Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ingatan Politik Etis Dan Disabilitas

Ingat 20 mei, tak hanya mengingatkan kita pada Budi Utomo yang kelahirannya dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Menelusuri ingatan “kebangkitan” juga sanggup kita temukan di tahun-tahun sebelum Budi Utomo lahir. Politik Etis kerapkali dinyatakan sebagai pintu gerbang terbukanya “kebangkitan” nasional.


Dalam buku Munculnya Elit Modern Indonesia, Robert van Neil (1960) mengungkapkan Politik Etis menjadi pengerak terjadinya akselerasi perubahan sosial, politik, kultural di tahun-tahun awal 1900-an.Politik Etis sebagai awal mula adanya perhatian dari pemerintah Belanda mengenai perbaikan pendidikan bagi kaum pribumi. Dari dibangunnya sekolah-sekolah pribumi hingga diberikannya kesempatan mencar ilmu di luar negeri.


Pemberian kesempatan pendidikan oleh pemerintah Belanda bukan tanpa pamrih, melainkan untuk menempatkan para pribumi menjadi pegawai pemerintahan dan perusahan Belanda. Barangkali pemerintah Belanda tidak menyangka, perbaikan dan pemberian kesempatan pendidikan menjadi pintu awal kelahiran kaum terdidik dan elit  intelektual. Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, atau Soewardi Soerjaningrat yakni tokoh-tokoh terdidik dan intelektual pelajar STOVIA yang kemudian mendirikan Budi Utomo dalam tonggak sejarah “kebangkitan”  nasionalisme dan perlawanan “rakjat” Indonesia.


Sejarah politik Etis memperlihatkan kita sebuah pembelajaran bagaimana pendidikan bisa membawa perubahan. Tak kan ada revolusi tanpa kaum terdidik. Pendidikan memungkinkan seseorang memperoleh kesadaran reflektif-kritis atas diri sekaligus menyadari banyak sekali penindasan dan ketidakadilan yang terjadi dalam praktek kolonialisme. Ketika kesadaran kritis lahir, tumbuhlah nasionalisme, dan bangkitlah perlawanan. Begitulah ingatan sejarah dari politik etis tahun 1900-an hingga proklamasi kemerdekaan di tahun 1945.


Dari kilas balik itu, kita menemukan ingatan sejarah perlawanan terhadap penindasan kolonialisme. Kini, kolonialisme feodal telah berakhir, tetapi kita mendapati banyak sekali bentuk praktek kolonialisme terhadap para penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas menjadi kelompok minoritas yang mendapat banyak sekali bentuk perlakuan diskriminatif. Seperti yang dikatakan Iris Marison Young, para penyandang disabilitas menjadi kelompok minoritas yang mengalami eksploitasi, marginalisasi, pelemahan, imperalisme kultural, dan juga kekerasan.


Berbeda dengan kelompok minoritas menyerupai ras, warna kulit, feminis, dan minoritas lain, penyandang disabilitas yakni kelompok minoritas yang masih minim sekali mendapat perhatian dari pemerintah meupun masyarakat luas. Kelompok penyandang disabilitas belum mendapat haknya dalam pendidikan, sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.


Selama ini penyandang disabilitas di Indonesia telah mempunyai banyak organisasi sosial (Orsos) perkumpulan penyandang disabilitas. Kita memperlihatkan apresiasi atas banyak sekali usaha yang mereka lakukan hingga ketika ini. Tetapi kita belum mendapati Orsos-orsos tersebut mempunyai kekuatan politik yang cukup berpengaruh dalam menghipnotis kebijakan negara yang berkaitan dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Negara, melalui kebijakan bantuan-bantual sosial, panti-panti rehabilitasi seolah mematikan “pergerakan”. Negara lebih suka melempar ikan, ketimbang memberi kail. Negara membuat “budaya bisu” kepada kelompok penyandang disabilitas.


Pendidikan dan Literasi


Dalam banyak sekali problem dan usaha kelompok penyandang disabilitas di Indonesia, kita mengingat pendidikan dalam Politik etis menjadi semacam lentera yang perlahan menyalakan api kebangkitan. Mungkin kita tidak sanggup begitu saja menyamakan kondisi masyarakat pribumi di awal kala XX dengan kondisi yang dialami dan dihadari kelompok penyandang disabilitas di Indonesia ketika ini. Akantetapi sejarah mengajari kita bagaimana penting pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pendidikan memungkinkan dan memberi cita-cita lahirnya kelompok penyandang disabilitas yang terdidik, kesadaran kritis yang akan “membangkitkan” usaha hak-hak penyandang disabilitas.


Pendidikan tak terlepas dari tradisi literasi. Kita mengingat Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, atau Soewardi Soerjaningrat yakni tokoh-tokoh yang tak hanya mendapati pendidikan Belanda, tetapi mereka yakni orang-orang yang mengakrabi diri dengan buku-buku, pada literasi. buku-buku membuat mereka mempunyai gelora intelektual, kebebasan dan kematangan berpikir yang menjadi cikal bakal kesadaran nasionalisme dan perlawanan terhadap pemerintah belanda. Kita pun berharap para penyandang disabilitas sanggup mengakrabi diri dengan buku-buku. Perjuangan lewat buku, kata dan tulisan. Kita yakin, ketika badan dan kata menyatu, maka lahirlah revolusi.


Kita tentu saja kecewa dengan masih sedikitnya sekolah maupun akomodasi pendidikan bagi penyandang disabilitas, mendapati sekolah inklusi yang masih banyak persoalan, atau masih sulitnya kesempatan para penyandang disabilitas untuk mendapat pendidikan di Perguruan Tinggi. Perbaikan dan kesempatan pendidikan menjadi agenda pokok bagi penyandang disabilitas atas ingatan sejarah kebangkitan nasional. Kita menginginkan tidak adanya lagi diskriminasi dalam pendidikan. Artinya, kita tidak ingin 20 mei menjadi peringatan tanpa perubahan.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ingatan Politik Etis Dan Disabilitas"