Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Angka 12

Prolog


Sudah cukup lama ia mencoba mengamati situasi di sekitar rumah itu. Ia tak ingin ada lubang sekecil apapun yang sanggup merusak keseluruhan planning yang telah lama disusunnya. Laki-laki itu harus mati! Mati di tangannya sendiri!


Dengan sangat tangkas dipanjatnya pagar besi setinggi 2 meter di hadapannya. Hati-hati dilangkahkannya kaki menuju pintu belakang. Di ambilnya kunci yang telah disiapkan di dalam kantung mantelnya.


Diketahuinya malam itu lelaki yang akan dibunuhnya hanya tinggal seorang diri. Seluruh keluarganya tengah pergi. Karena itulah ia menetapkan untuk melaksanakan seluruh rencananya malam itu juga.


Hati-hati dimasukinya rumah itu. Dilangkahkannya kaki menuju kamar tidur lelaki yang akan dibunuhnya. Beruntung pintu kamarnya tak terkunci. Iapun segera masuk.


Dilihatnya seorang lelaki setengah umur yang tengah tertidur pulas di atas ranjang tidur. Saat melihat wajah lelaki itu, banyak sekali kenangan melintas di pikirannya. Rahangnya sekonyong-konyong menegang, kedua tangannya mengepal kencang. Kebencian di dalam dadanya seolah menyeruak tak tertahankan. Dihirupnya nafas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya perlahan. Ia menyadari bahwa ia tak boleh gegabah. Ia tak boleh hanyut dengan arus perasaanya. Ia harus hening dan berfikir jernih. Segalanya harus terealisasi sesuai dengan planning yang telah disusunnya. Ketegangan di dalam dirinya pun nampak mulai mengendur.


Diambilnya tali dari dalam kantung mantelnya. Pelan-pelan diikatnya kedua tangan laki-laki yang ada di hadapannya itu pada kepala ranjang. Ditutupnya lisan laki-laki itu dengan lakban hitam yang telah disiapkannya. Kaki laki-laki itupun diikatnya kuat-kuat pada kaki ranjang. Senyum hirau taacuh mulai menghiasi wajahnya. Ia yakin rencananya malam itu akan terjadi sesuai dengan apa yang telah ia bayangkan.


Diguyurnya wajah lelaki di hadapannya itu dengan seteko air yang terdapat di atas meja di samping ranjang. Megap-megap dilihatnya lelaki itu mengambil nafas. Dengan hirau taacuh diperhatikannya lelaki itu.


Lelaki itupun mulai terjaga dari tidur pulasnya. Dikerjap-kerjapkannya kedua matanya yang kemasukan air. Sejenak kemudian ia mulai menyadari sepenuhnya apa yang tengah terjadi padanya. Lelaki itu mulai meronta-ronta. Namun ikatan di kaki dan tangannya begitu kuat, hingga rontaannya itu hanyalah merupakan tindakan yang sia-sia.


Disaksikannya perbuatan lelaki di hadapannya itu dengan wajah beku tanpa ekspresi. Perlahan dikeluarkannya sebilah belati perak dari balik mantelnya. Lelaki di hadapannya melihat dengan wajah penuh kengerian. Ia mulai berusaha meronta-ronta kembali. Terdengar gumaman tak terang dari mulutnya yang tertutup rapat dengan lakban.


Dengan tatapan hirau taacuh disaksikannya ketakutan yang memenuhi wajah lelaki yang dibencinya itu. Di bolak-balikkannya belati yang ada di tangannya di depan wajah korbannya. Belati perak itu berkilauan ditimpah cahaya lampu. Semakin membuktikan sisi-sisi tajamnya yang bisa mengoyak kulit hanya dengan sentuhan ringan.


“Kau sudah tak ingat saya ya?” Sinisnya, masih terus membolak-balikkan belati perak di depan hidung lelaki itu. Lelaki itu menatapnya gundah dan ketakutan. Keningnya berkernyit seolah mencoba mengingat siapakah orang yang ada di hadapannya.


“Rupanya kamu benar-benar tak ingat saya ya?” dengusnya.

Dikeluarkannya selembar foto dari dalam kantung mantelnya dan ditunjukannya di hadapan lelaki itu. Seketika wajah lelaki di hadapannya itupun memucat.


“Sekarang kamu sudah tahu kan siapa aku? Aku tak ingin membuatmu mati penasaran. Aku hanya ingin menuntut balas perbuatanmu kepadaku.” geramnya. Dengan menuntaskan kalimat terakhirnya, ditusukannya belati di tangannya itu pada dada kanan lelaki di hadapannya. Dilihatnya badan lelaki itu tersentak-sentak, sepasang matanya membeliak kesakitan. Tak ada sedikitpun iba yang tersirat di wajahnya. Ditusukannya kembali belati itu di dada lelaki itu. Kali ini ditusukannya belati itu dengan pelan dan perlahan. Ingin dinikmatinya kesakitan yang memenuhi wajah lelaki di hadapannya. Lelaki itu semakin tersentak-sentak serta tersengal-sengal menahan sakit yang teramat sangat. Tanpa belas kasihan sedikitpun ia masih terrus menusukan belati itu pada badan laki-laki di hadapannya hingga belasan kali. Tusukan terakhir, dibenamkannya ke dalam jantung laki-laki itu hingga laki-laki di hadapannya itupun tewas.

Dengan tatapan penuh kebencian dipalingkannya wajah dari badan beku itu.


Sebelum beranjak pergi, diambilnya gelas kopi yang ada di atas meja di samping ranjang tidur lelaki itu. Dimasukannya ke dalam kantung plastik yang telah dibawanya kemudian disimpan di balik mantelnya. Setelah mengunci kembali pintu belakang rumah itu, iapun melangkah pergi dengan seringaian puas yang menghiasi bibirnya.


***


1. Pembunuhan


Pagi itu saya terbangun dengan perasaan terkejut yang membingungkan. Aku mendengar hiruk-pikuk yang tak biasa dari jalan di luar flatku. Aku mendengar sirine kendaraan beroda empat ambulan serta sirine kendaraan beroda empat polisi yang semakin mendekat melintas di jalan di bawah jendela kamarku.

“Ada apa ini??” pikirku bingung.

Aku bergegas mencuci muka dan menggosok gigiku. Aku ingin segera keluar dan mengetahui keramaian apa yang tengah terjadi di luar. Terdengar begitu ribut dan bising dengan hilir-mudiknya bunyi kendaraan yang melintas serta dengung bunyi orang-orang yang berbicara tanpa henti.


Baru saja saya keluar dari dalam flatku, di lorong kebetulan saya bertemu dengan Firna. Kulihat ia tengah memutar kunci flatnya yang terletak berhadapan dengan flatku. Di tangannya terjinjing beberapa kantung belanjaan.


Aku melangkah menghampirinya. Kusapa dan kutepuk ringan bahunya. Kurasakan tubuhnya yang serta-merta terlonjak. Agaknya ia amat sangat terkejut dengan kehadiranku.


“Oh! K k kamu mengejutkanku!” sambil mengelus dadanya ia melanjutkan, “Hampir saja jantungku copot!”

“Oh maaf, saya tak bermaksud untuk mengejutkanmu. Aku hanya ingin bertanya mengapa tampaknya di luar terdengar begitu ramai. Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi?” tanyaku penasaran.

“Rupanya kamu belum tahu. Kau tahu Pak Moris kan? Pemilik toko keramik di ujung jalan. Nah pagi tadi ia ditemukan tewas tertusuk belati di atas ranjang tidurnya sendiri. Tangan dan kakinya terikat. Pesuruhnya yang pincang itu yang menemukan mayatnya. Dokter dan Polisi gres saja datang.” terangnya. Ketegangan nampak membayang di raut wajahnya.

“Apa? Pak Moris terbunuh??” tak bisa kusembunyikan keterkejutan pada nada suaraku.

Pak Moris yaitu tokoh yang cukup mempunyai imbas di lingkungannya. Meskipun saya gres 2 tahun tinggal di daerah ini, namun secara tidak pribadi imbas wibawanya sanggup dirasakan oleh hampir seluruh masyarakat di lingkungannya. Rumahnya terletak kurang dari 100 meter dari bangunan flatku. Sosoknya yang ramah dan berwibawa membuatnya banyak dikagumi. Kematiannya yang tragis tentu akan menjadi buah bibir serta sanggup menuai banyak simpati masyarakat sekitar.


“Mungkinkah itu merupakan sebuah perampokan?” tanyaku menduga.

“Kukira juga demikian, namun kudengar barusan di toko pelayannya menyampaikan tak ada satupun barang yang hilang serta tak ada lemari yang nampak bekas dibuka secara paksa.” jelasnya. Sambil mengangkat pundak ia melanjutkan, “Tapi entahlah, kita tunggu saja keterangan berikutnya dari kepolisian, informasi itu tentu akan ramai di banyak sekali media.”

Aku yang mendengar pernyataannyapun mengangguk membenarkan. Bagaimanapun hanyalah pernyataan polisi yang sanggup mendapatkan amanah dalam situasi menyerupai ini.


Setelah Firna masuk ke dalam flatnya, saya melangkahkan kakiku menuju flat Nick. Nick yaitu sahabat dekatku. Selain sahabat satu gedung flat, saya dan Nick kebetulan juga bekerja di kantor yang sama. Saat itu kufikir mungkin ia belum tahu kejadian tragis yang telah terjadi pagi ini.


Setelah beberapa ketika kuketuk pintu didepanku, bsejenak kemudian pintupun terbuka. Saat itu saya terkejut melihat penampilan Nick yang nampak kusut. Wajahnya begitu suram. Ada bundar hitam di sekitar matanya. Sepertinya semalaman ini ia tidak bisa tidur. Kuingat larut malam tadi ia meminta obat sakit kepala kepadaku. Mungkinkah sakit kepalanya belum hilang? Ketika melihatku pagi ini entah mengapa saya merasa Nick nampak gugup dan gelisah. Meskipun begitu, ia tak melarangku masuk ke dalam flatnya.


Dengan heran saya bertanya padanya,

“Ada apa denganmu Nick? Kau nampak awut-awutan sekali. Apa kepalamu masih sakit?”

Sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa, kudengar ia berdesah lelah.

“Tak ada apa-apa denganku. Kepalaku sudah tidak seberapa sakit. Aku hanya sulit sekali untuk tidur semalam.”

Sulit rasanya mempercayai keterangannya sesudah saya melihat keadaanya pagi itu. Namun saya tak ingin mendesaknya, kufikir mungkin ia mempunyai permasalahan yang tak bisa diceritakannya padaku.


Kuputuskan saja untuk membuatkannya segelas teh hangat. Kuharap sanggup membantu mengurangi sedikit beban kegelisahan dalam dirinya.


