Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Perjalanan Spiritual

“Para penumpang yang terhormat, selamat tiba di penerbangan Saudi Air dengan tujuan Madinah. Penerbangan ke Madinah akan kita tempuh dalam waktu

kurang lebih 8 jam dan 40 menit, dengan ketinggian jelajah 36.000 kaki di atas permukaan air laut. Perlu kami sampaikan bahwa penerbangan Saudi Air ini yaitu tanpa asap rokok, sebelum lepas landas kami persilahkan kepada anda untuk menegakan sandaran kursi, menutup dan mengunci meja-meja kecil yang masih terbuka dihadapan anda, mengencangkan sabuk pengaman, dan membuka epilog jendela. Atas nama Saudi Air kapten Fulan dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini, dan terima kasih atas pilihan anda untuk terbang bersama Saudi Air”.


Klasik mungkin instrupsi awak kabin itu, tapi ini perjalanan berbeda yang entah berapa kali dalam seumur hidup akan terjadi.

Dek-dekan? ya, itu jelas, Meskipun bukan penerbangan pertama,, tapi lebih lantaran tempat yang jadi tujuan kemana pesawat ini akan mendarat.

Beruntung sehabis bunyi instrupsi itu selesai, muncul seseorang masih dari pengeras bunyi yang membacakan beberapa doa, menciptakan hati ini lebih tenang.

“Mahasuci Engkau Ya Allah, sesungguhnya saya telah mendzalimi diriku sendiri, berilah ampunan kepadaku. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa

kecuali Engkau.”

“Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami pada hari kiamat.”


Kemudian perjalanan panjang itupun dimulai.

Aku yang duduk entah di penggalan mana dari pesawat, di barisan dingklik ke berapa atau sekedar mengetahui nomor urut kursinya, hanya duduk santai sambil erat memeluk bantal.

Masa paling menegangkan sebanarnya bukan jelang take off atau mirip orang-orang yang tengah memperhatikan demo pelampung oleh kru kabin, tapi lantaran tas kabin yang terpisah ketika melewati metal detector tadi masih belum ada kabarnya.

“Ah! awal yang kurang baik”, keluhku.

Meskipun duduk di erat jendela, saya tak garang sedikitpun untuk melihat apa yang ada di luar, entah itu awan, atap-atap atau permukaan laut. Bukan apa-apa, tapi memang tak ada gunanya lantaran tetap takkan terlihat oleh mataku hehe.


Tak perlu diceritakan panjang lebar malah kali tingginya, lantaran dalam pesawat tak ada banyak kisah jikalau memang tak ada hambatan teknis yang bisa menciptakan kisah ini terbalik 180 derajat.

Selama 9 jam dalam pesawat, yang dilakukan hanyalah duduk manis. Kegiatan biasa kalau tidak tidur ya ngobrol atau mirip penumpang lain, yakni khusuk tilawah. Selain itu beberapa jam sekali akan disatroni Kru kabin untuk makan dan minum.

Itu saja, kalau tidak percaya boleh tanya yang lain, yah?

Ternyata 9 jam itu kalau dilewatkan dengan tidur apa lagi diiringi mimpi indah shalat dan berdoa di Multazam, amat singkat yah! lantaran tiba-tiba saja jiwa kembali terkumpul sempurna ketika mendarat di Prince Mohammad bin Abdul Aziz , Madinah.

“Allahumma solli ala Muhammad”,

Duhai Kekasih Allah, kekasih kami semua, hasilnya sanggup pula saya menginjakan kaki penuh dosa ini di atas tanah yang engkau doakan, yang Engkau muliakan.

Airmata tak terasa meneteskan rasa haru dan ungkapan rindu kala sepoy angin madinah mengusap wajahku.


Seperti biasa, bencana menjenuhkan kembali terjadi di bandara. Baik di Soekarno Hatta atau Madinah, birokrasi tak pernah ada yang longgar, tentu saja ini atasnama keselamatan, keamanan, kenyamanan dan ketertiban!

Itu kata Petugas orisinil timur tengah yang membereskan antrian Imigrasi.

“Tunjukkan paspornya! pegang masing-masing”! Terdengar bunyi AA Gim di belakang petugas. Ketika di tanah air dia sangat berjarak dengan kami, di sini malah turut sibuk membantu kepentingan jamaahnya.


