Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rectoverso, Eksotisme Melankolia Dewi Lestari

Judul Buku: Rectoverso

Genre: Fiksi (kumpulan cerpen)

Penulis: Dewi Lestari

Penerbit (Indonesia): Bentang Pustaka

Tebal Buku: 143 halaman


                Di salah satu blurb pada halaman pengantar Rectoverso karya Dewi Lestari,  ada komentar dari penyair dan penulis Seno Gumira bahwa Dewi telah “melakukan lompatan dari buku-buku sebelumnya” lewat karya terbarunya itu. Dan memang, dalam kumpulan 11 dongeng pendek yang masing-masing juga dilengkapi oleh lagu gubahan mantan personel grup vokal RSD ini, sangat terlihat kematangan goresan pena Dewi yang bisa untuk mengkombinasikan plot yang aksesibel dan sarat pop romance dengan prosa yang puitis, intelektual dan filosofis.


                Rectoverso awalnya diterbitkan empat tahun yang kemudian dan dijual lengkap dengan CD lagu Dewi, untuk kemudian dicetak ulang lagi bertepatan dengan diangkatnya naskah tersebut ke layar lebar pada awal tahun 2013. Salah satu aspek yang paling mencolok dari buku ini ialah presentasinya yang unik dan kreatif. Setiap dongeng diawali dengan lirik lagu yang merepresentasikan plot dari dongeng tersebut; beberapa di antaranya pastinya sudah familiar di pendengaran kita, ibarat Firasat yang dinyanyikan Marcell dan Malaikat Juga Tahu yang dinyanyikan Dewi sendiri. Lalu, di interval masing-masing dongeng juga kadang muncul gambar foto atau prosa pendek yang memperkuat nuansa dari dongeng yang gres saja dibaca.


                Jadi, sangat terasa bahwa Rectoverso menonjolkan aspek “nuansa dan rasa” ketimbang hanya sekedar narasi. Dalam cerita-ceritanya, Dewi cenderung bertujuan menangkap momen emosional dan spiritual dari kehidupan daripada menampilkan plot konvensional dengan penyelesaian konflik yang sudah terang pada final cerita. Kebanyakan ceritanya pun tidak terlalu panjang, tapi justru di situlah letak kekuatan dari Rectoverso. Cerita Selamat Ulang Tahun yang hanya sepanjang tiga halaman misalnya, tetap mempunyai kekuatan emosional yang mendalam.  Mayoritas abjad dalam cerita-cerita Rectoverso tidak diberi nama, namun sanggup dengan gampang mengenali sosok-sosok itu dengan duduk perkara emosionalnya masing-masing; baik seorang sobat yang setia menjadi “tong sampah” daerah curhat perempuan yang disayanginya (Curhat Buat Sahabat), seorang backpacker yang hanya sanggup mengagumi orang yang dicintainya dari jauh (Hanya Isyarat), seorang perempuan karier yang berada jauh dari keluarganya (Tidur), atau seseorang yang tak kunjung mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari orang yang paling ditunggu (Selamat Ulang Tahun).  


                Cerita yang paling representatif dan menonjol dari Rectoverso ialah Malaikat Juga Tahu. Cerita kedua dalam buku ini menampilkan kekerabatan antara empat orang karakter: seorang laki-laki 38 tahun penyandang autisme yang dipanggil “Abang”, sang gadis yang senantiasa menemani si Abang, sang adik dari Abang yang kemudian menjalin kisah asmara dengan sang gadis, dan sang ibu dari Abang yang menyaksikan semua itu dengan penuh rasa khawatir. Ajaibnya, kompleksitas kekerabatan dan kedalaman emosi dalam dongeng itu sanggup dipresentasikan dengan sangat efektif dalam jumlah halaman yang relatif sedikit. Malaikat Juga Tahu adalah kisah ekspresi cinta dari seorang penyandang disabilitas dengan segala keterbatasan dan kelebihannya, sekaligus bentuk luapan kasih sayang dari seorang ibu yang tidak ada bandingnya. Sangat menyentuh, dengan pilihan kata-kata dan obrolan yang luar biasa dalam.


                Nuansa dan emosi sifatnya subjektif, sehingga Rectoverso bukan sebuah karya tulis yang sanggup adikara dinikmati semua kalangan. Sebagian pembaca mungkin akan terus-terusan tersenyum dan manggut-manggut dikala membacanya, sementara sebagian lagi justru menggaruk-garuk kepala resah atau merasa tidak puas dengan penyelesaian kebanyakan dongeng yang terkesan menggantung. Penulis langsung beropini bahwa dongeng ibarat Grew A Day Older (salah satu dari dua dongeng berbahasa Inggris dalam buku ini) dan Firasat tergolong lemah, sementara bagi sebagian lainnya mungkin justru itulah dongeng favorit mereka.


                Yang jelas, terdapat sebuah tema umum dalam cerita-cerita Rectoverso: cinta yang tak berbalas, tak terucap, atau berakhir dengan perpisahan dan kematian. Namun, semua itu tidak disampaikan dengan gaya yang cengeng, mendayu-dayu, atau terlalu tragis. Tetap ada nuansa positif dalam kebanyakan cerita, khususnya mengenai keikhlasan, ketulusan dan kemampuan untuk menghadapi kenyataan yang tak sesuai keinginan. Pada akhirnya, dalam kehidupan kita selalu punya dua pilihan: tersenyum dan mensyukuri semua yang manis, atau menangis di pojokan menyesali semua yang pahit. Dewi Lestari menentukan untuk tersenyum. (Ven)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Rectoverso, Eksotisme Melankolia Dewi Lestari"