Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cinta Diantara Sesama Tunanetra, Harus Disikapi Bagaimana?

Kemarin, saat saya gres dipersunting Glaukoma dengan mas kawin sebuah ketunanetraan, saya merasa diriku kerdil dan tak berguna. Mau jadi apa, sama sekali tak punya gambaran. Mau melaksanakan apa, juga sama saja, tak ada gambaran. Lebih-lebih bila ingin bicara soal cinta-cintaan. “Mana ada perjaka yang mau sama saya si Tunanetra ini!”, begitu komentarku saat bayangan akan cinta dan rumah tangga melintas di benakku.


 


Miris memang. Tapi itu fakta yang melanda diriku saat itu, saat dunia terasa hancur dan menghimpit saya yang jadi buta alasannya yaitu penyakit “Gila” berjulukan “Glaukoma”. Segala sesuatu yang ada di dunia ini seolah bukan buat aku. Segalanya hanya buat mereka yang punya “Mata”. Betul…itu betul…itu memang pikiranku saat itu. Aku tak pernah bisa membayangkan akan ada perjaka yang punya gairah mempersuntingku. Parah memang, seakan-akan saya mengingkari kalimat “Jodoh, simpulan hidup dan rezeki ada di tangan Tuhan”. Tapi mau apa dan bagaimana lagi??? Ketika itu diriku memang tak hanya buta secara fisik, tapi juga buta warta soal kehebatan Tunanetra.


 


Hey, wake up! Yang kutulis tadi yaitu saya yang dulu, dimana saya benar-benar kerdil dan tak punya “Selling point” heehehe. Tapi seiring berjalannya waktu, seiring terangnya duniaku berkat orang-orang jago yang menginspirasiku, termasuk Kartunet, saya tak lagi kerdil. Aku bangun dan kubangkitkan pula percaya diriku. Lalu hasilnya? Ada beberapa perjaka yang naksir saya tanpa peduli saya buta hehehe *narsis*. Ya, semua itu berkat percaya diriku yang tumbuh. Bukankah ada orang bilang kalau percaya diri bisa merubah wajah buruk jadi cantik? Merubah tubuh gemuk jadi langsing singset? Merubah si pendek jadi tinggi semampai? Heheheh..teori dari mana ya itu?? Ya, yang terang percaya diri yaitu sumber gerakanmu. Kalau sudah punya rasa percaya diri, maka saat bergerak pun tak kan jadi soal.


 


Tapi..tahukah apa pikiranku kemudian??? Aku percaya diri, saya tak peduli lagi dengan label Tunanetraku, tapi orang lain???? Ketika kujalin korelasi dengan lawan jenis yang kebetulan sejenis denganku (Tunanetra) heheeh, timbul dialog di antara kami. Tapi yang kutahu, kami berdua tak menyoal wacana sepasang Tunanetra yang akan hidup bersama. Dengan kata lain, beliau tak peduli dengan kondisiku, begitu pun denganku alasannya yaitu saya langsung mengganggap bahwa Tunanetra dan orang awas sama saja, sama-sama bisa jalan masuk informasi, memberdayakan dirinya di dingklik pendidikan maupun pekerjaan, dan lain sebagainya. Kalau sudah begitu, terus mau apa lagi??? “Pacaran sama sesama Tunet, gak duduk kasus tuh!” itu saja kalimat yang bisa kulontarkan bila dialog soal “Cinta diantara Tunet” itu menyeruak.


 


Tapi…seiring berjalannya waktu. Penolakan itu datang! Bencana! Benar-benar bencana! Itu yang kupikirkan. Betapa tidak, dengan sama-sama menjadi penyandang Tunanetra saja masih dilarang, kemudian harus bagaimana? Kalau dahulu, saat saya masih baru-barunya jaddi Tunanetra, cintaku terhalang alasannya yaitu cowoku tak mau punya pacar buta, tapi sekarang?? Haruskah terulang lagi penolakan itu? Bukan kah cowokku yang kini sudah sama-sama Tunanetra??


