak bola antar fakkultas. Tak ketinggalan forum-forum kecil dengan materi ringan seputar arisan lah, pinjam meminjam buku dan duit lah, urusan makcomblang lah, bla bla bla.


Pada salahsatu dingklik itu, Duduk aku, Jen Nesa dan Ian. (panggilan-panggilan akrab) berdesak-desakan sambil mengunyah sebungkus cimol. Asyik dengan lamunan kami masing-masing. Sesekali Salahsatu dari teman-temanku itu mengoceh, mengomentari apa saja yang kebetulan dia lihat. “Eh Jen! liat deh! yang pake baju putih itu!” “Emang kenapa Yan!” “Itu kan mantannya si Cemplu!” “Ah masa?” “Iah! cuma, jadiannya yaaa, diem-diem gitu! gak mw pamer katanyamah”! “Ia yah? padahalmah, ah! gak cakep-cakep amat”! “Eh! yang mana Yan?” Si Nesa yang waktu itu tengah sibuk membalas SMS pun tampak penasaran. wuuuuh! dasar yang punya mata, tiap apa yang dilihat selalu aja jadi materi obrolan. Gerutuku dalam hati. Sementara mereka asik merumpi sambil sesekali tertawa usil, saya justru tengah berfikir keras ihwal setumpuk makalah dari beberapa mata kuliah yang hingga ketika ini belum sanggup penyelesaian. “Nir! manyun aja deh! kanapa sih?” Nesa Menyikut lenganku. Sontak saya terkejut dan hampir menjatuhkan map di tangan. “Makalah teori sastra sudah belum Nes?” Aku balik bertanya. “Oh! itu yah? yang dosennya bu Halimah?” “Ia yang itu! masa lupa sih?” Aku bersungut. Nesa memang kategori mahasiswi yang cukup nyantai. Biasanya kiprah akan dia bombardir detik-detik menjelang detline. “Kalau makalah Kajian drama, sudah belum?” “Yang dosennya bu Neta, yah? kayaknya belum deh! besok aja deh, kan besok kita libur 3 hari tuh!” “Ya elaah! liburmah cuma sehari Senin doang kalii! Kalau besok Sabtu dan Minggu kan emang udah waktunya libur.” Aku mulai jengkel, sementara cewek dengan tubuh ceking itu malah tertawa ringan. Kalau saja saya sanggup ibarat mereka, teman-teman satu geng yang hidupnya riang gembira, sanggup mengerjakan kiprah kapanpun mereka mau, bahkan sistim kebut semalam sekalipun tak jadi soal. Mereka dengan simpel sanggup mencari rujukan dengan berjam-jam di warnet, atau membaca buku kapanpun dan dimanapun. Sedang aku? begitu dosen ketuk palu untuk sebuah pekerjaan, otak mesti berputar harus pada siapa saya meminta bantuan. Saat matahari mulai tergelincir mengambarkan hari sudah akan berganti, kami kemudian bergegas pulang. Dalam angkot saya duduk sendiri. Teman-teman sudah pulang dijemput para bodigarnya dengan sepeda motor. Tadi Jen sempat menawariku untuk menginap di kosannya, tapi saya menolak lantaran malam ini harus bekerja ekstra mencari orang yang sanggup membantu merampungkan tugas-tugas. Hari sudah mulai gelap, tapi angkot ini belum juga berjalan, mungkin lantaran belum banyak penumpang sehingga ngetem di depan kampus hingga setengah jam lamanya. Keadaan ibarat ini tambah menciptakan kepalaku berdenyut-denyut. Saat itulah seseorang naik. Ada yang sedikit ganjil lantaran sopir angkot menyuruhku membantu orang itu dengan memegang tangannya. Akupun berdasarkan dan eksklusif membantunya hingga duduk percis diseberangku di dekat pintu. Dia kemudian meletakan Kruk di tengah angkot membuatku segera menyadari keadaannya. “Terimakasih yah!” Ucapnya halus sebari menyentuh lututku. “Sama-sama teh!” Aku membalasnya sambil tersenyum. Ada perasaan sedikit haru begitu menyadari bahwa di kampus ini bukan cuma saya seorang disabilitas yang berjuang menimba ilmu, lantaran ternyata ada mahasiswi dari jurusan ekonomi yang kehilangan satu kaki akhir kecelakaan justru ketika menikmati masa remaja. Teh Alin. Begitu saya memanggilnya ketika kami berkenalan di dalam angkot. Banyak yang kami bicarakan, mulai dari