Mendaki Gunung Versi Tunanetra
Mungkin ada kata “Impossible” bagi para tunanetra untuk melaksanakan hal luar biasa yakni pendakian ke puncak gunung.
Tak terkecuali aku, seorang tunanetra asal Bandung yang menduga pendakian gunung itu hanya ada dalam mimpi.
Sewaktu kecil saya memang tinggal di sebuah desa dengan tekstur perbukitan yang tidak mengecewakan curam, sehingga naik turun bukit bukan hal yang ajaib bagiku.
Rumah nenek di desa atas kudatangi setiap hari, dan keadaan itu justru menambah daya tahan tubuhku yang sering tergelincir jatuh.
Namun diusia remaja ini, ketika desa sudah jauh kutinggalkan, saya merasa ragu ketika memikirkan kembali keikut sertaanku dalam sebuah program pendakian dari Jakarta itu.
Awal Seftember lalu, tak sengaja kutemukan sebuah Pens Pej bertemakan “PENDAKIAN BERSAMA TUNANETRA DAN PERINGATAN SUMPAH PEMUDA KE-85 DI GUNUNG PAPANDAYAN GARUT”.
Selain keingintahuanku pada sebuah gunung, nama Garut yang merupakan tanah kelahiranku menyebabkan profil acara itu mempunyai daya tarik tersendiri.
Segera saya SMS salahsatu nomor kontak yang tertera dalam Pens Pej itu. Namanya Mbak Tarini.
Suaranya yang ramah menciptakan saya nyaman mengajukan banyak pertanyaan, termasuk meminta tangguhan dalam membayar administrasi. Hehe.
Singkat cerita, Jumat, 1 November 2013, hari yang ditetapkan itupun tiba.
Perasaan senang, takut, khawatir dan semangat bercampur jadi satu.
Pukul setengah empat sore, begitu tiba dari kantor, di kamar kos sudah ada beberapa barang derma dari teman-teman super baik hati, guna melancarkan petualangan baruku.
Sleeping bag, matras, jaket tebal , sepatu kets hingga masakan yang dipesankan oleh mbak Tarini bertumpuk di daerah tidur.
Sementara teman-teman baik itu sudah tak terlihat lagi punggungnya. Mereka hanya mengirimkan satu pesan singkat mengharukan di handphonku.
“Happy hiking Dear! jgn lp oleh-olehnya”!
Aku mulai packing barang sambil Sesekali turut menyanyikan lagu , seolah pendakian sudah dimulai.
Bayangan betapa riang gembira mendaki gunung sudah berputar hebat di kepalaku.
“Mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama sahabat bertualang! ….. …… ….. ”
Setelah semua siap, saya segera menelepon saudaraku yang berjanji menjemput sepulangnya dari daerah kerja, dan tidak usang menunggu, Vario bututnya terdengar meraung-raung di parkiran kosan.
“Ayo bantu bawa barang bawaan dong”! Aku meneriakinya dari balkon, dan sambil mengerutu dia naik ke kamar kemudian mengangkat semua barang ke motornya.
“Dijemput jam berapa Nens”? Tanya iparku begitu saya hingga di rumah mereka yang tak jauh dari pintu tol Cileunyi.
“Katanya sih, berangkat dari Monas jam delapan. Mungkin hingga di sini jam duabelasan”.
Setelah makan malam, saya menunggu kabar dari mbak Tarini dengan memaksakan tidur, itupun lantaran kakakku yang memaksa, takut masuk angin katanya.
Dengan susah payah saya mencoba untuk memejamkan mata, dan karenanya pergi juga ke puncak gunung, meski gres dalam impian.
Jam setengah satu saya terbangun lantaran mendengar Handphon berdering. Mbak Tarini gres mengabarkan kalau masih di tengah tol. mungkin satu atau dua jam lagi gres sampai.
“Tidur lagi aja lah! toh niscaya masih lama”! perintah Kakakku lagi sambil menyalakan TV.
Sejak itu mataku malah jadi tidak mengantuk. Mimpi naik gunung yang hampir muncak saja sudah memuai entah kemana. Mungkin ikut mengering bersama iler di bantal tadi. hehe.
Sambil menunggu kabar selanjutnya saya mengobrol dengan kakakku yang matanya tak lepas dari siaran sepak bola.
Jam 02.45 menit kabar bahwa mereka sudah keluar tol hingga juga.
Bergegas kami keluar dari rumah dan eksklusif disambut dinginnya angin subuh yang menciptakan tubuh menggigil.
