Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Individu Berkebutuhan Khusus Hanya Butuh Kesempatan

Jakarta, Kartunet.com — Berbicara mengenai Individu dengan kebutuhan Khusus, seringkali yang muncul dalam pikiran kebanyakan orang ialah orang cacat, mengalami kekurangan fisik, tidak normal, dan lain sebagainya. Padahal, label tersebut justru mengakibatkan persoalan yang lebih berat terhadap apa yang dialami oleh individu yang sesungguhnya. “Tidak normal” bekerjsama hanya merupakan istilah yang diberikan oleh masyarakat maupun kalangan praktisi untuk mempermudah penyebutan individu yang berbeda daripada rata-rata orang pada umumnya. Dalam psikologi, variasi individu justru dianggap sebagai suatu fenomena yang wajar, menyerupai dalam hal inteligensi. Individu dengan skor IQ antara 91 sampai 110 dikatakan sebagai individu dengan kecerdasan rata-rata, atau normal. Sebab, sebagian besar insan memang mempunyai rentang inteligensi antara skor tersebut. Akan tetapi, terdapat golongan individu dengan mempunyai tingkat inteligensi yang jauh berada di atas ataupun di bawah rata-rata orang pada umumnya.


Pernahkah Anda mendengar kelas akselerasi? Kelas akselerasi merupakan salah satu bentuk pendidikan yang ditujukan bagi anak berbakat yang mempunyai inteligensi sangat superior, kreativitas yang baik, serta ketekunan yang tinggi dalam belajar. Apabila dilihat dari sisi inteligensi, anak berbakat tersebut juga sanggup dikategorikan “tidak normal” lantaran skor inteligensinya jauh berada di atas rata-rata orang pada umumnya. Sebaliknya, individu penyandang disabilitas intelektual juga dikatakan “tidak normal” lantaran mempunyai tingkat inteligensi yang jauh di bawah rata-rata. Dari klarifikasi tersebut, sanggup kita lihat bahwa sebetulnya istilah “tidak normal” timbul akhir adanya perbedaan dengan rata-rata sebagian besar orang.


Sayangnya, insan mempunyai kecenderungan untuk menunjukkan label baik, dan anggun kepada sesuatu hal yang memenuhi impian masyarakat, atau melebihi di atas standar orang awam lantaran adanya kebutuhan atas kebanggaan. Alhasil, anak berbakat dengan inteligensi yang “tidak normal” kadangkala lebih dipandang positif. Sementara, anak dengan kemampuan di bawah rata-rata terkadang lebih dipandang negatif, atau dipersepsikan sebagai beban. Padahal, mereka masih bisa dididik maupun dilatih, namun dengan cara yang berbeda daripada sebagian besar anak seusianya.


Hal serupa juga terjadi pada tunanetra. Apabila dibandingkan dengan standar orang kebanyakan, tunanetra memang mempunyai perbedaan dalam indera penglihatan. Kemampuan kami memang berada di bawah standar normal yang ditetapkan oleh dokter mata, praktisi, dan ilmuwan. Akan tetapi, bukan berarti tunanetra tidak sanggup berguru maupun menyebarkan diri. Sebab, masih ada empat indera lain; otak yang inteligen, maupun potensi dalam diri tunanetra yang sanggup dikembangkan. Terdapat banyak sekali teladan tunanetra yang sudah bisa menyebarkan karir di aneka macam bidang dan menunjukkan bantuan terhadap masyarakat, menyerupai musisi, hebat komputer, pebisnis sukses, penulis, psikolog, dan sebagainya. Bahkan tunanetra pun bisa membaca Al-Qur’an yang ditulis dalam karakter Arab, karakter Kanji, hiragana, Katakana dalam Bahasa Jepang yang populer sulit dibaca oleh orang awam.


Jika memang istilah keterbatasan bersumber pada kemampuan individu dengan kebutuhan khusus (terutama tunanetra), semestinya tidak akan pernah ada satupun dari mereka yang bisa meraih gelar pendidikan sampai strata S3, menguasai aneka macam jenis bahasa asing, memainkan alat musik, mengoperasikan komputer, dan sebagainya. Jadi, sanggup disimpulkan bahwa mereka hanya berbeda daripada rata-rata orang pada umumnya, dan bukan “tidak mampu” menyerupai orang pada umumnya. Anggapan bahwa individu dengan kebutuhan khusus sebagai orang yang “tidak mampu” maupun “tidak bisa” justru timbul lantaran belum adanya kesempatan, cara yang kurang sesuai bagi mereka dalam megnembangkan diri, sampai ketidaksiapan sistem yang ada untuk memfasilitasi perbedaan yang mereka miliki. Sebagai teladan nyata, tunanetra terperinci tidak bisa membaca buku dengan goresan pena “awas” (tulisan biasa –red.), namun bisa menyerap materi bacaan jikalau disajikan dalam bentuk Braille maupun rekaman audio. Contoh lain, tunanetra terperinci tidak sanggup melaksanakan mobilisasi di trotoar apabila terdapat banyak lubang, maupun pengendara motor yang memakai trotoar tersebut (jangankan tunanetra, orang dengan penglihatan normal pun terancam keselamatannya jikalau menyerupai ini).


Jadi, ketidakmampuan bukan disebabkan oleh adanya ketunaan itu sendiri, melainkan justru diakibatkan oleh kurang adanya kesempatan yang diberikan maupun ketidaksiapan masyarakat untuk memfasilitasi individu dengan kebutuhan khusus. Kesempatan merupakan salah satu kunci terbesar untuk menyebarkan potensi yang ada dalam diri individu dengan kebutuhan khusus. Tanpa kesempatan, tidak mungkin bagi mereka untuk sanggup menyebarkan diri.


Penulis ialah Alabanyo Brebahama, lulusan program  Magister Profesi Psikologi, Universitas Indonesia.


Editor: Muhammad Yesa Aravena



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Individu Berkebutuhan Khusus Hanya Butuh Kesempatan"