Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Looking Through The Eyes Of Love

Geesha Nadhira berkali-kali melirik arloji ungu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menyampaikan pukul tiga lebih lima belas menit, yang artinya ‘orang itu’ telah melewatkan waktu selama lima belas menit untuk membiarkan dirinya menunggu di kawasan ini.


Menghela napas, gadis yang begitu cantic dalam balutan dress selutut bermotif floral serta jaket kulit gelap yang ditekuk sampai siku itu kembali melempar pandangan keluar jendela. Sudut matanya menangkap objek yang digemarinya semenjak dulu. Embun. Hujan sudah mereda, menyisakan titik-titik air yang melekat pada kaca-kaca jendela. Pasti di luar cuek sekali, pikirnya. Untungnya temperatur di ruangan itu cukup hangat untuk menciptakan dirinya merasa nyaman.


 


Selang beberapa saat, matanya menatap kea rah pintu Heritage Café yang berayun terbuka, menampilkan sosok lelaki bertubuh tinggi di dalam balutan jas hitam yang Nampak begitu pas, melangkah masuk. Sepasang iris cokelat gelap milik seseorang itu Nampak mencari-cari. Gee tersenyum. Akhirnya, kerinduan itu bukanlah sekedar kata, paling tidak untuk dirinya sendiri.


 


Sorot senang berpadu dengan rindu terpancar dari sepasang iris cokelat sewarna kayu mahoni itu begitu menangkap sosok gadis berambut hitam kbergelombang menjuntai ke pundak yang duduk di sudut kafe, menyalurkan rasa hangat pada yang menanti. Ge menyaksikannya, dia sanggup merasakannya. Sungguh jelas. Namun, apakah itu nyata, ataukah sekedar sekilas keinginan dalam batas khayalnya?


 


Sebentuk wajah itu, pucat, yang telah sangat dirindukannya.


 


“Hi,” Sebuah senyum hangat terpatri di bibir lelaki yang sekarang telah berdiri di hadapannya itu. “Sudah berapa bulan ya saya tidak melihatmu? Bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu, Gee.”


Gee balas tersenyum, “Aku baik.” Ia mengisyaratkan tamu istimewanya itu untuk duduk. “Kau tahu, saya juga.”


Drian tertawa renyah, “Aku sangat senang bisa menemuimu, sudah sangat lama.”


 


Meski ratusan bahkan ribuan kata rindu selalu diucapkan, Gee tak bisa mengelak ketika hatinya terus mempertanyakan hal yang sama: apakah dia bisa mempertahankan semua itu?


 


“Omong-omong, bagaimana kuliahmu? Apa semuanya baik-baik saja?” Drian membuka obrolan. Ia memandang Gee begitu lekat, seolah bermaksud untuk memenjarakan sosok itu di dalam pandangannya.


“Kuliahku baik.” Jawab Gee dengan tetap mempertahankan raut antusias dari wajahnya. Meski ada ragu yang mengusik, dia tetap tidak bisa untuk menghalang rindunya pada sosok itu. “Pembimbingku menyampaikan bahwa tesisku diterima, dan bisa mengikuti sidang awal tahun depan.”


“Benarkah?” Gee sanggup melihat pandangan lelaki itu berbinar. Senyum lebar melebihi sebelumnya terpeta pada sebentuk wajah rupawan milik lelaki tamat dua puluhan itu, menciptakan Gee menarik kedua sudut bibirnya naik, tersenyum. “Aku sangat senang mendengarnya. Selamat, semoga kamu berhasil.”


 


Ketulusan begitu konkret terasa di setiap kata yang diucapkan oleh lelaki itu, menciptakan Gee tak bisa berhenti untuk tersenyum. Perhatian-perhatian kecil semacam itulah yang belakangan membuatnya amat ragu. Ketika dia mengambil langkah pertama ke dalam jalur ini yang dia rasakan yaitu keyakinan akan ketidakberhasilan hubungannya dengan Drian. Percikan ketakutan juga menghiasi, poin yang semakin menampilkan wujudnya bersama tarian waktu. Gadis itu juga menyadari sepenuhnya, bahwa dia hanya bermain sejenak, membebaskan dirinya dari sergapan kesendirian tiga tahun. Tapi, Tuhan menyampaikan eksekusi baginya. Seperti senjata makan tuan, gadis itu jatuh semakin dalam. Sosok yang tepat dengan sepasang mata sewarna mahoni itu tak bisa musnah dari ingatannya.


Perlahan tapi niscaya Gee membiarkan dirinya terbuai dalam dekapan cinta. Pribadi Drian Devano benar-benar melengkapinya menyerupai potongan puzzle terakhir yang selama


ini dia cari.


