Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jika Rasa Berkata “Labirin”

Hi, Kartuneters! Ini kubagi goresan pena yang kubuat. Kuyakin teman-teman pada resah dengan tulisanku ini hehehhe. Tapi kuharap teman-teman tetep bisa menikmati ya! Syukur-syukur ada yang coba menelisik makna dari tulisanku ehehhehe. Hope you enjoy it! Oiya, sebnernya ini masih relate sama tulisanku yang berjudul “Epilog Jika Rasa Berkata” yang sebelumnya itu Seri “Cermin”, tapi kali ini seri “Labirin” 🙂


 


Gulita memeluk mereka. Pekat tanpa cahaya, di sana mereka berada. Tangan hanya bisa meraba, penuh harap supaya bertemu dengan malaikat dari syurga. Pandangan terlempar ke segala arah namun gulita itu lebih matang dan berilmu balig cukup akal sehingga cahaya tak kunjung tiba jua.


 


-(0)-


Nafasnya terengah, memburu dengan waktu, mencoba mengusir diri dari pekat yang menenggelamkannya. Namun itu sia-sia. Entah telah berapa usang ia berputar, menjejakkan kaki dari satu alur ke alur lainnya. Ia tak tahu harus mencari titik dimana lagi. Semuanya penuh dengan pekat! Tak ada cahaya, lantaas bagaimana bisa keluar dari daerah ia berada?


 


“Tolong!”


 


Bibir tipisnya terbuka, melemparkan udara yang menggumpal menjadi kata-kata, kemudian melemparkannya ke langit-langit yang menjulang seolah tak berujung. Namun kalimatnya hanya menguap di udara, memantul dari sudut satu ke sudut lainnya. Andai kalimat itu membeku dan menghantam pintu keluar yang ia cari supaya ia sanggup keluar, tentu itu akan membuatnya bahagia.


 


“Kau akan mati di daerah ini!”


 


Ia mendengar bunyi menggema di sekitarnya. Bulu kuduknya berdiri, dadanya berdegup kencang, seperti dinding-dinding di sekitarnya semakin bergerak ke arahnya dan siap menghimpit badan kecilnya.


 


“Tolong!”


 


Suaranya kembali melolong bagai anjing yang lapar oleh dinginnya malam. Jejak kakinya berpindah mengikuti instruksi dari hati kecilnya. Terus berdetak membuat melodi di daerah abnormal tanpa terang. Yang ia harap hanya temukan terang meski nafasnya terasa sesak lantaran ketakutan yang memburu dalam dada.


 


“Uhuk…”


 


Ia terbatuk di tengah-tengah jejak kakinya. Nafasnya begitu sesak. Keringat cuek mengalir di dahinya tanpa peduli hal itu justru sanggup menambah level ketakutannya. Udara tampaknya semakin menipis, terbukti dari batuk yang semakin sering ia lontarkan. Ah, sial! Ketakutannya tentu menang lantaran ia niscaya menganggap ia akan mati! Tak lagi ada kesempatan untuk lari! Ia akan mati di daerah asing, di daerah yang diisi oleh pekat yang tak bersahabat!


 


“Bersiaplah untuk mati!” ada bunyi merangsek ke telinganya. Suara itu semakin dekat terdengar. Apakah itu bunyi malaikat maut?? Ah, tidak! Bukan malaikat maut yang ia harap, namun malaikat pembawa terang yang ia nanti kehadirannya!


 


“Tidak! Aku tidak akan mati di daerah ini! Aku niscaya bisa keluar!”


 


Tak terduga! Ia menjerit melawan bunyi yang sedari tadi berdzikir untuk kematiannya. Ia kembali melangkah. Perlahan mengatur nafasnya, perlahan membagi sisa udara supaya masuk ke seluruh pedoman kerongkongannya. Rupanya ambang maut tak menghapus impian dalam dirinya. Tanpa peduli sudah berapa kali ia berputar-putar dalam pekat, ia terus jejakkan kakinya. Jalan itu niscaya ada, begitu yang ada di pikirannya.


 


“Tuhan, ijinkan saya tetap hidup. Ijinkan saya keluar dari daerah ini. Aku ingin hidup Tuhan…”


 


Kini bibirnya melantunkan harap kepada Tuhan. Ia tak peduli jikalau Tuhan bergotong-royong tengah mengirim malaikat maut untuk mengambil nyawanya. Ah, bisakah ia melawan maut?? Bisakah takdirnya berubah? Omong kosong! Namun orang bijak sering berkata bahwa apabila pengharapan telah habis, maka habis pula jalan hidupmu. Entah lantaran perkataaan orang bijak itu, atau lantaran ia yang menganggap maut tak akan tiba sebelum ia mencicipi badan mungil dalam gendongannya, ia tetap berani menjejakkan kakinya pada poros gulita yang ada. Ia tak sadar bergotong-royong hal itu sanggup menghabiskan tenaganya yang sudah di batas ambang.


