Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenangan Di Auditorium Prof Mattulada Unhas

Sekitar dua ahad yang lalu, tepatnya 25 september 2013, saya menerima informasi dari sebuah Page penulis ternama (Darwis Tere Liye). Bang Darwis menulis dalam Page-nya tersebut, bahwa iya akan mengisi sebuah program bedah buku Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk ( dua buku tersebut merupakan karya dia sendiri), di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Mengetahui informasi tersebut, saya pun meniatkan dalam hati untuk menghadiri program tersebut. Maklumlah, semenjak pertama kali membaca novel Bang Tere, saya telah kepincut dengan gaya menulis beliau. Aku kemudian berusaha mencari-cari info yang berkaitan dengan program tersebut. Hingga karenanya saya memperoleh contak person dari seorang mahasiswa, dan seorang lagi mahasiswi Unhas yang merupakan panitia pelaksana program bedah buku tersebut. Aku pribadi memesan tiket pada mereka. Meskipun sebuah problem kecil terjadi, di mana saya tidak kebagian tiket, Namun, berkat derma dari seseorang kawan, saya pun tetap bisa mengikuti program bedah buku tersebut.


Akhirnya, hari itupun tiba. Tepatnya Selasa, 08 Oktober 2013, saya pun memberanikan diri menuju kampus Unhas. Sebuah kampus besar yang telah berulang-kali membuatku tersesat. Acara bedah buku itu sendiri akan dimulai sekitar pukul 10.00 pagi. Tapi ketahuilah, kawan, saya telah berada di area kampus tersebut sekitar pukul 08.00 pagi. Kenapa? saya sengaja tiba lebih awal alasannya ialah saya belum mengetahui lokasi program tersebut akan dilangsungkan. Panitia hanya memberikan bahwa program bedah buku itu akan dilaksanakan di auditorium Prof Mattulada Unhas. sayangnya, mereka tidak memberikan lokasi tempatnya di mana. Pokoknya di Unhas! Astaga, harus teman-teman ketahui, Unhas itu luas sekali! Teman-teman bisa tersesat jikalau tidak berhati-hati. Bukankah telah kusampaikan sebelumnya, saya telah berulang-kali tersesat di kampus itu.


Menurut informasi dari sobat yang merupakan mahasiswa unhas, auditorium Prof Mattulada terletak di Fakultas Sastra Unhas. Sedangkan Fakultas Sastra Unhas Terletak Di kepingan belakang Gedung Rektorat Unhas. Karena tidak ada Pete-pete yang pribadi menuju ke kedua area tersebut (menurut sepengatahuanku), saya pun turun di sebuah bundaran yang letaknya tak begitu jauh dari sebuah lapangan basket.


Bagi seorang penyandang disabilitas netra sepertiku, area kampus Unhas sangat sulit untuk diakses. Sekali dua saya hamper terjatuh diakibatkan kerena kondisi jalan yang harus kulalui. Ada banyak sekali tanjakan maupun turunan yang sudah tidak sanggup lagi kuakses jikalau mengandalkan mata suapku. Aku hamper mengalah ketika tiba-tiba sebelah kakiku terjerembab kesebuah got kecil. Waktu itu sudah sekitar pukul 09.15. sudah hamper satu jam usahaku tak berbuah hasil. Rasa lelah mulai menyapa. Hingga karenanya saya sadar, saya telah mengorbankan beberapa hal untuk mengikuti program itu. Bahkan saya rela meninggalkan dua mata kuliah favoritku: Hukum Tata Negara dan Hukum Perburuhan demi mengikuti program itu.


Aku kembali berusaha mengusir kelelahan. Aku kemudian teringat sebuah quote (kutipan) dari Bang Tere yang seketika menciptakan semangatku kembali memuncak.


“Sungguh, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jikalau dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berkembang menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jikalau kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh. (dikutip dari buku Negeri Di Ujung Tanduk)


Untuk menciptakan sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, buruk telah berkembang menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali. Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali, melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga karenanya berkembang menjadi seseorang yang ‘tajam’ dan bisa menebas ujian kehidupan manapun.


Setelah bertanya beberapa kali, karenanya saya berhasil menemukan Auditorium tersebut. Aku kemudian masuk sehabis sebelumnya melaksanakan pendaftaran di kepingan depan ruangan. Aku duduk di bangku baris kedua dari depan. Aku sengaja menentukan daerah tersebut semoga mata suapku bisa lebih muda melihat Bang Tere. Ini merupakan pertemuan keduaku dengan beliau. Sekitar 4 bulan yang lalu, dia sempat ke makassar. Waktu itu dia mengisi workshop kepenulisan di Baruga Ap Peterani Unhas. Waktu itu saya tak sempat memperhatikan dengan terang sosok Bang Tere alasannya ialah saya duduk dibagian belakang gedung.


