Uang Muka KPR Turun Nih. Apakah Itu Tandanya Makin Gampang Ajukan Kredit ke Bank?
Sekarang saat yang tepat buat survei-survei cari lokasi rumah nih. Mumpung aturan uang muka KPR (kredit pemilikan rumah) lagi dilonggarkan Bank Indonesia. Yup, bank sentral itu merevisi ketentuan loan to value (LTV) mengenai pembayaran uang muka atau DP KPR.
Boleh dong hepi. Maklum, mayoritas orang di sini sulit memenuhi uang muka yang terbilang besar.
Kelonggaran uang muka KPR yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/10/PBI/2015 itu sudah diterapkan di seluruh bank sejak 18 Juni 2015 lalu. Dengan ketentuan ini, maka nasabah berhak mendapatkan fasilitas KPR hanya dengan modal uang muka sebesar 20 persen.
Asyiknya lagi, aturan baru tentang besaran uang muka itu tidak hanya berlaku untuk rumah pertama saja, tapi juga berlaku untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya namun tentu besarnya akan berbeda-beda. Rinciannya sebagai berikut:
Kepemilikan rumah | Tipe rumah | Maksimal kucuran kredit |
Rumah pertama | 21-70 M2 70 M2 | 80% dari harga jual 70% dari harga jual |
Rumah kedua | 21-70 M2 70 M2 | 70% dari harga jual 60% dari harga jual |
Rumah ketiga | 21-70 M2 70 M2 | 60% dari harga jual 50% dari harga jual |
Cuma perlu dicatat, kelonggaran uang muka KPR turun itu tidak bisa diterapkan di semua bank. Bank-bank tersebut terlebih dulu tak punya catatan non performing loan (NPL) di atas lima persen. NPL sendiri adalah indikator besaran kredit macet suatu bank.
[Baca: Pentingnya Lunasi Kewajiban Utang Kredit Biar Enggak Ancam Ekonomi Negeri]
Semakin rendah rasio NPL maka akan semakin rendah tingkat kredit bermasalah yang terjadi yang berarti semakin baik kondisi dari bank tersebut. Artinya, bagi yang ingin mencicipi uang muka KPR rendah sebesar 20 persen, maka carilah bank-bank sehat yang NPL-nya di bawah lima persen.
Ketahui kenapa bank di Indonesia ketat salurkan KPR
Wajar biar NPL terjaga, seluruh KPR yang disalurkan bank pastinya melewati seleksi yang ketat. Bukan hanya kewajiban uang muka yang telah ditentukan yang mesti dipenuhi, tapi bank juga memastikan calon nasabah punya uang untuk membayar angsuran KPR setelah dipotong pengeluaran per bulan.
Tujuannya adalah agar bank merasa yakin calon nasabahnya itu tak menerapkan prinsip gali lubang tutup lubang untuk membayar angsuran plus bunga KPR. Makanya, petugas bank bakalan ‘ceriwis’ dalam wawancara pengajuan kredit agar bisa tahu karakter calon nasabahnya.
[Baca: Tahapan Ajukan KPR Komplet sampai Akad Kredit]
Ketatnya seleksi dalam penyaluran KPR ini yang pada akhirnya membuat calon-calon nasabah KPR punya kapasitas keuangan yang memadai untuk membayar angsuran. Bahkan tak jarang ada nasabah yang melunasi utang KPR-nya lebih cepat dari tenor kredit yang berkisar 10-15 tahun.
Di samping itu, nasabah KPR dinilai ‘cukup tangguh’ menghadapi gejolak ekonomi yang terjadi. Meski ada kenaikan suku bunga dan inflasi yang melonjak, tapi sebagian besar angsuran KPR tetap dilunasi.
Alhasil, NPL KPR terbilang rendah hanya di kisaran 3,3% yang berarti masih aman dan jauh di ambang batas yang ditetapkan Bank Indonesia di kisaran 5%. Ini menandakan bank memang selektif menyalurkan KPR kepada ‘mereka’ yang punya kapasitas keuangan yang memadai.
Dari segi nasabah memang kesannya mengajukan KPR mesti melewati jalan yang berliku. Tapi pada hakekatnya, prosedur itu juga menguntungkan nasabah. Pasalnya, menyalurkan KPR tanpa prinsip kehati-hatian bisa membahayakan ekonomi yang pada gilirannya melahirkan krisis ekonomi.
Mungkin bisa ditengok pengalaman Amerika Serikat yang mengalami krisis ekonomi yang disebut subprime mortgage alias kredit KPR berisiko tinggi. Disebut demikian karena bank mengabaikan prosedur standar dalam penyaluran kredit di mana satu di antaranya menghilangkan syarat menyetorkan uang muka.
Bank tetap menyalurkan KPR kepada nasabah yang sebenarnya berpotensi gagal bayar di kemudian hari. Meski pendapatan nasabah pas-pasan dan banyak yang menganggur, tapi bank tak peduli dan tetap memberikan fasilitas KPR.
Perbankan di Amerika Serikat sebenarnya sedang berjudi dalam penyaluran KPR tersebut. Yang dikejar adalah tingginya pendapatan dari suku bunga subprime mortgage. Bank berpikiran, kredit macet yang dialami satu nasabah bisa ditutupi oleh keuntungan bunga.
Lagi pula bank merasa aman karena memegang agunan berupa sertifikat dari properti yang dibiayai. Kalau nasabah gagal bayar cicilan, tinggal sita propertinya dan lelang. Masalah tuntas!
Justru di sini bencananya. Perbankan di Amerika sama sekali tak memerhitungkan terjadinya kredit macet massal. Ketika suku bunga naik dan harga-harga barang ikutan naik membuat banyak nasabah KPR kesulitan bayar cicilan.
Walaupun properti milik nasabah disita tapi harganya bakal jatuh karena pasokan berlimpah. Di samping itu, bank juga kesulitan menjualnya di mana banyak nasabah sedang bermasalah dengan keuangannya.
Untungnya, penyaluran KPR di Indonesia tidak seperti di Amerika Serikat. Perbankan di sini tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam merespons pengajuan KPR.
Paham kan kenapa bank begitu hati-hati? Hanya calon nasabah yang bisa membuktikan diri punya kemampuan keuangan yang memadai saja yang bisa diterima pengajuannya. Bank tak serta merta melihat berapa besar pendapatan seseorang tapi juga dilihat besaran rasio utang dengan pendapatannya.
Image credit:
http://debtwatchers.net/wp-content/uploads/2013/10/bank-wallpaper-16.jpg
http://www.mappijatim.or.id/wp-content/uploads/2014/08/kpr-bunga.jpg
http://panel.mustangcorps.com/admin/fl/upload/files/9(498).jpg
Posting Komentar untuk "Uang Muka KPR Turun Nih. Apakah Itu Tandanya Makin Gampang Ajukan Kredit ke Bank?"