Entah satu atau dua jam kami harus menuntaskan birokrasi, yang niscaya rasa lelah dan ingin segera menuju masjid Nabawi menciptakan detik seolah jadi jarum pendek.


Beruntung di bandara ini tak ada barangku yang dilibas petugas. Tidak mirip waktu di Soekarno Hatta, jarum dan pin jilbab, beberapa make up hingga gunting untuk tahallul, ludes tak tersisa.

Sambil menunggu koper bagasi lengkap, kami mencoba mengaktifkan telepon seluler untuk memberi kabar ke tanah air.

Kudengar sudah banyak HP para jama’ah lain yang aktif, mereka memberi kabar, mananyakan kabar hingga pencatatan oleh-oleh, riuh terdengar memenuhi ruang lobi bandara.

“Sudah aktif belum Nensi”? Tanya temanku yang sedang asyik ber-SMS.

“Belum niih! kenapa yah”? Aku gatal menekan-nekan tombol BB kesayanganku.

Sayangnya, hingga saya keluarkan batrai dan kartu, HP tetap dalam keadaan disconnect.

“Ah! mesti ganti provider inimah”! Aku kembali menggerutu.


“Kang! bisa minta satu saja SMS? tolong kasih kabar ke keluarga saya kalau sudah sampai, yah”? Pintaku dengan nada putus asa.

Hampir dua jam menunggu, hasilnya semua perlengkapan jamaah Umroh MQ travel tuntas.

Kami kemudian memasuki bis sesuai dengan kelompok yang sudah ditentukan semenjak di tanah air.

“Dalam perjalanan menuju hotel, kami diperkenalkan kepada seorang Mutowif berjulukan pak Abdul Rahman.

Mendengar logat bicaranya yang sudah mirip Penduduk orisinil pribumi, saya yakin bahwa dia sudah cukup usang tinggal di Arab Saudi.

Pak Abdul Rahman orangnya sangat menyenangkan, dia ramah dan cukup piawai menjelaskan apa-apa yang dilewati sepanjang jalan, terlebih dipasangkan dengan Karom kami berjulukan pak Wagi yang lembut, menciptakan perjalanan spiritual ini sungguh luar biasa.

Pukul 11 waktu Madinah, kami tiba di hotel Al Eiman, 100 Meter di sebelah barat Nabawi.


Mungkin ini yang tengah diucapkan Rasullullah pada kami, ketika mulai melangkah di pelataran masjid indah ini.

“Selamat tiba duhai umatku, selamat menikmati jamuan berupa limpahan rahmat dan syafaat, dan engkau yaitu umat yang selalu kurindu”.

Kalau mereka orang-orang berpenglihatan khusuk bertasbih atas keindahan masjid, saya dan teman-teman mencicipi syahdu dan haru lantaran antara badan ini dengan tubuhnya berada hanya dalam hitungan langkah saja.



Di Masjid nabawi, sesuai instrupsi karom, kami melaksanakan shalat dzuhur dijama dengan ashar lantaran harus segera kembali ke hotel untuk cek in kamar.

“Sebelum maghrib, saya akan kembali”! Janjiku dalam hati, sambil berusaha menyelinap di antara badan besar milik orang-orang Pakistan.

Hal pertama yang cukup membuatku tercenung, ketika shalat di Masjid Nabawi yaitu banyaknya perempuan yang membawa bayi/balita dan meninggalkannya begitu saja dalam roda-roda di halaman masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.

Disinilah keutamaan shalat di Nabawi terlihat, ketika semua orang berharap nnilai ibadah seribu kali lipatnya.


Saat shalat, kontan bayi-bayi itu menangis kencang dalam kurun waktu 10 hingga 15 menit. Di Indonesia, bukankah kalau ada bayi menangis sebaliknya di gendong dan didiamkan?

Ah, entah lah, yang niscaya tangis belum dewasa suci itu sedikitpun tidak mengganggu jalannya shalat.

Katanya, masjid Nabawi itu sangat indah.

Lampu-lampunya terbuat dari kristal, tiang-tiang menjulang tinggi, serta arsitekturnya yang bergaya eropa, menciptakan lamunan ini melayang pada sekian ratus kala lalu.