 


Wajar mungkin. Ya, penolakan itu mungkin masuk akal adanya, lebih-lebih bila orang renta yang melakukannya. Mungkin orang renta yang punya anak Tunanetra merasa anaknya perlu menerima pasangan yang bukan Tunanetra semoga sanggup meringankan kegiatannya, tapi adilkah itu? Apakah cinta harus dibatasi dengan hal-hal semacam itu? Omong kosong! Menurutku, bila ada seseorang yang sudah sebegitu bersahabat dengan Tunaneta, lebih-lebih orang tua, hrusnya tahu kemampuan Tunanetra bahwa Tunanetra itu tak ada beda dengan orang-orang berpenglihatan awas. Kurasa dengan ditolaknya ‘calon mantu’ yang juga Tunanetra merupakan pelemahan terhadap Tunanetra, atau dengan kata lain orang renta tersebut tidak mengakui bahwa Tunanetra itu punya kemampuan dan bisa mendayung perahu rumah tangga bersama.


 


Tapi tunggu dulu…


 


Jangan-jangan analisaku itu salah. Jangan-jangan alasannya yaitu sudah sangat tahu wacana Tunanetra, orang renta tersebut jadi perlu menyusun taktik semoga anaknya senang dengan pasangan yang bisa mengantar ke pasar, ke food court, ke mall, atau mungkin ke daerah kerja?? Ya, mungkin begitu. Jadi, Tunanetra memang tidak boleh dengan sesama Tunanetra??? Ya, tampaknya begitu. Bukankah kalau sepasang Tunanetra hidup bersama, kasihan putra-putrinya kelak??? Begitu kah???


 


Tapi nalar sehatku benar-benar belum bisa mendapatkan semua itu!!


 


Adakah yang salah bila sepasang Tunanetra hidup bersama, punya keluarga dan membesarkan putra-putri bersama???


 


Tak ada duduk kasus kan???


 


Tunanetra itu hebat, benar-benar hebat. Mereka sanggup melaksanakan segalanya, meski memang ada beberapa hal yang perlu dibantu. Tapi ‘perlu dibantu’ bukan berarti harus punya pasangan yang bukan Tunanetra kan??? Kalau memang alasan mencari pasangan yang bukan Tunanetra itu demi fasilitas mobilitas, lebih baik cari saja tukang ojek untuk dijadikan pasangan. Atau mungkin bisa mencari baby sitter untuk pasangan??


 


Please…hidup tidak hanya menyoal wacana gampang atau sulitnya aktivitas!!


 


Kenapa sih masih mencurigai Tunanetra??? Bukan kah para orang renta yang punya anak Tunanetra gembira terhadap anaknya? Kenapa masih mencurigai kemampuan Tunanetra lain?? Kalau Tunanetra lain diragukan, apa itu sama dengan mencurigai pula kemampuan anaknya yang juga Tunanetra?


 


Kenapa pasangan Tunanetra harus dilarang? Takut mempunyai anak yang sama-sama Tunanetra? Kalau si orang renta menjadi Tunaentra bukan alasannya yaitu genetiks, masihkah larangan itu ada??


 


Benar-benar tak habis pikir. Tolong berikan alasan yang logis buatku semoga saya bisa mendapatkan pernyataan ‘Tunanetra harus punya pasangan bukan Tunanetra’! Kalau alasan yang diberikan hanya berkutat pada fasilitas kegiatan menyerupai mobilitas, kegiatan mengurus rumah tangga dan anak, serta alasan serupa lainnya, kurasa sudah tak mempan buatku. Adakah alasan lain??


