Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kompresi Partai Untungkan Disabilitas

Jakarta – Sederhana itu indah meski tak selalu mudah. Ungkapan tersebut nampaknya akan terjadi pada Pemilu 2014 kelak. Partai penerima Pemilu yang dikala ini hanya sepuluh kontestan menjadi jumlah paling ringkas pascareformasi tahun 98. Ada pro dan kontra mengenai penetapan tersebut. Namun, tahukah Anda bila ada pihak yang rahasia bersyukur dengan sedikitnya kontestan Pemilu 2014?


Bukan partai Nasdem pimpinan Surya Paloh saja yang merasa di atas angin alasannya ialah jadi satu-satunya partai gres yang lolos verifikasi konkret KPU, sekaligus menerima nomor urut 1 pada Pemilu 2014. Bukan pula para kandidat presiden yang mulai bermunculan sesudah melihat peluang persaingan bebas alasannya ialah Presiden SBY tak sanggup dicalonkan kembali. Satu kelompok yang mungkin tak disadari masyarakat merasa diuntungkan dengan jumlah kontestan yang sedikit ialah para penyandang disabilitas. Mereka bab dari warga negara yang alasannya ialah keterbatasan fisik atau mental, tersulitkan oleh banyaknya jumlah partai dengan para caleg di atas kertas bunyi hingga 38 kontestan menyerupai di Pemilu 2009.


Masalah yang dihadapi oleh pemilih dengan disabilitas terutama ketika pemilihan anggota DPR, DPRD tingkat 1 dan 2, serta DPD. Sistem pemilihan anggota legislatif yang digunakan yaitu proporsional terbuka, menetapkan calon terpilih menurut jumlah bunyi calon, bukan nomor urut dalam partai. Maka, pilihan tidak lagi dengan mencoblos logo partai, akan tetapi pribadi kepada gambar atau nama kandidat calon legislatif yang diajukan oleh partai. Sistem ini tak ayal berdampak pada kertas bunyi yang semakin panjang dan lebar, sehingga merepotkan para pemilih, terutama kaum disabilitas.


Apabila masyarakat umum dikala Pemilu Legislatif 2009 kesulitan membuka dan melipat kertas bunyi yang sangat lebar itu, kemudian ditambah dengan deretan nama kandidat yang banyak, hal tersebut belum sesulit yang dihadapi oleh pemilih disabilitas. Ukuran kertas bunyi yang besar biasanya menyulitkan tunadaksa yang terganggu fungsi alat geraknya. Perlu perjuangan ekstra untuk membuka kertas bunyi yang lebar dan membolak-balik mencari nama kandidat yang ingin dipilih. Belum lagi terkadang ukuran bilik bunyi yang sempit makin menyulitkan mereka untuk bergerak.


Berbeda lagi dengan pemilih disabilitas yang ada gangguan fungsi penglihatan atau tunanetra. Agar sanggup mencoblos secara mandiri, diharapkan template berhuruf braille yang dijepitkan pada kertas suara. Template tersebut diberi lubang pada gambar tiap kandidat dan terdapat karakter braille di sisi bawah lubang sebagai keterangan nama kandidat. Saat Pemilihan Presiden 2009, tak ada masalah alasannya ialah kandidat hanya tiga pasang, sehingga ukuran template kecil. Namun di dikala Pemilu legislatif, tak ditemui template untuk tunanetra. Mungkin KPU juga resah untuk menciptakan template pada kertas bunyi dengan 38 partai dan sejumlah lagi kandidat di bawahnya.


Dengan tak adanya template sebagai alat bantu, mudah tunanetra kehilangan asas kerahasiaan pada pilihannya. Memang ada prosedur bahwa petugas TPS sanggup membantu penyandang disabilitas ketika menentukan dengan sebelumnya mengisi form C6, tapi itu bukan solusi terbaik.  Form tersebut mengikat petugas biar tidak membocorkan pilihan si penyandang disabilitas kepada orang lain. Jika hingga bocor, ada bahaya eksekusi pidana. Namun perlakuan tersebut tak sesuai dengan makna asas rahasia dimana pilihan hanya diketahui oleh si pemilih dan Tuhan.