Bagaimana wujud bergotong-royong dari masjid ini ketika Rasulullah masih hidup dan memakmurkannya? sebanyak inikah umat yang tiba bersuci di dalamnya? mirip apa mereka menjaga ketertiban dan kesantunannya? lantaran ribuan orang di sini masih terasa kental sifat egonya.

Di Toilet tadi perempuan Hindi dan Pakistan menyerobot antrian tanpa permisi, di pintu masuk, Askar galak itu hampir mengusir kami lantaran masih membawa beberapa barang bawaan.

Subhanallah, cukup menguras emosi dan kesabaran teruji.


Kamar ini bernomorkan 6.12. Berada di lantai 6 dari belasan lantai yang ada.

MQ travel memang selalu menerima banyak jamaah, untuk rombongan kali ini saja hingga menumpangi 2 pesawat. Satu pesawat Saudi Air disewakan khusus lantaran 400 penumpangnya keseluruhan yaitu jamaaah MQ.

Satu Pesawat lagi menggunakan Garuda yang transit di Jeddah, tersisa kurang lebih 50 orang jamaah.

Perjalanan umroh memang berbeda dengan ibadah haji. Jika seluruh jamaah terdiri dari orang-orang cerdik balig cukup akal dan lanjut usia, untuk ibadah umroh usia tidak jadi batasan. Terbukti dari banyaknya jama’aah yang membawa anak-anak, bahkan ada remaja yang berangkat tanpa didampingi orangtuanya.

Pantas saja panitia itu kesibukannya berlipat dengan membagi-bagi kamar yang harus sesuai dengan anggota keluarga masing-masing.

Seorang ibu terdengar bicara dengan bunyi tinggi di pintu kamar kami, katanya dia tidak menerima kamar yang sama dengan anak lelakinya.

Banyak lagi masalah-masalah teknis yang mungkin dialami panitia travel. Syuqur Alhamdulillah, saya dan 2 temanku yang memang sudah memesan kamar semoga selalu bersama tidak mengalami hambatan yang berarti, lantaran Dalam kamar selama di Madinah kami akan tinggal bertiga saja, tentu itu menciptakan jauh lebih nyaman.

7 orang yang merupakan utusan kantor dalam ibadah umroh ini yaitu saya bersama 3 kariawan yang menjadi pendamping, dan 3 akseptor audisi baca Alquran Braille yang semuanya yaitu disabilitas Netra.


Selesai melaksanakan cek in kamar dan membereskan barang-barang, 1 jam menjelang maghrib kami sudah kembali ke Nabawi. Sengaja tiba lebih awal dikarenakan semakin mendekat waktu shalat masjid akan semakin penuh sehingga kami khawatir tidak menerima duduk di karpet.

Benar saja, selama di madinah Masjid Nabawi tak pernah sepi. Beberapa waktu shalat saya malah tak kebagian duduk di karpet, hanya menggelar sajadah di lantai yang dingin.

Hari kedua di madinah, yaitu tanggal 13 Februari, kami berkesempatan mengunjungi Raudhah.

Tak sanggup digambarkan suasana yang amat padat dengan ribuan orang di sana. Berdesakan dengan satu tujuan menerima beberapa menit saja untuk bersujud di taman syurga tersebut.

Beberapa puluh meter di erat Raudhah, kami masih harus duduk menunggu antrian. Askar-askar perempuan dengan bahasa pribumi mengatur ketat semoga para jamaah bisa masuk teratur.

Untuk jamaah perempuan khusus dari Indonesia sengaja diberi waktu terpisah dengan jamaah dari timur tengah dan Eropa. Untuk menghindari kecelakaan akhir benturan fisik yang terang jauh berbeda.

Setelah menunggu antrian selama hampir 4 jam, hasilnya aku, insan tak tahu diri dan penuh hina ini sanggup pula menginjak karpet yang katanya berwana hijau ‘Raudhah’.

Meski keadaan yang bising dengan teriakan para askar dan ribuan orang, saya tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menguntai beberapa do’a sambil meneteskan airmata.

Jujur kala itu yang sangat ingin saya sampaikan adalah, Allah Subhanahuata’ala memperlihatkan nikmat kubur dan hadiah syurga bagi ayah dan ibuku tercinta.

Siapapun yang berdoa khusuk di sana, dia takkan peduli dengan apapun lagi baik bunyi orang berteriak atau malah badan yang terinjak-injak.