Setelah dibuka dengan beberapa program serimonial, program bedah buku itupun dimulai dengan memperkenalkan biografi dari Bang Darwis Tere Liye.


Nama “Tere Liye” merupakan nama pena seorang penulis berbakat tanah air. Tere Liye sendiri di ambil dari bahasa India dan mempunyai arti untukmu. Meskipun Tere Liye bisa di anggap salah satu penulis yang telah banyak menelurkan karya-karya best seller. Tapi kalau para pembacanya mencari perihal biodata atau biografi Tere Liye, kita akan menemukan sedikit bahkan hampir tidak ada informasi mengenai kehidupannya serta keluarganya. Atau teman-teman juga bisa mencoba sendiri dengan mengecek karya Tere Liye dan lihat di kepingan belakang “tentang penulis’ di novelnya, maka saya bisa menjamin, tidak ada yang bisa teman-teman temukan informasi mengenai tere liye.


Berbeda dari penulis-penulis yang lain, Tere Liye memang tampaknya tidak ingin di publikasikan ke umum terkait kehidupan pribadinya. Mungkin memang begitu cara yang ia pilih untuk di kenal serta ia hanya ingin menawarkan karya-karya terbaik dengan nrimo dan sederhana. Namun, dalam goresan pena ini, saya akan mencoba memaparkan sedikit perihal biografi dari Bang Tere liye sesuai dari apa yang saya dapatkan di dalam program bedah buku tersebut, ditambah dengan yang kuketahui.


Tere Liye lahir dan tumbuh arif balig cukup akal di pedalaman Sumatera. Ia lahir pada tanggal 21 mei 1979. Tere Liye menikah dengan Riski Amelia dan telah dikaruniai seorang putra berjulukan Abdullah Pasai. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Tere Liye tumbuh di Sumatera Pedalaman. Ia berasal dari keluarga sederhana yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa.


Anak ke enam dari tujuh bersaudara ini hingga ketika ini telah menghasilkan 16 karya. Bahkan beberapa di antaranya telah di angkat ke layar lebar.


Tere Liye menuntaskan masa pendidikan dasar hingga Sekolah Menengah Pertama di SDN2 dan SMN 2 Kikim Timur, Sumatera Selatan. Kemudian melanjutkan ke SMUN 9 bandar lampung. Setelah selesai di Bandar lampung, ia meneruskan ke Universitas Indonesia dengan mengambil fakultas Ekonomi.


Berikut beberapa karya dari Bang Tere:

1. NEGERI DI UJUNG TANDUK

2. SEPOTONG HATI YANG BARU

3. NEGERI PARA BEDEBAH

4. BERJUTA RASANYA,

5. KAU, AKU & SEPUCUK ANGPAU MERAH

6. SUNSET BERSAMA ROSIE,

7. KISAH SANG PENANDAI,

8. AYAHKU (BUKAN) PEMBOHONG,

9. ELIANA, Serial Anak2 Mamak

10. DAUN yang JATUH TAK PERNAH MEMBENCI ANGIN,

11. PUKAT, Serial Anak2 Mamak

12. BURLIAN, Serial Anak Mamak

13. HAFALAN SHALAT DELISA

14. MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH

15. BIDADARI2 SURGA

16. REMBULAN TENGGELAM di WAJAHMU


Setelah moderator membacakan Biografi Bang Tere, sontak seisi ruangan di ramaikan dengan tepuk tangan yang dilakukan serentak. Forum pun di ambil alih oleh Bang Tere. Dengan gaya bahasa yang begitu menawan, dia pun pribadi menjadi sumber perhatian seisi ruangan. Dengan tutur kata yang indah dan sesekali diselingi dengan canda, Bang Tere pun menjelaskan beberapa hal yang bekerjasama dengan kedua bukunya yang ketika itu sedang dibedah.


10 menit kemudian, klarifikasi Bang Tere usai. Selanjutnya moderator mempersilahkan kepada dua orang pembedah yang telah hadir untuk selanjutnya membedah buku dari Bang Tere. Kedua pembedah itu yang merupakan mahasiswa tekhnik sipil Unhas masing-masing diberikan waktu 10 menit untuk berbicara. Setelah itu, program dilanjutkan dengan sesi Tanya jawab. Peserta diberikan kesempatan untuk menanggapi ataupun bertanya apa saja dengan Bang Tere yang bekerjasama dengan dunia tulis-menulis, dan hal-hal yang berkaitan dengan buku-buku yang telah diterbitkan oleh Bang Tere.


