Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Okka, Bantu Sesama Dengan Seni

 Dua hal yang agaknya masih jarang memperoleh apresiasi di Indonesia Okka, Bantu Sesama dengan SeniJakarta, Kartunet – Seni dan disabilitas. Dua hal yang agaknya masih jarang memperoleh apresiasi di Indonesia. Bagaimana tidak, masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa seni ialah hal yang membosankan dan tak mempunyai prospek cerah di masa depan. Belum lagi jikalau penggiat seni tersebut ialah disabilitas, yakni kelompok masyarakat yang keberadaannya masih dipandang sebelah mata. Namun, apa akhirnya jikalau seorang penyandang disabilitas justru menentukan jalur seni dalam beradvokasi untuk disabilitas?


“Aku mulai suka nulis puisi sekitar usia 5 tahun,” ujar Okka, membuka percakapan. Wanita 27 tahun itu terlahir dalam keluarga yang gemar membaca dan memberi dukungan dalam berkreasi. Tak heran jikalau ia sudah mengenal karya puisi semenjak usia dini, sesuatu yang jarang diminati oleh bawah umur seusianya.


Sejak kecil, Okka sudah mengukir prestasi dalam bidang seni. Usia 9 tahun, Okka pernah menjadi juara kedua dalam lomba pembacaan puisi yang diadakan oleh APEC. Karena prestasinya itu, Okka sempat diwawancarai di sebuah program radio dan diliput oleh sebuah majalah. Kegemaran Okka pada kata-kata pun sempat membawanya pada pengalaman berharga lain. Di usia 13 tahun, Okka sudah menjadi penerjemah pada Koran Tempo edisi bahasa Inggris, serta mendapatkan gaji dari sana. Sebuah prestasi yang terbilang luar biasa, alasannya tak banyak anak seusianya yang bisa melaksanakan hal serupa. “Entah kenapa, dari kecil saya lebih suka bacaan orang dewasa. Kalau ditanya siapa penulis favoritku, saya selalu jawab Pramudia Ananta Tour,” tambahnya, diiringi tawa kecil.


Seiring berjalanya waktu, Okka terus menulis dan terus menulis. Sebelumnya, Okka menganggap menulis puisi hanya hobi biasa. Namun, semenjak ia menuntut ilmu pada jenjang Master di NYU’s Tisch School of the Arts, Amerika- pada jurusan seni dan teknologi, kecintaannya terhadap seni dan sastra pun semakin meningkat. Sejak itulah Okka mulai mengenal dunia panggung dan performance. “Lalu, dari situ juga saya mulai pede untuk tampil di panggung dan menulis juga,” katanya.


Cinta pertama Okka ialah menulis. Begitulah yang selalu ia katakan. Ia pun mencoba melirik prestasi lain di bidang seni dengan  mengirimkan aplikasi serta pola beberapa karya puisinya pada Vermont Studio Center. Keinginan untuk terus menulis setiap hari dan menghasilkan karya, serta berkumpul dengan sesama seniman dan penulis, menjadi alasannya untuk mengajukan aplikasi pada residensi Internasional terbesar di Amerika Serikat bagi para seniman dan penulis seluruh dunia tersebut.


Agaknya, pemilik nama lengkap Khairani Barokka itu memang terlahir dengan jiwa seni yang luar biasa. Tahun 2011, Okka terpilih untuk bergabung di Vermont Studio Center. Sebuah kebangaan tersendiri bagi Okka, ketika ia mengetahui bahwa dirinya merupakan penulis Indonesia pertama yang tergabung di kawasan itu. Di Vermont Studio Center,  setiap seniman diberikan banyak sekali fasilitas  untuk menghasilkan banyak sekali karya seni. Ada yang menuntaskan novel, cerpen, patung dan lain sebagainya. Selama satu bulan tinggal di sana, Okka pun terus berkarya. Ia mengaku bisa menghasilkan setidaknya tiga puisi setiap hari . “Selama tinggal di sana saya jadi termotivasi. Pokoknya, udah deh, pengennya seumur hidup berkarya aja,” ungkapnya seraya tergelak.


