Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dimensi Lingkup Usaha Disabilitas

Depok – Komunitas disabilitas di ibukota diuntungkan dengan kedekatannya dengan sentra kekuasaan, lembaga-lembaga aturan dan kebijakan berlingkup nacional serta pinjaman sumber daya insan yang unggul, jejaring perjuangannya yang luas di dalam kota dengan komunitas-komunitas lain, baik yang bergerilya di dunia nyata ataupun yang melantangkan bunyi di dunia maya. Dengan kondisi ini, maka pendobrakan di lapangan pemikiran, protes, argumentasi, dan advokasi menjadi lebih efektif.


Gulir usaha di ranah pedoman ini bahkan jauh lebih penting dari aksi-aksi kolektif yang pernah ditempuh oleh komunitas disabilitas. Aksi-aksi itu bukannya tidak penting untuk “menyadarkan” publik dan pembuat kebijakan perihal ketimpangan implementasi “aksesibilitas” yang terhitung semenjak 16 tahun kemudian masih belum begitu kentara gereget keberlakuannya. Aksi-aksi itu tetap diharapkan untuk menyegarkan badan rohani gerakan dari sekedar abstraksi menjadi konkret, dari solidaritas hati menjadi pertemuan dan solidaritas fisik, dari “kamar” ke “jalanan”.


Akan tetapi, sayangnya Ibu kota yang suntuk terlalu sibuk memerhatikan pusaran-pusaran yang begitu banyak dan rutin di tubuhnya. Alur waktu yang rapat dan egois terlalu deras bagi aksi-aksi “kecil” untuk dicatatkan dalam sejarah. Ibu kota hanya mau peduli pada apa yang membuatnya gempita atau justru trauma.


Gulir upaya yang pribadi menohok ke inti kebijakan dan implementasinya lebih sempurna untuk konteks ibu kota. Di ranah aturan ada desakan untuk mengganti UU No. 4 Tahun 1997 yang dianggap sudah harus direvisi. Sampai tahun 2012 kemarin diberitakan bahwa Rancangan UU disabilitas yang gres ternyata belum menjadi prioritas agenda pembahasan DPR. Hal ini terperinci mengecewakan.


Padahal, UU yang sudah ada itu pun lebih merupakan wacana di atas kertas. Aksesibilitas, kesejahteraan sosial dan kesetaraan yang menjadi tema UU No. 4 Tahun 1997 pada jadinya harus lebih berpengaruh digemakan (dan sekaligus dikritisi) oleh komunitas disabilitas sendiri.


Dari Pusat ke Daerah


Corak permasalahan akan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Aksesibilitas yang merupakan isu nasional mungkin kurang penting bagi penyandang disabilitas di daerah-daerah yang lebih membutuhkan lapangan pekerjaan. Kesadaran untuk berkumpul dan melancarkan agenda sanggup jadi hanya sanggup dilakukan di ibu kota atau di kota-kota besar lainnya, yang kebetulan berbasis mahasiswa dan alumni akademi tinggi. Bagaimana dengan penyandang disabilitas di desa-desa yang mungkin sulit mendapat alat-alat bantu yang tidak terjangkau harganya, atau kesulitan mencar ilmu bahasa arahan atau huruf braille, atau lain-lain keterampilan yang sifatnya fundamental bagi penyandang disabilitas. Keberhasilan di “pusat,” kelak di suatu hari, seyogyanya dilanjutkan ke pelosok-pelosok tempat lain yang juga membutuhkan perhatian, pembinaan, dan advokasi.


Dari Lokal Menuju Jejaring


Jejaring yakni agenda tingkat lanjut sesudah penguatan lokal-lokal dilakukan. Jejaring ini intinya sanggup bersifat formal atau informal, tergantung kekuatan lokal-lokal dalam menggalang kohesivitas pada komunitas masing-masing.


Dengan jejaring maka ta’awun (bantu membantu) antar satu lokal dengan lokal yang lain lebih gampang dikomunikasikan. Subsidi silang sumber daya (keuangan, keterampilan, manusia, dan seterusnya) menjadi lebih terkoordinasi dan ringan. Kelompok-kelompok pendukungan di luar komunitas disabilitas sendiri, baik pemerintah atau non-pemerintah, sudah tahu ke mana mengalamatkan sokongannya. Pada akhirnya, bahkan jejaring ini kelak akan sanggup menjangkau lembaga-lembaga internasional, yang mungkin jauh lebih berdaya dan lebih efektif bergerak di tataran antar-negara, apalagi di lingkup nasional.


Mari kita terus giatkan usaha menembus aneka macam ranah dimensi. (dfr)


Editor: Muhammad Yesa Aravena



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Dimensi Lingkup Usaha Disabilitas"