“Coba kau tanyakan lagi possisinya dimana”? Kakakku berteriak dari balik kemudi motornya.
“Katanya mereka tunggu di pom bensin”! saya menjawab dengan berteriak pula.
Sebenarnya kabar menunggu di pom itu sedikit menyulitkan kami lantaran jaraknya sudah cukup jauh dari rumah.
Wal hasil kami harus balik lagi untuk mengambil helm lantaran akan melewati perempatan lampu merah.
***
Dalam kendaraan yang penuh sesak itu saya termangu. Jujur galau mesti melaksanakan apa selain cuma duduk terdiam di bangku.
Teman-teman tunanetra dari Jakarta pun tak ada yang saya kenal. Akhirnya saya menentukan duduk anggun saja sambil sesekali tersenyum menanggapi candaan mereka
yang mendadak gaduh begitu tahu ada saya di sana.
“Mungkin mereka fikir saya ini kolam bintang Bollywoodd yang selalu jadi pusat perhatian yah? Asyeeeeek”!
Pukul Setengah enam kami hingga di parkiran, dan katanya perjalanan akan dilanjutkan dengan naik kendaraan beroda empat Pikap.
Semua turun dari kendaraan beroda empat untuk shalat subuh dan ke toilet. Aku yang memang sudah shalat di kendaraan beroda empat lagi-lagi galau lantaran tidak ada yang mengajak bicara.
Akhirnya saya melongo sendirian di dalam kendaraan beroda empat menyesali nasib sebagai anak tersisihkan.
Sewaktu rasa sebel itu menjalar di hatiku, seorang CW berjilbab cerah menghampiriku dan mengajak turun dari mobil.
“Akhirnya, ada juga orang yang berbaik hati mengajakku kenalan”. Itu dalam fikiranku.
Setelah di luar ternyata para relawan dan teman-teman tunanetra sudah mengobrol asyik sambil menikmati sejuknya kota garut.
“Di sini sejuk yah”? Kata seorang mbak kepada temannya. “Ya ia lah! kotaku tercinta guitoh”! Dalam hatiku bangga.
Sejak itu saya mulai mengenal beberapa relawan dan teman-teman tunanetra lainnya.
Ternyata rasa sebel itu cuma mampir beberapa menit saja terganti dengan kehangatan dan keceriaan.
Apa lagi sehabis Pikap kami datang, saya tambah bahagia lantaran maniki kendaraan beroda empat Pikap ialah momen yang langka.
“Ya ia lah, emang saya anak kambing atau sayuran gitu? mesti naik Pikap setiap hari”?
“Nensi di sini! hati-hati naiknya”! Itu bunyi mbak Tarini. Orang pertama yang saya kenal dalam program heboh ini.
Dalam Pikap saya dan para relawan duduk berjubel. Berbagai macam lisan mereka ketika jalanan yang dilalui ternyata terjal dan berkelok, tapi keseluruhannya
happy, ceria dan penuh rasa persaudaraan.
Sepanjang jalan kami tak henti tertawa dan bercanda, ada-ada saja yang jadi materi kehebohannya.
mulai dari Pikap yang berjalan menyerupai terbang, menciptakan tubuh kami terpingkal-pingkal, ditambah para perjaka mesti rela turun berjalan kaki alasannya ialah Pikapnya mogok tak mau naik ke jalanan yang menanjak curam, bahkan mereka harus mendorongnya supaya tetap mau meneruskan perjalanan.
Dalam Pikap itu ada beberapa nama yang mulai bersahabat di telingaku. Kak Ayun, Kak Bayu, Mbak Indah, mbak Tarini, Mbak Sofi, dan Sahrul temanku sesama pendaki tunanetra.
Saat sarapan di pos awal pendakian, Teman-teman gres bertambah lagi. Mereka banyak yang menyapaku dan memperlihatkan bantuan.
Mbak Nurul dan Kak Dedi relawan selanjutnya yang saya ketahui namanya. Sedangkan Satrio ialah sahabat lamaku yang sudah kukenal di kalangan tunanetra Jakarta.
Ketemu Satrio menciptakan saya menjadi lebih semangat lantaran kami memang sudah sering bersama pada beberapa acara ketunanetraan.
Pukul Delapan pagi itu mata hari bersinar dengan cerahnya.
Kami berbaris guna mendengarkan sambutan penting yang akan disampaikan oleh ketua rombongan Mas Ajis.
