Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kardono, Jadikan Diri Berharga Dengan Menulis

 Siapa bilang tunanetra hanya bisa memijat Kardono, Jadikan Diri Berharga dengan Menulis


Jakarta, Kartunet – Siapa bilang tunanetra hanya bisa memijat? Nyatanya, selain dalam bidang musik dan teknologi, tunanetra juga mempunyai potensi besar dalam dunia kepenulisan. Keterbatasan dalam mencari tumpuan bacaan atau mengetik naskah, tak lantas menjadi alasan untuk berusaha. Lihat saja Kardono, ia telah menulis semenjak tahun 1989 dan tulisannya telah dimuat di sejumlah media lokal dan nasional.



“Dulu awalnya pernah mendengarkan program di radio, namanya ‘Sastra Radio’. Dari sana saya mulai tertarik dalam menulis cerpen,” ungkap Kardono, menceritakan awal mula ia memasuki dunia kepenulisan. Saat itu, di Radio Muria, Kudus, sering diputar sebuah program yang dinamakan “Sastra Radio”. Pendengar dipersilakan mengirimkan cerpen mereka, kemudian nantinya cerpen tersebut akan dibacakan dan dikomentari oleh sang penyiar. Suatu kali, Kardono mencoba mengirimkan naskah cerpennya pada radio tersebut. Tak disangka, cerpennya terpilih. Ia bahagia sekali waktu itu, sebab cerpennya dibacakan secara on air, belum lagi sang penyiar yang mengoreksi cerpennya ialah seorang yang berpengalaman dalam bidang sastra.



Kardono semakin termotivasi. Ia terus mengasah kemampuan menulisnya secara otodidak. Akhirnya pada Februari 1990, cerpennya pun dimuat di sebuah majalah cukup umur untuk pertama kalinya. “Judulnya ‘Lewat Jalan Lain’. Ceritanya ihwal seorang cukup umur yang berhasil memikat seorang wanita sebab prestasinya,” dongeng Kardono, mengenang kisah cerpen yang ditulisnya dua puluh dua tahun silam.



Kini, karya-karya laki-laki 46 tahun itu telah bertebaran di banyak sekali media. Mulai dari Suara Pembaruan, Suara Karya, majalah Mahkota, hingga majalah Horison. Jenis goresan pena yang ditulisnya pun beragam. Seperti cerpen, opini, dan artikel.  Sebagai tunanetra, ia mengaku perlu cara-cara yang berbeda dalam mempelajari dunia kepenulisan.  Saat ini, tunanetra sangat terbantu dengan kehadiran perangkat lunak pembaca layar yang di-install pada komputer. Namun, pada masa awal Kardono mempelajari karya-karya tulisan, ia belum mempunyai komputer dengan pembaca layar. Walhasil, ia harus mengandalkan orang lain untuk membacakan cerpen-cerpen pada majalah atau surat kabar yang dibelinya. “Dari situ saya mulai menggandakan cara penulisan cerpen dan artikel. Lalu, saya mencoba menulis goresan pena saya sendiri,” katanya. Dengan keterbatasan pengelihatan yang disandangnya, Kardono mencoba mengetik sendiri dengan mesin tik, kemudian meminta adiknya mengoreksi bila ada kesalahan-kesalahan pengetikan.



Bagi Kardono, meraih eksistensi di dunia kepenulisan merupakan perjuangan. Ia sempat mempunyai komputer dengan pembaca layar pada tahun 2000, kemudian sebab kawasan tempat tinggalnya dilanda banjir, maka komputer itu pun rusak. Akibatnya, Kardono mau tak mau sempat rehat dari dunia kepenulisan. “Sering kali saya mencoba untuk eksis lagi, tapi ketika itu belum berhasil,” ujar laki-laki yang pernah diundang dalam program pembacaan puisi oleh Suara Karya, Kudus itu.



Agaknya Kardono ialah sosok yang pantang menyerah. Keharusan untuk memenuhi kebutuhan hidup, karenanya menciptakan ia menentukan jalan lain. Pria kelahiran Kota Patih, Jawa Timur itu merantau ke Jakarta dan mencari nafkah dengan menjadi pemijat keliling. Perlahan namun pasti, ia mulai bisa mengumpulkan uang lagi dan membeli seperangkat komputer pada tahun 2010. Tampak jelas, bahwa mimpinya dalam dunia kepenulisan masih berkobar. Lantas, redaksi pun bertanya, apa kiranya alasan Kardono untuk terus mencoba eksis kembali dalam dunia kepenulisan.  “Saya ingin menciptakan diri saya berharga,” ungkapnya.



Bagi juara lomba puisi Mitra Netra tahun 2000 itu, menulis memberinya kepuasan tersendiri, lebih dari sekadar mendapat uang. Ia sadar, bahwa dirinya ialah seorang tunanetra dari keluarga kurang mampu. Selain itu, orang lebih banyak mengenal dirinya sebagai pemijat. Namun, Kardono ingin dirinya dihargai lebih dari itu. “Kalau saya tidak punya impian besar pada dunia tulis-menulis, saya tidak akan bertahan sejauh ini.”



Tak hanya menulis di media lokal dan nasional, pemenang Gebyar Sastra Kartunet dalam cabang cerpen ini pun mempunyai idealism dalam dunia sastra. Ia mengaku pernah beberapa kali mengikuti lomba-lomba kepenulisan, namun baginya kualitas sebuah karya bukanlah dari menang atau tidaknya karya tersebut. “Pada dasarnya, nilai dari seni sastra itu tidak bisa dilombakan. Karena manis tidaknya sebuah karya sesungguhnya tergantung dari siapa yang menilai. Toh, puisi-puisi Chairil Anwar saja tidak dikatakan manis oleh orang lain, sebelum dikatakan manis oleh H.B. Yasin,” jelasnya.



Tunanetra mungkin mempunyai hambatan tersendiri dalam menulis. Menurut Kardono, ketidakmungkinan mengikuti goresan pena awas, menciptakan kemampuan mengoperasikan komputer bicara menjadi keharusan bagi tunanetra yang ingin menjadi penulis. Di samping itu, tunanetra juga harus lebih rajin menyimak banyak sekali jenis tulisan. “Apa yang ada di buku, mungkin harus disalin ke dalam komputer, sebab banyak sekali yang harus disimak,” ujarnya.



Masih ada pesan lain yang diutarakan untuk para penulis pemula. Perjalanan menulis ialah perjalanan yang panjang, agaknya jumlah “jam terbang “ menjadi fondasi yang sangat penting. Terkadang, kita mengirimkan tulisan, kemudian gres dimuat setengah tahun kemudian. “Orang yang mau jadi penulis itu harus siap mental,” tukasnya. (RR)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kardono, Jadikan Diri Berharga Dengan Menulis"