Setelah meminum teh yang kubuatkan, kulihat kegelisahan dalam dirinya mulai berangsur-angsur berkurang. Ia nampak mulai tenang. Namun entah mengapa kuperhatikan Nick seolah menghindari tatapanku. Aku yang menyadari hal itupun merasa canggung. Kufikir mungkin sebetulnya ia sedang tak ingin diganggu. Kuputuskan saja untuk kembali ke kamarku.


“Maafkan sikapku Fay.” pintanya, ketika saya melangkah meninggalkannya. suaranya dipenuhi dengan rasa bersalah. “Terima kasih juga untuk tehnya.” lanjutnya. Sepertinya ia menyadari kecanggunganku.


“Oh, tak masalah.” sambil mengangkat pundak dan melemparkan senyum menenangkan padanya, akupun melanjutkan langkah untuk kembali menuju flatku.


***


Siang itu di ruang tamu flatku, saya duduk sambil mengunyah keripik kentang ditemani dengan sekaleng soft drink. Aku tengah menonton tayangan informasi di televisi. Aku ingin tahu informasi sebetulnya wacana pembunuhan yang menimpah Pak Moris, yang secara tak pribadi yaitu merupakan tetangga jauhku.


Tayangan informasi yang kusaksikan siang itu menyampaikan bahwa korban ditemukan meninggal pada pagi hari oleh pelayan lelakinya yang berjulukan Paris. Seperti biasa ketika itu Paris hendak membersihkan rumah serta membantu menyiapkan barang-barang yang akan dibawa korban untuk dijual di tokonya yang terletak di sebuah sentra perbelanjaan berjarak 2 km dari daerah tinggal korban. Ketika Faris menemukan korban di kamarnya ternyata korban telah tewas. Kaki dan tangan korban ditemukan terikat kuat pada kepala dan kaki daerah tidurnya. Mulut korban ditutup rapat dengan lakban. Korban dibunuh dengan cara ditusuk dengan belati. Hal yang mengejutkan polisi yaitu di temukannya 12 luka bacokan yang dalam pada badan korban. Luka itu tersusun dengan simetris dan membentuk angka 12. Korban diperkirakan meninggal antara pukul 00.01-00.03 dini hari. Tak terdapat sedikitpun gejala perampokan dan pencurian pada rumah korban. Polisi menduga ini yaitu sebuah pembunuhan berencana yang bermotifkan dendam. Bukti yang telah ditemukan yaitu tali serta belati yang dipakai pelaku untuk mengikat dan membunuh korban. Sayangnya tak ada sedikitpun sidik jari yang sanggup ditemukan oleh polisi. Sepertinya pelaku menggunakan sarung tangan dan sangat berhati-hati untuk tidak meninggalkan sedikitpun kecurigaan yang akan tertuju padanya. Polisi meyakini pelaku mempunyai duplikat kunci pintu belakang rumah korban, lantaran ditemukannya jejak kaki yang samar menuju ruang belakang serta tak adanya gejala kerusakan pada pintu. Hasil otopsi menyampaikan bahwa sebelum korban meninggal, korban sempat meminum kopi yang telah dicampurkan dengan obat tidur. Dari semua bukti yang ada, polisi pun menaruh kecurigaan pada pelayan korban. Karena selain keluarga korban yang mempunyai kunci, pelayan korbanlah orang yang mempunyai kunci yang sama. Selain itu pelayan korban merupakan orang terakhir yang diketahui bertemu dengan korban. Malam itu istri dan anak korban kebetulan tengah berada di luar kota. Setelah diselidiki, ternyata dari pukul 22.00 hingga 04.00 malam itu pelayan korban diketahui tengah bermain kartu di sebuah warung 24 jam. Keterangan itu didukung oleh pernyataan banyak saksi mata. Pihak polisi akan terus berusaha mengusut siapa pembunuh korban yang sebenarnya. Bagaimanapun juga pembunuhan sadis ini tela menimbulkan timbulnya keresahan di sekitar lingkungan daerah tinggal korban.


Dengan masih dicekam perasaan tegang, tiba-tiba saja kudengar pintu Flatku diketuk keras. Jelas saja saya tersentak. Hampir saja kaleng soft drink di tanganku terlepas. Bergegas kubuka pintu flatku. Di depan pintu saya terkejut melihat Firna yang nampak pucat dan gemetar ketakutan. Keringat hirau taacuh kulihat membasahi sekujur tubuhnya. Dengan perasaan cemas dan bingung, kubimbing ia duduk di dalam flatku. Kuberikan ia tisue untuk mengusap keringat di wajah serta keningnya. Kuambilkan ia segelas air untuk mengurangi kegelisahannya. Ketika kulihat ia mulai tenang, gemetar di tubuhnya mulai berkurang, akupun tak bisa lagi menahan desakan rasa penasaranku.


Ada apa denganmu Fir? Kau nampak begitu ketakutan.” mendengar pertanyaanku ketika itu, Firna seakan mulai menyadari keadaanya. Sambil menutup wajah dengan tangan tangisnya pun pecah. Aku semakin gundah dibuatnya.

“Aku saya takut Faya… Aku takut… Aku saya takut dengan pembunuh yang tengah berkeliaran di luar sana…” terang Firna di sela-sela isaknya.


Aku benar-benar tak menyangka sesudah mendengar penjelasannya. Kupikir telah terjadi sesuatu yang jelek pada dirinya. Dalam hatiku saya merasa geli. Yah, walaupun begitu bukan berarti saya sendiri tak merasa takut. Namun menurutku ketakutan Firna siang itu nampak berlebihan. Aku mencoba tetap berusaha memahami dan menghiburnya. Mungkin pembunuhan itu memang meninggalkan kesan jelek di dalam jiwanya.


“Tak ada yang perlu kamu takutkan. Kurasa pembunuh itu juga telah pergi meninggalkan daerah ini. Dia niscaya tak ingin dirinya tertangkap. Bahkan mungkin ia telah pergi jauh keluar negeri. Tak ada alasan untuk kamu merasa takut. Tak akan ada yang menyakitimu.” hiburku.

“Ah… Tetap saja, tak ada yang tahu di mana pembunuh itu berada. Bisa saja saya aku berpapasan dengannya di jalan tanpa kusadari.” Sambil terisak kulihat ia mencoba menghapus air matanya dengan tisue yang kembali kuberikan padanya.

“Aku saya mau pindah saja dari daerah ini Fay. Bagaimanapun saya merasa tak aman.”

Aku terkejut mendengar keinginannya. Aku tak mengerti mengapa ia bisa setakut ini.

“Tak perlu kamu bertindak sejauh itu Fir. Mungkin saja tak akan lama lagi pembunuhnya akan segera tertangkap. Kau kan tak perlu pindah. Kaprikornus tunggu sajalah dulu.” Kulihat ia bengong merenungi saranku.

“Ba baiklah, saya akan menunggu hingga ahad depan. Semoga saja pembunuh itu akan segera tertangkap.”


***


2. Dugaan


Keesokan paginya saya mulai sibuk dengan rutinitasku sesudah seharian kemaren saya terpaksa harus melewati liburan yang kurang menyenangkan.

Ketika hendak berangkat ke kantor pagi itu, di tangga saya sempat berpapasan dengan Firna. Ia menyapaku riang. Akupun tersenyum dan membalas sapaanya. Kulihat ia tak lagi nampak cemas dan ketakutan. Kuharap saja kejadian kemaren hanya kuat sesaat untuknya. Bagaimanapun juga saya cukup dekat dengannya, rasanya berat membiarkannya pergi untuk berpindah flat lantaran alasan yang menurutku agak konyol.


Sesampainya di kantor pagi itu, saya tak melihat Nick berada di mejanya. Kufikir ia belum datang, namun ketika jam istirahat siang ttiba saya gres tahu bahwa hari itu Nick tidak masuk kantor.


Sepanjang sisa hari itu saya sibuk memikirkan Nick. Tak biasanya ia tidak masuk kantor tanpa mengabariku. Aku merasa cemas dan khawatir. Mungkinkah ia sakit? Tapi mengapa ia tak mengabariku? Tak biasanya ia menyerupai ini.


Setelah pulang kantor sore itu saya segera berganti pakaian kemudian bergegas menuju flat Nick.


Berulang kali saya mencoba mengetuk pintu di hadapanku namun tak juga ada yang membukanya. Baru kuperhatikan lampu flat Nick yang padam. Mungkinkah ia pergi? Tiba-tiba saja kudengar pintu di belakangku terbuka. Kulihat rio, penghuni flat itu memandangku ragu,


“Hm Maaf fay, tadi siang saya bertemu dengan Nick di bandara. Kebetulan saya juga gres keluar dari pesawat dan tak sengaja melihatnya. Kaprikornus kufikir malam ini mungkin ia belum kembali.”


Aku terkejut mendengar penjelasannya hingga saya hanya bisa tertegun diam.


“Fay? Kau dengar saya tidak?”

Panggilan Rio menyadarkanku dari ketertegunan.


“Oh maaf! Aku agak terkejut mendengarnya. Trimz ya sudah memberitahuku.”

Aku melempar senyum berterima kasih padanya kemudian melangkah kembali ke flatku. Di dalam kamarku saya benar-benar merasa heran dan bingung. Mengapa Nick tak memberitahukanku bila ia ingin pergi? Aku tak mengerti sikapnya. Aku mengambil HPku dan mencoba menghubunginya. Ternyata no HPnya tidak aktif. Entah mengapa saya merasa kecewa padanya. Di sisi lain saya sanggup mengerti bahwa hak Nick lah untuk tidak memberitahuku. Walaupun Nick dan saya berteman dekat, namun saya tetaplah bukan siapa-siapa baginya. Namun tetap saja saya tak bisa membuang rasa kecewa yang timbul di dalam hatiku.


***


Sudah tiga hari waktu berlalu semenjak kepergian Nick. Sejak ketika itu saya masih terus-menerus mencoba berusaha menghubunginya. Namun HPnya selalu saja tak sanggup dihubungi.


Laporan wacana penyelidikan polisi mengenai pembunuhan Moris william pun masih terus diberitakan di telivisi. Polisi masih belum menemukan bukti-bukti gres dari masalah tersebut. Meski begitu polisi akan terus berupaya mencari siapa pelaku sebetulnya pembunuhan sadis itu. Polisi mulai menyusuri kehidupan masa kemudian korban untuk mencari jejak dan motif terjadinya pembunuhan. Meskipun malam itu pelayan korban mempunyai alibi yang kuat, namun kecurigaan polisi masih terus mengarah kepadanya. Ditambah sesudah polisi mengusut lebih lanjut mengenai identitas dirinya, polisi menemukan banyak keganjilan. Polisi mewaspadai bahwa pelayan korban menggunakan identitas palsu. Meski begitu, polisi belum sanggup menetapkan pelayan korban sebagai tersangka pembunuhan lantaran kuatnya alibi serta kurangnya barang bukti.