perkuliahan, aksesibilitas kampus bagi mahasiswa disabilitas hingga pada sukaduka sebagai minoritas di antara ribuan mahasiswa lainnya. Aku juga sempat curhat ihwal betapa sulitnya ketika mengerjakan kiprah terutama pada smester tengah ini, lantaran metode kuliah yang selalu menggunakan kiprah penusunan makalah-makalah. Dengan takjub Teh Alin mendengar keluh kesahku, hingga jadinya dia memperlihatkan untuk jadi reader kapanpun saya membutuhkannya. “Datang saja ke kosan teteh Nir! gak jauh dari terminal Ledeng, di belakang fotokopi.” Katanya membahagiakan hatiku. Sayang pembicaraan kami harus terpotong lantaran dia harus turun lebih dahulu di depan sebuah sualayan, Katanya dia akan belanja kebutuhan bulanan. Dalam hati saya memuji sosoknya yang berdikari dan tegar. Jelas akupun merasa aib lantaran hampir semua urusan dari yang kecil hingga yang besar selalu bergantung pada orang lain. Aku sempat membantunya turun dari angkot dan membawakan kruknya hingga dia sanggup berdiri sempurna, dan kami berpisah dengan sebelumnya saling berpelukan. Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan lega. Besok saya akan tiba ke kosannya pagi-pagi sekali untuk mulai mengerjakan tugas. Ayo masuk Nir! maaf yah! kosan teteh sempit.” Sambutnya ketika saya sudah berhasil mencapai pintu kamarnya. Saat memasuki gang yang superduper sempit itu saya dibentuk kebingungan badai, alasannya yaitu ternyata ada banyak sekali kos-kosan yang berjejer memenuhi gang tersebut. Beruntung kamar teh Alin yang eksklusif menghadap ke jalan berada tak jauh dari lisan gang. Setelah saya salah beberapa pintu kudengar bunyi lembut Muslimah baik hati itu memanggil. “Gak apa-apa teh! saya minta maaf sudah merepotkan.” Aku duduk di pinggir kawasan tidur yang tergelar di sisi kanan ruangan. Dalam sekejap saja saya sudah sanggup menilai bagaimana prihatinnya kamar kos teh Alin. Sempit, pengap dan amat sederhana. Kamar tidurku malah jauh lebih baik dengan dilengkapi pentilasi serta kamar mandi. Kamar mandi? teh Alin mesti berjalan memutar ke belakang untuk sanggup mencapai kamar mandi super sederhana dengan undakan-undakan yang tentu akan menyulitkan dirinya. “Teh! kok banyak tangga begini yah? teteh gak pernah kepeleset?” Tanyaku begitu tiba di depan kamar mandi itu. Sedangkan teh Alin hanya tersenyum kecil dan menyampaikan bahwa sudah terbiasa dengan kosan yang sudah hampir 4 tahun ditinggalinya. Setelah beristirahat sebentar, kami kemudian asik dengan tugas-tugas makalahku. Dengan sabar teh Alin menuliskan apa-apa yang saya jelaskan ihwal poin-poin dalam makalah tersebut. Sesekali dia membuka beberapa buku yang kubawa sebagai referensi. “Sayangnya teteh belum punya komputer sendiri, jadi kita mesti ke warnet.” Ucapnya ketika kami tengah bergandengan menuju sebuah warnet. “Ah! sudah dibantu begini pun saya bersyuqur banget teh! maaf yah! jadi merepotkan.” Lagi-lagi saya meminta maaf dan berterimakasih pada Muslimah lembut itu. Sayangnya di warnet kami tidak menemukan komputer yang kosong. Memang hari Sabtu begini para mahasiswa akan berjubel untuk mengerjakan kiprah kampus. “Berapa lama lagi ada yang kosong, A?” Teh Alin bertanya pada penjaga warnet yang tampaknya sudah cukup bersahabat dengannya. “Maaf teh! kayaknya masih pada lama, alasannya yaitu gres pada masuk.” Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warnet lain lantaran untuk menunggu hanya akan membuang waktu. Namun sebelum kami pergi, tiba-tiba seorang lelaki mempersilahkan komputer yang tengah dipakainya untuk kami. Mungkin ada rasa iba lantaran melihat dua cewek yang satu tak melihat dan yang satunya bertongkat berjalan tertatih mencari warnet. “Terimakasih A!” Kami manggut-manggut senang pada lelaki baik itu. Selama kurang lebih tiga jam, saya dan teh Alin melanjutkan makalah teori Sastra yang harus dikumpulkan Selasa nanti. Teh Alin menyalin goresan pena tadi dengan komputer, sambil mencari lagi rujukan embel-embel dari internet. Dalam perjalanan pulang timbul rasa oktimis dalam hatiku. Ternyata pertemuan dengan teh Alin membawa efek yang begitu besar untuk kehidupanku. Teh Alin mengajariku banyak hal dari sisi kehidupannya yang luar biasa. Selama di warnet tadi, sambil tetap konsen pada kiprah makalahku, dari bibirnya mengalir satu kisah dimana takdir merenggut masa SMU-nya yang indah. Sebagai seorang remaja, dia berhak dengan segala situasi yang akan melengkapi keceriaannya juga warna-warni pribadinya. Sore itu hari kedua pasca ditembaknya dia oleh seorang cowok sesama anggota rohis yang sudah lama dikaguminya. Seorang cowok yang selain salih juga pandai itu menjadi kebahagiaannya namun sekaligus menjadi awal kehidupannya yang sekarang. Gedung bioskop itu memang cukup jauh dari desanya di Subang sana, tapi tak lantas menyulutkan impian sepasang cukup umur itu untuk berangkat menonton dalam sebuah layar lebar yang hanya didengar dari teman-teman sekelasnya. Tak peduli sebelum berangkat mereka berkata bohong pada orangtua dengan menyampaikan hendak kerja kelompok di rumah teman, tak peduli dengan hujan disertai angin mengguyur sepanjang utara kota bandung. Sepeda motor itu terus meluncur di atas jalanan berkelok. “Makanya Nir! hati-hati jikalau bicara dengan orangtua, lantaran gak perlu nunggu teguran di akhirat, di dunia sekalipun Allah maha memberi peringatan.” Itu kata-kata menusuk yang diucapkannya pada kalimat terakhir rangkaian kisah tragisnya. “Apa Teteh merasa dendam pada lelaki itu, Teh? ” Aku mencoba memeriksa isi hati Muslimah yang belum dua hari kukenal itu. “Alhamdulillah tidak, alasannya yaitu Teteh menganggap di balik setiap insiden niscaya ada hikmahnya. Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin Teteh akan sama saja ibarat dulu, bahkan tak menutup kemungkinan menjadi lebih buruk. Tapi dengan insiden ini, Teteh sanggup menjadi lebih tegar, lebih mandiri, terutama sanggup lebih dekat kepada Allah supaya sanggup mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Kejadian ini menciptakan Teteh tahu, bahwa bekerjasama dekat dengan lawan jenis yang belum muhrim itu yaitu perbuatan tercela, bahwa bicara dusta pada orangtua itu yaitu kesalahan yang besar. Alhamdulillah Teteh bertemu jalan kepada Allah dengan cara yang tidak biasa.” “Maaf Teh! jikalau kesadaran itu tiba ketika Teteh mengalami kecelakaan, kenapa gres memulai kuliah sehabis dua tahun? apa selama itu Teteh berobat?” Tak berhenti hingga di situ saya bertanya kembali. Jelas ingin tahu banyak ihwal kepribadian Muslimah inspiratorku ini. “Semuanya niscaya membutuhkan proses. Untuk berobat segala cara memang diupayakan keluarga, dari pengobatan medis hingga tradisional. Tapi fonis patah tulang kering ini sudah ditegaskan dokter hari itu juga, sehingga keluarga pun tak sanggup berbuat banyak. Teteh memang perlu waktu untuk sanggup bangkit, minimnya pemahaman agama serta psikologi yang labil menciptakan Teteh berada pada keadaan yang sulit, meski semua orang masih dekat dan memberi semangat, tapi jikalau tak ada dorongan dari dalam diri sendiri tentu itu takkan berhasil. Namun jadinya Teteh sanggup mengembalikan semuanya dengan bijak. Setelah merenung dan introsfeksi diri, jadinya Teteh sanggup melanjutkan hidup bahkan berhasil lulus tes sleksi perguruan tinggi negeri.”


