Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Berbuat Baik Itu Sulit?

Dua hari terakhir ini publik Twitter sedang ramai membicarakan upload foto seseorang yang cukup ironis. Dari Merdeka.com, foto menggambarkan seorang laki-laki yang memegang tongkat duduk di lantai kereta, sedangkan bangku prioritas di dekatnya diduduki tiga orang laki-laki non-disabilitas yang sedang membaca koran. Sontak saat foto ini diupload ke Twitter, banyak yang menanggapi dengan ikut retwit dan pakai hashtag #BerbuatBaikItuSulit. Namun, apa benar berbuat baik itu sulit?


Sebelumnya, ada satu hal yang perlu dikritisi yaitu soal penerbitan foto. Dalam foto tersebut ada seorang penyandang disabilitas yang sedang duduk di atas kereta. Apakah si pengambil foto yang kemudian menguploadnya ke Twitter sudah menerima izin dari orang tersebut? Sebab, jangan hingga pandangan bahwa penyandang disabilitas hanyalah sebuah objek masih berlaku. Apalagi di kurun modern dan digital ini. Ia hanya dijadikan materi contoh, tanpa beliau tahu bahwa foto dirinya tersebar di Twitter. Ada kemungkinan pula, ia tidak tahu apa itu Twitter apalagi cara menggunakannya. Belum tentu niat pengunggah yang ingin ikut menyadarkan masyarakat itu disenangi oleh tokoh dalam foto tersebut. Ini hanya problem etika. Karena selain orang itu, masih ada keluarga dan sahabat-sahabat yang tentu mengenalinya.


Lantas, apakah berbuat baik itu sulit? Seberat apa untuk berbuat baik itu sesungguhnya? Ketika Anda melihat foto tersebut, sebelum ikut retwit, harusnya pertanyaan ini terlontar “apa yang dilakukan si pengunggah foto untuk membantu laki-laki yang duduk di atas lantai kereta dan memegangi tongkat itu?”. Menurut asumsi penulis, orang itu ada kemungkinan tetap duduk di kursinya atau bangun di lantai kereta dan sibuk dengan gadget miliknya. Padahal tak perlu ibarat itu, bila ia sedang duduk, ia sanggup jadi orang pertama yang bangun kemudian mempersilakan orang itu duduk, meski ia bukan di bangku prioritas. Atau bila ia sedang berdiri, ia juga sanggup jadi orang pertama yang membantu mencarikan posisi lebih baik untuk lelaki tersebut, atau meminta seorang non-disabilitas yang sedang duduk untuk berdiri. Sekali lagi ini hanya asumsi, dan ditujukan untuk kita semua.


Ini budaya yang sayangnya masih ada di masyarakat yang katanya modern. Budaya menonton tanpa melaksanakan tindakan solutif. Seperti orang-orang yang saat ada bencana, mereka berduyun tiba hanya untuk menonton dan berfoto ria, tanpa ada agresi nyata. Sama juga dengan seseorang yang saat melihat tunanetra ingin menyeberang jalan, bukannya dibantu, tapi malah membuat twit “Ada tunanetra mau menyeberang, kasihan deh”. That’s it, tak ada langkah solutif.


Selain itu, masalah berbuat baik itu berbeda dengan kesadaran atau awareness. Berbuat baik itu asalnya dari hati dan yakinlah bahwa tidak semua orang mau memakai hatinya. Jadi, tak ada yang sanggup memaksa orang lain untuk berbuat baik. Tapi kesadaran, itu timbul dari budi dan fikiran jernih serta didukung oleh aturan-aturan yang berlaku. Kesadaran ini sanggup ditumbuhkan dan dipupuk.


Pada kejadian dalam foto tersebut, yang diharapkan ialah kesadaran masyarakat bahwa tiap orang mempunyai hak, dan hak Anda dibatasi oleh hak orang lain. Sebagai pengguna kereta api, Anda memang punya hak untuk duduk di semua bangku yang ada lantaran Anda sudah membayar. Akan tetapi, ada hukum yang mengatur hak beberapa bangku tertentu yang memang dialokasikan bagi anak-anak, ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas. Apabila Anda tidak tergolong kategori tersebut, maka bangku itu bukan hak Anda. Merasa tidak adil lantaran sudah sama-sama membayar? Coba lihat lagi lebih banyak mana bangku yang disediakan untuk umum atau yang bangku khusus tersebut?


Sesungguhnya itu juga wujud pemenuhan hak. Penyandang disabilitas juga membayar tiket secara penuh, maka beliau juga sanggup hak untuk memperoleh nilai dari naik kereta api yang setara dengan penumpang umum. Disebabkan oleh perbedaan fisik, maka tidak memungkinkan ibarat penumpang umum yang sanggup berlari-lari untuk menuju pintu kereta dan turun dengan mudah. Kursi prioritas dibentuk di akrab pintu supaya memudahkan penyandang disabilitas naik dan turun dari gerbong. Itu beliau salah satu bentuk keadilan, lantaran sudah sama-sama membayar.


Lebih lanjut, pemerintah juga turut andil dalam membuat keadaan yang adil. Dalam kondisi yang berdesak-desakan dan lelah, insan punya kecenderungan jelek untuk jadi lebih individualistis. Akal sehat bahwa bangku prioritas bukan hak penumpang umum sanggup seketika buyar saat sudah dalam keadaan tersebut. Maka, jadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sarana transportasi umum yang memadai. Yakinlah apabila situasi menjadi lebih nyaman, maka insan juga akan lebih manusiawi lagi.


Oleh lantaran itu, ialah kesadaran yang perlu dipupuk dalam diri tiap orang. Sadar bahwa tak etis bila merasa bukan dalam kategori dimaksud kemudian memakai hak orang lain tersebut. Meski orang yang berhak sedang tidak ada, budbahasa itu seharusnya tetap dijunjung. Sikap mau menang dan yummy sendiri itu yang mematikan nalar kita. Ketika kesadaran sudah tumbuh, maka berbuat baik itu tinggal menyusul saja. Sebab tak ada perbuatan baik yang tulus diperbuat tanpa ada kesadaran lebih dulu, Jadi, apakah berbuat baik itu sulit?(DPM)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Benarkah Berbuat Baik Itu Sulit?"