Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fokus Pada Kelebihan Diri

Kabar membanggakan itu tiba dari arena All England. Turnamen badminton tertua yang diadakan di kota Birmingham, Britania Raya menjadi saksi prestasi Indonesia meraih dua gelar yakni dari cabang ganda putra dan ganda campuran. Ucapan selamat selayaknya diberikan kepada pasangan ganda putra Hendra Setiawan – Muhammad Ahsan, serta ganda adonan Tontowi Ahmad – Liliyana Natsir. Khusus buat dua nama terakhir, prestasi ini jadi lebih istimewa lantaran gelar tahun ini yakni yang ketiga secara berturut-turut di All England semenjak 2012.


Prestasi ini menyadarkan kita bahwa apabila fokus pada kelebihan yang dimiliki, maka kesuksesan itu akan segera datang. Dalam sejarahnya, Indonesia mempunyai prestasi gemilang di bidang bulu tangkis. Nama-nama besar telah diakui dunia dan membawa harum nama bangsa. Sebutlah Rudi Hartono, Christian Hadinata, Susi Susanti, Taufik Hidayat, dan sekarang generasi-generasi gres ibarat Hendra-Ahsan, Tontowi-Liliyana, Tommy Sugiarto, Simon Santoso, dan masih banyak lagi. Meski beberapa tahun belakangan perstasi para pebulu-tangkis Indonesia agak surut, tapi nama Indonesia tak pernah mangkir mewarnai persaingan internasional.


Terbukti bahwa badminton yakni cabang olahraga yang jadi tipikal kekuatan bangsa Indonesia. Pertama, olahraga ini tidak membutuhkan modal besar. Hanya butuh lapangan berukuran sedang, kemudian sepasang raket, kok, dan juga net pembatas. Jauh lebih murah dibanding kemudahan sepak bola. Selain itu, permainan ini juga cocok dengan fostur badan rata-rata orang Indonesia yang tak terlalu tinggi tapi lincah. Bandingkan dengan sepak bola yang secara permainan tim nasional kita jarang sanggup bersaing dengan tim dari negara-negara Arab atau Eropa. Secara fisik atau teknik, kita masih jauh dari mereka. Wajar saja jikalau cita-cita tinggi masyarakat Indonesia pada tim nasional selalu pupus yang berujung kekecewaan.


Tren yang ada ketika ini kita malah sibuk dengan sesuatu yang jadi kelemahan, dan melupakan apa yang pernah dan masih jadi kekuatan. Maraknya siaran liga-liga Eropa secara tidak pribadi menciptakan bawah umur kita memimpikan sanggup menjadi pemain profesional ibarat Lionel Messi atau Christiano Ronaldo yang berkemampuan tinggi dan honor bombastis. Sepak bola juga oleh media dan pemerintah digadang-gadang menjadi parameter martabat bangsa. Ingat lagi ketika tim nasional Indonesia melawan Malaysia. Bukan lagi soal pertandingan kalah dan menang, tapi ada martabat bangsa yang dipertaruhkan. Ketika tim nas kalah, maka seperti olah raga di Indonesia sudah terpuruk. Padahal masih banyak cabang-cabang lain yang turut memperlihatkan prestasi.


Pelajaran ini juga sanggup diambil hikmahnya bagi kita yang selama ini masih terpaku pada upaya memperbaiki kekurangan. Memang tak ada yang salah, alasannya yakni tiap orang tentu ingin menjadi sebaik mungkin. Tetapi ketika kita lebih fokus pada kelebihan yang dimiliki, maka kekurangan itu lambat laun akan tertutupi atau sanggup pula membaik.


Ada dongeng mengenai dua orang anak yang ketika mendapatkan rapor hasil belajar, seluruh nilai di rapornya baik kecuali nilai matematika. Oleh orang renta anak yang pertama, beliau diberi les perhiasan matematika. Sedangkan orang renta anak kedua, les malah diberikan untuk pelajaran yang sudah cantik nilainya dan anak itu menyukainya. Pada penerimaan rapor selanjutnya, anak pertama yang menerima les matematika itu memang nilai matematikanya agak membaik, tapi nilai di pelajaran lainnya malah menurun. Sedangkan pada anak kedua, nilai-nilainya makin baik, termasuk pada pelajaran matematika.


Dapat dilihat bahwa pada anak pertama, ia fokus untuk mempelajari sesuatu yang tidak disukainya. Maka efeknya yakni semangat belajarnya turun dan berdampak pada pelajaran-pelajaran lain yang sebelumnya disukainya. Sedangkan pada anak kedua, lantaran ia fokus pada apa yang menjadi kesukaannya, maka semangat makin tinggi dan kemampuan untuk memahami pelajaran juga makin baik. Mari lihat diri kita, apakah sudah benar apa yang dilakukan ketika ini? Sudahkan kita fokus pada apa yang menjadi kelebihan dan kesukaan?


Hal ini sering kali terjadi pada penyandang disabilitas. Seseorang yang hanya memikirkan kekurangan dan apa yang ia tidak sanggup lakukan, maka hidupnya akan tercekam dan tak bisa bangkit. Selamanya ia akan dalam ketakutan dan tak berani mencoba hal-hal baru. Sebab ada kemungkinan, hal-hal gres itu akan beliau sukai dan bisa menjadi kelebihannya. Ambil referensi sahabat kita Habibie Afsyah. Dia tak sanggup bergerak bebas dan hanya duduk di atas bangku roda. Tapi lantaran suka pada internet, beliau menjalankan bisnis online dan berhasil. Saat ini beliau bisa mempunyai kendaraan beroda empat dan orang lain yang menyetirkan untuknya. Bayangkan apabila ia hanya terpaku  pada fakta beliau tak sanggup bergerak bebas dan tak mungkin menyetir kendaraan beroda empat sendiri.


Mental block ibarat itu banyak dialami oleh teman-teman penyandang disabilitas. Tak adanya pertolongan dari keluarga dan orang-orang terdekat ikut menambah kondisi tersebut. Pada umumnya mereka tak punya doktrin diri yang tinggi. Maklum dikarenakan stigma pada masyarakat yang menganggap penyandang disabilitas sebagai orang lemah yang hanya patut dikasihani. Maka, hanya motivasi dan pertolongan orang-orang terdekatlah yang bisa membantu menjebol mental blocking tersebut. Mereka perlu didorong untuk mau mengeksplorasi sisi kelebihannya, dan berguru tidak menghiraukan kekurangan yang dimiliki.


Semoga refleksi ini sanggup menjadi pelajaran untuk kita semua, khususnya penulis pribadi. Tak ada insan yang terlahir sempurna, kiprah kita hanya memanfaatkan kelebihan yang telah diberikan dengan bersyukur, dan menutupi kekurangan yang ada dengan bersyukur pula. Keyakinan bahwa Tuhan itu adil dan mahasempurna tak boleh tergoyahkan. Karena itulah motivasi internal yang sangat fundamental untuk menciptakan kita bangun dan terbang. Marilah kita fokus pada kelebihan diri, bukan kelemahan.(DPM)



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Fokus Pada Kelebihan Diri"