“Dari mana saja sih? jam segini gres pulang? bukannya hari Sabtu kau libur?” Suara Mama terdengar ketus ketika dia membukakan pintu. “Tadi kan saya udah bilang, Ma, saya ke rumah sobat buat ngerjain tugas.” Aku menjawab tak kalah ketus, merasa sebal dengan perilaku Mama yang sering berubah-ubah. “Oh! kirain kau main-main ke asrama lagi! yaudah cepat ganti baju! malam ini ada program di rumah tante Eka!” Aku yang tadinya ingin beristirahat terpaksa berdasarkan lantaran teringat nasihat-nasihat teh Alin bahwa titah orangtua yaitu mahkota yang harus selalu diletakan di atas kepala. Selama dalam perjalanan Aku duduk di kursi belakang sambil membelai-belai kepala si Culun yang memang selalu ikut kemanapun mama pergi. Sementara kedua orangtuaku asik mengobrol membahas program yang tengah diadakan di rumah tante Eka, fikiranku melayang lagi ke kosan teh Alin. “Sedang apa teh Alin sekarang? apa dia eksklusif ketiduran lantaran seharian bantuin saya ngerjain tugas?” Tiba-tiba saya menjadi kangen dengan sosok lemah-lembut itu, padahal kami gres berpisah sejam lalu. Sebenarnya saya kurang tertarik dengan program apapun yang diadakan oleh keluarga besar dari kedua orangtuaku. Entah kenapa saya selalu merasa tak nyaman jikalau sedang berada di tengah-tengah mereka. Mungkin lantaran saya merasa berbeda makanya selalu tak betah berlama-lama ikut program tersebut. “Acara apa sih, Mah? tanyaku di sela-sela dialog mereka. “Acara lamarannya mbak Trias, itu loh anaknya tante Eka yang kuliah di Australi. Kamu memang gakkan ingat, soalnya dari kecil Mbak Trias tinggal di Yogya sama mbahnya.” “Oh,” Aku tak agresif melanjutkan. Bada maghrib kami hingga di rumah tante Eka. Mama eksklusif masuk rumah sedang saya bergandengan papa menyusul di belakang dengan berjalan santai. “Ini niscaya Nirina! sudah besar, yah?” Suara bening mbak Trias serasa menyejukan hati begitu tangannya yang halus menyalami tanganku. “Nirina sudah kuliah loh! kini semester tiga di UPI!” Mama menyela sebelum saya sempat menjawab. Dengan demikian saya hanya tersenyum saja sambil menarik lengan papa, merasa risi lantaran orang banyak memperhatikanku. Acara itu berlangsung hikmat. Ada rasa iri yang timbul di hati ini, ketika mbak Trias menyampaikan bahwa calon suaminya yaitu lelaki yang dipilihnya berdasarkan bunyi hatinya sendiri. Tak ada paksaan terlebih tekanan dari pihak manapun, demikian pula sebaliknya. “Iyas elok yah sehabis pakai jilbab?” Seru papa ketika kami di perjalanan pulang. “Iah! elok banget yah! padahal sudah tiga tahun di Aussie!” Mama menanggapi sambil berdecak kagum. “Aku juga mau pakai jilbab deh! biar elok kayak mbak Iyas.” Tiba-tiba kata-kata itu meluncur dari bibirku. Membuat suasana dalam kendaraan beroda empat sunyi senyap. “Boleh ya, ma? Aku tak patah arang, ingin tahu betul perilaku mama. “Sebaiknya jangan dulu deh! pakai jilbab itu kan ribet! nanti kau malah susah sendiri.” “Dimana susahnya? tinggal pakai jilbab dan baju tertutup! kini banyak jilbab yang modelnya gak ribet, Ma!” Aku terus merajuk. Memang, impian menggunakan jilbab bergotong-royong sudah lama ingin saya laksanakan Kalau tidak lantaran mama yang selalu menghalang-halangi dengan alasan yang diada-adakan. Perdebatan kami terhenti begitu kendaraan beroda empat terparkir di halaman. Tanpa banyak bicara saya eksklusif mengunci diri di kamar. Kudengar percakapan lirih di ruang tengah antara kedua orangtuaku. “Biar saja si Nirina pakai jilbab, Ma! apa sih susahnya?” “Ah! jangan kini deh! dia masih banyak kebutuhan! aktifitasnya juga padat, dia takkan bebas berekspresi kalau sudah pakai jilbab! nanti malah jadi anak yang aneh!” “Aneh? dimananya ma? Nirina sudah membuktikan bahwa dia sangat mandiri! buktinya selama kuliah dia tak banyak minta ini itu! kemudian apa salahnya giliran dia minta sesuatu yang bergotong-royong tak memberatkan buat kita, kita kabulkan saja?” “Pokoknya enggak dulu deh! nanti saja kalau dia sudah menikah! gres boleh pakai jilbab!” “Berarti mama egois dong! mama takut kalau anak kita gak bertemu jodohnya, yah?” “Kalau dia pakai jilbab siapa yang mau melirik dia coba? papa fikir dong! anak kita sudah tidak melihat! ditutupi pula wajahnya! siapa yang mau sama dia nantinya?” “Jadi, berdasarkan mama, kalau Nirina pakai jilbab dia jauh dari jodohnya, yah? istighfar Ma! jodoh itu sudah ditentukan Allah untuk semua orang yang hidup di dunia ini! termasuk buat Nirina! kalau sudah waktunya dia niscaya