Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kata Pak Ustadz, Amanat Itu Harus Dijaga?

“Hey! Siapa kau?”


 


Mau tahu siapa aku? -sepertinya sudah jadi “kewajiban” untuk memperkenalkan diri di awal dongeng ya?- Baiklah, baiklah, sebut saja saya Bam, mahasiswa tingkat selesai di salah satu universitas swasta di kota yang penuh kemacetan dan kesemrawutan ini. Kalian tidak perlu tahu banyak perihal identitas pribadiku, sebab itu tak penting bagi kalian.


 


“Apa tujuanmu mengacau di sini?”


 


Bukan bukan, saya bukan ingin menciptakan kegaduhan atau kekacauan. Aku hanya ingin bercerita; dongeng tentang… Umm… Ah ya! Tentang sesuatu yang semenjak dulu mengganjal di benakku dan membuatku muak; perihal sesuatu yang biasa disebut kemunafikan!


 


“Mengapa kamu beri judul kisahmu ibarat itu?”


 


Yaa, sebab itulah yang kulihat, kudengar, dan kurasakan. Menjaga amanat itu, yang kutemui, hanya kata Pak Ustadz atau penceramah agama di TV atau di masjid. Namun faktanya? Mau tahu bagaimana faktanya? Hmm, kalian lanjutkan saja membaca hingga habis; hingga kalian lelah; hingga kalian jenuh!


 


Baiklah, eksklusif saja kuawali roman picisan ini.


 


Suatu ketika, entah kapan waktu tepatnya, saya pun sudah agak lupa. Ketika itu, saya sedang sedikit ada problem dengan Friska, gadis bagus blasteran Cimahi-Jerman yang sudah beberapa tahun menjalin sebuah kisah denganku; mungkin akan lebih sempurna kalau disebut sebuah kisah cinta? Masalah itu mulai timbul saat Aldian, mantan Friska, tampak mulai kembali mendekati Friska. Aku mulai mencium gelagat tidak beres itu saat Friska cukup sering bercerita perihal Aldian. Aldian yang begini lah, Aldian yang begitu lah, Aldian yang telah diterima bekerja di perusahaan ternama di ujung timur negeri tercinta ini, dan segala macam tetek-bengek perihal Aldian. Dan informasi terakhir yang kudengar -dan itu dari verbal Friska sendiri-, mereka kini jadi lebih sering menjalin kontak -entah melalui telepon, Facebook, Twitter, bahkan melalui akomodasi Video Call di Skype-.


 


Rasa penasaran, cemburu, entah apa lagi yang saya rasa. Tak tahulah aku. Yang jelas, saya ingin segera mengetahui kebenaran dari semua kabar burung -entah itu burung milik siapa- yang dengan indahnya masuk dan keluar melalui gendang telingaku.


 


Satu langkah pelan tapi niscaya yang kulakukan, saya menghubungi Dul, yang terakhir saya ketahui bekerja di perusahaan yang sama dengan Aldian. Usut punya usut, ternyata mereka bekerja di penggalan yang sama; penggalan keuangan perusahaan. Dan satu lagi, ternyata mereka tinggal di kawasan tinggal yang sama, di sebuah rumah sederhana yang disediakan oleh perusahaan.


 


Dari Dul saya mengorek semua informasi yang kurasa sanggup menolongku merampungkan rasa ingin tau yang mengganjal. Dugaanku tak semuanya meleset, Friska memang cukup sering menjalin kontak dengan Aldian. Tetapi Dul tidak tahu niscaya apa yang mereka bicarakan, sebab Dul bukanlah stalker sejati sepertiku.


 


Dari Dul pula saya tahu bahwa bahwasanya Aldian telah punya kekasih. Info yang satu ini membuatku cukup tenang. Namun, pikiran negatif kembali hinggap di kepalaku. “Yaa, namanya mantan sanggup aja balik lagi dong?” Namun, kucoba buang jauh-jauh pikiran itu. “Kata Pak Ustadz, suudzhan itu tidak baik,” itu yang terngiang di telingaku.