Seperti yang telah kuprediksikan, ada banyak sekali penerima yang mengacungkan tangan. Aku tak mau kalah. Kuangkat pula tanganku tinggi-tinggi. Sayangnya, moderator yang terhormat itu tak memberikanku kesempatan untuk berbicara.


Satu orang, dua orang, tiga orang. Sesi pertama program Tanya jawab itu berlangsung singkat. Tiga orang penanya pertama telah berbicara pribadi dengan bang Tere Liye.


Semangatku semakin memuncak. Apalah gunanya saya menghadiri program ini jikalau tidak bisa berbicara pribadi dengan Bang Tere. Seorang penulis yang telah mempunyai nama besar alasannya ialah karya-karyanya.


Baru saja moderator akan membuka sesi berikutnya, saya pribadi mengacungkan tangan tingi-tinggi. Kali ini saya tak mau kalah dengan yang lain. Mata suapku menangkap sesosok lelaki tinggi tengah berjalan kea arah daerah dudukku. Dan tanpa kusangka-sangka, ternyata dia membawa sebuah Mick dan pribadi meletakkannya di hadapanku. Sedetik kemudian, moderator yang katanya gagah itu pribadi mempersilahkanku untuk berbicara pribadi dengan Bang Tere. Alhamdulillah, karenanya momentum itu tiba. Apakah saya gugup? Tentu saja!


“Assalamu alaikum bang Tere.”

“Waalaikum salam.” Suara lembut nan bijaksana itu menjawab salamku. Kini semua mata tertuju padaku. Jantungku berdetak lebih kencang melewati batas maksimal. Gugup. Aku berusaha mengendalikan perasaan.

“Geer sedikit boleh kan, bang?” Tersenyum. Sedikit demi sedikit rasa gugup itu meninggalkanku. Perhatian penerima semakin tertuju kepadaku.

“Saya ialah salah seorang pembaca setia Bang Tere yang bisa dikatakan special.” Aku kembali tersenyum. Diam sejenak. Berusaha menguasai ruangan. ruangan lengang sejenak. Mungkin berusaha mencerna perkataanku barusan.

“Kebetulan tadi Bang Tere membahas soal mata picak, (salah satu potongan dongeng yang ada di dalam buku negeri para bedebah), secara kebetulan I Am a blind, bang.”

“Eh?” kalimatku barusan semakin membuatku menjadi sumber perhatian. kolam seorang pejabat ternama, puluhan kamera pribadi terarah kepadaku.


Amboi. Aku begitu menikmati saat-saat itu. Selanjutnya saya menanggapi beberapa novel Bang Tere yang pernah kubaca yang kemudian saya mengakhiri kalimatku dengan dua buah pertanyaan.

“Bang Tere pernah mengatakan, sungguh, saya hanya menghidupkan sebuah lilin kecil dalam diri kalian (sebuah perumpaman, Lilin dalam hal ini diartikan sebagai semangat untuk menulis). Kalianlah yang bertanggung jawab atas nasib lilin tersebut. Apakah nyala lilin tersebut akan semakin benderang ataukah semakin redup dan bahkan mungkin mati, kalianlah yang mengetahuinya. Pertanyaan saya, apa yang Bang Tere lakukan untuk mempertahankan nyala lilin yang Bang Tere miliki?.”

“Saya juga senang menulis, bang. Dan saya juga bercita-cita untuk menjadi seorang penulis. Tapi, bang, terkadang rasa jenuh tiba-tiba tiba mengganggu aktifitas menulis saya. Pertanyaan kedua, apa yang Bang Tere lakukan untuk mengusir kejenuhan yang tiba-tiba tiba menyerang ketika kita sedang semangatnya menulis?.”

“Wah, kalian harus bertepuk tangan untuk penerima kita yang satu ini….” Bang Tere tersenyum, mengomandoi tepuk tangan yang bergemah sedetik kemudian.

“Oke. Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, dik, namamu siapa?”

“Nur Syarif Ramadhan, bang.”

“Dipanggil siapa?”

“Syarif, bang.”

“Kuliah?”

“Iya. Saya dari Universitas Negeri Makassar, bang.”

“Kesini dengan siapa?”

“Sendiri bang.”