Aku terus-menerus berlari di lorong panjang itu. Aku tak mengerti dari sesuatu apa saya berlari, dan untuk apa saya berlari. Aku hanya merasa saya harus berlari dan tak boleh berhenti. Aku mencicipi kakiku begitu berat hingga seolah saya hanya berlari di tempat. Tiba-tiba saja kulihat pintu besi yang tebal menghadang di hadapanku. Aku mencoba membuka pintu itu, namun ternyata pintunya terkunci. Aku mencoba menggedornya keras-keras, berharap ada seseorang di balik pintu itu yang bersedia membukanya. Aku ingin bersembunyi di baliknya. Kurasakan sesuatu di belakangku kian bertambah dekat. Kengerian yang melingkupikupun semakin terasa pekat. Aku tak berani melihat ke belakangku. Yang kulakukan hanya semakin keras menggedor pintu di depanku.

Tiba-tiba saya tersentak bangun dari tidurku. Rupanya saya telah bermimpi. Ternyata tanpa sengaja saya tertidur ketika sedang menonton televisi. Kudengar bunyi orang menggedor pintu flatku dari luar. Hanya saja kali ini bukanlah mimpi. Dengan murka akupun bergegas membuka pintu. Namun seketika itu juga saya terpaksa menelan kembali kemarahanku. Di balik pintu saya melihat Firna yang tengah berdiri gemetar ketakutan..


“Fay, saya aku ingin pindah Fay. Aku sudah membereskan barang-barangku. Aku akan berangkat malam ini juga.”

“Malam ini juga?” tanyaku terkejut. “Kau mau kemana memangnya?” tanyaku cemas, benar-benar terkejut mendengar penjelasannya. Kufikir ia sudah mulai hening dan tak lagi terpengaruh dengan pembunuhan itu.

“Aku akan pergi ke rumah kakakku untuk sementara, hingga pembunuh itu sanggup ditangkap dan dipenjara. Aku tak ingin terus-terusan merasa cemas dan ketakutan!” jelasnya. ” Di bawah sudah menunggu kakakku. Aku ingin berpamitan denganmu. Pokoknya kamu harus menjaga dirimu baik-baik. Aku tak ingin ada sesuatu yang jelek menimpahmu.” lanjutnya.

Tenggorokkanku tercekat mendengar ucapannya. Bagaimanapun juga sudah cukup lama kami saling mengenal. Rasanya sangat duka untukku berpisah dan melepaskannya pergi, walaupun hanya sementara. Hari-hariku di flat niscaya akan terasa begitu sunyi tanpanya, terlebih kini Nick pun tengah pergi.


Aku memeluk Firna dan tak kuasa menahan linangan air mataku. Kudengar firna yang tersedu di bahuku. Entah mengapa saya merasa bahwa ini yaitu merupakan pertemuan terakhir kami.


“Baiklah Fir… Kau juga hati-hati ya. Kuharap kamu tak pernah melupakanku. Ayo, akan kubantu kamu membawa barang-barangmu ke bawah.”


***


Benar saja, sesudah kepergian Firna, hari-hariku di flat pun semakin terasa sepi. Tak banyak penghuni flat yang kukenal dekat selain Firna dan Nick. Hal itu menimbulkan saya semakin larut dalam kesepian.


Suatu petang saya pulang dari kantor dan tak sengaja melihat sinar lampu yang menyala dari flat Nick. Sebelumnya di kantor saya mendengar bila ternyata nick meminta cuti selama satu ahad untuk urusan mendadak. Banyak teman-teman kantor yang bertanya padaku mengenai urusan yang dihadapi Nick, hingga ia hingga meminta izin untuk cuti. Aku yang tak tahu mau menjawab apa hanya bisa menggeleng tak mengerti menanggapi pertanyaan mereka.


Sesampainya di dalam flatku akupun segera mandi dan berpakaian. Aku ingin menemui Nick. Ingin kuketahui bagaimana kabar dan keadaanya. Aku juga ingin bertanya mengapa ia pergi begitu saja tanpa memberitahuku.


Ketika saya tengah melangkahkan kaki menuju flat Nick, tiba-tiba saja perasaan ragu tiba menyergapku. Aku khawatir apabila ternyata Nick sedang tak ingin diganggu, atau bahkan ia tak ingin bertemu denganku. Aku benar-benar merasa resah.


Dalam hati saya begitu ingin bertemu dengannya untuk bertanya mengenai kepergiannya yang begitu tiba-tiba. Di sisi lain saya merasa tak lezat bila ternyata kehadiranku mengganggunya, atau bahkan ia akan menolak kehadiranku. Namun akhirnya, rasa penasaranku mengalahkan pertimbanganku. Kuputuskan untuk bergegas mengunjungi Nick ketika itu juga. Pikirku jikalau ternyata tak berhasil, setidaknya saya telah mencoba.


Meski masih dihinggapi dengan perasaan ragu, kucoba mengetuk pintu flat di depanku. Ternyata tak lama kemudian pintu pun terbuka.


Kulihat Nick yang masih nampak letih tersenyum menyapaku. Seketika itu juga kurasakan keraguan yang memenuhi hatikupun sirna tak bersisa. Ramah dipersilakannya saya untuk masuk.


Malam itu kami duduk berhadapan di sofa, di antara meja beling yang nampak buram lantaran berdebu. Kulihat Nick nampak sehat meski sedikit pucat. Ia bilang ia memang masih merasa letih. Baru dua jam kemudian ia sampai. Kami saling bertanya kabar dan keadaan kami selama seminggu ini. Ia menyampaikan untuk menyebarkan segelas coklat hangat untukku.


“Biar saya saja yang membuatnya sendiri. Kau mau?.” tawarku.

“Tentu saja.” Jawabnya, menyadarkan kepala ke sandaran Sofa.


Aku segera melangkah menuju dapur dan menciptakan dua gelas coklat hangat untuk kami berdua. Keakraban saya dan Nick membuatku tak merasa canggung berada di dapurnya. Lagi pula ini bukan kali pertama saya menciptakan minuman sendiri untuk kami.


Sambil mengaduk minuman di depanku, hati-hati saya mulai bertanya perihal kepergiannya selama seminggu ini.


“Mengapa kamu pergi tanpa mengabariku? Kau membuatku sangat cemas dan khawatir. HPmu tak sanggup dihubungi. Apa kamu sedang ada kesulitan?” tanyaku menatap wajahnya.

“Maaf Fay. Aku memang tengah menghadapi duduk kasus yang cukup pelik. Agak sulut untukku menceritakannya padamu.” suaranya terdengar murung ketika menyampaikan hal itu.

Tak apa Nick. Aku tak memintamu untuk menceritakan permasalahanmu bila kamu sendiri tak mau. Aku mengerti, setiap orang tentu mempunyai belakang layar dalam hidupnya. Tapi, apakah saya boleh tahu kemana kamu pergi selama seminggu ini? Aku hanya ingin tahu. Tak ada maksud apapun.”


Kulihat Nick menatapku ragu. Mungkinkah ia tak mau menyampaikan perihal kepergiannya itu? Mungkin tak seharusnya saya terlampau ingin tahu, bagaimanapun juga yaitu menjadi haknya untuk tidak memberitahu apapun padaku. Ketika saya hendak memintanya untuk mengabaikan saja pertanyaanku, kudengar ia keburu bicara.


“Apakah kamu sungguh-sungguh ingin tahu kemana saya pergi?” tanyanya, menatap lekat kedua mataku. Kulihat tekat yang menyalah di sepasang matanya.


“Ya, tentu, itu bila kamu bersedia mengatakannya. Namun bila tidak pun tak duduk kasus Nick.” sahutku membalas tatapannya.


“Baiklah. Mungkin memang tak seharusnya saya menutupi hal ini darimu.” Kudengar ia menghela nafas panjang. “Selama seminggu kemarin saya berada di singkawang.” lanjutnya.


“Singkawang? Untuk apa kamu ke sana?” tanyaku heran.


“Untuk mencari tahu mengenai Pak Moris.”

Mendengar jawabannya saya menjadi semakin heran. Untuk apa ia mencari tahu wacana Pak Moris? Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuhan yang terjadi terhadapnya? Sepertinya Nick melihat keheranan di wajahku ketika itu, lantaran kemudian saya mendengarnya berkata.

“Ya, saya tengah mencari siapa sebetulnya pembunuh Pak Moris. Aku ingin memastikan dugaanku.”

“Dugaanmu? Apa itu berarti kamu tahu siapa pembunuh Pak Moris?” ketika itu saya merasa sangat penasaran. Ketegangan melingkupi udara di sekelilingku. Mungkinkah Nick tahu siapa sesungguhnya pembunuh Pak Moris? Inikah alasannya ia tak mau memberitahu mengenai kepergiannya itu padaku? Ia ingin mengusut pembunuhan itu seorang diri? Rasa ingin tahu semakin memenuhi kepalaku.

“Ya, kini saya yakin dengan dugaanku. Aku tahu siapa sebetulnya pembunuh Pak Moris.”

Kudengar keyakinan pada nada suaranya.

“Siapa?” tanyaku semakin penasaran.

“Kau!”

Kemudian saya tertawa.

“Aku? Kau gila! Jangan bergurau Nick! Mana mungkin saya membunuh Pak Moris!” tegurku.