 


Hingga dia terlambat untuk menyadari, ada sesuatu hal yang menjadi alasan utama lelaki itu berada di sini. Hanya sekedar rindu? Sayangnya bukan hanya itu.


 


Sebuah genggaman hangat di jemari berhasil menarik Gee kembali dari lamunan. “Apa yang sedang kamu pikirkan? Kau terlihat murung, tidak menyerupai biasanya.”


Gadis itu sedikit tersentak ketika Drian mengeratkan genggamannya pada jemarinya, seakan berusaha mngumpulkan keberanian. “Aku ingin minta maaf.”


Kata-kata itu seolah mengirimkan sinyal bahaya. Ada hal yang salah, ada hal yang tidak diinginkan akan terjadi malam ini. Setidaknya itu yang dikatakan oleh intuisi Gee.


“Minta maaf?” Gee mengulangi potongan kalimat yang terucap, seakan ingin menegaskan. “Untuk apa?”


“Aku tahu,” Lelaki yang tengah mengenakan jas bergaya formal itu berdehem, berusaha terdengar tenang. “Maksudku, saya tahu kita sudah melewatkan begitu banyak hal.”


“Aku tahu. Tentu saja. Apa maksudmu?” Gee berusaha memutar otaknya untuk mencari benang pembicaraan ini. Namun sayang, dia gagal. Yang dia dapatkan hanyalah intuisi menerangkan tidak baik.


“Aku ingin mengakhiri semuanya.” Ucapan Drian seakan menjadi petir di siang bolong, menyambar badan Gee sampai dia tak berdaya.


“Ap-apa?”


 


Bukankah selama ini mereka bahagia? Bukankah selama ini hanya ada kata cinta dan canda tawa? Bukankah selama ini tidak ada problem yang berarti? Bukankah selama ini, bahkan jarak usia pun tidak memnpengaruhi? Delapan tahun bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk meluapkan cinta satu sama lain. Justru sebaliknya, dirasa perbedaan usia itu menciptakan mereka saling melengkapi. Namun mengapa?


 


Gee terus berpikir. Tak terasa setetes air mata jatuh, membasahi pipi. Namun yang ada hanyalah sesak yang terus membungkah.


 


“Drian,” Gee mencoba untuk kembali mengeluarkan suara, bergetar. “Apa ada sesuatu? Maksudku, apakah ada yang salah dengan kekerabatan kita?”


Drian menggeleng cepat, “Tidak. Tidak sama sekali. Aku mencintaimu, dan akan selalu begitu.”


Jawaban lelaki itu membuatnya mengangkat alis tak mengerti, “Lalu apa alasannya?”


“Karena…. Aku sakit.”


Gee membulatkan matanya, “Sakit? Sakit apa? Ka-kau tidak pernah bilang.”


“Besok saya harus terbang ke Jerman untuk melaksanakan operasi pencangkokan jantung.”


 


Tubuh gadis itu melemas seketika. Tidak, ini tidak mungkin. Sosok yang sekarang ada di hadapannya, lelaki yang dicintainya menderita sakit jantung? Tidak, mengapa Drian tidak pernah menyampaikan mengenai hal ini sebelumnya?


 


“Kau bohong.” Hanya satu kalimat itu yang terlontar, Gee terlalu sulit untuk memikirkan kata-kata lain.


Drian tidak menjawab, hanya sepasang mata cokelat sewarna mahoninya yang sayu menatap ke dalam mata Gee, seolah hendak meyakinkan gadis itu perihal apa yang gres saja didengarnya.


“Kita sudah gotong royong semenjak satu setengah tahun yang lalu. Kau tidak pernah menyampaikan apapun perihal ini, Dri. Kenapa? Aku perlu tahu. Aku khawatir.” Isak tangis Gee semakin terperinci di indera pendengaran lelaki itu. “Aku tidak mau kehilanganmu.”


Drian hanya bisa mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Gee yang lembap oleh air mata, dan menghapusnya lembut. “Kau tahu,” Drian menghela napas dalam. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Gee. Karena itu, saya menentukan untuk merahasiakan ini darimu, alasannya yaitu saya tidak ingin hal ini menjadi alasannya.“


 


Cinta yang sudah terbangun dan terbina selama kurun waktu kurang lebih lima ratus hari tidak akann gampang terhapus begitu saja. Setidaknya itu yang dirasakan Gee.


 


Namun gadis itu sudah terlalu kecewa. Ia tahu, keadaan ini memaksanya untuk tidak menonjolkan sifat egoisnya, bahkan menghapusnya sama sekali. Demi Drian, demi hidup lelaki itu.