Satu solusi biar Pemilu dirasakan lebih sederhana tapi tetap aspiratif ialah dengan membatasi jumlah partai penerima Pemilu. Sistem Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen, dinilai sanggup menyeleksi jumlah partai secara adil dan objektif. Langkah ini jauh lebih baik daripada harus menggabungkan secara paksa beberapa partai menyerupai fusi di masa Orde Baru.


Ambang batas DPR akan menyeleksi partai-partai yang diperbolehkan ikut Pemilu dengan syarat memperoleh bunyi atau dingklik tertentu di parlemen. Partai yang memenuhi syarat akan lolos, sedangkan yang di bawah ambang batas terpaksa tak sanggup mengikuti Pemilu selanjutnya. Namun tak tertutup kemungkinan partai yang tak lolos sanggup mengganti nama dan ikut Pemilu kembali. Apabila dilengkapi dengan pengetatan hukum pendirian partai baru, lambat laun jumlah partai akan mengerucut.


Namun disayangkan, para politisi di Senayan sana belum menempatkan kepentingan nasional di atas keperluan partai ketika menetapkan ambang batas parlemen. Perdebatan alot terjadi ketika menetapkan angka tersebut. Partai-partai besar pada umumnya menginginkan angka 5% atau lebih dengan dalih mewujudkan Pemilu yang efisien. Sebaliknya, partai kecil ngotot pada angka di bawah 5% dengan alasan yang tak kurang bagus, yaitu biar aspirasi rakyat tidak “dikebiri”. Pada akhirnya, angka 3,5% diambil yang secara tak pribadi melegalkan sembilan fraksi di DPR ikut Pemilu 2014.


Akan naif rasanya bila jumlah partai penerima Pemilu diharapkan menyerupai di Amerika Serikat dengan sistem bipartai. Tentu ada faktor menyerupai budaya dan kemajemukan masyarakat yang akan termanifestasi pada partai-partai yang muncul. Karena sesunggunya, partai ialah muara dari aspirasi dan ideologi yang berkembang di masyarakat. Tak akomodatif bila jumlah partai dibatasi hanya dua dengan alasan stabilitas, namun perlu diperhatikan pula bagaimana problem efisiensi dan aspirasi sanggup bertemu secara hening dan menemukan jalan keluar terbaik. Jadi, bukan sekedar memperlihatkan peluang bagi para oportunis yang mendirikan partai untuk kepentingan sesaat tanpa dilandasi idealisme yang kokoh.


Kompromi ideal tersebut bukan tanpa tantangan. Iklan berdemokrasi di Indonesia yang masih tahap merangkak layaknya batita tak cukup cukup umur untuk saling berjejaring di tengah perbedaan. Pada Pemilu 2009 misalnya, sanggup ditemukan dari sejumlah 38 partai tersebut, beberapa kandidat yang sebenarnya mempunyai visi dan ideologi yang sama. Bahkan kadang pula ada satu partai yang merupakan sempalan dari partai sebelumnya diakibatkan konflik internal dan kepentingan golongan. Diperlukan iman baik para pemimpin republik ini biar sanggup saling berjejaring di bawah payung yang sama dengan tujuan saling melengkapi bukan berjalan terpisah dengan batas simbol-simbol semu.


Pada kesimpulannya, efisiensi jumlah partai dalam Pemilu diharapkan untuk iklim demokrasi yang lebih sehat dan kenyamanan rakyat untuk memilih. Apalagi pemilih dengan disabilitas yang juga mempunyai hak politik, tapi disulitkan oleh kepongahan para elit politik yang semuanya ingin jadi penguasa. Toh, parameter majunya demokrasi bukan pada banyaknya jumlah partai, tapi ada tidaknya pemimpin-pemimpin berkualitas yang bisa dikaderisasi oleh partai. Tak perlulah ramai-ramai mendirikan partai berebut posisi presiden yang hanya satu di republik ini. Jadikan pemilu lebih efisien, aksesibel, dan tak membuang uang rakyat sia-sia. (DPM)


Editor: Muhammad Yesa Aravena



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kompresi Partai Untungkan Disabilitas"