menikah, dan tinggal kita yang mengarahkan supaya dia menerima jodoh yang baik, yang mau terima dia apa adanya. Laki-laki yang cuma melihat bukti fisik dari perempuan justru perlu dipertanyakan ketulusannya nanti sama anak kita!” “Bruk!” Terdengar bunyi pintu dibanting. Aku duduk di pinggir ranjang sambil melamun. Fikiranku melayang kemana-mana, ke asrama, ke kampus hingga kosan teh Alin, bergantian memenuhi isi kepala. “”Asalamualaikum! teh! besok pagi saya ke kosan teteh lagi yah? mau ngerjain makalah kajian drama. Bisa teh?” Dengan harap-harap cemas saya menunggu jawaban SMS tersebut. Sayang, hingga kantuk tiba teh Alin tak juga membalas pesanku. Mungkin lantaran kosannya yang sulit menangkap signal atau malah dia sudah tidur. Akhirnya saya tertidur dengan hati yang tak karuan. Beruntung besoknya ketika saya kembali cek inbox ternyata teh Alin sudah membalas dan menyatakan kesediaannya untuk membantuku. Akupun eksklusif berkemas-kemas sambil bersenandung gembira. “Pagi-pagi sudah rapi! mau kemana?” Tanya mama begitu saya tiba di ruang makan. “Mau ke kosan sobat lagi, Ma! masih banyak kiprah makalah yang belum selesai.” Aku menjawab pendek lantaran masih sebal dengan insiden semalam. “Papa antar, yah? hari ini kan papa libur.” Sambung papa yang tengah membaca surat kabar. “Betul, pa?” Aku tersenyum girang, sudah lama saya dan papa jarang pergi berdua lantaran kesibukan papa yang jarang di rumah. Setelah siap, dengan diantar papa saya kembali ke kosan teh Alin. Dalam perjalanan kami mengobrol ringan sambil sesekali diselingi canda. “Hayoh! kemarin papa baca-baca SMS kamu, ada SMS dari cowok yah?” “SMS mana? papa ngarang, yah?” Aku tertawa geli dengan usilnya papa yang memang sudah cukup lama tak kujumpai. “Kamu beneran pingin pakai jilbab, Nir?” Kali ini dia bicara serius meski matanya tetap mengarah ke depan. “Teman-teman di kampus sudah menggunakan jilbab, Pa!” Aku lirih menjawab. Kubayangkan teman-teman se-gengku ibarat Jen, Nesa dan Yan. Meski di awal pertemuan kami semuanya tanpa jilbab, namun perlahan satu persatu mulai megenakannya. Diawali oleh Jen kira-kira empat bulan lalu, disusul Yan dua ahad kemudian dan katanya Nesa sudah berancang-ancang dengan mulai mengoleksi jilbab yangbanyak dijual di sekitar kampus. “Kalau kau mau pakai jilbab itu harus benar-benar niat dari dalam hati, bukan lantaran ikut-ikutan orang lain ibarat teman-temanmu itu Nir! kalau kau niatkan tulus lantaran Allah, niscaya dalam menjalaninya kau akan bahagia.” Kurenungkan lagi perkataan lelaki yang seumur hidup jadi kebangganku itu. Di balik sikapnya yang pendiam, papa ternyata punya fikiran yang jauh lebih bijaksana dibanding mama. Itu barangkali yang selalu menciptakan saya kangen ketika papa jauh dari rumah untuk pekerjaannya. “Insya Allah saya udah mantap, Pa!” “Bagus kalau begitu, papa dukung kau seratus persen.” Tak terasa kami sudah tiba di terminal Ledeng. Aku tidak meminta papa untuk parkir lantaran ingin pergi sendiri menuju kosan teh Alin. “Beneran gak mau papa anterin?” “Ia! saya sanggup kok! jalannya sudah dekat! papa pulang aja!” Aku mengangguk mantap. Ingin meyakinkan padanya kalau semua akan baik-baik saja. Kenapa Nir? kok pendiam banget hari ini?” Teh Alin menyentuh pergelanganku ketika dia tengah mencari rujukan dari buku yang kubawa. “Ah! gak apa-apa teh! cuma lagi pingin diem aja.” Jawabku sekenanya. “Kemarin teteh sudah banyak bercerita sama kamu, kini giliran dong!” Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Ada benarnya juga, mungkin jikalau saya menceritrakan sedikit beban ini kepada teh Alin, dengan begitu saya akan merasa sedikit lega. “Teh, kalau kita berselisih dengan orang renta khususnya ibu kita sendiri, itu salah, yah?” “Tergantung sih apa yang diperselisihkannya.” Jika yang jadi penyebab kita berselisih lantaran kita ingin mengikuti hukum agama, harus bagaimana mengatasinya?” Agak ragu saya mengucapkan kalimat itu. Teh Alin terdiam sesaat, dia asik menyalin goresan pena dari buku ke kertas makalahku. “Pandai-pandailah menjaga perilaku dan ucapan kita, jangan hingga melukai hatinya terlebih membuatnya marah.” “Misalnya?” Jika kita sudah memberikan pendapat, kemudian ia tetap menganggap itu salah, jangan mendebatnya terus! biar semua mencair oleh waktu. Saat kesempatan yang baikdatang, mulailah dengan perilaku dan perkataan yang bijak.” “Oh, berarti saya harus sabar ya dalam menghadapi mama yang kerasnya bagai watu karang laut?” Mendengar