Mungkin memang begitu yah fenomena jama’ah tanah air, para askar itu harus pula menjaga ketat kesucian Raudhah semoga tidak dijadikan ladang musrik oleh orang-orang yang kurang ilmu.


Keluar dari Nabawi, sambil menunggu shalat dzuhur, kami mirip biasa ber-tilawah sambil menikmati Zamzam yang tersedia di setiap pintu.

Air zamzam memang berasal dari Mekah, namun untuk Nabawi, air yang konon penuh khasiat obat itu selalu disuplai oleh teng-teng besar dari kota Mekah. Itu kata Ustadz Abdul Rahman.


Hari ketiga di Madinah, yaitu tanggal 14 Februari.

Seluruh jamaah diajak berziarah ke beberapa tempat bersejarah di Madinah.

Tempat tersebut yaitu Masjid Quba, Kebun kurma, Jabal Uhud dan masjid Kiblat Tain.

Setelah shalat 2 rakaat di masjid Quba, kami duduk-duduk di beranda masjid sambil mendengarkan tausiah dari AA Gim. Suasana Jumat yang sejuk, ditambah semilirnya angin Madinah menciptakan hati dan fikiran ini seakan lebih terang benderang.

Di Jabal Uhud kami hanya turun sekedar mengambil gambar, begitupun di Masjid Kiblat tain.

Sedangkan di kebun Kurma banyak jamaah yang menyempatkan berbelanja.

“Sayang bulan Februari ini belum masanya kurma berbuah, jadi kita tidak bisa memakan kurma sepuasnya mirip ketika panen tiba”. Itu kata Pak Abdul Rahman ketika kami kembali ke dalam bis.

Di Madinah ini ada satu jenis kurma berjulukan Ajwa. Kurma ini sering pula disebut kurma Nabi, lantaran Nabi Muhammad SAW hanya memakan kurma ini.

Kurma yang bentuknya kecil kering kurang menarik ini, justru kurma yang paling baik khasiatnya.

Selain untuk konsumsi makanan, kurma ini sanggup menawar racun dalam tubuh, menyembuhkan penyakit dan menghindarkan dari sihir.

Hal ini tertera pada hadits Nabi:

Dalam Shahih Buhari dan Muslim, diriwayatan oleh Saad bin Abi Waqash, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dia bersabda “Barangsiapa mengkonsumsi kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun atau sihir”.



Hari keempat di Madinah, Sabtu 15 Februari.

Ini hari terakhir kami di kota Nabi, Madinah Al Munawarah.

Setelah memuaskan diri ber-i’tikaf dan shalat di masjid Nabawi, hasilnya Sabtu siang dimana kali terakhir kami menginjakkan kaki di kota sejuk nan hening ini.

Dengan pakaian lengkap ihram berwarna putih, kami melambaikan tangan untuk Madinah.

“Sampai jumpa kota mulia, saya berharap tak usang lagi sanggup melepas rindu kembali”.


***


Masjid manis ini berjulukan Bir Ali.

Salahsatu tempat yang dijadikan tempat Miqot oleh Rasulullah untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh.

Waktu yang ditempuh dari madinah dengan bis yaitu satu setengah jam. Kami turun untuk melaksanakan shalat sunnah ihram.

Kemudian niat ihram bersama dipimpin karom di dalam bis. Dengan demikian terhitung semenjak niat itulah larangan ihram itu berlaku.

Larangan tersebut diantaranya, tidak menggunakan wangi-wangian, tidak mencukur bulu/rambut, tidak membunuh binatang, dan tidak melanggar pakaian ihram yaitu untuk laki-laki hanya dua helai kain ihram yang sudah ditentukan batas-batasnya, sedangkan perempuan hanya boleh membuka wajah juga telapak tangan.

Begitu Selesai niat, artinya kami sudah melaksanakan rukun pertama dari 4 rukun bagi umroh wajib.

Rukun selanjutnya yaitu Tawaf, Sa’i dan Tahallul di Masjidil haram setibanya nanti di kota Mekah.


Sepanjang jalan menuju kota mekah kami dipimpin untuk terus menyerukan talbiyah.

“Aku memenuhi panggilanMu ya Allah, saya memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu, saya memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya kebanggaan dan nikmat yaitu milikMu, begitu juga kerajaan tiada sekutu bagiMu”.


