Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menunaikan Kebaikan, Kenapa Harus Malu??

Pernahkah mendengar kalimat usil semacam ini??


 


“Cie…cie…cie…tumben pagi-pagi udah nongkrong di sekolah…”


 


Atau mungkin kalimat usil yang ini???


 


“Ah, kerasukan setan mana loe, bro, tumben mau bersih-bersih rumah!?!?”


 


Mungkin yang ini???


 


“Wah, mau jadi anak mamih ya loe, tumben pagi-pagi udah nganterin nyokap belanja!”


 


Atau bahkan kalimat super usil yang ini??


 


“Kesambet jin putih dari mana loe, bro, tumben sholat!”


 


Rentetan kalimat di atas tentu sudah tak abnormal lagi di pendengaran kita, apa lagi di kalangan mereka yang menamai diri si anak muda. Kalimat-kalimat ‘usil’ tersebut seolah kelakar yang dengan gampang dilemparkan pada siapa saja yang sedang mencoba ‘tekun’ pada nilai dan norma. Dengan gampang bahkan lebih gampang dari PR yang mereka sanggup dari sekolah, kalimat-kalimat semacam tadi terus didengungkan tanpa sadar akan efek dari kalimat yang dilemparkan tersebut.


 


‘Kebaikan’, itulah tujuan yang diusung oleh mereka yang dihadiahi rentetan kalimat usil tadi. Maksud hati ingin menunaikan kebaikan sekaligus pembuktian terhadap kata “Taubat” yang disampaikan pada Tuhan, justru menerima rintangan berupa kalimat usil semacam tadi. Sebagai individu yang masih dalam proses mewujudkan kebaikan yang sanggup jadi telah ditinggalkan sekian lama, tentu akan goyah dikala menerima kelakar tak beralasan sebagai komentar.


 


Lantas efek apa yang timbul dari keusilan semacam tadi?


 


‘Malu’, itulah rasa yang sesungguhnya menjadi efek dari kalimat usil tak bertanggungjawab sebagai komentar bagi mereka yang ingin tekun. Menurut opini penulis, mereka yang sedang berusaha menunaikan kebaikan akan merasa ‘malu’ dikala ada pihak lain yang mengomentari usahanya tersebut, lebih-lebih bila komentar yang dilemparkan berupa ejekan. Sebetulnya sudah masuk akal adanya rasa malu itu timbul dikala seseorang sedang melaksanakan kebaikan, namun tidak untuk kasus pada remaja. Betapa tidak, sampaumur merupakan masa dimana rasa ‘gengsi’ itu punya andil besar pada diri mereka. Oleh lantaran itulah, dikala ada pihak yang mengejek dan menilai bahwa kebaikan yang sedang ditunaikan itu yaitu hal konyol sekaligus ‘tumben-tumbenanan’, si pelaku kebaikan pribadi undur diri, bahkan tak lagi berangasan untuk menunaikan kebaikan tersebut.


 


Lantas, bila malu telah melanda, apa yang akan terjadi??


 


Umumnya bila malu telah mendera, lebih-lebih pada mereka yang tak punya tekad yang kuat, keesokan harinya kebaikan itu tak akan ditunaikan. Dengan kata lain, mereka akan kembali pada zona sebelumnya. Kebaikan pun lalu tersimpan jauh dalam angan. Hilang?? Bukan hilang, namun lebih kepada mengendap dalam angan yang entah kapan akan direalisasikan. Jika sudah demikian, tentu sulit untuk mengembalikan situasi, kecuali kalimat usil dilempar jauh dari budaya para remaja.


 


Karena adanya budaya yang tercermin pada kalimat-kalimat usil di atas, penulis beranggapan bahwa hal itulah yang justru menghambat menjamurnya kebaikan di kalangan remaja. Para tunas bangsa itu seolah lebih berkonsentrasi pada seberapa banyak sahabat yang berkomentar dari pada esensi kebaikan itu sendiri. Karena konsentrasi mereka terfokus pada komentar teman, pada karenanya mereka akan gampang goyah dan cenderung melepaskan kesepakatan mereka untuk berbuat kebaikan. Dampaknya, dikala hendak melaksanakan amalan-amalan yang ditetapkan pada nilai dan norma, mereka akan berpikir beribu-ribu kali, bukan untuk berpikir seberapa besar manfaat dari amalan tersebut, namun lebih kepada seberapa banyak kata ‘tumben’ yang temannya lemparkan.


 


Penulis coba ambil pola dari realita yang ada. Sebagai pola yaitu adik penulis yang sekarang duduk di kursi SMP. Pernah suatu dikala ia bangkit pagi, lalu bergegas merappikan daerah tidur, mencuci sepatu dan membersihkan rumah. Tak hanya itu, ia pun getol mengatakan pertolongan yang sanggup ia lakukan. Tentu hal itu menciptakan seisi rumah takjub dan terheran-heran. Pasalnya ia memang populer malas di rumah. Akhirnya penulis yang memang kerap menggodanya, tergelitik untuk melempar canda.


 


“Cie…cie…tumben rajin amat! Kerasukan setan dari mana, bro??” goda penulis sambil cekikikan.


 


Mendengar kalimat usil dari penulis, ia pun nampak gondok. Terbukti dari mulutnya yang maju lima senti. Tak hingga disitu, penulis lagi-lagi menggodanya dengan berkata, “Gitu dong, Bro. Kaprikornus anak tuh yang rajin. Kalau gitu kan sanggup disayang mertua.”


 


Rupanya komentar-komentar usil yang penulis berikan memberi efek ‘jera’ pada sang adik. Kontan ia pribadi menghentikan aktivitasnya dan ngeloyor entah kemana. Usut punya usut, dikala diintrogasi hari berikutnya, ia mengaku malu lantaran penulis terus menggodanya. Tak hanya itu, sang ibu yang memamerkan tindakan adik itu pun menjadi penyumbang dalam mogoknya agresi bersih-bersih yang dilakukan adik.


 


Dari pola dan sedikit uraian di atas, penulis sanggup menyimpulkan bahwa dalam melaksanakan kebaikan yang tercantum dalam nilai dan norma, setiap individu harus mempunyai niat terlebih dahulu. Jika niat telah ada, ditambah lagi dengan tekad yang kuat, maka apa pun hambatan dan godaan, tak akan menjadi soal. Kemudian, rasa malu hendaknya dibuang jauh-jauh lantaran ‘kebaikan’ merupakan hal terpuji, sehingga tak perlu merasa malu dan ragu dalam menunaikannya. Bandingkan dengan serentetan keburukan yang pernah dilakukan, pernahkah kita memikirkan atau pun merasa malu dikala melakukannya? Penulis rasa jarang kita merasa malu atas tindakan yang dilakukan, bahkan tak jarang siswa-siswi sekolah yang kedapatan mencuri dan cabut dari sekolah. Bukankah hal itu merupakan hal jelek yang seharusnya dihindari? Namun faktanya banyak sampaumur yang menikmati hal jelek tersebut. Oleh lantaran itu, tak perlu malu melaksanakan kebaikan yang tentu saja ditunaikan dengan cara yang baik pula.


 


 



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Menunaikan Kebaikan, Kenapa Harus Malu??"