Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenapa Takut???

Aku punya cerita. Cerita memalukan dan rada aneh. Mungkin bagi sebagian, tak penting saya memelihara dongeng dan perasaan yang ada di teks berikut, tapi buatku itu cukup menggetarkan dan mengacaukan hatiku. Mohon maaf bila ceritanya ngaco dan gak jelas. Cuma pegnen mengembangkan kisah yang terjadi aja 🙂


Hope you enjoy it!


 


Sabtu, 05 April 2014


 


Aku terdiam. Mulut terkunci dengan nafas yang berhembus pelan. Kepalaku kubiarkan tersandar. Pikiranku menerawang, dan pandanganku kosong menembus beling kendaraan beroda empat yang sedang kutumpangi. Bosan? Bukan bosan. Marah? Tidak juga. Lantas? Entahlah perasaan ini apa namanya. Yang jelas, saya tak ingin kendaraan beroda empat yang kutumpangi cepat mencapai tujuan. Aku ingin kendaraan beroda empat ini berjalan di tempat, atau bahkan mogok hingga hari senin tiba.


 


Jahat kah pikiranku itu? Tidak, kurasa tidak, lantaran apa yang kupanjatkan semata-mata bukan lantaran saya ingin terjadi apa-apa dengan seisi penumpang di kendaraan beroda empat ini, namun lantaran karena lain, lantaran yang bisa kukatakan tidak masuk akal. Mengapa kukatakan demikian? Alasannya lantaran saya takut. Takut? Ya, takut, saya takut. Tak ada alasan lain selain rasa takut yang semenjak kemarin menghantuiku.


 


“Kenapa kok diem aja, Ka?” lelaki yang duduk di sebelahku tergelitik atas perilaku bungkamku selama perjalanan kami menuju rumah. Aku terkesiap dan impulsif menggeleng meski kusadar sosok di sebelahku ini tak sanggup menangkap gerak kepalaku lantaran indera penglihatannya yang tak lagi berfungsi.


 


“Gak apa-apa kok, Pak,” jawabku lirih pada lelaki yang menjadi Ketua di DPD Pertuni Jawa Tengah. Aku berusaha menyembunyikan rasa takutku darinya. Bukan apa-apa, saya hanya aib mengungkap perasaan takut yang bagi sebagian orang tak beralasan itu.


 


Entah telah berapa banyak detik yang terbuang. Entah telah berapa banyak lampu merah yang telah kulewati. Entah berapa banyak doa yang telah kupanjatkan demi mogoknya kendaraan beroda empat ini. Semuanya sia-sia belaka. Kini saya sempurna berada di depan rumah kosku. Bulu kudukku berdiri. Raut wajah cemas semakin kentara dan sanggup dengan gampang dideteksi oleh siapa saja yang melihatku. Untung sepasang suami-istri pemilik kendaraan beroda empat yang kutumpangi yang notabene orang bau tanah dari lelaki yang tadi duduk di sebelahku tak hingga memperhatikan wajahku mengingat posisi tempat duduk kami tak sejajar.


 


“Udah sampe ya?” tanyaku basa-basi.


 


“Iya, silahkan dan hati-hati ya!” ucap ketiga orang di dalam mobil. Aku melempar senyum pada mereka, berusaha ceria meski detak jantungku tak lagi wajar.


 


“Terima kasih ya, Pak, Bu. Mohon maaf merepotkan,” kataku sambil menuruni kendaraan beroda empat milik orang bau tanah Pak Suryandaru, sang ketua.


 


“Iya, sama-sama, Mbak…”


 


“Mari…Wasalamualaikum…” saya membanting pintu mobil. Sedetik kemudian kendaraan beroda empat melaju dan lenyap dari pendengaranku.


 


Aku melangkahkan kakiku dengan ragu. Detak jantungku masih memburu. Cemas di wajahku masih tetap ada. Aku tak ingin, rasanya tak ingin masuk ke dalam rumah kos yang sudah satu tahun lebih menjadi tempat singgahku. Namun kenyataan rupanya tak mendukung. Aku harus masuk, harus tetap langkahkan kaki ke dalam, lantaran bila tak disini, dimana lagi saya akan melewatkan malam?