Tiba Di kota Mekah.

Dengan tetap menjaga larangan Ihram, kami eksklusif memasuki hotel untuk cek in kamar selama di kota Mekah.

Pukul 23.00, kaki ini kembali melangkah menuju satu kiblat ‘Baitullah’.

Kali ini jarak dengan berjalan kaki dari hotel menuju Masjidil Haram tidak sedekat waktu ke Nabawi. Namun dengan semangat yang memuncak, jarak berapa puluh kilo pun tampaknya terasa pendek saja.

Di sini lebih terasa kental suasana Arabnya, sepanjang jalan orang berkerumun, melaksanakan tran saksi jual beli.

Malam atau siang kota Mekah tetap hidup, aktifitas ibadah dan perniagaan terus berjalan seolah tiada detik berhenti.

Berjuta-juta insan dari belahan dunia tiba ke titik ini, kudengar pula ribuan macam bahasa yang diucapkan ketika mereka bersama menuju Masjid.

Tiba Di Masjidil Haram, kami menuntaskan Umroh dengan melaksanakan tawaf, yakni berjalan memutari Ka’bah sebanyak 7 putaran.

Jangan tanyakan suasana atau keadaan di seputar kotak kerikil yang menjadi kiblat shalat tersebut, lantaran sudah niscaya padat, riuh, dan bagi yang tidak cukup mental akan erat dengan stres.

Ini memang bukan Haji, tetapi tidak dalam isu terkini haji atau umroh, orang-orang takkan ada yang berhenti tawaf di sini.

Jangankan yang disabilitas Netra, yang berkursi roda atau yang kurang sehat, yang normal dan sehat wal afiat saja akan menimbulkan tempat ini titik yang paling berhati-hati.

Tapi bukan berarti konsentrasi di tempat ini harus lengah, lantaran dalam tawaf pun ada aturannya.


Rangkaian tawaf ditutup dengan melaksanakan shalat sunnah 2 rakaat dan berdoa di Multazam serta Makom Ibrahim.


Kemudian kami melaksanakan Sa’i, yakni berjalan 7 kali bolak-balik dari bukit Shofa ke bukit Marwah.

Jika di tanah air yang kubayangkan berjalan di sana itu menyerupai benar-benar di atas bukit pasir, jangan harap itu akan terjadi,

sebab tempat sya’i hanyalah sebuah pelataran dalam sebuah ruangan panjang berlantai kramik dan beratap lampu-lampu sepanjang 800 meter dengan galon-galon Zamzam di kanan kirinya.

Kedua bukit yakni Shofa dan Marwah akan ditandai oleh undakan mendatar yang lantainya akan terasa kasar lantaran dibentuk dari marmer kotak-kotak timbul.

Jangan lupa untuk menghitung putarannya yah! jangan hingga kurang dari 7 putaran loh?

Jangan pula hingga kelebihan jadi 8 atau 9, lantaran 7 putaran saja sudah menciptakan betis ini ngilu dan kaku.

Bagi Disabilitas netra sepertiku, tempat Sya’i itu cukup Aksesibel lantaran ukurannya yang luas dan datar, tapi jangan coba-coba berjalan sendiri, lantaran khawatir mengganggu orang lain yang juga sedang Sya’i.

Kita cukup berjalan santai, tanpa harus selalu bergandengan dan khusuk memanjatkan doa atau berdzikir.

Rumus untuk menghitung bilangan Sya’i yang diperoleh ketika manasik adalah, hitungan dimulai ketika kaki sudah naik ke bukit Marwah. Selanjutnya hitungan ketiga ketika tiba di Marwah lagi, hingga pada hitungan ketujuh. Jadi, hitung saja

angka ganjilnya ketika berada di Marwah.

Begitu Sya’i selesai kami akan melaksanakan rukun simpulan yakni Tahallul.

Akupun berpisah dengan rombongan laki-laki dan memasuki tempat khusus tahallul wanita. Kami akan saling menggunting sedikit rambut sebagai tanda rangkaian Umroh telah selesai.

Beruntung banyak jamaah yang membawa gunting, sehingga saya tak kerepotan meminjam lantaran gunting yang disita petugas di bandara.


Esok harinya Ahad, 16 Februari di kota Mekah.