Satu bulan berlalu, masa residensi Okka di Vermont Studio Center pun berakhir. Bersamaan dengan itu, Okka mengalami sebuah kondisi neurologis kompleks yang berdampak pada syaraf otot. Akibat kondisi tersebut, Okka terpaksa pulang ke Indonesia untuk berobat. Selama berbulan-bulan Okka harus beristirahat di kawasan tidur. Meski terkadang ia hanya bisa memakai tangan kirinya, ia masih bisa mengoperasikan komputer dan berselancar di internet. Saat itulah, Okka mulai banyak membaca dan melaksanakan riset wacana seni dan disabilitas.


Apa yang ia lakukan tidak sia-sia. November 2012, dengan pemberian dari Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia dan Kedutaan Australia, Okka pun mempresentasikan hasil risetnya pada konfrensi seni dan disabilitas di Sidney, Australia.  “Jadi yang saya promosikan dalam risetku dan kegiatanku, ialah biar kami para disabilitas sanggup lebih menikmati karya seni yang ada dan juga sanggup menghasilkan karya seni di segala bidang,” jelasnya.


Wanita yang amat ceria dan ramah ketika diwawancara ini percaya, bahwa intinya penyandang disabilitas maupun nondisabilitas sanggup bekerja dan berkarya bersama dalam seni.  Tidak ada kendala apapun bagi penyandang disabilitas untuk menjadi seorang seniman dan juga menikmati karya seni. Yang terpenting ialah adanya penyegaran fasilitas-fasilitas seni, biar seni tersebut sanggup dinikmati oleh semua orang. Misalnya, seorang tunanetra akan tetap sanggup menikmati karya-karya sastra jikalau karya tersebut disajikan dalam format abjad Braille. Kenyataan itulah yang kemudian mendorong Okka untuk mewujudkan sesuatu yang ia sebut dengan Inclusive Art. “Kalau di luar negeri, sudah banyak grup tari, teater, atau musik, yang diikuti oleh orang dengan disabilitas maupun tidak berdisabilitas,” tuturnya.


Untuk mendorong terciptanya inclusive art, Okka pun menyelenggarakan sejumlah aktivitas pentas seni. Salah satunya sebuah program bertajuk “Hear Artist, Hear Ability: Pentas Berbeda Bahagia” di At America, Pacific Place Mall, Desember 2012 lalu. Pada program tersebut, beberapa disabilitas berkumpul dan membawakan puisi karya mereka. Selain untuk menjalin silaturahmi antara para penyair disabilitas, Okka juga berharap sanggup mengumpulkan kisah wacana kisah hidup para seniman disabilitas tersebut dan saling membuatkan dengan puisi. Melalui program yang disiarkan secara live lewat internet tersebut, Okka juga ingin menawarkan kepada masyarakat, bahwa kelompok disabilitas juga bisa menjadi seniman serta unjuk bunyi dengan puisi.


Okka sudah menetapkan seni sebagai jalan hidupnya. Ia ingin sekali sanggup membantu sesama lewat seni. Penulis artikel dan puisi ini juga menuturkan bahwa ia akan terus melaksanakan penelitian mengenai seni dan disabilitas, serta berniat untuk lebih banyak lagi menulis artikel wacana seni dan disabilitas. Tampak jelas, bahwa Okka sangat bersemangat dalam mewujudkan inclusive art di Indonesia. Bagi sulung dua bersaudara itu, banyaknya tantangan yang menghadang tak lantas menjadi alasan untuk tidak memulai. Lewat Inclusive Art, Okka berharap setiap jenis kesenian-baik itu seni tari, teater, lukis, musik, maupun seni elektronik, sanggup berkembang di Indonesia. “Jangan hingga alasannya kekurangan kesempatan atau ketiadaan fasilitas, lantas seniman disabilitas tidak bisa berkarya atau menikmati karya seni,” tukasnya, mantap. (RR)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Okka, Bantu Sesama Dengan Seni"