“Tidak! Aku tidak gila. Hal itu mungkin saja terjadi.” sahut Nick dengan tenang. “Malam itu saya melihat sendiri seseorang memanjat pagar belakang rumah Pak Moris. Meskipun cahaya agak suram malam itu, namun saya mencoba untuk mengenali dengan baik siapa orang yang kulihat ketika itu. Saat itu saya tak tahu apa yang akan dilakukan orang tersebut di dalam sana. Orang itu hanya seorang diri. Kuputuskan saja untuk mengintai rumah itu terlebih dahulu. Jika ada keributan yang terjadi saya niscaya akan tahu dari tempatku berada. Setelah cukup lama saya menunggu, ternyata saya tak mendengar sedikitpun hal-hal yang mencurigakan. Aku menjadi tak yakin dengan penglihatanku sebelumnya. Mungkinkah saya salah lihat? Di tengah-tengah keraguanku ketika itu, tiba-tiba saja kulihat suatu sosok yang memanjat turun dari pagar yang sama. Setelah kuperhatikan, saya yakin bahwa orang itu yaitu orang yang sama dengan yang sebelumnya kulihat. Saat itu saya akui saya memang belum sanggup sedikitpun mengenali orang itu. Ia berhasil menutup wajahnya rapat-rapat dengan kain. Tapi, entah mengapa fikiran bawah sadarku menyampaikan bahwa saya mengenal sosok di depanku itu. Diam-diam kuputuskan saja untuk mengikuti kemana orang itu pergi. Mungkin saya akan menemukan jawab dari rasa ingin tahuku ketika itu. Alangkah terkejutnya aku, ketika kulihat orang itu mengendap-endap masuk ke dalam bangunan flat. Dengan sangat berhati-hati akupun terus mengikuti kemana orang itu menuju. Dan alangkah tak pernah kusangka ketika kulihat orang itu memutar kunci dan memasuki kamarmu! Saat itu saya benar-benar heran dan terkejut, hingga saya tak tahu harus berbuat apa. Kekhawatiranku membuatku menetapkan untuk mengecek keadaanmu dengan berpura-pura meminta obat sakit kepala. Dalam hati saya takut terjadi sesuatu yang jelek padamu, namun di sisi lain, saya merasa takut bila kecurigaan dalam benakku terbukti. Malam itu tampaknya kamu tidak menyadari keherananku ketika kulihat kamu membuka pintu flatmu ketika itu. Kau sendiri mungkin merasa terkejut, hingga kamu segera mengambilkan obat dan memberikannya kepadaku. Semalaman itu saya merasa gelisah dan bingung. Sulit rasanya untukku memejamkan mata. Sampai keesokan paginya ketika saya tengah membeli sebungkus kopi di warung saya mendengar informasi tragis itu. Rasanya sebongkah kerikil besar tengah menimpah kepalaku. Aku tak bisa untuk tak mengaitkan apa yang kulihat semalam dengan informasi yang kudengar pagi harinya. Dengan limbung akupun kembali ke dalam flatku. Sejak pagi itu saya bertekat untuk membuktikan dugaanku. Dan kini, saya tak lagi ragu. Aku yakin bahwa orang yang kulihat ketika itu yaitu dirimu. Seperti apapun kamu mencoba menyembunyikan wajah dan bentuk tubuhmu, namun kamu tak akan gampang mengubah gerak-gerikmu. Aku juga yakin bahwa kaulah yang telah membunuh Pak Moris. Di Singkawang saya tahu bahwa Pak Moris ternyata yaitu bekas ayah tirimu. Bekas ayah tirimu itu pergi meninggalkan ibumu dan menimbulkan ibumu sakit keras kemudian meninggal. Itu keterangan yang kuperoleh dari banyak orang yang pernah mengenal keluargamu di sana. Jadi, bukan tidak mungkin bila kaulah yang telah membunuh Pak Moris. Kau cukup mempunyai motif untuk melakukannya.

Dalam hati saya merasa kagum dengan kegigihan Nick dalam mengusut kasus pembunuhan Pak Moris.

“Kau tak bisa menuduhku begitu saja Nick. Aku mungkin pernah mempunyai kekerabatan yang tak terlalu baik dengannya, namun hal itu tak menjadi lantaran kuat untuk saya tega membunuhnya. Lagi pula ibuku meninggal lantaran sakit, kesehatannya memang lemah, jadi bukan lantaran ayah tiriku pergi meninggalkannya.” sanggahku.

“Maafkan saya Fay. Kurasa saya juga tahu apa alasan lain yang menyebabkanmu melaksanakan pembunuhan itu. Dokter Gani telah bercerita banyak padaku.”


Mendengar nama Dokter Gani disebut, seolah ribuan guntur menyambarku. Menguak ingatan lama yang selalu berusaha untuk kulupakan. Ingatan yang terlampau menyakitkan.


***


3. Kilas balik


Siang itu saya tengah mengerjakan kiprah sekolahku di kamar. Saat itu usiaku gres menginjak 12 tahun. Suasana rumah siang itu memang teramat lengang. Ayah dan ibuku tengah pergi menghadiri sebuah perhelatan tak jauh dari rumahku. Sedangkan abang laki-lakiku tengah pergi ke rumah temannya. Aku yang ketika itu tengah asyik mengerjakan kiprah sekolahku, tak menyadari pintu kamar yang perlahan terbuka. Aku memang duduk membelakangi pintu ketika itu. Tugas sekolah yang cukup rumit menyita segenap perhatianku, tanpa pernah kusadari sesosok iblis tengah mengendap-endap mengintaiku. Sampai tiba-tiba, selembar kain melingkari kepala dan menutup mataku. Kurasakan tubuhku diangkat dan dihempaskan ke atas daerah tidurku. Aku terkejut. Serta-merta akupun meronta dan menjerit. Kurasakan sepasang tangan yang kuat mengikat tangan serta kakiku kemudian memplester rapat mulutku. Aku merasa sangat ketakutan. Dalam hati saya menjerit dan menangis. Saat itu saya tak tahu apa yang akan terjadi padaku. Aku hanyalah seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Meski begitu saya sangat merasa ngerri dan takut. Aku berharap ayah dan ibuku akan segera pulang menolongku. Sampai tiba-tiba, saya mencicipi sakit yang teramat sangat pada pecahan kewanitaanku. Aku merasa tubuhku terbelah dan tercabik-cabik! Aku ingin menangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Saat itu saya hanya sanggup terisak-isak menahan sakit yang begitu tak terperihkan. Aku mencoba meronta, namun keadaan kaki dan tanganku yang terikat menciptakan rontaanku menjadi tak ada gunanya. Hatiku menjerit dan menangis. Aku tak kuasa menahan sakit dan perih yang teramat sangat. Sampai karenanya saya tak lagi sanggup mengingat apapun. Kesakitan yang teramat sangat membuatku tak sadarkan diri. Sampai sebuah jeritan panjang yang memilukan menarik jiwaku dari ketidak sadaran. Sepasang tangan-tangan lembut membuka ikatan pada kaki dan tanganku, kemudian membuka tutup mata dan mulutku. Ketika itu kulihat wajah ibuku yang penuh kepedihan dan air mata. Dibungkusnya tubuhku dengan selimut. Ketika kurasakan pelukan ibu yang begitu erat dan hangat, akupun tak kuasa untuk membendung ledakan tangis yang menyesaki dadaku. Aku mencicipi sakit dan perih yang teramat sangat pada kewanitaanku. Kurasakan sesuatu yang hangat mengalir dari sela-sela pahaku, mmembasahi selimut yang membungkus tubuhku. Tiba-tiba kudengar ibuku menjerit dan menangis memanggil-manggil abang laki-lakiku panik. Kulihat kakakku yang wajahnya dibasahi dengan air mata menghambur ke dalam kamarku.


“Panggilkan dokter Van! panggilkan Dokter Gani kemari! Oh tuhan Fayaku, putriku. Huhuhu… Mengapa ini terjadi padamu nak… Huhuhu…”

Kudengar ibuku terus terisak-isak sambil memeluk tubuhku. Kulihat wajah kakakku yang nampak panik dan terkejut ketika melihatku. Kakakku segera berlari melesat pergi ke luar. Saat itu gres kusadari bahwa cairan hangat yang terus mengalir membasahi kaki dan selimutku itu yaitu darah. Melihat hal itu saya begitu trauma dan ketakutan.


Tak lama kemudian kulihat kakakku tiba bersama Dokter Gani. Ketika Dokter Gani menyentuhku untuk mengusut keadaanku. Entah mengapa saya merasa begitu ngeri dan takut. Akupun menjerit dan meronta sekuat tenagaku. Ibuku yang menjadi sangat terkejut mencoba untuk membujuk dan menenangkanku, demikian pula dengan Dokter Gani. Namun rontaan dan jeritanku tak juga berhenti. Sampai akhirnya, sebuah bacokan di lenganku melemahkan tubuhku dan menghilangkan kesadaranku.


***


Perlahan keasadarankupun mulai kembali. Aku mencicipi tubuhku yang menjadi sangat lemah dan tak berdaya. Samar-samar di sela isakannya kudengar ibu berkata kepada dokter Gani.


“La laki-laki biadab itu te telah kabur dokter. Aku tak menyangka i ia te tega memperkosa putrinya se sendiri. Be bersumpahlah dokter, bersumpahlah untuk tak me menyampaikan ini kepada siapapun. Aku tak ingin putriku me menanggung aib seumur hidupnya dokter… Bersumpahlah dokter…”


Saat itu saya tak menyangka bahwa ternyata ayah tirikulah yang telah tega memperkosaku. Selama ini saya selalu menganggapnya menyerupai ayahku sendiri, lantaran saya tak pernah mencicipi bagaimana rasanya kasih sayang seorang ayah. Ayahku meninggal semenjak saya masih bayi, kemudian ketika usiaku 8 tahun, ibuku menetapkan untuk menikah lagi.

Di kemudian hari saya gres tahu bahwa di program perhelatan siang itu ayah tiriku itu meminta izin ibuku untuk pamit terlebih dahulu lantaran ia bilang ada urusan yang harus dikerjakannya. Kejadian itu meninggalkan penyesalan yang dalam di sepanjang sisa hidup ibuku. Ia sering berkata padaku,

“Seandainya siang itu ibu tak mengizinkan lelaki biadab itu pulang terlebih dulu, kamu niscaya tak akan menanggung penderitaan ini nak.”

Bila sudah begitu ibu niscaya akan menangis tanpa henti hingga ia tertidur.


Kudengar bunyi Dokter Gani yang penuh keraguan bersumpah di depan ibuku untuk tak menyampaikan keadaanku ketika itu kepada siapapun. Aku sadar Dokter Gani tak puas dengan keputusan ibuku. Dokter Gani menginginkan ibu melaporkan kejadian yang menimpahku kepada polisi. Namun ibu tak ingin menciptakan orang-orang tahu keadaan yang kualami dan menimbulkan saya menanggung malu. Aku sanggup mengerti keinginan ibuku, meski rasanya berat untuk membiarkan laki-laki biadab itu bebas begitu saja.


***


Sejak kejadian ketika itu, kian hari badan ibuku semakin kian kurus. Kondisi kesehatan ibukupun memburuk. Kakakku berhenti melanjutkan kuliah dan lebih menentukan bekerja mengurus toko dan perkebunan milik kami. Biasanya ayah tirikulah yang mengurus semua itu, namun sesudah kepergiannya, kakaklah yang harus mengurus semuanya. Apalagi keadaan ibu yang menjadi semakin lemah tak memungkinkan ibu bisa untuk membantu.