perkataanku teh Alin tersenyum. Kami kemudian terlibat dalam percakapan dimana saya mulai berceritra ihwal masalahku dengan mama. “Teruslah bersikap baik pada mamamu! pelan-pelan berikanlah ia pengertian dengan bahasa yang santun, serta tunjukan padanya bahwa niat kau itu mulia, yakni ingin lebih dekat kepada Allah dengan jalan menaati perintahNya.” Ada perasaan haru yang tersirat dari nasihatnya kali itu. Membuat saya merasa lebih tentram dan tegar untuk menghadapi masalahku sendiri. Sepulangnya dari kosan teh Alin, saya tak lantas menuju rumah, melainkan menaiki angkot ke asrama. Ya, sudah sekian lama saya tak berkunjung pada teman-teman baikku di kawasan itu. Tempat pertama yang menciptakan senyum ini kembali merekah, kawasan pertama yang menciptakan jiwa ini kembali menemukan cahayanya. Sebuah kawasan yang takkan pernah hilang dari memori meski telah berada di alam lain sekalipun. Inilah bangunan yang kusebut dengan Asrama. Berdiri megah di sentra kota dengan ratusan disabilitas netra di dalamnya. Di kawasan inilah orang-orang dengan belatar belakang kepedihan tinggal. Orang-orang yang dipaksa meneguk pahitnya kenyataan bahwa mentari enggan untuk sekedar disapa. Terbayang kembali ceritra empat tahunlalu. Saat itu saya cukup umur putri, siswa sebuah SMU ternama di kotaku. Hari itu yaitu praktik pelajaran kimia di laboraturium. Aku menjerit keras seiring cairan berbahaya itu menyemprot dari dalam tabung. Hingga esok harinya ketika terjaga di sebuah rumahsakit, saya menemukan mama dan papa menangis histeris begitu perban mataku dibuka. Trauma dan putusasa itulah yang membawaku tiba ke kota parahiangan ini. Berpindah dari kota kawasan segalanya bermula dan segalanya pula berakhir. Hingga hari itu matahari kembali memberikan cahayanya. Melewati kehidupan para penghuni asrama yang luar biasa. Mampu membangkitkan syaraf kehidupan yang kuanggap telah mati, mengembalikan rona memerah pada wajah yang sekian lama membeku. Sampai jadinya saya berhasil bangkit, berjalan tegap di atas muka bumi sambil menanamkan rasa oktimis bahwa suatu waktu dunia akan tersenyum padaku. “Asalamualaikum!” Ucapku di pintu asrama putri, sontak disambut teman-teman dengan girangnya. “Kemana saja Nir? mentang-mentang sudah jadi mahasiswa, lupa sama kita.” Temanku itu namanya Tri. Dia sebaya denganku dan ketika ini sudah kuliah di sebuah universitas suasta. “Ia nih Tri! ternyata sudah kuliah bukannya makin santai, malah makin gak ada waktu buat main.” Aku tertawa sambil membaringkan tubuh di ranjang Tri. Saat itu dia tengah asik mengiris mangga muda untuk dibentuk rujak. “Kalau ingin simpel mengerjakan tugas, kenapa gak ikut pembinaan komputer bicara?” “Apa Tri? ada komputer bicara? benarkah itu?” Aku hampir melompat saking kagetnya. Sementara yang ditanya tetap hening dengan pisau di tangan. “Benar, mulai Minggu depan, setiap hari Senin hingga Kamis akan diadakan pembinaan komputer untuk para disabilitas netra. Instrupturnya eksklusif didatangkan dari Jakarta.” “Sudah penuh belum pendaftarannya? ayo Tri! antar saya mendaftar sekarang!” Aku tak sabar. Kutarik tangan cewek sintal itu untuk berdiri. “Sabar Nir! gak perlu khawatir! masih ada kawasan buat kamu! Senin besok tiba jam empat sore, bisa?” “Memang gak harus daftar dulu Tri?” “Jelas harus, tapi lantaran saya koordinator pendaftarannya, jadi nama kau sudah otomatis masuk!” Aku eksklusif memeluk tubuhnya sambil berterimakasih. Bukan main hebatnya informasi ini. Komputer bicara? yayaya, saya tahu sekarang, bagaimana masa-masa sulit ini segera berlalu. Ingin segera kuceritakan hal ini pada papa. Tentu dia akan sangat senang mendengarnya. Waw!berita andal tuh! kapan dimulai?” Benar saja, papa tampak antosias begitu saya memberi kabar itu sewaktu kami dalam perjalanan pulang. Tadi sore papa menjemputku ke asrama. Berbeda dengan mama yang selalu tak resfek, papa malah terlihat senang kalau saya berkunjung ke kawasan itu. Senin besok, pa! sepulangnya dari kampus saya eksklusif ke sana, yah?” “Ok deh! berarti kau akan pulang malam, yah? biar tar papa atur waktunya supaya sanggup jemput kamu.” “Kalau gak sanggup juga gak usah dipaksakan, pa! saya sanggup kok pulang sendiri, kan banyak angkot?” “Tapi kalau pulangnya malam sih kurang baik juga Nir! atau kalau enggak biar nanti papa bilang mama untuk jemput kamu, yah?” Aku hanya mengangguk. Dalam hati merasa tak yakin kalau mama akan setuju, mengingat pembinaan ini diadakan di asrama.