“Hebat!” selanjutnya Bang Tere menanyakan bagaimana caraku untuk sanggup membaca novel-novelnya. Kujawab saja, beberapa novel Bang Tere kuperoleh dari Yayasan Mitra-netra, beberapa lagi dari Page Bang Tere, dan beberapa lagi dibacakan oleh teman. Aku tak lupa menunjukkan dua novel Bang Tere yang ketika itu sedang dibedah. Kebetulan saya punya dan saya sengaja membawanya ke program itu.

“Tapi Maaf, Bang, saya belum menamatkan buku Negeri Di Ujung Tanduk. Belum ada seseorang yang bersedia membacakannya.” Keluhku sambil tersenyum. Bang Tere kemudian Menjawab pertanyaanku. Jawaban yang sangat panjang. Aku mohon maaf, saya tak bisa menuliskan semuanya di sini.

“Baiklah, syarif. Kenapa saya senang menulis? Simple saja alasannya. Apakah kalian pernah membaca Novel Hafalan Shalat Delisa?” sebagian besar penerima mengangguk.

“Kalian tau apa yang di timbulkan oleh novel ini?, Ada banyak sekali belum dewasa yang sehabis membaca novel ini pribadi menemui ibu mereka— memeluk leher ibu mereka— dan berkata, Ummi, saya mencintaimu alasannya ialah Allah. sungguh besar efek yang ditimbulkan oleh novel ini. Itulah salah satu motifasi terbesar saya di dalam menulis. Saya meyakini dalam diri saya bahwa goresan pena saya bisa merubah perangai orang lain. Saya meyakini bahwa goresan pena saya bisa menawarkan hiburan bagi yang membacanya.” Bang Tere berhenti sejenak. Menghela nafas perlahan, kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Kita tak pernah tahu. boleh jadi di sana… di salah satu gedung tinggi, apartemen-apartemen, padatnya kota hongkong, di sebuah kamar sempit, lelah sehabis bekerja sepanjang hari, dimarahi majikan, kangen negeri sendiri, ada seseorang yang tertawa, menangis, tiba-tiba merasa begitu bersemangat, mempunyai inspirasi, sehabis membaca goresan pena kita. kita tidak pernah tahu. boleh jadi di sana… di kolong jembatan, kota yang panas, tanah dengan onta dan korma, di balik dinding kardus. lelah sehabis berminggu terkatung menjadi imigran tidak diinginkan, ada seseorang yang tertawa, menyeka pipi, buncah oleh pengharapan, sehabis membaca goresan pena kita. Kita tidak pernah tahu, seorang anak remaja, tinggal di pelosok pedalaman, tiba-tiba menjadi begitu bersemangat atas masa depannya selesai membaca sebuah tulisan. Seorang anak remaja, tinggal di gemerlap kota, tiba-tiba menjadi paham dan berjanji mendengarkan nasehat orang tuanya sehabis membaca sebuah tulisan. Gaung goresan pena itu bisa jauh sekali. menulislah, dengan keyakinan bahwa itu bisa merubah, menghibur dan menemani. menulislah! Karena dunia ini akan jauh lebih baik jikalau semua orang pandai menulis–bukan pandai bicara. Itulah motifasi yang ada dalam diri saya, syarif. Sekali lagi saya suka menulis alasannya ialah saya yakin goresan pena saya sanggup merubah dan sanggup menjadi sumber penghiburan atau bahkan wangsit bagi orang lain. Dan ketika rasa jenuh tiba-tiba mengganggu, saya berhenti sejenak dari aktifitas menulis tersebut, lantas kemudian menghela nafas, berpikir sejenak, terkadang motifasi yang telah menempel dalam diri saya itu kembali menjadi penyemangat bagi saya untuk kembali menulis dan ajaibnya, motifasi tersebut bisa mengusir rasa jenuh yang tadi muncul.” Bang Tere kembali berhenti sejenak.