Sejak kejadian siang itu saya menjadi anak yang pemurung dan pendiam. Aku tak mau pergi keluar rumah apalagi pergi ke sekolah. Aku selalu merasa takut dan curiga. Dari dongeng kakakku saya juga tahu bahwa saya sering berteriak ketakutan ketika saya sedang tidur. Aku juga sering menangis dan menjerit secara tiba-tiba, menciptakan abang dan ibuku terkejut. Bila sudah begitu ibu niscaya tak kuasa menahan ratap tangisnya. Aku tak pernah berniat menciptakan luka dalam hati ibu menjadi semakin parah, namun saya tak pernah bisa mengendalikan ketakutan dan kengerianku akan kejadian siang itu. Di manapun saya berada, saya merasa banyak bayang-bayang kelam yang mencoba mengurung dan menyergapku. Banyak tangan-tangan yang akan menangkap dan mengikatku. Aku merasa kejadian siang itu berkembang menjadi menjadi hantu yang selalu mengintai dan mengikuti setiap langkahku. Membuat saya senantiasa dicekam kengerian dan ketakutan.


Semakin hari kondisi kesehatan ibuku menjadi semakin rapuh. Sampai pada suatu pagi kudapati ibu telah meninggal. Hampir semua orang mengganggap kematian ibu yaitu akhir kesedihan lantaran kepergian ayah tiriku yang secara tiba-tiba. Hanya aku, kakakku dan Dokter Ganilah yang tahu apa penyebab memburuknya kesehatan ibu hingga menimbulkan kematiannya.


Kepergian ibu menciptakan kondisi mentalku menjadi semakin buruk. Aku jadi sering mengamuk, menjerit dan menangis. Bila sudah begitu kakakku bilang padaku bahwa saya sulit untuk sanggup didekati, lantaran siapapun yang berani mendekatiku niscaya akan kusakiti. Karenanya kakakku selalu meminta pemberian Dokter Gani untuk menenangkanku.

Ketika malam tiba biasanya saya tak berani untuk tidur, saya selalu merasa ketakutan dengan mimpi-mimpi jelek yang kualami. Saat itu saya selalu ingat ibuku. Jika bersama ibu, meskipun saya bermimpi jelek saya selalu merasa tenang. Dokter Gani pernah memberikanku obat tidur, namun obat itu hanya sekali kuminum. Obat-obatan itu tak menciptakan mimpi-mimpi burukku menghilang. Kemudian Dokter Gani menyampaikan obat lain untukku, dan alangkah bersyukurnya aku, lantaran obat-obatan itu membuatku sanggup tertidur tanpa harus bermimpi buruk.


Mimpi-mimpi jelek yang kualami biasanya tak jauh berbeda setiap malamnya. Tangan dan kakiku terikat, kemudian lisan serta mataku tertutup. Lalu kejadian mengerikan itu seolah terulang kembali di dalam mimpiku. Mengalaminya sekali saja saya tak sanggup, apalagi bila saya harus mengulangnya di setiap tidurku. Walaupun hanya mimpi, kejadian itu tetap selalu tak pernah berkurang mengerikannya bagiku.

Terkadang saya berfikir mengapa saya harus mengalami kejadian mengerikan itu. Seandainya saya tak mengalami kejadian jelek itu, ibuku niscaya tak akan jatuh sakit hingga meninggalkan diriku sendirian dalam penderitaan ini.


Sejak kepergian ibu, saya hanya tinggal berdua dengan kakakku. Hampir setiap malam, mimpi jelek dan ketakutan selalu tiba menerorku. Aku tak pernah merasa tenang. Kakak sering membujukku untuk bersedia pergi ke sekolah, namun saya selalu menolak keras semua bujukkannya.

Sampai akhirnya, kakakku mengusulkan untukku bersekolah di rumah dengan menyewa seorang guru. Aku tak ingin mengecewakan keinginan kakakku meski sebetulnya tak ada semangatku untuk bersekolah.


Semakin dewasa, saya semakin mengerti bahwa impianku sebagai seorang perempuan telah hancur. Setiap hari saya hidup dalam ketakutan dan penderitaan. Mimpi jelek tak pernah berhenti tiba menerorku bila saya tak meminum obatku di setiap malam.


Sambil mengurus saya dan pekerjaannya, ternyata kakakku tak pernah berhenti berusaha mewujudkan impiannya sebagai seorang pelukis.

Ya, kakakku mewarisi darah seni ayahku. Ia bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis terkenal, mewujudkan mimpi ayahku yang belum sempat diraihnya.

Disela-sela kesibukkannya, kulihat kakakku menyapukan mimpinya di atas sebuah kanfas. Aku yang tak mengerti menilai sebuah lukisan pun, sangat terkagum-kagum melihat hasil lukisan kakakku.


Sampai pada suatu hari, seorang sahabat kakakku menyampaikan untuk membawa lukisan kakakku kepada pengamat seni di kampusnya.


Alangkah gembiranya kakakku ketika lukisan-lukisannya diminta untuk dipamerkan di sebuah galeri. Bukan sebuah galeri populer memang, namun kakakku yakin bahwa ini merupakan langkah awal untuk ia mewujudkan impiannya.

Dengan proses yang cukup lama dan panjang karenanya nama kakakku beranjak naik sebagai seorang pelukis berbakat. Kakakkupun melanjutkan sekolah seninya. Ia terpaksa menitipkan pengelolahan toko dan perkebunan kami kepada orang yang dipercayanya.


Kakakku membawaku pergi ke kota. Aku tak menyangka bahwa di daerah baruku saya lebih sanggup beradaptasi dan lebih gampang mendapatkan masa laluku. Sudah 5 tahun waktu berlalu semenjak kejadian mengerikan itu. Sepertinya kakakku sanggup mencicipi perubahan kondisi mentalku yang semakin baik. Kakakku menyarankan semoga saya masuk perguruan tinggi tinggi. Awalnya saya agak ragu, namun kakakku terus mendorong dan menyemangatiku.

Sampai pada karenanya akupun bersedia melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi tinggi.


12 tahun sudah waktu berlalu, tanpa pernah berhasil menghapus jejak kelam dalam hidupku. Sepanjang malam, di tiap mimpi-mimpiku, teror kengerian masa kemudian itu terus tiba menghantuiku. Merongrong jiwaku yang semakin hari kian rapuh.


Ada bara yang menyala dalam dadaku. Panasnya mengkremasi jantungku.

Haruskah saya memadamkannya? Atau sanggupkah kubiarkan panasnya bara menghanguskan jantungku menjadi abu? Jutaan tanya bergelora dalam benakku.


Aku sadar kini Nick telah tahu segalanya tentangku. Tak ada gunanya lagi saya mengingkari semuanya.


4. Trauma


Lama saya bengong membuka satu persatu lembaran kelam dalam hidupku. Sebuntal kenangan pahit yang susah-payah saya coba enyahkan dari ruang-ruang ingatan di kepalaku. Namun, sekeras apapun saya mencoba, saya tak pernah berhasil melenyapkannya.


“Ternyata kamu telah tahu semua. Tak ada gunanya lagi saya ingkar. Sekarang segalanya terserah padamu.”

Kulihat Nick bangun menghampiriku. Ia berlutut di hadapanku dan menggenggam kedua tanganku. Kudapati ketenangan di kedua matanya yang teduh. Sambil menatapku ia berkata,

“Tidak. Aku tidak akan berbuat apapun padamu Fay. Kau tahu bagaimana perasaanku selama ini. Dan kini saya tahu apa alasanmu selalu menolakku. Apapun itu Fay, perasaanku akan tetap sama padamu. Hal itu bahkan membuatku semakin ingin melindungi dan menjagamu.”

Mendengar perkataannya, membuatku tak kuasa menahan jatuhnya air mataku. Selama ini, sudah seringkali ia meminta saya untuk bersedia menikah dengannya. Namun saya selalu teringat akan keadaanku. Setiap kali saya selalu dipaksa untuk bercermin. Aku ragu, apakah saya sanggup menjadi perempuan yang baik untuknya. Trauma masa laluku menjadi hantu di sepanjang sesa hidupku.


“Kau terlalu baik untukku Nick. Kau pantas mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku.”

Kusadari hatiku yang menangis pilu ketika kuucapkan perkataan itu padanya. Sekuat tenaga kutahankan kepedihan yang mengoyak jantungku. Aku tak ingin meratapi keadaan yang membuatku harus menelan kenyataan pahit ini.

Sambil menghapus air mata di pipiku dengan ibu jarinya, kudengar ia berkata,

“Itu tak penting untukku Fay. Aku ingin membawamu pergi jauh bersamaku. Aku tak ingin mereka menangkapmu.”

Kudengar nada posesif yang mewarnai suaranya.

“Maafkan saya Nick, saya tak ingin membuatmu meratapi pilihanmu kelak. Tak hanya tubuhku yang telah rusak, namun juga jiwaku.” suaraku terdengar murung dan sedih. “Aku tak akan lari dari kondisi yang harus kuhadapi ini. Polisi niscaya akan tahu yang sebenarnya. Mereka juga sudah mulai menyusuri jejak-jejak masa lalu, hingga pada akhirnya, kecurigaan pun akan jatuh padaku. Aku tak ingin menjadi buruan polisi. Bagaimanapun juga saya telah sadar akan kemungkinan yang harus kuhadapi lantaran tindakanku.”

Kulihat kekecewaan yang dalam di mata Nick ketika kuutarakan semua keputusanku. Ingin rasanya saya menjerit dan merutuki kepahitan dalam hidupku ini. Andai kamu tahu Nick, betapa inginnya saya mencicipi indahnya sebuah pernikahan. Memiliki anak, menjadi seorang ibu. Aku sadar itu semua hanya akan menjadi mimpi dan angan-anganku. Jangankan untuk melaksanakan tugasku sebagai istri, membayangkannya saja saya selalu dicengkram oleh perasaan ngeri. Kini saya telah menjadi seorang pembunuh. Tak hanya tubuhku yang telah rusak, jiwakupun telah cacat.


“Baiklah, bila itu sudah menjadi keputusanmu. Aku tak berhak memaksamu mengikuti keinginanku.”

Kudengar ia menghela nafas panjang kemudian bangun duduk di sebelahku. Masih sambil menatapku ia berkata, “Hanya saja, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan dalam benakku. Benarkah dugaanku, bila Paris yaitu kakakmu?”

Aku tertegun

“Haruskah saya menjawab pertanyaanmu?”

“Tidak, tidak perlu bila kamu tak mau.”

Digenggamnya kedua tanganku.

“Tapi izinkan saya mengutarakan dugaanku. Sebenarnya ini hanya sebuah kebetulan. Tetanggamu berkata padaku bahwa anak yang lebih bau tanah kini telah menjadi seorang pelukis terkenal. Aku penasaran. Kuputuskan untuk mencari info yang lebih lengkap di internet. Meski samar, saya sanggup melihat beberapa persamaan pada foto pelukis itu dengan Paris. Kumis dan rambut yang gondrong memang cukup sanggup menyembunyikan wajah aslinya. Apalagi ditambah dengan sedikit pincang dan agak dungu. Aku sempat ragu, namun yang terjadi dengan obat tidur itu cocok dengan apa yang kufikirkan bila benar Paris yaitu kakakmu. Siapa yang menyangka? Seorang Paris yang pincang dan dungu yaitu Arvan Arsya? Pelukis populer itu?”