Akibat kelelahan dengan perjalanan dan ritual Umroh sehari sebelumnya, para jamaah pun tidak diberi jadwal yang ketat oleh travel. Kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat sambil menyiapkan tenaga untuk acara selanjutnya.

Ahad Sore menjelang maghrib, saya dan jamaah lain kembali melangkahkan kaki menyusuri jalanan sepanjang hotel menuju Masjidil Haram.

Di Mekah tentu sudah tak kaget lagi dengan prilaku orang-orang sedunia yang abnormal dan kadang menciptakan geli.

Jika ketika tiba di Madinah panggilan ‘Haji’ itu menciptakan sedikit riskan, lama-lama hasilnya sanggup dimengerti juga.

Orang-orang di sini, memang akan selalu memanggil dengan sebutan ‘Haji, wal Hajah’ kepada siapa saja untuk berkomunikasi.

Ya, sebenernya cuma rasa GR saja lantaran di tanah air panggilan ‘Haji’ itu tidak mengecewakan terhormat.

Ada yang berbeda antara Masjid Nabawi dengan Masjidil Haram yang saya rasakan.

Masjidil Haram yang tak kulihat terang bagaimana bentuk rupanya, menyiratkan rasa sedikit tak nyaman lantaran di sini laki-laki dan perempuan seakan tidak ada hijabnya.

Dari mulai menginjakkan kaki di pelataran hingga karpet shalat, saya masih mendengar bunyi ribut kaum Adam.

Biarlah, toh mereka semua tiba ke tempat ini jauh-jauh dari pelosok dunia memang hanya untuk beribadah. Itu fikirku.

Anehnya, di Masjidil Haram saya malah kesulitan menerima air Zamzam, meskipun terang di sinilah sumbernya.

Mungkin lantaran bentuk Masjid yang terlalu luas berlantai-lantai, sehingga letak air Zamzam agak sulit ditemui.

Kami malah pernah salah mengambil air yang dikira itu Zamzam padahal air minum biasa yang juga disediakan di luar masjid.

Ssetelah hingga di dalam gres kami tahu lantaran pada tempat air zamzam ada goresan pena Zamzam water sedangkan air sebelumnya katanya hanya bertuliskan Drinking water.

Saat Shalat berjamaah fenomena di Nabawi juga terjadi di sini, yaitu setiap habis shalat selalu disusul shalat Jenazah.

“Lumayan, menambah celengan nilai shalat yang memang di sini yaitu 10.000 kali lipat”. Kata sahabat di sebelahku.

Sambil menunggu shalat Isha, kami ber-tilawah tentu dengan media Al-quran Braille.

Seperti yang sudah-sudah di Nabawi, orang-orang di sekitar banyak yang melirik bahkan ada pula yang mengambil gambar.

Tak sedikit dari mereka yang bertanya dan mengajak berkenalan. Tentu saja hanya dari Indonesia atau Malasia yang bisa mengobrol. Sedangkan yang dari negara lain cukup melirik-lirik saja.

Hari kedua di kota Mekah, tanggal 17 Februari.

Waktunya berziarah ke tempat-tempat jago di kota Mekah + Jeddah.

Tempat pertama yaitu Jabal Nur. Dimana tempat inilah yang pertama menjadi saksi Rasul mendapatkan wahyu.

Sayangnya kami tidak diizinkan untuk mendaki terlalu jauh dengan alasan keamanan. Wal hasil hanya berfoto ria saja di bawah bukit pasir tersebut.

Tempat kedua yaitu Jabal Rahmah.

Ini dia yang konon katanya menjadi tempat pertemuan ayahhanda Adam dan Ibunda Siti Hawa.

Katanya juga, bila berdoa di sini perbanyaklah mendoakan pasangan atau memohon jodoh. Pantas saja orang betah berlama-lama di tempat ini, barangkali doanya sangat khusuk yah?


Tempat selanjutnya yaitu Jeddah.

Di Jeddah pun kami mengunjungi beberapa tempat mirip Masjid terapung, maritim merah, masjid Qisas dan pasar khas Indonesia Ali Murah.

Saat melewati Masjid Qisas inilah uraian mendirikan bulu roma diceritakan pak Abdul Rahman.

Kenapa masjidnya berjulukan Qisas, lantaran di sinilah para pidana penggal akan di-eksekusi.