“Tentu saja, syarif, saya tidak tahu motifasi apa yang sanggup membuatmu senang menulis. Kaulah yang mengetahui apa yang ada dalam dirimu. Saran saya, syarif, temukanlah motifasi terbesarmu didalam menulis. Gigit kuat-kuat, kalau perlu hingga rontok gigi kau, genggam kuat-kuat dan berusahalah semoga motifasi itu tak kamu lepaskan. Saya yakin, dengan motifasi luar biasa yang kamu miliki, maka kamu akan merasa senang menulis. Jangan lupa, sertai dengan niat baik, ketulusan, maka goresan pena itu akan menjadi amat bertenaga, dan jauh sekali gaungnya. Sungguh jauh sekali gaungnya. Saya akan mendo’akanmu, syarif. Semoga kamu menjadi penulis yang hebat!” saya terhenyak menerima petua luar biasa dari orang yang luar biasa pula. saya akan mengingat nasihatmu bang. terimakasih. kamu telah memberiku sebuah pengalaman yang indah. alasannya ialah pengalaman itu, saya telah bisa melupakan rintangan-rintangan kecil yang menghalangiku pagi tadi untuk menemukan Auditorium Prof Mattulada Unhas. saya sadar, perjuangan yang berpengaruh akan berbanding lurus dengan kualitas yang hebat pula. Dan semoga, saya bisa memahami semua pesan tersirat yang kamu berikan hari ini. dan semoga do’a yang gres saja kamu lafalkan bisa menjadi kenyataan!!!

“Decakan, tepuk tangan, dan entah apalah namanya berkumpul menjadi satu sesaat Bang Tere mengakhiri penjelasannya. Sesi Tanya jawab kembali dilanjutkan. Ruangan kembali dipenuhi oleh puluhan acungan tangan. Hingga karenanya program bedah buku itu selesai. Dan ada sebuah ilustrasi dari Bang Tere yang cukup bermanfaat bagi teman-teman. Bunyinya ibarat ini:

“Tidak ada goresan pena yang buruk, kecuali memang buruk isinya, penuh keburukan. Tidak ada goresan pena yang baik, kecuali memang baik isinya, penuh kebaikan. Tidak ada goresan pena yang buruk atau baik hanya alasannya ialah gaya bahasa, titik koma, salah ketik dan sebagainya. Bahkan ketika insan pertama kali mengenal tulisan, hanya lewat simbol-simbol terbatas, bukan 26 karakter huruf latin ibarat sekarang, tetap saja dia baik atau buruk tergantung isinya. Tidak ada goresan pena yang menyudutkan, kecuali bagi pembaca yang bahkan sebelum membaca memang sudah tersudut. Tidak ada goresan pena menyalahkan, kecuali bagi pembaca yang semenjak awal sudah merasa bersalah. Tidak ada goresan pena yang bisa berakibat sejenis ini kecuali pembacanya yang membiarkannya terjadi. Simpel saja, saya menulis perihal kasus partai tertentu (dalam bahasa Inggris), dimuat di media internasional, penuh kalimat keras dan menohok, coba saja goresan pena itu dibaca oleh orang2 yang tinggal di London, New York, mereka merasa baik-baik saja. So what gitu loh? Tapi ketika goresan pena tersebut dibaca oleh orang-orang tertentu–meski dalam bahasa yang berbeda, berubahlah tanggapannya, terlihatlah reaksinya.”

“Tidak ada goresan pena yang menginspirasi, kecuali bagi pembaca yang semenjak memulai kalimat pertamanya memang sudah menyemai bibit pengharapan. Tidak ada goresan pena yang menggugah, mengharukan, kecuali bagi pembaca yang semenjak awal membacanya sudah membuka hatinya, bersiap mendapatkan kebaikan. Tidak ada goresan pena yang bisa berakibat sejenis ini kecuali pembacanya yang membiarkannya terjadi. Coba lihat, sebuah novel yang didesain begitu memotivasi, begitu membangkitkan semangat, sia-sia saja ketika dibaca orang yang tidak peduli atau memang tidak suka novel. Pun sebuah novel yang ditulis penuh rasa haru, jangankan setetes air mata, yang membaca hanya menyeringai bingung, ini novel apa sih–saat dia memang tidak siap atau tidak cocok atas goresan pena jenis tersebut. Lantas apa yang menciptakan sebuah goresan pena terlihat berbeda? Saya beritahu. Bahwa dalam dunia tulis menulis, diam-diam terbesarnya adalah: relevansi, relevan atau tidak relevan. Apa itu relevansi? Nyambung atau nggak. Dengan bahasa yang lebih simpel, artinya adalah: gue banget atau nggak. Sebuah goresan pena yang gue banget, selalu berhasil menyentuh sisi-sisi yang hendak dicapai penulisnya. Sebaliknya, goresan pena yang tidak relevan bagi pembaca kesulitan menciptakan pembaca suka. Hanya itu. Tidak ada diam-diam besar lainnya. Nah, maka mulailah menulis dengan paham soal relevansi ini. Pertama-tama, gue banget atau nggak bagi diri sendiri–tidak akan senang seorang penulis yang menulis goresan pena yang tidak disukainya, tidak ‘gue banget’. Pastikan ini terlebih dahulu. Kita menulis sesuatu yang gue banget. Berikutnya, gres pastikan gue banget atau nggak bagi orang lain. Gue banget atau nggak bagi penerbit, pembaca, dan seterusnya, dan seterusnya. Terutama kalau kita berharap goresan pena itu dibaca banyak orang. Lain soal kalau untuk konsumsi diri sendiri. Itulah diam-diam sebuah tulisan. Simpel.” Demikian sebuah motifasi luar biasa dari Bang Tere.


