Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Diskriminasi Maskapai Ke Disabilitas Bukan Hal Baru

Jakarta, Kartunet.com – Perlakuan diskriminatif pada penyandang disabilitas masih terus terjadi, termasuk di layanan penerbangan. Masalah klasik yang terjadi akhir kurangnya pengetahuan para petugas maskapai mengenai penyandang disabilitas ini seakan belum akan berakhir meski sudah ada upaya advokasi dari aneka macam pihak. Pada lima tahun terakhir, tercatat di media massa ada tujuh kasus diskriminasi yang terangkat ke publik. Tentu selain itu, masih banyak tindak diskriminatif lain yang tak cukup sanggup perhatian masyarakat.


Pada pertengahan tahun 2011, sejumlah penyandang disabilitas mengajukan tuntutan kepada maskapai nasional Lion Air atas perlakuan diskriminatifnya. Dimotori oleh Sugiyo, Aria Indrawati, dan Rianti (tunanetra), serta Ridwan Sumantri (tunadaksa) menuntut Lion Air alasannya ialah pengharusan pihak maskapai untuk mereka menandatangani surat keterangan sakit sebelum terbang.


Aria Indrawati, tunanetra yang juga penggagas Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), pernah harus berdebat dengan petugas bandara di Banjarmasin alasannya ialah menolak menandatangani surat keterangan sakit (Desember 2008). Karena terus menerima hadangan dari petugas, hingga kegiatan keberangkatan pesawat menuju Jakarta yang ditumpanginya tertunda. Pada tuntutan kepada Lion Air tersebut, juga ada legalisasi Endang seorang pengguna dingklik roda yang dipaksa untuk tanda tangan surat keterangan yang sama pada penerbangannya dari Solo ke Jakarta (Oktober 2010).


Begitu pula yang dialami oleh Ridwan Sumantri, pengguna dingklik roda ini menerima perlakuan tidak menyenangkan ketika ingin terbang dengan Lion Air dari Jakarta ke Denpasar (April 2011). Ketika disodori surat keterangan sakit untuk ditandatangani, ia menolak akan tetapi terus menerima tekanan dari pihak maskapai. Bahkan bila Ridwan tidak tanda tangan, maka pilot dan staf pesawat yang mengancam untuk turun. Ketika di dalam pesawat pun, Ridwan tidak diberi dingklik yang posisinya bersahabat dengan pintu. Dia harus mendapatkan perlakuan kurang nyaman alasannya ialah posisi dingklik yang di tengah kabin, maka beliau harus digendong petugas pesawat dan berulang kali meminta maaf alasannya ialah kakinya menyentuh bahu penumpang lainnya. Bersyukur tuntutan Ridwan dkk dikabulkan sebagian oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Desember 2011.


Selain kasus yang hingga tahap naik ke ranah pengadilan, masih terjadi perlakuan diskriminatif lainnya yang dialami oleh penyandang disabilitas. Seperti kasus abolisi tiket oleh Lion Air kepada Rudi Petrus Manik yang ingin terbang dari bandara Polonia Medan ke Jakarta (Juli 2009). Alasan abolisi tersebut hanya alasannya ialah calon penumpang seorang tunanetra dan tidak membawa pendamping selama perjalanan di pesawat. Begitu pula penolakan yang dialami oleh Irwan Subena ketika akan naik Citilink dari Makassar ke Denpasar (September 2010) dan Denny Martin untuk tujuan Jakarta dari Suarabaya (September 2011). Mereka semua dipersulit oleh pihak maskapai untuk naik pesawat alasannya ialah status sebagai tunanetra.


Terakhir, terjadi lagi perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Cucu Saidah, pengguna dingklik roda dikala perjalanannya memakai Garuda Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta (9 Maret 2013). Saat itu, Cucu diharuskan oleh pihak maskapai untuk tanda tangan surat keterangan sakit, dan mengalami kerugian alasannya ialah dingklik roda yang rusak selama tanggung jawab pihak maskapai.


Berbagai kasus yang terjadi mempunyai satu benang merah yaitu kurangnya gosip yang dipahami oleh petugas maskapai. Mereka kurang gosip bahwa ada perbedaan antara penyandang disabilitas dengan orang sakit. Akibatnya, penyandang disabilitas yang bukan orang sakit terkadang dipaksa untuk tanda tangan surat keterangan sakit yang isinya sangat diskriminatif. Pada umumnya surat tersebut menekankan bahwa pihak maskapai tidak akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada penumpang alasannya ialah kondisi yang dialaminya.


Selain itu, faktor kurang gosip tersebut menjadikan lagi anggapan bahwa penumpang dengan disabilitas tidak sanggup mampu bangun diatas kaki sendiri dan harus selalu membawa pendamping. Padahal opsi pendamping itu tidak wajib bila penyandang disabilitas itu memang sanggup melaksanakan perjalanan secara sanggup bangun diatas kaki sendiri dengan santunan yang masuk akal dari pihak maskapai; menyerupai pada kasus penolakan tunanetra untuk naik pesawat tanpa pendamping. Dengan pemahaman yang baik, seyogyanya petugas maskapai tahu bahwa mereka hanya perlu santunan untuk naik dan turun dari pesawat. Selebihnya dengan intruksi yang tepat, mereka sanggup mengurus diri mereka di dalam pesawat.


Semoga kelak akar pemasalahan soal kurangnya gosip ini sanggup diatasi oleh pihak maskapai dan masyarakat. Akses sarana transportasi umum ialah hak seluruh masyarakat, tak terkecuali mereka  dengan disabilitas. (DPM)


Editor: Muhammad Yesa Aravena



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Diskriminasi Maskapai Ke Disabilitas Bukan Hal Baru"