Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pentingnya Adat Seorang Guru

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat ngobrol dengan seorang sobat yang berkuliah di jurusan PLB (Pendidikan Luar Biasa). Suatu saat sobat aku itu diberi kiprah untuk melaksanakan observasi ihwal anak yang mengalami kesulitan berguru di sebuah SD. Singkat cerita, saat mencari partner untuk diobservasi, guru di SD tersebut berkata kepada sobat saya, “Coba observasi anak yang itu aja tuh. Dia gak bisa apa-apa.”


 


Dari kisah sobat aku tadi, ada beberapa poin yang bisa aku ambil. Poin pertama, aku simpulkan bahwa guru tersebut “TIDAK BISA MENGAJAR”. Mengapa? Secara logika, setiap anak -lebih tepatnya setiap orang- diciptakan dengan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang cepat menangkap pelajaran, ada juga yang agak lambat. Nah, di sinilah kemampuan seorang guru diuji. Apakah ia bisa membentuk anak yang tadinya “tidak bisa apa-apa” menjadi *setidaknya* bisa melaksanakan sesuatu? Di sini juga guru dituntut untuk lebih kreatif; bagaimana metode yang tepat untuk mengajarkan anak yang mengalami kesulitan berguru tersebut? Bukannya malah “menghina” anak tersebut dengan menyampaikan “anak ini tidak bisa apa-apa”.


 


Poin kedua, aku simpulkan bahwa guru tersebut “kurang beretika” (saya bukan menyampaikan “tidak beretika”). Mari kita bayangkan. Teman aku tadi ialah orang gila yang ingin mencari info dan mengenal lebih bersahabat si anak yang mengalami kesulitan belajar. Artinya, anak tersebut sama sekali belum kenal dengan sobat aku ini. Nah, guru SD tadi memperkenalkan si anak kepada sobat aku dengan kalimat “anak yang tak bisa apa-apa”. Coba bayangkan, bagaimana perasaan anak itu saat ia diperkenalkan dengan orang asing, tetapi dengan predikat yang kurang baik? Mungkin anak itu akan merasa malu, minder, tertekan, dan semacamnya. Ini yang aku katakan bahwa guru tersebut “kurang beretika”. Dia tidak bisa menjaga perasaan anak didiknya sendiri. Serendah-rendahnya kemampuan seseorang, niscaya orang tersebut juga ingin dihargai perasaannya. Guru tersebut tidak membayangkan, bagaimana bila ia ialah ibu dari anak tersebut? Atau bagaimana bila ia berada di posisi anak tersebut? Bagaimana perasaannya?


 


Dari goresan pena ini, aku hanya ingin mengingatkan, terutama bagi para guru, umumnya untuk siapa pun yang membaca goresan pena ini -termasuk untuk diri aku sendiri-, bahwa tidak ada satu orang pun yang mempunyai kemampuan sama dengan orang lain. Bisa jadi seseorang yang lemah di suatu bidang tetapi ia berpengaruh di bidang lain. Jadi, hargailah perasaannya, hargailah kemampuannya, alasannya Tuhan telah membuat insan sesempurna mungkin, dan tidak ada satu pun ciptaan Tuhan yang cacat.


 


NB: Tulisan ini sebelumnya sudah pernah aku publikasikan di catatan Facebook aku (http://facebook.com/fakhryary) pada tanggal 3 Februari 2014. Pernah juga dimuat di website Kampung Halaman (www.kampunghalaman.org).



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Pentingnya Adat Seorang Guru"