Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Crpd Spirit Menjawab Duduk Masalah Disabilitas

Makassar – Mungkin diantara kita masih belum familiar dengan penyandang disabilitas, terutama masyarakat non disabilitas, yang dulu dikenal dengan sebutan penyandang cacat. Sekarang istilah tersebut telah berubah, diperhalus dengan alasan lebih manusiawi dan lebih menekankan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Redefenisi istilah penyandang cacat menjadi disabilitas tentunya tidak pribadi diterima oleh tokoh-tokoh dan masyarakat disabilitas, apalagi penyebutan penyandang cacat dan ada juga menyebut dengan istilah difable sudah dikenal oleh masyarakat, orsos, dinas sosial dll. Hingga balasannya dari diskusi dan rekomendasi oleh para pakar yang diselenggarakan Komnas HAM pada tanggal 19 hingga 20 Maret 2010 di Jakarta, melalui Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI pada tanggal 29 Maret hingga dengan 1 April 2010 di Bandung,  maka istilah penyandang cacat diganti dengan disabilitas, pengertiannya masih tetap sama yaitu orang-orang yang memiliki keterbatasan pada fisik, mental, intelektual atau sensorik secara permanen yang mengalami hambatan dalam kehidupan bermasyarakat secara setara, dikarenakan oleh hambatan lingkungan dan sikap masyarakat.


Dengan penggantian istilah ini, diperlukan masyarakat disabilitas dan masyarakat non disabilitas lebih terbuka, dan menghilangkan anggapan bahwa disabilitas itu problem. Apalagi  dengan disyahkannya convention on the rights of person with disabilities-CRPD (konvensi mengenai hak-hak penyandang disablitas) menjadi Undang-Undang RI no. 19 /2011 pada tanggal 18 Oktober 2011, maka semakin lengkap dan jelaslah hak-hak disabilitas ditengah-tengah  masyarakat, dan Negara wajib untuk melakukan isi dari Konvensi tersebut mulai dari  Pemerintah Pusat  hingga Pemerintah Daerah.


Kalau berbicara wacana undang-undang dan konvensi mengenai hak-hak disabilitas sudah banyak peraturan yang membahasnya, dan yang populer adalah  Deklarsi Hak Asasi manusia, tahun 1948, Konvensi Hak Anak, tahun 1989, Konvensi Dunian wacana Education for All, tahun 1990,  Peraturan Standart wacana Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, tahun 1993, Pernyataan Salamanca wacana Pendidikan Inklusi, tahun 1994, UU Nomor 4 tahun 1997 wacana Penyandang Cacat dan puncaknya Undang-Undang RI no. 19 /2011. Dengan semua undang-undang dan konvensi mengenai hak disabilitas yang sudah ada, semestinya sudah menjamin eksistensi disabilitas ditengah-tengah masyarakat tanpa ada lagi belas kasihan / charity tapi menurut  kemampuan disabilitas tanpa melihat fisik seseorang.


Secara garis besar bila kita cermati, sebagian masyarakat luas, entah itu legislative, yudikatif, eksekutif, decision maker, ulama, dan masyarakat umum, masih belum percaya, belum mau menerima, menolak, belum paham akan eksistensi disabilitas,  bahkan mereka dijadikan objek dalam meraih keuntungan, menyerupai meminta-minta dijalan, atau menciptakan kegiatan atas nama disabilitas tapi kelompak lain yang mencicipi manfaat dari kegiatan tersebut. Mereka berpikir, disabilitas tidak bisa berbuat hal-hal yang menakjubkan hanya dengan melihat kondisi fisik semata. Akhirnya undang-undang, banyak sekali konvensi dan peraturan, hingga kini belum memberi proteksi bagi para disabilitas. Masyarakat belum paham bahwa kalau sudah ada semangat dan motivasi, maka kaum disabilitas bisa menjadi biro perubahan dan  bermanfaat bagi masyarakat sekitar.