 


Sudah semenjak itu, semenjak saya kenal dia, si Tunanetra pria, saya dilanda tekanan perihal penolakan itu. Aku tahu hal itu bukan kelakar sebuah kebencian dari orang yang menolak, tapi mungkin itu alasannya yaitu keadaan. Tapi tidakkah persepsi orang renta tersebut diubah semoga tak lagi ada larangan?? Kurang ajarkah jikalau seorang anak membantah orang renta yang melarang korelasi percintaan diantara Tunanetra? Dosakah? Bukankah kesepakatan nikah di antara Tunanetra tidak dihentikan di kitab suci sehingga siapa saja yang melanggar (menikah dengan sesama Tunanetra) akan masuk neraka?? Sejauh pengetahuanku, tidak ada larangan menyerupai itu. Jadi, dosakah bila membantah orang renta yang melarang cinta diantara Tunanetra??


 


Telah banyak cerita wacana kesepakatan nikah diantara sesama Tunanetra. Telah banyak pula kesepakatan nikah diantara Tunanetra dengan bukan Tunanetra. Kedua pasangan itu sama-sama menghadapi masalah, sama-sama bisa menyelesaikannya juga. Sebetulnya hal itu tergantung dari individunya masing-masing. Jadi, perlukah larangan kesepakatan nikah diantara sesama Tunanetra??


 


Beberapa kali kutanyai teman-teman Tunanetraku baik perjaka maupun cewek. Komentar mereka bervariatif. Ada yang menyampaikan bahwa Tunanetra harus punya pasangan awas semoga lebih gampang melaksanakan aktivitas, tapi tak sedikit juga yang justru menentukan psangan sesama Tunanetra dengan alasan semoga tidak dibohongi. Lucu juga. Ternyata sebagian teman-teman Tunanetraku yang menentukan pasangan Tunanetra tergoda oleh info soal Tunanetra yang dibohongi oleh pasangannya yang bukan Tunanetra. Menurut kawan-kawanku itu, kemungkinan pasangan menduakan itu besar kalau kita punya pasangan awas. Hmm, tapi argumen itu belum sepenuhnya benar sih menurutku. Kalau saya pribadi, bahu-membahu tak jadi soal akan menerima pasangan awas maupun Tunaentra, alasannya yaitu yang menilai semua itu yaitu hati. Begitu menurutku. Jadi, jikalau kini ini yaitu Tunanetra yang bisa memikat hatiku, tak apa kan? Tapi, cinta tak hanya antara dua orang, melainkan cinta itu perlu keluarga. Kalau keluarga tak merestui, mau bagaimana????


 


Adakah solusi bagi kami yang tertekan dan terganjal duduk kasus restu alasannya yaitu label Tunaentra yang dimiliki???


 


Jujur, saya tertekan bila harus mendengar kalimat-kalimat bernada sumbang soal hibungan diantara sesama Tunanetra. Entahlah antara ingin membantah atau pasrah. Mau membantah pun kurasa sulit alasannya yaitu orang renta yaitu orang renta dimana seorang anak lahir alasannya yaitu mediator mereka, lebih-lebih seorang ibu. Dan duduk kasus akan lebih pelik bila yang melarang itu yaitu ibu. Dilema kan? Ibu yaitu seseorang yang merawat anaknya dengan penuh kasih sayang bahkan lebih dari aya sekalipun. Seorang ibu akan merasa duka bila melihat anaknya yang Tunanetra menabrak benda. Lalu bagaimana bisa anaknya yang dirawat sedemikian rupa itu jatuh ke tangan seseorang yang juga mempunyai duduk kasus dengan penglihatan?? Aku maklum sebetulnya. Lalu lebih baik pasrah? Hmm, kalau pasrah, bisakah hati mendapatkan semuanya dan lapang dada? Adilkah itu??


 


Menurut kartuneters, baiknya bagaimana bila ada masalah penolakan dan tak adanya restu dari orang renta terhadap cinta diantara Tunanetra? Membantah atau pasrah???



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Cinta Diantara Sesama Tunanetra, Harus Disikapi Bagaimana?"