Acara bedah buku itupun usai. Ratusan penerima yang hadir pada siang itu berlomba-lomba ingin meminta tandatangan dari Bang Tere sesaat ketika moderator menyudahi acara. Mereka membawa buku apa saja yang merupakan karya dari Bang Tere untuk ditandatangani. Tentu saja, saya tak melaksanakan hal yang sama. Kedua buku dari Bang Tere yang kubawa ke program itu telah berisi tandatangan dari beliau.


Aku tetap berada di posisi daerah dudukku. Tak bisa kemana-mana. Terlalu banyak orang yang berdesak-desakan. Saat itulah kejadian indah itu terjadi, kawan. Aku mencoba mengarahkan wajah ke kepingan depan ruangan. Menatap lebih focus ke atas panggung. Di sana sedang di adakan photo bersama dengan Bang Tere.


Aku lantas berdiri. Mencoba lebih memfokuskan pandangan ke atas panggung. Saat itulah saya menyaksikan bayangan sosok yang bersahaja itu turun dari atas panggung. Meninggalkan orang-orang yang ingin berphoto ria dengannya. Menyibak orang-orang yang menghalangi langkahnyah. Jarakku dengan sosok itu kini tersisa lima langkah. Saat itulah saya mendengar sosok itu menyapaku.


“Syarif!!!” ketika itulah saya tersadar— melangkah— menggeser bangku yang ada di hadapanku— dan pribadi bersalaman dengan Bang Tere.

“Seharusnya, saya yang mendatangimu, bang.” Bang Tere tersenyum.

“Boleh saya memelukmu, Syarif?” Apa? Apakah telingaku tak salah dengar? Ternyata kali ini otakku kalah cepat dengan mulutku.

“Bolehlah, bang.” Ucapku lirih. Dan, alamak, ternyata Bang Tere memelukku sambil berbisik,

“Aku mendo’akan Semoga kamu menjadi penulis yang hebat!” kolam seorang gubernur yang sedang berpelukan dengan Sang Presiden, puluhan kamera dengan kualitas yang beragam, mengabadikan kejadian itu. Sesaat kemudian Bang Tere melepaskan pelukan, sekali lagi menepuk-nepuk pundakku, tersenyum sejenak, lantas berbalik arah dan kembali ke atas panggung. Hatiku riang tak terkira.


Sebuah pengalaman yang mengagumkan! Kan kusimpan baik-baik kenangan itu. Kelak, suatu ketika nanti, saya yakin, saya akan butuh untuk mengingat kejadian itu. Kenangan itu akan menjadi penyemangat disaat hatiku sedang gunda gulana, ketika ujian hidup berikutnya akan tiba menghadang, ketika banyak sekali kesulitan mulai menghantui, maka hatiku akan memperingati, jangan pernah menyerah, Syarif. Ingat baik-baik pesan tersirat indah itu:

“Sungguh, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jikalau dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berkembang menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jikalau kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh. (dikutip dari buku Negeri Di Ujung Tanduk)

Untuk menciptakan sebilah pedang terbaik, pandai besi harus memanaskannya di tungku dengan suhu memerihkan wajah, menghantamnya berkali-kali, menempanya berulang-ulang, dan itu pekerjaan panjang penuh kesabaran serta ketekunan. Sekali prosesnya selesai, beres, maka sepotong besi biasa, tumpul, buruk telah berkembang menjadi sebuah pedang tajam, gagah, dan bisa menebas apapun. Indah sekali. Begitulah kehidupan ini. para pembelajar kehidupan terbaik, harus ditempa berkali-kali, melewati situasi yang berat, jatuh bangun, hamper berputus asa, hingga karenanya berkembang menjadi seseorang yang ‘tajam’ dan bisa menebas ujian kehidupan manapun.


(Bontolangkasa, 09 oktober 2013).



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kenangan Di Auditorium Prof Mattulada Unhas"