 


Aku menyentuhkan tanganku pada gerbang. Menarik perlahan, namun tak ada respon gerakan pintu gerbang. Kucoba sekali lagi, kali ini pada pintu di sisi yang lain, namun hasilnya tetap sama. Mendapati itu, kecemasanku semakin berlipat-lipat. Lututku lemas. Aku tak ingin, benar-benar tak ingin meneruskan tahap selanjutnya. Namun lagi-lagi saya teringat pada malam yang mulai menjelang serta bunyi adzan yang mengalun di setiap sudut kota. Bila sudah begitu, saya tak lagi punya pilihan. Aku harus masuk, harus melawan segalanya, dan lewatkan malam di dalam kamar dengan nasib yang entah menyerupai apa jadinya.


 


Setelah tekadku bulat, saya merunduk di depan gerbang, kemudian memasukan tangan di antara sela-sela pintu. Lantas kugerakkan tanganku, meraba ke setiap bidang demi menemukan gerendel pintu gerbang yang menjadi tujuan. Meski tangan tidak diam, namun dalam pikiran justru berharap gerendel telah digembok dengan kunci super canggih, atau bahkan bila perlu kunci yang digunakan untuk gembok telah dilarung ke bahari dan terpengaruhi oleh hiu di sana. Namun ingin hanya tetap jadi ingin. Tanganku ternyata menemukan gerendel pintu yang tak tergembok. Bila begitu adanya, itu berarti saya bisa lolos dari pintu gerbang dan tinggal melangkah masuk ke dalam rumah kemudian naik ke kamar.


 


Aku menghela nafas berat, sangat berat, bahkan jantungkunyaris copot dan tergeletak di lantai. Namun saya telah bertekad bahwa saya harus jadi pemberani, toh saya tidak sedang ikut uji nyali, jadi untuk apa takut?


 


Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, hingga beberapa langkah dan akhirnya saya sempurna berdiri di depan pintu masuk ke dalam rumah. Jantungku masih berdetak kencang. Keringatku kini mengalir entah lantaran hawa panas atau hal lain. Aku menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengulurkan tanganku pada gagang pintu di hadapanku dan berkata, “Aku harus berani! Gak ada apa-apa!”


 


Gagang pintu itu kutekan, kemudian daun pintu kudorong kuat-kuat. Eh, namun, pintu itu diam, tak bereaksi apapun. Ada apa ini? Anugerah atau justru bencana? Ah, saya berani bertaruh untuk yang kedua! Betaapa tidak, bila pintu terkunci, bisa jadi penghuni kos lainnya tak sedang berada di dalam. Lalu saya bagaimana?


 


Kalut kini kurasakan. Panik dan aneka macam perasaan kelu lainnya menggumpal jadi satu dalam dada. Aku tak sanggup berpikir jernih. Otakku mampet, tersumbat rasa-rasa asing yang terus menghantui. Kini pilihannya jadi dilematis. Tetap berdiri di depan pintu kos yang semenjak kemarin begitu mengerikan, atau lari dan mengungsi hingga ada gejala kehidupan di dalam? Ah, bila kubertaruh untuk yang kedua, lantas siapa yang akan menjadi tempat pengungsianku padahal hari sudah malam? Diam, menggigit bibir bab bawah, dan menarik nafas panjang, berusaha mengendalikan diri. Itu yang kulakukan beberapa ketika sehabis kudapati pintu masuk tak sanggup terbuka. Akhirnya kuputuskan untuk menggedor pintu sekencang-kencangnya, berharap di dalam masih ada nafas yang bisa membuka pintu terusan itu.


 


Dog…dog…dog…tanganku beradu kencang dengan pintu. Suara tangan yang beradu terdengar gaduh, menyerupai seseorang yang tengah marah-marah. Beruntung salam meluncur di tengah-tengah acara menggdor pintu itu, sehingga saya tak sedang dikira marah-marah. Sekali, dua kali, hingga berkali-kali kugedor pintu kos sekuat-kuatnya, namun tak ada tanggapan langkah kaki atau bunyi yang menyahut salamku.


 


Aku diam. Menghentikan acara menggedor pintu, dan mencoba peruntungan lain. Tanganku kusentuhkan lagi pada gagang pintu. Bersiap menekannya kuat-kuat seraya berkata, “Mbak Lili!!”


 


Aku berteriak-teriak memanggil sang penjaga kos, namun nihil. Gagang pintu yang kutarik-tarik dan mengeluarkan bunyi gaduh ternyata tak membangunkan siapa pun yang ada di dalam. Sial, benar-benar sial. Pasti di dalam tak ada siapa-siapa. Akhirnya saya menyerah. Menarik tanganku dari gagang pintu dan melangkah menjauhi benda yang tak memberiku kebhagiaan itu. Kakiku lemas. Wjahku kusut. Kedua bola mataku panas. Bila sudah begini, alamat hujan deras di mataku. Namun saya berusaha tenang, tidak panik, dan menggap hari ini saya tidak sedang diliputi rasa takut, dan pintu kos yang tak sanggup terbuka ini hanyalah insiden biasa. Ya, saya harus berpikir begitu bila tak ingin semakin kacau.