 


“Maaf jikalau saya terdengar terlalu egois, saya hanya tidak ingin kamu menyayangi orang yang tidak tepat untukmu, Gee.” Ucapan Drian menciptakan Gee mengangkat alis sekali lagi. “Karena mungkin…. Ini pertemuan kita yang terakhir.”


“Terlambat.” Kali ini, Drian yang mengangkat alis, tak mengerti. “Kau tahu, perasaan itu telah tumbuh, sangat jauh sebelum kamu menyampaikan ini. Dan perkembangannya begitu pesat. Hingga kini, saya rasa saya tidak bisa untuk kehilanganmu.” Gee menghindari tatapan Drian padanya.


Seketika lelaki itu menegakkan bahunya, tersentak. Menghela napas, dia mencoba berkata dengan lirih, “Aku tidak bisa lagi bersamamu. Aku mencintaimu, tapi cintaku telah menentukan untuk melepaskanmu.”


“Semudah itu?”


Sorot ceria yang semenjak awal ditunjukkan sepasang iris sewarna mahoni itu sekarang berubah sendu. Menatap lurus, Drian mencoba untuk menjelaskan apa yang diinginkannya. “Aku ingin kamu bahagia, Gee. Aku akan baik-baik saja, percayalah, bahkan jikalau itu tanpa aku.”


 


Inikah yang orang bilang karma? Gee sudah terjatuh dalam pesona Drian, bahkan ketika dia tahu kenyataannya bahwa lelaki tepat –di matanya- itu mengalami sakit parah. Dan kini, dia harus melepaskan lelaki itu.


 


Tanpa berkata apapun Gee bangun dari duduknya. Hendak melangkah pergi, namun sebelah tangan Drian menahannnya. “Kau mau kemana?”


“Lepaskan aku, Dri.” Suara Gee bergetar. Ia menepis tangan lelaki itu seketika dari lengannya. “ Awalnya saya pikir saya bisa mendapatkan semua ini, mendapatkan keputusanmu untuk menyudahi semua ini. Tapi ternyata saya salah, hatiku tidak, Dri.”


“Maafkan aku.” Drian ikut berdiri, sehingga badan mereka berhadapan. “Semua ini kulakukan alasannya yaitu saya mengerti bahwa cinta tidak akan memaksakan keadaan, alasannya yaitu cinta hanya ingin menyalurkan rasa tanpa ada yang dirugikan atau tersakiti. Begitu juga perasaanku.”


 


Hening


 


Hati Gee sudah terlalu sakit. Apakah ini kebohongan? Tidak, Gee yakin bahwa Drian memiliki alasan berpengaruh mengapa dia melaksanakan ini. Gee hanya tidak siap, tidak siap untuk kehilangan lelaki itu. Bahkan intuisi menerangkan tidak baik miliknya tidak pernah membuatnya membayangkan bahwa dia akan melepaskan lelaki itu secepat ini. Namun dia tahu, egois hanya akan menyulitkan posisi Drian, dan dirinya tidak menginginkan hal itu.


 


“Baik,” bunyi Gee memecah keheningan itu. Setelah mencoba untuk berdamai dengan hatinya, Gee menyadari bahwa dia harus segera mengambil keputusan. Drian menanti jawabannya. “Jika itu maumu, saya setuju. Aku hanya ingin kamu sembuh, hanya itu.” Memalingkan wajah kea rah jendela, gadis itu memberi jeda pada kalimatnya, lantas kembali menatap Drian. “Berjanjilah padaku Dri, kamu akan kembali…. sembuh.”


Perlahan senyum lelaki itu mengembang, raut lega terpeta terperinci di wajah rupawannya yang Nampak pucat. “Benarkah?” Ia melangkah mendekat, menghapus jarak di antara mereka, dan meraih badan Gee ke dalam dekapannya. “Terima kasih alasannya yaitu kamu mau mengerti. Ya, saya janji.”


 


Sekali lagi Gee meneteskan air mata. Ia tahu, ini berarti bahwa mungkin dekapan ini yaitu yang terakhir.


 


“Berjanji jugalah padaku,” Di tengah dekapan itu Drian kembali mengeluarkan suara, sesudah hening yang kembali menyela selama beberapa saat. “Jangan pernah berubah.”


Gee yang tingginya hanya sebatas indera pendengaran lelaki itu mengangkat kepalanya, menatap ke dalam iris mahoni yang menatapnya lembut. “Aku tidak akan pernah berubah,” Gadis itu mencoba untuk tersenyum. “Karena dulu topengku remuk ketika saya mulai mengenalmu.”



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Looking Through The Eyes Of Love"