Disisi lain yang jadi kendala, jika  kepala pemerintah / pendidikan/swasta/ sudah paham dan mengerti akan hak-hak disabilitas, tapi tidak diikuti dengan jajaran yang berada dibawahnya, cenderung tidak mempertimbangkan kemanusiaan, bahkan melecehkan kemampuan disabilitas. Seperti dalam kasus penerimaan siswa-mahasiswa disabilitas, setiap memasuki anutan gres mereka dihadapkan pada hal sama yaitu mereka tidak diperkenankan bersekolah di sekolah umum, dengan banyak sekali alasan bahwa disabilitas sebaiknya tetap menempuh pendidikan di sekolah atau akademi tinggi luar biasa atau sekolah khusus untuk para disabilitas. Bahkan mereka beranggapan untuk apa mereka sekolah tinggi-tinggi jikalau nantinya tidak ada lowongan pekerjaan buat disabilitas. Stigma yang masih menempel dipemikiran para pendidik, sangat melanggar hak seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tentunya hal tersebut sangat tidak etis diucapkan oleh pendidik yang notabene sebagai panutan dalam membentuk  generasi penerus cita-cita bangsa .


Apa yang  terungkap diatas, itu hanya satu sisi permasalahan yang dihadapi disabilitas. Belum lagi soal pekerjaan, kesehatan, politik, aksesibilitas publik, sosialisasi dengan masyarakat (tidak dikucilkan lagi), hak memperoleh keadilan dan banyak sekali bentuk kehidupan lainnya. Jika demikian sangat disayangkan semua undang-undang, konvensi serta peraturan  yang dibentuk  dan  menghabiskan dana  ratusan  juta  jikalau semua elemen masyarakat  terutama pemerintah sebagai yang punya kuasa dalam menjalankan negeri ini  beserta  jajarannya tidak melakukan amanah rakyat dan janji bersama. Sejenak kita membayangkan jikalau berada diposisi penyandang disabilitas, berjuang untuk survive tanpa memperlihatkan hak-hak kita, tentunya kita merasa teraniaya, terabaikan, begitupun yang dirasa oleh penyandang disabilitas. Dan  sangat disayangkan, semua undang-undang, peraturan, konvensi hanya sebagai pelepas kewajiban negara saja, atau sekedar memperlihatkan negara sudah peduli dengan  kepentingan  disabilitas tanpa ada follow upnya.


CRPD bukan lagi sebagai momentum bangkitnya disabilitas diabad ini, tapi saatnya menikmati kehidupan yang seimbang dengan masyarakat umum lainnya. Kemerdekaan dalam berpartisipasi dalam proses pembangunan, pendorong, pelibatan / melibatkan diri serta sebagai kontrol dalam pembuatan kebijakan. Jalan semakin terbuka lebar dengan disyahkannya konvensi hak-hak disabilitas, saatnya penyandang disabilitas jemput peluang dan lebih semangat lagi memperlihatkan kemampuan dan meningkatkan sumber dayanya biar tetap eksis dalam menjawab semua tantangan dalam kehidupan ini.


Allah menjadi kita berbeda-beda baik fisik, perilaku, kemampuan, dengan satu hikmah yaitu sebagai ladang amal dan mengakibatkan kita bijaksana, sebagai pelajaran dalam melihat perbedaan yang ada  disekeliling kita, sebagaimana dalam QS Al-Maidah (5) : 48 : “ Sekiranya Allah menghendaki pasti kau dijadikan-Nya satu  ummat (saja) tetapi Allah hendak menguji kau terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.


CRPD bukan  juga  sebagai final dari lahirnya banyak sekali konvensi, peraturan wacana disabilitas atau final dari perjuangan  disabilitas dalam  menelurkan  taktik kebijakan, tapi CRPD adalah  jembatan yang besar lengan berkuasa dan kokoh untuk saling memahami kebutuhan, kepentingan  bagi semua pihak baik disabilitas dan non disabilitas biar tercipta keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Crpd Spirit Menjawab Duduk Masalah Disabilitas"