Saat berbaris kami diabsen berdasarkan kelompoknya masing-masing. Nah loh! lagi-lagi saya galau lantaran belum tahu masuk kelompok yang mana.
“Nensi dimana”? Kata Satrio yang berdiri di belakangku.
“Ini kelompok berapa”? Aku balik tanya.
“Ini kelompok 2”. Jawabnya lagi.
“Aku di sini saja deh”!
Aku seenaknya saja menentukan kelompok sendiri, padahal seharusnya saya ada di kelompok 3 yang gres diketahui sehabis hingga di atas.
Mas Ajis serius sekali mengatakan petunjuk mengenai teknis kami naik gunung.
“Kali ini pendakian kita agak berbeda kawan-kawan! alasannya ialah ada sahabat-sahabat tunanetra yang meski kita bantu supaya mereka nyaman dalam perjalanan”.
Intinya, Kang Ajis memberi cara yang efektif supaya pendakian ini membawa keamanan dan kenyamanan bagi semua pihak baik yang tunanetra maupun yang non tunanetra.
Setiap pendaki tunanetra akan dibimbing satu hingga dua orang relawan. Relawan yang tidak membimbing tunanetra diberi kiprah membawa peralatan Camp.
Jumlah relawan yang lebih banyak itu melaksanakan tugasnya dengan penuh keikhlasan.
mereka yang membimbing tunanetra, yang membawa peralatan dan yang jeprat-jepret mengabadikan gambar, tak perlu diragukan lagi ketulusan dan jiwa persaudaraannya.
Semuanya melaksanakan kiprah dengan hati yang lapang.
Dalam kelompok 2 ini terdapat aku, Satrio dan Sahrul sebagai pendaki tunanetra.
Kulihat mereka sudah menerima pembimbing untuk mendaki. Sedang saya masih celingak celinguk di belakang. Bingung lantaran untuk meminta seorang relawan di dekatku saja sangat sungkan.
Pergaulan dengan orang non disabilitas semenjak SMU pun tidak sanggup mengubah perilaku Apatisku untuk meminta derma lebih dulu selain dari sangat terpaksa.
“Biarin deh! masa ia sih gak ada yang mau sama aku”? Fikirku sambil tetap kalem ikut berfoto.
“Ya Allah! tolong berikan saya seorang relawan untuk melaksanakan pendakian ini! tentu relawan atau relawati yang baik dan sabar lantaran saya ini populer dengan tunet yang usil dan nakal. ckckckck”.
Itu doaku dalam hati.
Dan benar saja, Allah eksklusif menjawabnya dengan memberi seorang relawan yang baik, kalem dan cukup keibuan berjulukan mbak Didah.
Badannya yang jangkung serta ranselnya yang super jumbo itu cukup meyakinkanku untuk jadi sahabat pendakian yang menyenangkan.
Bersama mbak Didah kami bergandengan memulai pendakian.
Bukan main kagetnya saya ketika menanjak di areal jalan sempit, berbatu bahkan katanya sangat curam.
Itu sanggup kurasakan ketika begitu lambannya mbak Didah memilihkan jalanan yang sekiranya baik untukku.
Selain itu dia juga harus menjelaskan situasi maupun pemandangan dari apa yang dia tangkap dengan matanya.
Awal pendakian tidak mengecewakan menciptakan saraf ketakutanku bereaksi. Beruntung mbak Didah dan relawan lain yang juga membawa pendaki tunet ialah orang-orang hebat dan tangguh.
Mereka amat sabar membimbing kami berjalan dan memberi keterangan sedetail-detailnya,
tentang kedalaman jurang di kanan, wacana terjalnya tebing di kiri, wacana nama akar dan pohon yang kami temui, wacana bentuk bebatuan yang berbeda dari biasa, wacana warna asap kawah, wacana indahnya langit, pada dasarnya dari bibir mereka mengalir wacana Maha Hebatnya Sang penguasa semesta ini.
“Senang-senang cemas”, begitulah perasaan yang ada pada kami pendaki tunanetra ketika bertemu situasi jalanan gunung yang amat tidak bersahabat itu.
Hal yang lucu ialah ketika menyaksikan rombongan pendakian kami seolah serombongan turis ajaib yang khusuk mendengarkan pemaparan dari para Guide wisata.
:))
Mbak Didah ialah relawan sekaligus sahabat perjalanan yang menyenangkan, dia terlihat agak gugup lantaran takut melaksanakan kesalahan yang sekiranya sanggup membuatku celaka.
