Menjadi PNS vs Pengusaha
Menjadi PNS bagi sebagian orang adalah sebuah kebanggaan. Bangga karena penghasilannya sudah pasti (entah sudah pasti segitu-segitu saja sampai nungging atau sudah pasti lainnya). Bangga karena kalau berangkat ke kantor bisa pake seragam. Bangga karena setelah pensiun pun masih dapat pesangon ala kadarnya. Dan bangga karena menjadi abdi negara, abdi masyarakat. Tapi banyak juga orang yang enggan menjadi PNS, salah satunya Romi Satria Wahono, founder ilmukomputer dot com. Disclaimer : tulisan ini murni subjektif.
Sontak Ibu terkekeh. Setelah itu Ibu bercerita. "Duit segitu kita bisa buat naek haji. Buat dua orang, Bu!" jawab saya. Ternyata hal-hal sedemikian hanyalah sekadar modus penipuan. Banyak sekali janji-janji manis orang yang mengaku punya link ke panitia penerimaan pegawai, dengan harapan si korban akan benar-benar lulus, dengan atau tanpa bantuan si broker. Bukankah ini bisnis modal dengkul bin cingcong yang cukup mehong dan penuh kibulisasi? Dari awalnya saja sudah kotor, apalagi ketika masuk bekerja?
"Tapi kan kalau nggak lolos, duitnya bisa dibalikin?" Sampeyan belum tahu sih berapa banyak cerita si Calo tukang kibul kabur tak berbekas atau bersilat lidah. Nah loh, memble aje lu pade, kata orang Betawi.
Saya yakin masih banyak orang-orang di pemerintahan yang berhati bersih, punya nurani. Namun bila sistemnya masih begitu-begitu saja, saya pikir akan butuh waktu lama untuk menjadi lebih baik. Mentalitas lebih sulit diubah daripada kebijakan.
Mengapa sebaiknya tidak menjadi PNS?
Calo bin Makelar alias Biong atawa Perantara a.k.a Orang Dalam
Suatu sore di tahun 2009, Ibu saya pernah ditelpon seseorang yang mengaku "keluarga jauh". Setelah berbasa-basi sedikit, seperti menanyakan kabar, lagi sibuk apa, sudah pensiun apa belum, dst, orang tersebut menawarkan jasa untuk meloloskan saya dalam sebuah tes CPNS di daerah tempat saya tinggal. Kala itu memang sedang rame-ramenya penerimaan aparatur negara. Sekadar iseng, Ibu saya tanya, "Emang berapa biayanya?" Suara di seberang sana menjawab, "Murah Bulek, cuma tujuh puluh juta."Sontak Ibu terkekeh. Setelah itu Ibu bercerita. "Duit segitu kita bisa buat naek haji. Buat dua orang, Bu!" jawab saya. Ternyata hal-hal sedemikian hanyalah sekadar modus penipuan. Banyak sekali janji-janji manis orang yang mengaku punya link ke panitia penerimaan pegawai, dengan harapan si korban akan benar-benar lulus, dengan atau tanpa bantuan si broker. Bukankah ini bisnis modal dengkul bin cingcong yang cukup mehong dan penuh kibulisasi? Dari awalnya saja sudah kotor, apalagi ketika masuk bekerja?
"Tapi kan kalau nggak lolos, duitnya bisa dibalikin?" Sampeyan belum tahu sih berapa banyak cerita si Calo tukang kibul kabur tak berbekas atau bersilat lidah. Nah loh, memble aje lu pade, kata orang Betawi.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Sungguh sangat besar kebolehjadian orang-orang pemerintahan itu untuk melakukan praktek KKN. Logika saja. Berapa sih gaji PNS? Kalau mereka tidak mencari tambahan di sana-sini, apakah mungkin bisa hidup berlebih? Mulai dari korupsi waktu (datang jam 10 pagi, ashar sudah di rumah), korupsi anggaran (beli komputer sebiji minta disiapin duit 10 juta perak, padahal keperluan cuma buat mengetik dan main solitaire), kolusi proyek (yang menang tender yang paling sering ngasih amplop dan gratifikasi semacam parsel lebaran), hingga nepotisme (yang keluarga sendiri bisa nyerobot antrian).Saya yakin masih banyak orang-orang di pemerintahan yang berhati bersih, punya nurani. Namun bila sistemnya masih begitu-begitu saja, saya pikir akan butuh waktu lama untuk menjadi lebih baik. Mentalitas lebih sulit diubah daripada kebijakan.
Posting Komentar untuk "Menjadi PNS vs Pengusaha"