Aku hanya sanggup bengong menanggapi dugaannya. Aku tak tahu harus berkata apa. Ia menatapku ragu. Sepertinya ia merasa khawatir bila perkataannya telah menyinggung perasaanku.


“Maafkan aku. Mungkin tak seharusnya saya terlampau ingin tahu. Tapi percayalah padaku. Aku tak pernah berfikiran jelek mengenai dirimu. Aku mungkin tak sanggup mencicipi kebencian dan dendam yang melingkupi jiwa kalian, namun saya cukup bisa memahami motif di balik tindakan yang kalian lakukan. Di luar perasaanku padamu, saya mengagumi keberanian kalian berdua.”


Aku menghela nafas panjang kemudian tersenyum samar.

“Aku sanggup mengerti ketertarikanmu dengan pembunuhan ini. Hanya saja saya tak menyangka bahwa kaulah orang pertama yang karenanya sanggup mengetahui keterlibatanku di dalamnya. Kau, temanku sendiri. Bukankah ini sangat menggelikan?”

Kulihat kedua alisnya terangkat,

“Ini semua hanya kebetulan saja Fay. Jika saja malam itu saya tak menetapkan keluar flat untuk membeli sebungkus rokok, mungkin hingga ketika ini saya tidak akan mengetahui apapun wacana dirimu. Juga wacana alasan mengapa kamu selalu saja menolakku, padahal hatiku selalu merasakaan cinta di setiap perhatianmu kepadaku.”


Perkataannya menciptakan wajahku terasa panas. Aku tersipu. Tak ada kata-kata yang bisa kuucapkan ketika itu. Aku bergegas bangun melangkah kembali ke flatku. Di belakang kudengar Nick yang memanggil-manggil namaku, memintaku untuk kembali. Suaranya terdengar cemas dan bingung. Dalam hati saya merasa sangat malu. Tak mengertikah ia, bila perkataannya itu membuatku tak bisa untuk memandang wajahnya?


***


Di dalam kamar flatku, saya tercenung. Aku sadar, lambat laun polisi akan tahu siapa pembunuh yang sebenarnya. Aku telah memikirkan masak-masak resiko yang akan menimpahku sebelum saya bertindak. Tak ada keraguan dalam hatiku, begitupun malam ini. Jika saya harus tertangkap, saya akan berusaha semoga kakakku tak banyak terlibat. Biarlah eksekusi terberat jatuh padaku. Aku sadar, tak ada yang tersisa lagi dari diriku. Masa kemudian telah menghancurkan masa depanku. Jika eksekusi mati sanggup membebaskanku dari keduanya, saya akan dengan nrimo menerimanya.


Tuhan, maafkan saya dikarenakan telah melawan keadilanmu.

Kumohon, jangan biarkan ada orang lain lagi yang mencicipi apa yang pernah kurasakan sepanjang hidupku.

Aku tak meratapi takdir yang telah kamu gariskan untukku. Aku hanya merasa menyesal lantaran tak bisa menghapuskan trauma masa lalu. Aku bisa mencintai, namun saya tak bisa dicintai. Oh tuhan… Berikan saya pengampunanmu.


***


Keesokan paginya, ketika saya tengah duduk menikmati segelas teh hangat, saya mendengar pintu flatku diketuk. Aku sedikit tersentak dari keheningan yang menyelimutiku pagi itu. Cepat-cepat kulangkahkan kaki untuk membuka pintu. Aku agak terkejut melihat Nick yang ternyata berdiri di baliknya. Dengan lembut dibimbingnya saya masuk bersamanya ke dalam flat. Ditutup dan dikuncinya pintu.


Aku agak gundah melihat tindakannya ketika itu.

“Mau apa kamu Nick?” tanyaku tak mengerti.

“Aku ingin membawamu pergi. Semalam saya telah bertemu kakakmu dan menjelaskan semua padanya. Ia sepakat untuk mengajakmu melarikan diri.”

Aku melihat tekat keras di sepasang matanya yang senantiasa tenang. Aku sadar ia niscaya akan memaksaku bagaimanapun caranya. Namun saya tak ingin melarikan diri. Aku merasa tak akan ada gunanya.

“Tidak! Aku tidak mau Nick. Dengar! Ini semua tak akan ada gunanya. Jangan memaksaku. Aku bersalah dan saya akan mempertanggung jawabkan kesalahanku.” pintaku teggas.

“Tapi saya tak ingin mereka menangkapmu! Aku tak ingin mereka menghukum mati dirimu. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku tak akan sanggup mendengar mereka menjatuhkan eksekusi itu padamu. Aku hanya ingin melindungi dan menjagamu. Kumohon ikut aku.”

Rasanya sakit mendengarnya bicara menyerupai itu padaku.

“Nick, jangan paksa aku. Aku tak bisa. Maafkan saya Nick. Aku saya juga mencintaimu.” sekuat hati kutahan desakan air mataku. Aku benci menangis. Aku benci menjadi cengeng dan lemah. “Aku bukan bawah umur lagi yang perlu kamu jaga dan kamu lindungi. Relakan aku. Kau niscaya akan bisa melupakanku.”


Kulihat ia memandangku aneh. Kedua alisnya tertaut. Insting dalam diriku mulai memberi peringatan. Sebelum ia berhasil menyergapku, saya terlebih dulu melesat ke arah pintu. Namun sebelum saya berhasil membuka kunci, ia terlebih dulu berhasil memiting kedua tanganku. Aku akal-akalan mengaduh kesakitan, benar saja, kurasakan ia mengendorkan cengkramannya di tanganku. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera kusikut rusuknya sekuat tenaga. Kudengar ia mengaduh kesakitan. Cengkraman tangannya pada tangankupun terlepas. Aku segera bergegas memutar kunci dan berlari keluar.


Saat hendak keluar gedung, saya berpapasan dengan sepasang polisi berseragam. Aku berhenti dan menghalangi jalan mereka. Dengan nafas terengah saya bertanya,

“Maaf, apakah, Bapak, berdua mencari, saya?”

Mereka nampak gundah mendengar pertanyaanku. Dengan nafas yang lebih teratur saya kembali bertanya,

“Maaf Pak, apakah Bapak berdua tiba ke flat ini untuk mencari Faya Arsya?”

Masih nampak gundah dengan pertanyaanku, salah seorang dari mereka menjawab,

“Benar Nona. Apakah Nona mengenal nama itu?”

“Saya orangnya Pak.”

Kulihat mereka tersentak dan mulai memperhatikan wajahku. Sejanak kemudian salah seorang dari mereka mengangguk setuju. Kuberikan kedua pergelangan tanganku.

“Maaf Nona.” ujar salah seorang dari mereka sambil memasang benda keras dan hirau taacuh itu melingkari kedua pergelangan tanganku. Aku hanya tersenyum kaku.


“Tidak!”

Lantang kudengar bunyi penuh kepedihan itu di belakangku. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Nick telah menyaksikan sesuatu yang sangat tak ingin dilihatnya. Maafkan saya Nick. Aku hanya bisa berdesah pilu dalam hati.


Kurasaakan tangan Nick yang menggenggam bahuku dan memutar tubuhku ke arahnya.

“Mengapa Fay? Mengapa?” tanyanya sambil mengguncang-guncang tubuhku.

Dengan sangat enggan kuangkat kepalaku. Aku terkejut melihat air mata yang menggenang di sepasang matanya.

“Oh tuhan… Berikan yang terbaik untuk laki-laki di hadapanku ini.” pintaku dalam hati.

Lekat kupandangi wajahnya, mungkin untuk yang terakhir kali. Kupahat kuat dalam ingatanku.


“Bagaimana rusukmu? Maafkan saya ya, saya terpaksa menyikutmu.” Entah mengapa justru kata-kata itu yang keluar dari bibirku. Kulihat ia tersenyum. Sepasang matanya dipenuhi air mata.

“Terus ingat saya ya, lantaran saya tak akan pernah berhenti mengingatmu.” pintanya sendu. Aku tercekat mendengarnya, lidahku terasa kelu. Aku hanya sanggup tertunduk menyembunyikan air mataku. Kurasakan pandangannya nanar menatap kepergianku.


***


Ketika saya masuk ke dalam kendaraan beroda empat polisi pagi itu, saya mendapati kakakku yang menyeringai sebal memandangku. Kedua pergelangan tangannyapun telah dilingkari borgol. Dengan perasaan pedih saya membalas seringaiannya.


“Mengapa kamu tak mau pergi?” tanyanya jengkel.

“Kakak fikir saya mau membiarkan abang menikmati eksekusi itu sendiri?” selorohku.

“Kau memang keras kepala.”

“Kalau tidak, saya tak mungkin ada di dalam sini dengan kedua tangan diborgol.”

“Kau tak kasihan dengan laki-laki tadi?”

Mendengar pertanyaan itu saya hanya sanggup memalingkan wajahku.

“Sepertinya dia sangat mencintaimu.” godanya.

“Ah…” desahku sebal. Kudengar ia terkekeh menertawakanku.

“Yah… Setidaknya saya tak perlu lagi berpura-pura pincang. Lama-lama itu menciptakan kakiku pegal dan kram juga. Kadang saya berfikir, jangan-jangan saya bisa jadi pincang benaran?”

Kudengar kakakku kembali terkekeh-kekeh membayangkan leluconnya sendiri. Mau tak mau akupun tersenyum mendengarnya.


Di sepanjang perjalanan, kakakku banyak sekali bicara dan bercerita. Kebanyakan hal-hal yang dibicarakannya bukanlah hal yang penting, namun sanggup membangkitkan semangatku.

Aku sadari kakakku yang tengah mencoba menghibur dan menguatkanku. Di setiap kata yang coba disampaikannya padaku sanggup kuartikan bahwa ia tak ingin saya menyerah, saya harus berjuang hingga tak ada lagi yang sanggup kuperjuangkan.


Dalam hati saya bertanya-tanya, haruskah kujelaskan semua lembaran kelam dalam hidupku ini pada petugas pengadilan? Yang itu artinya seluruh dunia akan tahu noda kelam dalam hidupku.

Sanggupkah saya menanggungkan perasaan aib dari ribuan pasang mata yang entah apa yang akan mereka fikirkan tentangku.


“Inilah perempuan korban pelecehan yang membalas dendam pada bekas ayah tirinya sendiri.”


“Inilah perempuan yang jiwanya terganggu akhir kekejaman seksual yang dilakukan pada masa kecil oleh ayah tirinya.”


Oh tuhan… Sanggupkah kutanggungkan bermacam-macam cemoohan serta cibiran itu?