“Apa? tiap sore pulang kuliah kau di asrama? gak perlu, lah!” Tuh, kan? benar dugaanku kalau mama niscaya berbeda persepsi dengan papa. “Ini kan buat kemajuan Nirina, ma! kasihan dia! selama ini selalu dibentuk pusing dengan kiprah kuliahnya lantaran harus mencari orang yang sukarela mau membantu membacakan dan menyalin ke karakter biasa!” Papa gigih membela. Sementara saya sudah mulai meneteskan air mata. Betapa sulitnya menyatukan hati dengan perempuan yang bergotong-royong satu aliran darah denganku. Wanita yang seharusnya mempunyai ikatan batin untuk sanggup mencicipi satu dengan yang lain. “Kenapa tidak kita panggil saja instrupturnya untuk mengajari Nirina secara privat, jadi dia gak usah ikut di asrama!” “Memangnya kenapa sih, ma? kenapa mama selalu larang Nirina tiba ke asrama? di sana Nirina banyak menerima hal yang positif, dibanding membisu di rumah cuma ditemani si Culun!” Aku mulai berang. Siculun yang namanya kesebut tiba-tiba mengeong di bawah kakiku. “Sejak kapan kau sanggup melawan orang tua,sih? ini gara-gara kau bergaul dengan bawah umur yang gak terdidik! jadinya mulai ngelunjak!” Aku hanya sanggup terpaku begitu mama meninggalkan ruang tengah dan kembali membanting pintu kamarnya. Merasa tak tahan dengan situasi sulit ini, akupun jatuh terduduk di sofa sambil menitikan air mata. “Sabar Nir! jangan berkecil hati! semua niscaya ada jalannya.” Papa menenangkanku seraya mengusap lembut kepalaku. Pagi itu matahari mulai memasuki daun jendela kamar yang kubiarkan terbuka. Sementara saya masih bermalas-malasan di balik selimut. Si Culun sedari tadi mengeong-ngeong minta ditemani main, saya mengusirnya dengan melemparkan sebuah boneka, menciptakan dia berlari terbirit-birit. “Hari ini libur, yah?” Tiba-tiba papa sudah duduk di tepi ranjang. Dari tubuhnya tercium busuk parfum segar yang eksklusif memenuhi kamar. “Ia, pa, hari ini ada program untuk para dosen satu fakultas.” “Kalau begitu kau istirahat saja! papa perhatikan seminggu ini kau fool banget dengan kiprah kuliah. Nanti sore papa anter kau ke asrama.” Aku eksklusif mengambil posisi duduk, merapatkan tubuhku ke pundak papa. “Bener ya, pa? tapi mama gimana?” Aku mulai panik namun dalam hati sangat senang dengan perhatian papa yang begitu besar padaku. “Kita lihat saja nanti! kalau dia masih berani melarang kebaikan kamu, biar itu jadi cuilan papa. Ok?” Lalu papa keluar dari kamarku dan tak lama kemudian terdengar bunyi mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Sepeninggalnya papa saya kembali melanjutkan tidur, namun gres saja menutup mata, bunyi mama sudah terdengar nyaring dari arah ruang tengah. “Nir! gak baik anak gadis tidur pagi-pagi! nanti jauh dari rezeki!” Aku tetap diam, akal-akalan tak mendengar saja. Sementara bunyi langkah mama sudah sangat dekat dengan pintu. “Ayo bangun! kita sudah lama gak ke salon, kan? lihat rambut kamu! sudah ketinggalan zaman!” Ucapnya sambil menarik selimut yang membungkus tubuhku. “Memangnya kalau model rambut sudah ketinggalan zaman itu jelek, yah?” Aku malah membantah sambil tetap menyembunyikan muka di bawah bantal. “Sudah, lah! jangan memancing kemarahan mama lagi! atau kau mau mama setres lantaran punya anak yang durhaka, yah?” “Ya Allah! jangan bicara begitu, Ma? please!” Dengan tak lagi banyak berfikir saya eksklusif berlari menuju kamar mandi. Sambil mengguyurkan