Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Podcast, Ladang Berkarya Yang Diberikan Internet Untuk Tunanetra!

Hi, saya Eka, gadis pemimpi yang setiap hari mengkhayal dan berkata, “Andai saya Inggrid Nelson!”


Inggrid Nelson? Siapa dia? Kenapa harus dia?


Inggrid Nelson, dialah wanita pintar, cantik, berani, bersuara merdu dan terkenal, penyulut sumbu mimpi dalam diriku. Dialah sosok yang kata-katanya selalu kudengar setiap hari melalui internet. Dia yaitu seorang podcaster. Dan saya ingin melaksanakan hal yang sama!


Lalu, bermuara dimanakah inginku itu?


Mengkhayal dan mengkhayal. Itulah yang justru kulakukan. Inginku mandul. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menjadi seorang ‘Artis’ di jagat per-podcast-an. Konsep dan konten yang belum matang, peralatan yang tidak memadai, biaya yang cukup mahal untuk sebuah podcast hosting dan sederet permasalahan lainnya, itulah ranjau yang pada risikonya mendudukkanku sebagai ‘Janda’ dari sebuah mimpi.


“It feels hard to me”


“Apa memang selalu gak ada kawasan buat tunanetra ya?”


“Apakah tunanetra Cuma bisa jadi pendengar tanpa bisa memproduksi hal yang serupa?”


Kurang lebih begitulah racauanku kala putus asa dengan ketidakmampuank. ‘Aku mah apa atuh’, begitulah diriku. Aku terpenjara dalam jeruji keterbatasan padahal saya mempunyai sejuta ilham dan informasi yang bisa saya bagi dengan orang lain.


“Andai saya jadi podcaster, niscaya saya bisa bercerita pada dunia wacana siapa dan kekuatan apa yang dimiliki disabilitas”


‘Bercerita pada dunia’, itulah misi yang kubawa dalam khayalanku. Aku ingin dunia tahu bahwa tunanetra itu bukanlah alien, bukanlah makhluk tanpa daya atau sejenisnya. Aku ingin dunia tahu bahwa tunanetra pun kerap pergi ke mall, karaoke, berwisata, berenang, dating, kuliah, bisa berbahasa Inggris, berprestasi dan yang paling penting, tunanetra pun bisa menyesuaikan diri dengan tekhnologi! Aku ingin stigma jelek wacana tunanetra tak lagi berkuasa di masyarakat. Terlebih lagi, ada salah seorang professor dari University of Sidney yang menganjurkanku membuat podcast dengan impian masyarakat akan lebih memahami disabilitas.


Wonderful bukan? Tapi apa guna ide-ide itu jikalau saya tak bisa membuatnya nyata. Pepesan kosong!


‘There is a will, there is a way’


‘Dimana ada niat, disitu ada jalan’


Suatu dikala kubaca pepatah di atas di status Facebook salah satu temanku. Pepatah itu terasa biasa-biasa saja buatku, tapi siapa sangka status Facebook itu bisa menumbuhkan niatku untuk bergerak, melangkah meski Cuma satu langkah!


‘Disability Zone’, sebuah podcast kerja sama antara saya dan sahabatku pun lahir. Masih sederhana, tapi cukupinformatif . Yang penting bergerak, itulah yang kutanamkan dalam hati. Yang penting share, itulah yang kulakukan dengan podcast perdanaku. Alhasil podcast itu pun terlempar dari satu grup WhatsApp ke grup lainnya, dari satu kontak WhatsApp ke kontak lainnya dan menetap dengan tenang di salah satu hosting berjulukan ‘Sound Cloud’.


Lihatlah, publishing yang sederhana kan? Tapi dengarlah teriakanku pasca proses publishing:


“Wow, listener-nya bertambah!”


Puas dan bahagia, itulah yang kurasakan dikala saya tahu ada orang-orang yang merelakan telinganya untuk mendengarkan kicauanku wacana disabilitas. Tak hanya itu, pesan yang bertubi-tubi mampir ke WhatsApp-ku pun menunjukkan semangat tersendiri buatku.