Setiap Minggunya selalu ada yang sanggup giliran.

Sang pidana akan diikat tangan kakinya ke sebuah tiang, kemudian duduk posisi tasyahud awal, kedua mata ditutup kain hitam, selanjutnya,

“Krek”! pedang algojo memisahkan kepalanya.

Begitu kepala terputus eksklusif dibawa oleh ambulan ke rumah sakit untuk dijahit kembali. Setelah itu dishalatkan dan dimakamkan mirip mayit lainnya.



Menjelang Maghrib, Kami tiba di Hudaibiyah.

Kami kembali turun untuk mengambil Miqot kedua dalam umroh sunnah. Setelah shalat 2 rakaat, kami menutup perjalanan dengan mengunjungi peternakan unta.

Sayang, harapan memegang unta tak kesampaian lantaran para unta hanya boleh dilihat dan tak boleh diraba-raba. Hehe.


Tiba kembali di Mekah saya eksklusif melanjutkan Umroh sunnah dengan tawaf, sya’i dan tahallul.

Tak banyak lagi acara selain shalat di Masjidil haram pada hari ketiga di Mekah. Kami hanya berkumpul dan mendengar tausiah dari AA.

Hingga Selasa malam pukul 2 dini hari waktu Mekah, kami berpamitan pada pribumi dengan melaksanakan tawaf Wada.

Pukul 7.00 pagi, kami sudah melambaikan tangan pada kota Mekah Al Mukaromah.


FOOTNOTE:

1. Masjid Nabawi.


Masjid Nabawi dengan kubah hijau diatasnya, dimana persis dibawah kubah yaitu kuburan Nabi Muhammad saw

2. Raudhah.


Secara bahasa, “Raudhah” berarti taman. Raudhah merupakan salah satu ruangan di Masjid Nabawi yang banyak dimasuki jamaah untuk memanjatkan doa. Ia terletak

di antara kamar Nabi dan mimbar untuk berdakwah.

Luas Raudhah dari arah Timur ke Barat sepanjang 22 m dan dari Utara ke Selatan sepanjang 15 m . Luasnya yang hanya 144 meter persegi tak sebanding dengan

jutaan jamaah yang berebut ingin masuk ke sana.

Jamaah haji atau umroh yang berada di Madinah, biasanya akan menyempatkan berdoa di Raudhah. Tempat ini tak pernah sepi, menjadi tempat yang paling afdhal

untuk memanjatkan doa.

Seperti sabda Rasulullah Saw, “Antara rumahku dengan mimbarku yaitu Raudhah di antara taman-taman surga” (HR. Bukhari no. 1196) .


3. Masjid Quba

Masjid Quba yaitu sebuah masjid yang terletak di kawasan Quba, ± 5 km sebelah Barat Daya Madinah. Disinilah Kaum Anshar menyambut kedatangan Rasulullah

SAW ketika dia berhijrah pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 13 kenabiannya, atau tahun 53 dari kelahiran beliau. Di Quba inilah dia mendirikan

Masjid diatas tanah milik Kalsum bin Hadam. Masjid Quba yaitu masjid yang pertama kali didirikan oleh Nabi Muhammad SAW Dan dia setiap hari Sabtu mendatangi

masjid ini dan juga mengajurkan para sahabat untuk mengunjunginya.


4. Jabal Uhud

Jabal Uhud yaitu nama sebuah bukit terpanjang di Madinah. Letaknya ± 5 km dari pusat kota Madinah, membentang dari Timur arah Timur ke Barat sepanjang

6.000 meter. Di lembah bukit ini pernah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin dengan pasukan 700 orang melawan kaum musyrikin Makkah dengan pasukan

3000 orang. Perang ini terjadi pada tahun ke-3 H. Pada awalnya kaum mjslimin menerima kemenangan yang gemilang sehingga kaum musyrikin lari kocar-kacir.