Bisa saja saya tak menyampaikan apapun pada pengadilan, namun kakakku niscaya tak akan setuju. Jika bukan saya yang mengatakannya, niscaya ia yang akan mengatakannya.

Aku tahu, ia hanya ingin menyelamatkanku dari eksekusi mati yang tentu akan kuterima bila saya tak sanggup menciptakan hakim mempertimbangkan keputusannya. Yang tanpa ia sadari hal itu mungkin sanggup lebih menghancurkanku dari sebuah eksekusi mati.

Aku seolah berdiri di atas bara yang masih menyala.


***


Sesampainya saya di kantor kepolisian, kakakku meminta dihubungkan dengan pengacara miliknya.

Ia menyampaikan kepada pihak kepolisian bahwa ia dan saya tak akan menyampaikan pernyataan apapun tanpa didampingi pengacara kami. Pihak kepolisian pun sanggup mendapatkan penolakannya.

Saat itu saya gres ingat siapa kakakku. Bagaimanapun juga ia yaitu orang yang cukup dikenal publik. Meskipun saya tak tahu seberapa banyak orang yang masih akan mengaguminya sesudah informasi penangkapan ini tersebar.


Satu jam kemudian, tim pengacara kami datang. Kamipun saling memperkenalkan diri. Pengacara yang akan membelaku yaitu seorang perempuan setengah umur berjulukan Tania. Kutaksir usianya sudah 45 tahunan. Ia nampak lembut namun tegas. Kecerdasan terpancar dari sorot matanya yang terbingkai beling mata. Rupanya ia telah lama mengenal kakakku.


Di dalam ruangan tertutup pagi itu ia meminta kami menjelaskan kasus yang tengah kami hadapi. Tak ada yang sanggup kukatakan. Saat itu lidahku terasa kelu. Sepertinya kakakku sanggup mencicipi kecanggungan dalam diriku. Ditepuknya bahuku, kemudian dengan lancar kudengar ia menjelaskan semua permasalahan kami kepada mereka yang ada di dalam ruangan itu.

Beragam emosi kulihat silih berganti mewarnai satu per satu waja-wajah mereka yang mendengarkan keterangan kakakku, namun lain halnya dengan Ibu Tania. Wajahnya masih tetap hening tak terpengaruh. Aku penasaran, ingin tahu apa yang ketika itu ada di dalam fikirannya.

Setelah kakakku mengakhiri keterangannya, sejenak keheningan menggantung di antara kami sebelum karenanya Ibu Tania berbicara,

“Kami akan berusaha sekeras mungkin untuk membela anda dan adik anda. Saya yakin, adik anda tak akan dijatuhi eksekusi mati.” Kami akan berupaya semaksimal mungkin semoga eksekusi yang akan anda berdua terima yaitu eksekusi yang sangat adil.” kudengar keyakinan yang kuat pada nada suaranya ketika itu. Sambil menatap mataku kemudian, ia melanjutkan, “Saya sanggup mencicipi ini niscaya sangat berat bagi anda, namun apapun itu, kita harus berani menuntut keadilan yang seadil-adilnya.”

Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Kemudian kudengar bunyi kakakku bicara seolah mewakiliku.

“Terima kasih. Saya sangat menghargai usaha rekan-rekan semua untuk membela kami. Apapun keterangan yang rekan-rekan butuhkan, bila saya mampu, niscaya akan saya berikan.”


Usai pertemuan pagi itu, siang harinya kami berdua pun segera menghadapi introgasi dari kepolisian.

Dengan di dampingi pengacaraku siang itu, saya mencoba tegar menjawab setiap pertanyaan yang diajikan.


***


5. Pengadilan


Beberapa bulan kemudian, sidang perdana kasuskupun dimulai. Hakim ketua sidang meminta jaksa penuntut umum untuk mulai membacakan surat dakwaan kepada kami. Saat itu seluruh masyarakat telah mengetahui latar belakang dari masalah ini. Berbagai macam awak media telah mencoba memberitakan dengan banyak sekali macam fersi serta sudut pandang mereka masing-masing.

Sepanjang proses persidangan, abang dan tim pengacaraku terus memotifasiku. Jujur saja, ketika itu sebetulnya saya tak mencicipi apapun. Aku tak lagi mempunyai keinginan dan harapan. Bagiku apapun fonis yang akan dijatuhkan hakim kelak terhadapku tak akan ada pengaruhnya. Sejak dulu hidupku memang telah hancur, dan kini tinggal menunggu kemusnahannya saja. Dalam fikiranku, saya hanya harus sanggup menciptakan hakim melihat semua kesalahan kepadaku, bukan kepada kakakku. Yang mempunyai inspirasi untuk membalas dendam yaitu diriku. Waktu yang seolah mempertemukanku dengan lelaki biadab itu ketika saya mulai pindah menempati flatku yang sekarang. 2 bulan sesudah saya menempati flat itu, saya gres tahu bahwa ia tinggal tak jauh dariku. Api dendam dalam dadakupun mulai tersulut, menciptakan jiwaku perlahan terbakar oleh panasnya api kebencian. Malam-malamkkupun tak lagi tenang. Mimpi-mimpi jelek yang perlahan hilangpun mulai kembali tiba mengusik. Api itu mulai menyala membakarku dari dalam. Rencana balas dendampun mulai terbentuk di kepalaku. Aku tak kuasa untuk tak menceritakan segalanya kepada kakakku. Ia sudah menyerupai orang bau tanah bagiku. Saat itu saya tak pernah berfikir bahwa ia akan memaksa untuk membantuku. Berulang kali saya menolak untuk melibatkan dirinya, hingga tanpa sepengetahuanku ternyata ia telah mencoba menyamar sebagai seorang pelayan di rumah lelaki itu. Setelah saya tahu tindakan yang diambilnya, akupun tak bisa lagi untuk menolak keterlibatannya. Meski berat, karenanya kuputuskan juga untuk melaksanakan planning balas dendamku. Kebencian dalam jiwaku mengaburkan fikiran sehatku. Aku tak perduli lagi akan eksekusi yang akan kuterima bila saya tertangkap. Yang ada di kepalaku yaitu membalas setiap kesakitan yang telah ditinggalkan lelaki itu pada tiap-tiap tahun dalam hidupku. Kubuat pembalasan dendam itu menjadi hal yang sedramatis mungkin. Mungkin saya telah menjadi gila, tapi saya ingin menikmati setiap momen yang terjadi ketika pembalasan dendam itu dimulai. 12 yaitu angka yang selalu saya ingat di dalam benakku. Angka yang meninggalkan kesan mendalam di perjalanan hidupku. Pada umur 12 tahun kehancuran hidupku dimulai. Kini 12 tahun sudah saya menanggung beban derita dari perbuatan biadabnya. Kuputuskan untuk menyampaikan 12 luka bacokan yang dalam dan tersusun membentuk angka 12 pada tubuhnya, semoga sanggup ia rasakan sakitnya kematian secara perlahan-lahan. Apa yang telah dirasakannya, bagiku masih belum sebanding dengan derita yang harus kutanggungkan sepanjang sisa hidupku. Aku tak ingin berada pada satu naungan langit yang sama dengan orang yang telah membunuh masa depanku. Sekali lagi mungkin saya telah gila, lantaran saya tak pernah merasa menyesal dengan perbuatanku.


Di setiap persidangan, saya berusaha untuk sekooperatif mungkin dengan seluruh petugas hukum. Aku tak ingin mengecewakan usaha tim pengacaraku. Aku juga tak ingin menciptakan kakakku mengalami kesulitan. Meskipun ia selalu bilang padaku bahwa ia tak akan keberatan bila ia harus menanggung semua eksekusi itu sendiri asalkan hakim bersedia membebaskanku, namun apa ia pikir saya akan bersedia menerimanya? Bagiku lebih baik mati dari pada harus melihatnya menanggung semua eksekusi itu. Karenanya di sepanjang persidangan saya selalu berusaha menciptakan hakim melihat kesalahan-kesalahanku, bukan kesalahan kakakku. Aku sadar, bahwa kakakku mempunyai kiprah yang cukup besar dalam masalah ini. Karenanya, saya selalu meminta Ibu Tania untuk berusaha keras meringankan hukumannya.


“Saya akan berusaha membela anda berdua, tanpa mengorbankan yang lain.”

Itu yang selalu dikatakannya padaku bila saya mulai berbicara wacana pembelaan terhadap kakakku.


***


Hari ini Aku mulai memasuki ruang pengadilan kembali untuk menghadapi sidang keduaku. Ketika saya masuk ke sana, kursi-kursi telah penuh dengan orang-orang yang kukenal sebagai teman-teman kakakku. Banyak dari mereka yang mengacungan tangan memberi semangat kepada kami. Jujur saja, ketika itu saya merasa sangat terharu. Aku tak menyangka bahwa akan ada orang-orang yang masih akan bersimpati dengan keadaan kami. Yang membuatku terkejut, ketika itu saya melihat kehadiran Nick di barisan pengunjung. Nick nampak tersenyum menyemangatiku. Aku hanya sanggup menatapnya datar. Aku tak ingin ia mengetahui bahwa betapa berarti kehadirannya untukku pagi itu. Aku duduk di dingklik terdakwa di samping kanan Ibu Tania. Kemudian jaksa penuntut umum mulai mengajukan bukti dan saksi-saksi. Setelah beberapa orang saksi selesai diperiksa saya terkejut melihat saksi yang berikutnya hadir. Ia yaitu Dokter Gani. Kulihat dia memandangku tenang. Saat itu saya gres sadar bahwa ia akan menjadi saksi kunci di persidanganku. Pernyataanya akan menjadi alasan kuat untuk hakim menjatuhkan eksekusi mati atau tidaknya kepadaku.


12 tahun sudah kejadian itu berlalu semenjak Dokter Gani membantuku bangun dari kejatuhan kondisi mentalku. Ketika melihatnya lagi rasanya gres kemarin kejadian itu terjadi. Meskipun Dokter Gani kini 12 tahun lebih tua, cerut-merut di wajahnyapun semakin bertambah, namun ketenangan dalam dirinya tak pernah berkurang. Cerut-merut di wajahnya justru menciptakan sosoknya nampak sabar dan bijak. Aku seolah kembali ke masa kanak-kanak itu. Masa di mana kejadian pedih itu belum terjadi. Ketika saya sakit, ibu selalu membawaku berobat ke Klinik Dokter Gani. Dokter Gani menciptakan bawah umur tak pernah takut diajak pergi ke dokter. Aku tak pernah tahu semenjak kapan Dokter Gani ada di desaku. Yang kutahu semenjak pertama saya mengenal dokter,pertama kali yang kukenal yaitu Dokter Gani. Baru di persidangan inilah ketika jaksa bertanya kepadanya saya tahu bahwa ia telah menjadi dokter di desaku selama 30 tahun lamanya. Hakim ketua meminta Dokter Gani untuk bersumpah. Petugas pengadilan meletakkan kitab suci di atas kepala Dokter Gani kemudian kudengar suaranya bersumpah.


“Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya, dan tiada lain dari yang sebenarnya.”


Setelah mengucapkan sumpah, hakim ketua sidang mempersilahkan Dokter Gani untuk duduk kembali di dingklik investigasi saksi. Dengan hening dia menjawab semua pertanyaan jaksa penuntut umum. Ketika jaksa mulai bertanya perihal kejadian yang menimpahku 12 tahun lalu, entah mengapa Dokter Gani nampak gugup dan gelisah. Ia nampak beberapa kali menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan jaksa. Meskipun begitu, saya tak menyangka bahwa ia masih mengingat dengan baik kejadian itu. Dengan berurutan diceritakannya semua kepada petugas pengadilan. Diceritakannya juga permohonan ibuku yang memintanya bersumpah untuk tak melaporkan kejadian yang menimpahku ketika itu kepada siapapun. Di kemudian hari, barulah saya tahu penyebab kegugupan dan kegelisahannya ketika itu yaitu sumpah yang diberikannya kepada ibuku. Saat itu dikatakannya padaku bahwa ia menyesal dikarenakan telah menuruti seruan ibuku untuk bersumpah. Seandainya tidak, mungkin saya tak akan melaksanakan pembunuhan. Ia juga menyesal lantaran karenanya ia harus melanggar sumpahnya kepada ibuku di hadapan Nick dan petugas pengadilan. Meski begitu, ia akan merasa sangat senang bila ternyata kesaksiannya sanggup meringankan hukumanku


***


Pagi ini saya mencoba tampil sebaik mungkin di persidangan. Hari ini yaitu sidang terakhirku. Di sidang inilah saya akan mendapatkan fonis yang menentukan dari hakim. Jika saya memang harus mendapatkan Fonis mati saya ingin menerimanya dengan kondisi siap dan tenang. Dalam hati saya terus-menerus berdo’a yang terbaik untuk kakakku. Semoga ia akan mendapat eksekusi yang jauh lebih ringan dari hukumanku.


Ketika saya memasuki ruang pengadilan pagi itu, ruangan itu sudah nampak penuh. Semakin banyak sahabat dan rekan seniman kakakku yang hadir. Nampak ketegangan membayang pada wajah-wajah mereka. Saat itu saya justru merasa tenang. Aku berfikir bahwa ini semua akan segera usai. Aku lelah dengan semua mekanisme aturan yang harus kulalui ini. Dan hari ini, semuanya akan segera berakhir. Aku melihat Nick duduk bersama Dokter Gani. Di sebelahnya kulihat Firna yang wajahnya lembap dengan air mata. Aku terkejut melihat kehadirannya. Rasanya lucu bila kuingat bagaimana ia dulu ketakutan dengan pembunuh dan berlari ke tempatku. Ia justru berlari ke tempatku, daerah pembunuh yang ditakutinya. Semoga saja ia bersedia memaafkan kepura-puraanku ketika itu.


Kudengar hakim ketua sidang mulai membacakan isi putusan. Ternyata cukup panjang juga isi putusan itu hingga harus dibacakan secara bergantian dengan anggota hakim yang lain.


Wajah-wajah di dalam ruangan itu pun nampak semakin tegang.


Usai dibacakannya isi putusan, kini tibalah ketika pembacaan amar putusan/fonis. Hakim ketua sidang memintaku untuk berdiri. Dengan hening akupun bangun berdiri. Saat itu keheningan terasa begitu pekat mencekam. Tak ada sedikit bunyi pun yang terdengar. Setiap orang dicekam dengan ketegangan dalam dirinya masing-masing.


“Dengan ini hakim memutuskan, terdakwa di fonis 12 tahun penjara.” kemudian kudengar bunyi palu di ketuk sebanyak satu ketukan. Saat itu saya terlalu terkejut hingga tak mendengar perintah hakim ketua sidang semoga saya duduk kembali, hingga Ibu Tania membimbingku untuk duduk. Saat itu gres saya dengar suara-suara para pengunjung sidang di belakangku. Suara-suara yang penuh kelegaan dan rasa syukur. Ada juga yang mencela lantaran merasa eksekusi itu tak adil bagiku. Aku tak menyangka bahwa saya tak difonis mati. Aku terlalu sibuk dengan fikiranku ketika itu hingga saya tak mendengarkan klarifikasi hakim mengenai isi amar putusan yang dijatuhkan padaku. Untung saja Ibu Tania masih tetap hening hingga beliaulah yang mendengarkan.


Aku lega lantaran ternyata kakakku mendapat eksekusi yang lebih ringan dariku. Ia mendapat eksekusi 10 tahun penjara.


Jaksa penuntut umum serta keluarga korban pun sanggup mendapatkan keputusan hakim hingga tak mengajukan naik banding. Dari tim pengacaraku saya mengetahui bahwa istri korban merasa sangat aib ketika mendengar perbuatan keji suaminya di masa kemudian hingga sebetulnya ia tak lagi berniat untuk mengajukan tuntutan kepadaku. Bahkan ia sempat ingin mencabut tuntutannya pada sidang pertama lantaran ketika itu ia gres tahu apa yang telah diperbuat suaminya kepadaku di masa lalu, namun terlambat lantaran berkas program investigasi telah hingga di pengadilan.


Setelah sidang selesai saya memeluk kakakku lega. Aku senang lantaran setidaknya kakakku tak mendapatkan eksekusi yang lebih berat dariku. Kulihat ia tersenyum lebar. Kelegaan terlihat terang pada raut wajahnya yang akhir-akhir ini nampak selalu dipenuhi dengan ketegangan. Sambil memelukku ia berkata,


“Setidaknya penjara tak membuatku tak sanggup lagi melukis. Akan kulukis ketegangan dalam ruang sidang pagi ini.”

Mendengar perkataannya saya tak kuasa menahan tawa.

Aku melihat teman-teman kakakku tiba menghampiri serta menyalami kami. Wajah-wajah merekapun nampak tak lagi dipenuhi ketegangan. Satu per satu dari mereka kudengar menyampaikan semangat untuk kakakku.


“Tetap melukis Van!”

“Jangan berhenti berkarya!!”

“Kutunggu karyamu yang berikutnya!!”


Saat itu kulihat Nick, Firna dan Dokter Gani pun turut menghampiri kami.

Kuucapkan terima kasihku yang mendalam kepada Dokter Gani. Kukatakan padanya betapa berarti kesediaannya menjadi saksi di dalam persidanganku. Beliau hanya tersenyum sabar sambil menepuk-nepuk bahuku. Kakakku nampak terharu memeluk Dokter Gani. Aku mengerti betapa bergantungnya kakakku padanya dulu ketika mengurus kondisi metntalku yang labil. Doktter Ganilah satu-satunya orang yang tahu betapa hancurnya kondisi keluargaku ketika itu.

Kemudian kurasakan Firna memeluk tubuhku erat sambil berkata,

“Kau sangat pemberani Fay. Kuharap keberanianmu kelak tak lagi membuatku lari ketakutan.”

Aku yang mendengarnya hanya bisa tersenyum pahit.

Setelah itu kulihat Nick memandangku sendu. Dijabatnya tanganku erat-erat. Kulihat kerinduan dan kepedihan di sepasang matanya.

“Aku akan menunggumu Fay. Kumohon, jangan kecewakan penantianku.”

“Tidak! Aku tidak bisa.” Perkataanya membuatku sangat terkejut. “Jangan buang-buang waktu untuk menungguku Nick. Tak akan ada gunanya.” pintaku pedih.

“Terserah apa katamu Fay. Aku akan tetap menunggumu.” sahutnya tegas.


***


Epilog


Setelah saya menjalani 3/4 masa tahanan, karenanya akupun dinyatakan bebas. Saat itu kakakku sudah dibebaskan 2 tahun terlebih dahulu dariku.


Selama saya berada di dalam tahanan, Nick hampir tak pernah alfa menjengukku. Rasanya terharu melihat kesetiaanya menantiku selama ini. Melihat semua kesungguhannya menciptakan hatiku luluh. Hingga akhirnya, ketika untuk yang kesekian kalinya ia memintaku untuk bersedia menikah dengannya, akupun tak kuasa untuk menolak. Betapa tersentuh hatiku ketika melihat binar kebahagiaan itu di matanya.


“Akhirnya, penantianku berujung indah. Terima kasih dikarenakan telah bersedia menerimaku.”

Aku tak kuasa menahan haru mendengar semua perkataannya itu. Harusnya saya yang berkata itu padanya. Betapa rela ia menungguku selama ini. Betapa tak pernah lelah ia menghadapi sikap hirau taacuh dan diamku padanya. Aku selalu berusaha membuatnya menjauh, namun ia justru semakin gigih mendekatiku. Meskipun menyakiti hatinya akan menciptakan hatiku pedih terkoyak, namun saya terpaksa harus melakukannya. Aku tak ingin memberinya sekedar harapan semu. Aku tak ingin ia menyesal lantaran membuang-buang waktunya untukku. Namun tetap saja, sikapnya padaku tak pernah berubah, membuatku merasa menjadi perempuan yang sangat jahat ketika itu.


Sebelum menikah ia mengajakku untuk berkonsultasi kepada Psikiater. Ia ingin saya benar-benar siap dan tak merasa terbebani dengan kesepakatan nikah ini. Meskipun begitu, ia selalu meyakinkan diriku bahwa yang terpenting baginya bukanlah keintiman fisik, namun kehadiran dan keberadaanku di sisinya.


Cukup lama saya gres bisa mengubur bayang-bayang kelam masa laluku. Selama itu Nick tak pernah merasa jenuh dan lelah atas sikapku. Ia senantiasa membimbingku untuk berubah tanpa sedikitpun saya merasa adanya paksaan dalam dirinya. Hingga karenanya rasa cinta serta kepercayaan dalam hatiku padanya menghapus segala keraguan dan ketakutanku akan trauma di masa lalu.


Dua tahun kemudian saya berhasil melahirkan seorang putra yang tampan dan sehat. Kebahagianku ketika itu terasa tak tertanggungkan.

Aku mempunyai suami yang luar biasa sempurna, serta seorang anak yang tak pernah berani saya impikan sebelumnya.

Semua karunia ini membuatku aib pada tuhan. Betapa sangat jelek perilakuku di masa lalu, namun tetap alangkah pemurahnya tuhan padaku.


“Terima kasih tuhan, kamu berikan pelangi di penghujung hujan.”


Tamat


Tuty Syahrani

09/07/2016



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Angka 12"