“Eka suaranya bagus. Mirip penyiar di TV”


Wow, komentar pertama cukup membuatku melayang.


“Informatif kontenya. Ijin share link-nya di Instagram saya ya!”


Perfect, komentar kedua semakin membuatku bersemangat. The more they share, the more people listen. Semakin banyak mereka share, semakin banyak juga orang yang mendengar podcast-ku.


Lalu, sudahkah saya menjadi Inggrid Nelson?


Tentu tidak secepat mengerjapkan mata. Semua itu butuh proses meski kuakui langkah pertamaku cukup memuaskan. Namun, apakah semua itu terjadi lantaran kekuatanku semata? Tidak sepenuhnya benar. Ada hal lain. Ada factor lain yang turut mengambil tugas dalam merealisasikan mimpiku ini.


‘Internet’, itulah lakon penting dalam perjalanan karir-ku sebagai podcaster. Internet ternyata bisa membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ia menyediakan ladang yang begitu luas untukku menanam karya-karyaku. Ladang itu pun tak melulu berbayar; ada banyak hosting gratis yang bisa diakses. Selain itu, rentetan yang terjadi dalam proses menjadi ‘Podcaster wanna be’ pun tak lepas dari tugas internet. Mulai dari status Facebook teman, publishing dan promoting melalui media social dan website tak berbayar, semua itu terlahir dari the power of internet. Dan satu hal lagi, saya bisa melaksanakan semua proses itu secara mandiri! Fleksibel, tak terbatas ruang dan waktu, murah, aksesibel, itulah serentetan manfaat yang dibawa oleh internet yang sekaligus mendorong lahirnya kemandirianku dalam berkarya.


Cukup hingga disitukah langkahku?


Tentu tidak. Sekarang saya melangkah lebih jauh dan lebih yakin dengan membuat podcast pribadi ber nama “Blind Storm” yang saya luncurkan di dua layanan podcast populer yaitu Apple Podcast dan Google Play. Coba bayangkan, mempunyai channel pribadi di apple podcast layaknya Inggrid Nelson yaitu mimpi besar buatku, dan hal itu jadi kasatmata berkat internet! Podcast yang kubuat kali ini lebih challenging lantaran kontennya tak hanya mengupas disabilitas tapi juga kehidupan pribadiku. Selain itu, saya harus terbiasa berbahasa Inggris lantaran kebanyakan listener yang mengakses feature ini yaitu orang asing.


Awalnya kurasa tak akan ada orang abnormal yang tertarik dengan podcast-ku, tapi ternyata apa yang terjadi? Ada salah seorang pendengar dari Amerika Serikat yang mengapresiasi karyaku. Dan ternyata beliau juga seorang podcaster yang mempunyai banyak penggemar!


“Thanks for being honest about yourself. Your story is so inspiring and you have a fantastic mental attitude! Thanks for telling us about the monster Glaucoma,”


Itulah kata-kata Patrick, seorang pendengar dari negeri Paman Sam. Dia mendengar sekaligus mempromosikan podcast-ku di channel miliknya. Dia juga tak segan menyebutkan kata ‘Disability’ and ‘visually impaired person’ dikala mempromosikan podcast-ku. Bahagia dan bahagia, hanya itu yang tergambar dalam diriku atas apa yang dilakukan orang abnormal itu. Dan setiap kali saya memposting episode baru, selalu ada listener yang mampir dan mendengar. Dengan kata lain, semakin banyak yang mendengar, semakin banyak pula yang menerima informasi wacana disabilitas.