air ke tubuhku air mataku pun turut membanjiri wajah, bersatu dengan air menenggelamkan kepedihan hati sebagai seorang anak yang lemah. “Nah! begitu kan lebih baik!” Sambut mama begitu saya keluar dari kamar. Sepanjang jalan mama sibuk berbicara mengomentari banyak hal yang bergotong-royong tidak saya suka. Aku berpura-pura mendengar sambil bercanda dengan si Culun yang duduk meringkuk di pangkuanku. Hari itu saya menemani mama berkeliling dari kawasan satu ke kawasan lain, mulai dari salon, sualayan hingga butik langganannya. Alhamdulillah, meskipun sifat mama sering membuatku tertekan, namun satu yang tidak banyak dimiliki oleh orang renta dengan anak berkebutuhan khusus lainnya, yaitu seringnya mama membawa saya berada di keramaian orang. Dia hobi sekali memamerkan diriku yang telah bangun dari keterpurukan ini kepada siapapun, mau itu teman-teman arisannya, teman-teman tenis atau para kolega bisnis butiknya. Wanita yang harus merelakan pengangkatan rahim pasca memperjuangkan kelahiranku itu tak pernah aib mempunyai anak dengan kondisi mata tak biasa sepertiku. Aku malah sering mendengar dia membangga-banggakanku kepada siapa saja yang berpapasan dengan kami di kawasan umum. Seperti siang itu ketika kami makan di sebuah cafetaria. Kebetulan sedang diadakan Live music dari sebuah kelompok ben anak muda. Mama sengaja betul mengambarkan pada beberapa temannya dengan menarik tanganku ke panggung dan menyuruhku menyanyikan sebuah lagu. Akhirnya dengan terpaksa akupun berdasarkan dengan menyanyikan lagu paforit mama yang juga disukai teman-temannya. “Suara Nirina bagus, yah? nanti kalau arisan di rumah saya Nirina dibawa ya, Jeng!” “Nirina saya buatin baju ya, Jeng! kebetulan saya ada rancangan gres untuk anak gadis.” Dan banyak lagi komentar mereka, menciptakan wajahku merah menahan malu. Tak terasa waktu sudah mengambarkan pukul tiga sore. Aku mulai gelisah mengingat jadwal pembinaan komputer itu tinggal satu jam lagi. Seperti yang tahu isi hatiku, tiba-tiba mama mengajakku pergi dengan berpamitan pada teman-temannya. “Saya duluan ya ibu-ibu! mau antar Nirina les komputer.” “Les komputer? emang ada komputer buat Nirina, yah?” Sontak para ibu centil itu bertanya ibarat dikomando. “Oh! terperinci ada! kini teknologi sudah canggih, makanya saya juga mau sekalian lihat ibarat apa sih cara pakainya?” “Dek!” Tiba-tiba saya terkejut mendengar perkataan mama. Benarkah yang mama bilang barusan? apa hanya berpura-pura lantaran di depan teman-temannya? Dalam perjalanan kami saling diam. Aku sibuk menerka ucapan mama sebelum meninggalkan cafe tadi. “Nir! ayo! sudah hingga nih!” Mama menepuk pundakku begitu mobilnya berhenti. “Sudah hingga rumah, ma? kok cepet banget?” Dadaku berdebar-debar, lantaran merasa bahwa kendaraan beroda empat ini tidak parkir di halaman rumah melainkan di kawasan yang sudah saya angan-angankan semenjak kemarin. “Ya terperinci cepat sampainya, jarak dari Taman Sari ke Pajajaran cuma sepuluh menit!” “Alhamdulillah! ternyata mama tak sekejam yang saya kira.” Tutur hatiku yang disambung senyuman bahagia. “Kamu eksklusif ke asrama saja Nir! tar mama nyusul! mau Shalat Asyar dulu di musola.” “Ia, ma!” Kemudian saya berjalan menuju asrama, eksklusif ke kamar Tri yang sudah menunggu.


*BERSAMBUNG*



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Bias Danau Cinta (Part I)"