Mengira perang sudah usai, maka sebagian pasukan pemanah yang semula ditempatkan diatas bukit yang kini dikenal dengan sebutan ‘Jabal Rumaat’, meninggalkan

pos pertahanannya tersebut untuk turut mengambil penggalan dari barang-barang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin terebut. Melihat pos pemanah diatas bukit

yang sudah kosong, Khalid bin Walid (sebelum masuk Islam), komandan pasukan berkuda kaum musyrikin, menggerakannya pasukannya kembali menyerang kaum muslimin,

sehingga dalam peperangan ini mengalami kekalahan dengan gugurnya 70 orang syuhada, antara lain Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW Nabi

Muhammad SAW sendiri menerima luka-luka yang cukup parah. Setelah perang usai, maka Nabi Muhammad SAW memerintahkan semoga para syuhada yang gugur dimakamkan

di tempat mereka roboh. Kuburan Uhud kini ini dikelilingi tembok. Dan jamaah haji atau umroh yang ziarah ke Madinah dianjurkan untuk menziarahi Uhud

serta memberi salam kepada sayyidina Hamzah bin Abdul Muthallib serta para syuhada Uhud lainnya.


5. Masjid Qiblatain

Masjid ini mula-mula dikenal dengan nama Masjid Bani Salamah, lantaran masjid ini dibangun diatas tanah bekas rumah Bani Salamah. Letaknya di tepi jalan

menuju kampus Universitas Madinah. Disinilah turun wahyu surat Al Baqarah ayat 144, yaitu perintah Allah untuk mengalihkan arah kiblat dari masjid Al-Aqsha

di Palestina ke Masjidil Haram di Makkah. Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW tengah shalat Zuhur di masjid Bani Salamah ini, pada hari Senin, bulan Rajab,

tahun ke-2 H.


6. Bir Ali.

Masjid Bir Ali yaitu satu Masjid yang sangat penting. Mengapa? Masjid Bir Ali yaitu tempat Miqot bagi penduduk Madinah yang akan ber-umroh atau berhaji,

seperti yang dicontohkan pula oleh Nabi. Masjid ini tidak terlalu jauh dari Madinah, mungkin sekitar 15-20 menit dari kota Madinah, sedangkan dari Masjid

ini ke Mekkah sekitar 5 jam perjalanan.


7. Multazam.

Multazam merupakan dinding Ka’bah yang terletak di antara Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah. Tempat ini merupakan tempat utama dalam berdoa, yang dipergunakan

oleh jamah Haji dan Umroh untuk berdoa/ bermunajat kepada Allah SWT sehabis selesai melaksanakan Tawaf.

Saat bermunajat di depan Multazam ini, Jarang orang tidak meneteskan air mata di sini, terharu lantaran kebesaran Illahi.Multazam ini insya Allah merupakan

tempat yang mustajab dalam berdoa, insya Allah doa dikabulkan oleh Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, “Antara Rukun Hajar Aswad dan Pintu Ka’bah, yang disebut Multazam. Tidak seorangpun hamba Allah yang berdoa di tempat ini tanpa

terkabul permintaannya”


8. MAQAM IBRAHIM

Maqom Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana dugaan atau pendapat sebagian orang. Maqom Ibrahim yaitu kerikil pijakan pada ketika Nabi Ibrahim membangun

Ka’bah. Letak Maqom Ibrahim ini tidak jauh, hanya sekitar 3 meter dari Ka’bah dan terletak di sebelah timur Ka’bah.

Saat ini Maqom Ibrahim mirip terlihat pada foto di atas. Di dalam bangunan kecil ini terdapat kerikil tempat pijakan Nabi Ibrahim mirip dijelaskan di

atas. Pada ketika pembangunan Ka’bah kerikil ini berfungsi sebagai pijakan yang sanggup naik dan turun sesuai keperluan nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Bekas

kedua tapak kaki Nabi Ibrahim masih nampak dan terang dilihat.

9. HAJAR ASWAD

Hajar Aswad yaitu “batu hitam” yang terletak di sudut sebelah Tenggara Ka’bah, yaitu sudut darimana Tawaf dimulai. Hajar Aswad merupakan jenis kerikil ‘RUBY’

yang diturunkan Allah dari nirwana melalui malaikat Jibril.


Hajar Aswad terdiri dari delapan keping yang terkumpul dan diikat dengan bundar perak. Batu hitam itu sudah licin lantaran terus menerus di kecup, dicium

dan diusap-usap oleh jutaan bahkan milyaran insan semenjak Nabi Adam, yaitu jamaah yang tiba ke Baitullah, baik untuk haji maupun untuk tujuan Umrah.


 



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Catatan Perjalanan Spiritual"