Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

School Mapping Hazard Mutlak Disosialisasikan Di Kawasan Rawan Bencana

Satu dari lima prioritas pelaksanaan aktivitas dalam Kerangka Kerja Hyogo (HFA) pada tahun 2005-2015 ialah membangun bangsa dan masyarakat tanggap peristiwa yang diadopsi 168 negara pada konferensi dunia wacana pengurangan dampak peristiwa pada tahun 2005 di Kobe. Dalam HFA, dinyatakan tugas penting sekolah dalam membangun masyarakat tanggap peristiwa (UNCRD, 2009: 3). UN/ISDR pun mengkampanyekan pengurangan risiko dimulai di sekolah selama tahun 2006 dan 2007.


Kampanye tersebut ditujukan sebagai pemupukan kesadaran untuk mengutamakan keselamatan sekolah di banyak sekali negara dan sudah menjadi gerakan global, ibarat Pengetahuan dan Pendidikan Dasar Gempa Bumi (Thematic Platform on Knowledge and Education) oleh ISDR dan Gerakan Bersama Dalam Inisiatif Keselamatan Sekolah (Coalition on GlobalSchool Safety Initiatives, COGSS) (UNCRD, 2009: 8).


Di Indonesia pun sudah dibuat konsorsium Pendidikan Risiko Bencana yang diselenggarakan tahun 2007 lalu. Konsorsium Pendidikan Bencana berfungsi untuk memperlihatkan kode dan masukan serta memantau dan memonitor aktivitas Konsorsium semoga sesuai dengan peta rencana kerja yang disepakati bersama. Komite Pengarah terbentuk pada workshop yang diadakan oleh Konsorsium Pendidikan Bencana tanggal 10 Oktober 2007 dalam rangka memperingati HarPengurangan Risiko Bencana dan terdiri dari LIPI, PMI, MPBI, CBDRM NU, Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC), SC-DRR, World Vision International, UNESCO, dan UN OCHA (Profil KPB, 2011).


Hal ini penting alasannya belum dewasa menghabiskan sebagian besar waktu di sekolah sehingga kemungkinan gempa bumi terjadi pada ketika mereka ada di sekolah sangat tinggi. Oleh alasannya itu, hal-hal yang sekiranya membahayakan harus bisa dimimalisasi, salah satunya dengan menciptakan peta ancaman di sekolah (School Mapping Hazard).  Peta ancaman ialah peta yang menyajikan isu wacana bahaya, pendukung, dan kelompok rentan di dalam ruangan dan lingkungan sekolah yang berfungsi sebagai panduan penyelamatan peristiwa di sekolah (ASB, 2009: 104). Tujuan dari peta ancaman ialah untuk mengurangi risiko peristiwa yang ditimbulkan akhir gempa.


Sesuatu yang membahayakan di sekolah bagi difabel netra bahu-membahu sangat banyak. Sesuatu (benda, tempat) yang tampak tidak membahayakan bisa jadi berbahaya alasannya difabel netra tidak sanggup memakai fungsi penglihatannya. Selain itu ada anggapan bahwa desainkebijakan mitigasi, yang menempatkan mereka pada kelompok terakhirdalam penanganannya. Pada level kebijakan mudah di daerah, kaumdifabel juga tidak diposisikan sebagai kelompok yang punya kebutuhankhusus[1]. Berikut ini beberapa pola ancaman dan beberapa solusi yang sanggup dilakukan untuk menguranginya:


































BahayaSolusi
Penataan ruang kelasRuang kelas harus aksesibel untuk difabel netra. Aksesibilitas harus meliputi keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan kemandirian. Sebisa mungkin difabel netra mencar ilmu di ruangan yang memudahkan ia untuk bermobilitas. Perlu diingat, bila terjadi perubahan tata letak, perlu diinformasikan kepada difabel netra.
LemariLemari jangan diletakkan terlalu bersahabat dengan siswa maupun guru. Hindari meletakkan barang-barang di atas lemari. Lemari sanggup diberi segitiga siku dan dipakukan ke dinding semoga kuat.
Selokan Ditutup dengan grill semoga tak menciptakan terperosok. Dengan adanya grill, air bisa masuk dalam selokan, kalau ada sampah, grill bisa diangkat dan bisa dipasang kembali.[1]Jika tak ada grill difabel netra bisa terperosok.
TanggaDibuat tidak terlalu curam dan tidak licin
Tiang BenderaTidak dibangun di wilayah yang sering dipakai untuk bermobilitas.
SumurSumur diberi penutup, contohnya papan kayu.







Selain hal yang membahayakan, faktor-faktor pendukung penyelamatan juga dirumuskan. Faktor pendukung ini meliputi segala sesuatu yang sanggup mendukung evakuasi, misalnya:

































PendukungKeterangan
MejaMeja yang berpengaruh sanggup dipakai untuk berlindung bila difabel netra berada di ruangan.
TasUntuk melindungi kepala ketika akan keluar ruangan. Menghindari dari tertimpa genting maupun benda lain.
HalamanHalaman yang luas sanggup dipakai untuk penyelamatan ketika peristiwa gempa terjadi.
TongkatDiperlukan untuk menganalisis keadaan. Jika tak memungkinkan, sanggup traillingsaja dengan tangan.
Pemandu bagi difabel netraDiperlukan bila difabel netra belum mempunyai kemampuan O&M yang memadai.
Alas kaki (sandal, sepatu)Untuk menghindari pecahan beling atau benda-benda berbahaya lainnya.

Kelompok rentan perlu juga dianalisis. Kelompok rentan ini ialah siapa saja yang lebih rentan ketika peristiwa melanda, misanya manula, ibu hamil, maupun difabel itu sendiri.


 


 





[1]ASB.(2009). Aksesibilitas Fisik: Panduan untuk Mendesain Aksesibilitas Fisik bagi Semua Orang di Lingkungan Sekolah. Yogyakarta: ASB Indonesia. h. 26.




 





[1]Hasil penelitian Saru Arifin. (2008). Model Kebijakan Mitigasi Bencana Alam Bagi Difabel (Studi Kasus di KabupatenBantul, Yogyakarta). Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008. http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id.


 





Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "School Mapping Hazard Mutlak Disosialisasikan Di Kawasan Rawan Bencana"