‘World in my hand’, itulah kata yang sempurna kugunakan untuk menggambarkan apa yang telah internet lakukan buatku. Ia berperan dalam merealisasikan mimpiku menjadi seorang podcaster. Ia juga berperan dalam menyebarluaskan informasi wacana disabilitas, tak hanya pada masyarakat Indonesia tapi juga pada masyarakat global. Melalui internet, saya bisa menembus batas satu bangsa dengan bangsa lainnya serta menembus batas yang dibawa oleh ketunanetraanku. Tanpa tugas internet, tidak mungkin rasanya suaraku sanggup didengar oleh masyarakat dunia.


Tak hanya itu, internet pun menunjukkan kesempatan besar buatku untuk membagikan ilmu yang kumiliki kepada teman-teman tunanetra baik di dalam maupun di luar negeri. WhatsApp, itulah kawasan dimana saya membagi pengetahuanku terkait Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Secara terencana saya produksi podcast pembelajaran Bahasa Inggris untuk teman-teman tunanetra di Indonesia, dan podcast pembelajaran Bahasa Indonesia untuk teman-teman dari Negara lain. Tak sekedar itu, podcast pembelajaran Hak-Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Remaja pun turut saya produksi dan sebarluaskan lewat WhatssApp. Berkat internet, podcast-podcast pembelajaran itu pun sanggup disebarluaskan dengan mudah. Selain itu, mereka pun sanggup menambah pengetahuan gres tanpa terbatas ruang, waktu dan biaya. Tantangan mobilitas dan aksesibilitas yang biasanya dihadapi oleh tunanetra pun sanggup berkurang dengan adanya akomodasi yang disediakan oleh internet.


Dan menyoal wacana kreatifitas, masyarakat pun bisa melihat kreatifitas yang kupunya melalui audio-audio yang saya edit sendiri tanpa pinjaman orang lain. Bukti nyata, tekhnologi yang ramah terhadap tunanetra dan keberadaan internet yang juga akomodatif terhadap tunanetra, sungguh mendukung lahirnya karya dariku yang notabene tunanetra dengan segala stigma yang masih besar lengan berkuasa dari masyarakat. Secara tidak langsung, pembuktian itu ada dan peningkatan kapasitas diri pun terus kulakukan demi meluruhkan stigma lewat karya!


Dan upaya peluruhan stigma itu pun telah dibuktikan lebih dulu oleh sepasang tunanetra di Benua Amerika. ‘Eyes on Success’, sebuah podcast yang dibentuk oleh sepasang suami-istri tunanetra, itulah kesuksesan karir pribadi para tunanetra yang sekaligus menjadi ajang campaign dan sosialisasi wacana betapa tunanetra itu bergotong-royong lebih superpower dari sekedar stigma yang selama ini menempel begitu kuat. Pundi-pundi emas pun bisa mereka sanggup lewat ‘Eyes on Success’. Pemerintah dan masyarakat benar-benar mendukung podcast itu sampai-sampai penghargaan pun mereka raih. Dan dengan bukti kasatmata itu, kuharap saya pun bisa menebar virus positif yang sama di Indonesia dan dunia lewat ‘Blind Storm’ (podcast berbahasa Inggris-ku) dan ‘Nongkrong Cantik’ (Podcast berbahasa Indonesia-ku).


Dunia benar-benar berada di genggaman berkat internet! Tunanetra pun bisa berpartisipasi dan berkarya di dalam masyarakat local maupun internasional. Dan aku, gadis pemimpi yang mendamba menjadi seorang Inggrid Nelson tetap tak bisa menjadi Inggrid Nelson, tapi saya bisa meraih mimpiku menjadi seorang podcaster!


Siapa pun kamu, apapun latar belakangmu, berfungsi atau tidak kah kedua bola matamu, segalanya menjadi mungkin alasannya Internet makes our dreams come true!


Tulisan ini merupakan nominasi pada lomba esai opini Manfaat Internet untuk Kemandiriaan Difabel #12KartunetBerkarya. Silakan vote goresan pena ini untuk mendukungnya sebagai nominasi terbaik.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Podcast, Ladang Berkarya Yang Diberikan Internet Untuk Tunanetra!"