Kecemasannya sanggup kurasakan pada beberapa kesempatan dimana kakiku hampir saja terpeleset.
Aku mencoba mempersantai suasana dengan mengobrol banyak hal dengan mahir terapis bicara itu.
Obrolan ringan seputar perkuliahan, kehidupan sehari-hari hingga pada duduk perkara perasaan. hehe. “Souswiiiit”!
Kadang pembicaraan kami sering terputus oleh rintangan yang sulit di sepanjang perjalanan.
Ada banyak kerikil besar melintang di tengah jalan, menciptakan kami harus berjuang supaya sanggup melewatinya.
Selain kerikil ada juga akar pohon yang menonjol di tengah jalan, dan lagi-lagi kami mengonsentrasikan diri supaya sanggup selamat.
Sebenarnya dengan penglihatan yang dia miliki, mbak Didah sanggup lebih leluasa menghindari ranjau-ranjau itu.
Dia bahkan sangat gampang melompati batu, melangkahi akar, menanjak tinggi-tinggi tiap undakan curam atau apa saja lah supaya perjalanan lebih cepat.
Tapiiiii! subhanallah, dia tahu sedang bersama siapa petualangan ini dilakukkan.
Bersama seorang gadis yang cahayanya padam justru semenjak di dalam gendongan.
Rasa kebersamaan itu amat terasa ketika kami saling membantu melewati tiap-tiap kesulitan.
Sesekali saya harus merayap perlahan untuk melewati kerikil dan undakan, atau menahan tubuh sekuat tenaga pada akar yang merambat ketika jalan begitu licin dengan jurang menganga di kanan kiri.
Mbak Didah selalu berjalan di depan lantaran memang begitulah seharusnya. Meski sesekali kami akan bergandengan kalau bertemu jalanan agak lebar, tetapi jalanan sempit yang secara umum dikuasai menciptakan saya lebih banyak memegang ranselnya dari belakang.
Teman perjalanan selain mbak Didah ialah Hasna. Gadis itu yang membawaku turun dari kendaraan beroda empat di pagi hari sebelum naik Pikap.
Hasna kebagian membawa kamera milik mbak Didah.
Tentu saja koleksi foto kami berbagai lantaran ada petugas khusus mengabadikan narsis. :d
Asyiknya perjalanan itu bahkan melupakan niatku untuk menyanyikan lagu yang sudah kurencanakan,
terganti dengan serunya mendengarkan banyak hal dari Mbak Didah dengan pengalamannya selama menjadi pendaki ke beberapa gunung Nasional.
Sesuai kata pepatah: “Man jadda wajada”. Karena kami bersungguh-sungguh maka sampailah kami ke daerah tujuan. Yakni sebuah daerah camp yang berjulukan pondok Saladah.
“Kita berada di ketinggian 1800 kaki”! Begitu kata Mas Ajis ketika kami duduk-duduk beristirahat.
Aku masih merasa tak percaya, perjalanan hamper 4 jam dari bawah tadi ternyata menemui akhir.
Memang belum hingga ke puncak, tapi saya merasa cukup puas lantaran yang paling penting ialah saya dan teman-teman tunanetra sanggup mengetahui dengan nyata
bagaimana wujud gunung dalam versi kami sendiri.
Gunung yang katanya terlampau indah dilukiskan itu, dengan hamparan bunga Edelweis yang keindahannya infinit dalam setiap pandang, serta Sunset –Sunrise yang “Subhanallah banget”,
Kami tak tahu itu, dan biar cukup rekan-rekan relawan saja yang menikmatinya.
Kami justru punya keunikan tersendiri dalam menikmati persahabatan dengan “gunung”.
Biar angin yang berhembus menyapa ubun-ubun kami berceritra, wacana bagaimana sebuah gunung sanggup menjadi saksi betapa intimnya hubungan insan dengan penciptanya.
Biarlah keheningan yang abadi, berceritra bagaimana sosok keras kepala seorang hamba luluh dalam ratifikasi betapa Dasyat Maha karya Robnya, dan siapapun yang meninggalkannya nanti, harapan dari daerah ini ialah adanya perubahan pada tiap-tiap jiwa untuk lebih mengenal siapa dirinya yang sebenarnya.
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, supaya mereka menerima petunjuk.”
(Al-anbiya 31).
Sumber gamepelajar.xyz
Posting Komentar untuk "Mendaki Gunung Versi Tunanetra"