Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengekang Anak Tunanetra, Awal Mula Ketidakmandirian

Hai pembaca sekalian. Berjumpa lagi dalam goresan pena saya. Melihat judul di atas, mungkin pembaca berpikir bahwa saya sudah mempunyai pengalaman dalam mengurus anak. Tebakan Anda salah besar! Saya malah sama sekali belum pernah mengurus anak *jangankan mengurus anak, rencana menikah pun belum terpikir, hehehe*.


 


Nah, mengapa saya menulis goresan pena ini? Fenomena “anak tunanetra yang dikekang dan kesannya tidak mandiri” tentunya sangat banyak ditemukan di masyarakat luas. Tulisan ini saya buat menurut pengalaman saya sendiri sebagai anak tunanetra dan dongeng dari beberapa orang sahabat.


 


Orang bau tanah niscaya ingin yang terbaik buat anaknya. Mereka tidak ingin anaknya mengalami hal yang jelek -terjatuh, terluka, hilang, dan semacamnya-. Apalagi orang bau tanah yang mempunyai anak tunanetra, biasanya perlindungan yang mereka berikan jauh lebih ketat dibandingkan orang bau tanah yang mempunyai anak dengan kemampuan penglihatan normal.


 


Namun, perlindungan yang diberikan orang bau tanah tidak selamanya berdampak konkret terhadap anak tunanetra. Orang bau tanah yang terlalu membatasi ruang gerak anak akan menciptakan anak tersebut kurang percaya diri, dan berujung pada ketidakmandirian.


 


Hal ibarat ini pernah saya rasakan sendiri. Sedikit cerita, saya gres bisa naik angkutan umum sendirian ketika saya SMP, itu pun dengan jarak tidak terlalu jauh dari rumah. Padahal, teman-teman tunanetra seusia saya ketika itu yang tinggal di asrama sudah bisa naik angkutan umum hingga ke luar kota.


 


Sebetulnya, hingga kini pun orang bau tanah saya masih belum terlalu mengizinkan saya untuk naik angkutan umum sendirian. Alasannya sangat klasik, “Nanti kau nyasar,” “Nanti kau gak tau jalan pulang,” dan semacamnya.


 


Bagaimana solusinya? Modalnya hanya satu: nekat. Saya tidak pernah naik angkutan umum dari rumah. Biasanya, kalau ingin jalan-jalan sendirian, saya memulainya dari kampus. Dengan alasan mengerjakan kiprah atau alasan-alasan lain yang masuk akal, saya diantarkan ke kampus oleh orang bau tanah saya, dan dari situlah saya memulai petualangan sendirian.


 


Memang, dalam masalah ini saya melaksanakan sebuah kesalahan, yaitu berbohong. Namun, kalau tidak demikian, saya tidak akan bisa mandiri. Orang bau tanah memang bermaksud baik dengan cara memproteksi anaknya, namun terkadang anak pun harus berani “membobol” perlindungan tersebut sebab tidak selamanya anak hidup di bawah ketiak orang tua.


 


Cerita di atas belum seberapa kalau dibandingkan dengan dongeng berikut ini. Saya mempunyai seorang adik kelas tunanetra (sebut saja X). Suatu ketika, sahabat saya (sebut saja Y) bercerita kepada saya, “Ry, X pernah dongeng ke gue, katanya beliau gres raba bentuk tiang listrik pas beliau SMA.”


 


Tentu saja saya sangat terkejut. Seorang anak tunanetra gres mengenal bentuk tiang listrik, sebuah benda yang banyak bertebaran di seluruh Indonesia ketika beliau SMA. Saya berpikir, perlindungan ibarat apa yang dilakukan orang bau tanah anak tersebut sehingga anaknya bahkan tidak mengenal bentuk tiang listrik sebelum beliau SMA?


 


Masih banyak teladan masalah lain yang senada bahkan lebih parah dibandingkan kasus-kasus di atas. Intinya, boleh saja orang bau tanah menawarkan perlindungan terhadap anaknya -apalagi anak tersebut ialah tunanetra-, namun jangan hingga perlindungan tersebut menciptakan anak menjadi tidak mandiri, bahkan tidak tahu apa-apa perihal sesuatu yang ada di sekitarnya.


 


NB: Maaf kalau bahasa goresan pena saya kali ini agak kacau, sebab saya menulis goresan pena ini agak terburu-buru, hehehe 🙂



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Mengekang Anak Tunanetra, Awal Mula Ketidakmandirian"