 


Singkat cerita, saya berpesan kepada Dul untuk menyimpan sendiri apa yang kami bicarakan barusan. Aku tak mau terjadi pertengkaran antara aku, Friska, dan Aldian hanya sebab problem tidak penting ini. Dul pun menyetujui untuk menjaga semua rahasiaku itu.


 


Ketenangan itu hanya bertahan satu jam. Ya, satu jam, hanya satu jam! Satu jam sehabis obrolanku dengan Dul, saya mendapat pesan singkat dari Friska.


 


“Info apa yang kamu cari tentangku?”


 


Begitu kira-kira suara pesan singkat -yang sebetulnya saya lupa bagaimana persisnya, sebab pesan singkat itu telah hilang bersama dengan handphoneku tercinta yang raib di tengah kesemrawutan kota-.


 


Ketenangan yang gres saja kubangun sontak hancur lebur sebab sebuah pesan singkat. Bukan sebab isi pesannya, tetapi sebab saya tahu amanatku telah dikhianati oleh Dul. Aku tahu persis, darimana Friska tahu kalau bukan dari Dul? -atau setidaknya dari Aldian yang mendapat dongeng dari Dul-.


 


Langsung saja kubalas pesan singkat itu.


 


“Info? Darimana kamu tahu?”


 


“Kau tak perlu tahu sumbernya darimana.”


 


Cukup hingga di sini saja rankaian pesan singkat yang perlu saya tuliskan, sebab pesan-pesan selanjutnya hanyalah pertengkaran yang sama tidak pentingnya dengan kisah ini.


 


Kita kembali pada sosok Dul. Dul, seniorku di Sekolah Menengan Atas yang berbeda dua angkatan denganku; yang dulunya saya ketahui sebagai pelopor organisasi keagamaan di sekolah. Namun, ke mana ilmu yang dulu pernah beliau sampaikan kepadaku? -kebetulan dulu beliau menjadi mentorku di organisasi keagamaan tersebut-. Ya, saya tahu ilmu yang beliau sampaikan itu memang ilmu yang sangat umum, di TV maupun di khutbah-khutbah pun saya sering mendengarnya. “Kita harus menjaga setiap amanat yang kita peroleh.” Begitu suara ilmu tersebut.


 


Namun, bagaimana nasib amanatku tadi? Aku mengamanatkan pada Dul untuk tidak memberitahukan apa yang kuceritakan kepada Aldian. Namun yang terjadi? Yeah, justru sebaliknya. Terbukti, Friska tahu segala sesuatu yang kutanyakan pada Dul.


 


Maka dari itu, kuberi judul ceritaku dengan tanda tanya; “Kata Pak Ustadz, Amanat Itu Harus Dijaga?” Mengapa tanda tanya? Karena saya mewaspadai eksistensi pernyataan tersebut. Meragukan, dalam artian, apakah itu hanya wacana yang digelontorkan oleh para penyebar ilmu, atau apakah yang diberi ilmu itu yang tak cerdik melaksanakannya? Kurasa, pernyataan kedua yang lebih tepat.


 


“Lalu, apa inti dari ceritamu ini, sobat?”


 


Tak ada, tak ada inti yang ingin kusampaikan. Seperti yang kukatakan di awal cerita, ini hanya kisah tak penting yang ingin kuceritakan buat kalian yang jenuh dengan fakta yang tak sesuai dengan teori yang berlaku. Mungkin kalian sanggup menarik kesimpulan sendiri dari ceritaku ini, terserah pada kalian kesimpulan ibarat apa yang kalian dapatkan. Karena menurutku, tak ada sesuatu yang salah; yang ada hanya ketidaktepatan.


 


Depok, 11 November 2013


Ruang 1203, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kata Pak Ustadz, Amanat Itu Harus Dijaga?"