 


Dug! Ia terjatuh. Tubuhnya lemas. Pucat sekali rautnya. Inikah selesai dari hidupnya?? Akan berakhir sia-siakah detak kakinya yang ia seret sedari tadi?? Apakah Tuhan menjawab dzikirnya dengan malaikat maut yang memang telah ia siapkan???


 


Ia masih terduduk di lantai beku. Dingin menjalari tubuhnya, bercampur dengan rasa takut yang aben jiwa. Air matanya kini meleleh meski basahnya hanya ia yang sanggup merasa. Lantas digerakan tangannya supaya menyentuh gundukkan di perutnya. Dalam sesak ia usapkan jemarinya. Bibirnya gemetar, sedikit terbuka, sedikit melepas udara. Ada sejuta kasih yang memancar darinya. Kasih yang coba ia utarakan pada gundukkan di perutnya.


 


“Malang sekali nasibmu, nak. Mengapa kamu harus lahir dari rahimku?? Mengapa kamu harus lahir tanpa ada lelaki di sampingmu??”


 


“Haruskah kamu mati di sini bersamaku?? Bukankah ini dosaku, nak??”


 


Ia tergugu. Dicengkramnya kuat-kuat gundukan di perutnya. Ingin sekali ia keluarkan isi dalam gundukkan itu supaya tak ikut mati bersamanya. Namun itu sia-sia. Nyawa di dalam gundukkan itu terlalu besar lengan berkuasa sepertinya. Isi dalam gundukkan itu seolah berkata, “Aku niscaya hidup!”. Perkataan yang seperti terbang berputar di kepalanya itu bergotong-royong justru membuat ia semakin tersiksa. Dilema, ia benar-benar dilema. Harus bagaimana?? Sementara tenaga sudah tak ada, apakah kaki itu harus terus melangkah??


 


Jalan pikirannya buntu. Tak ada lelaki yang sanggup memapahnya supaya tetap bisa melangkah mencari terang dan jalan keluar. Ia seorang diri, hanya berteman gulita yang sesakkan dada. Ikatan sebuah impian seolah ingin ia lepaskan. Ia tak kuat, benar-benar tak kuat. Ia tak lagi punya tenaga. Lantas disentuhkannya jemari lembutnya pada lantai yang ia duduki. Cukup usang ia jejakkan jemarinya disana. Beku, benar-benar beku. “Haruskah lantai ini menjadi ganjal kematianku?” ia bertanya pada dirinya sendiri.


 


Detik berikutnya, ia usap lantai beku itu. Setelah itu, kepalanya telah damai di atas lantai. Rambut lurusnya tergerai, jatuh dari pundak ke lantai. Ia telah siap, begitu pun dengan kaki yang lurus di atas lantai. Sementara itu, kedua tangannya yang telah siap di atas gundukkan pada perutnya ia sempatkan mengusap lembap di kedua pipinya.


 


Ia menghela nafas panjang dan berat. Dari tarikannya, seolah itu ialah nafas terakhirnya. Ia seolah tak sanggup menghirup udara lagi. Kemudian ia pun berkata, “Inikah selesai segalanya?? Akankah berakhir disini???”


 


“Bila memang ini takdirmu, Tuhan, biarkan yang ada dalam rahim ini mati bersamaku. Aku siap bila memang harus sekarang, Tuhan…” lemah bibirnya berucap. Seiring dengan lemahnya bibir itu, kedua kelopak mata pun ikut melemah. Ia hendak memejamkan matanya. Untuk terakhir…ya…untuk terakhir kalinya.


 


‘Namun’ itu selalu ada pada setiap untaian kata, termasuk skenario sang sutradara. Maka, pengecualian itu tetap ada pada takdir makhluk di dunia…


 


Mata itu nyaris tertutup saat dentang terdengar dari sudut yang tak terjamah oleh mata. Yang jelas, dentang itu ada di daerah yang sama. Ya, di daerah yang sama dengan badan yang sedang meregang nyawa di atas marmer tak bernyawa.


 


Bersambung…



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Jika Rasa Berkata “Labirin”"