 


Tak ada yang bisa kulakukan bila sudah begini. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan hanyalah menelpon orang-orang yang berkepentingan. Ah, sial, ternyata sehabis kuingat-ingat, di ponselku hanya ada tiga nomor orang yang punya kepentingan. Pertama ialah sang penjaga kos; kedua ialah Rizki, sahabat sekosku, dan terakhir ialah Mbak Tya, yang juga sahabat sekosku. Namun sayangnya Mbak Tya sedang pulang kampung, maka sudah barang tenttu ia tak sanggup membukakan pintu buatku. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon Mbak Lili, sang penjaga kos.


 


Lantas kukeluarkan ponsel dari dalam saku celanaku. Kudekatkan ponsel itu ke pendengaran kananku demi bisa mendengar bunyi screen reader. Kutekan aksara ‘M’ hingga kutemukan nama ‘Mbak Lili’ di kontak teleponku. Tanpa pikir panjang, tombol ‘dial’ eksklusif kutekan. Nada tersambung terdengar dari ujung telepon. Suaranya timbul tenggelam, menyerupai kehilangan sinyal. Aku jadi ketar-ketir, cemas akan menerima tragedi yang berikutnya. Ah, namun tragedi memang datang. Ia tak menjawab teleponku. Sial, hari yang sial. Namun saya tak patah arang. Kucoba sekali lagi. Kutekan tombol ‘dial’ sekali lagi, meski sehabis menunggu tanggapan tak lagi ada. Coba lagi. Aku mencobanya lagi. Namun nihil lagi-lagi kudapati. Merasa percuma, akhirnya kuputuskan mengirim SMS saja. SMS sudah berhasil kukirim, dan harapanku tentu nasib baik. Selesai dengan Mbak Lili, kucoba peruntungan lainnya. Rizki, kini ialah yang jadi targetku. Kutekan-tekan ponselku, mencari nama ‘Rizki Udinus’ di dalamnya. Berhasil, saya telah menemukannya. Dengan perasaan kalut, saya menelpon gadis Tunanetra itu. Harapanku besar padanya lantaran dia ialah penghuni kos satu-satunya sehabis saya yang paling jarang kelayaban di luar kos. Ah, namun tragedi lagi-lagi datang!


 


“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktiv”


 


Benarkah apa yang kudengar?? Tak mungkin, saya merasa itu tak mungkin. Akhirnya kucoba sekali lagi. Ternyata ponsel gadis yang pandai bermain biola itu memang tak aktif. Aku makin kalut. Ternyata saya gres sadar jikalau dia sedang pergi ke gereja.


 


“Kamu nanti malam ada di kos kan, Riz?” kataku tadi pagi ketika saya sedang menemaninya berguru komputer bersama Ari, sang instruktur.


 


“Ya, saya di kos. Tapi sore jam 5 saya ke gereja. Hari Jum’at besok kan paskah,” balasnya  dengan logat Papua yang kentara.


 


“Yaaaa…kamu gak ada di kos dong. Aku gak ada temennya dong nanti sepulang dari Pertuni,” nada kecewa kentara betul dalam kalimatku.


 


“Tenang, sayang. Ke gereja paling jam 9 juga udah pulang,”


 


Obrolanku dengan Rizki terputar kembali dalam benakku. Lututku jadi lemas. Aku sadar sekrang sudah lebih dari jam enam sore, dan niscaya Rizki tidak sedang di kos. Gereja, ya, dia sedang ada di gereja. Lantas bagaimana nasibku sekarang? Menunggu? Haruskah saya menunggu di depan kos yang sempurna berhadapan dengan jalan ramai yang siapa saja bisa lewat, bahkan penjahat sekali pun?


 


Di tengah kekalutanku, saya berusaha tetap tegak dengan berpegangan pada pintu gerbang. Aku tak punya cukup nyali untuk berdiri di dalam garasi. Tempat itu terlalu menyeramkan, setidaknya semenjak kemarin, semenjak gosip itu mampir ke telingaku. Kini tangan kiriku bertumpu pada pintu gerbang. Tubuhku terasa berat. Sepertinya itu akhir dari aneka macam rasa yang menggumpal. Lelah lantaran seharian pergi, takut yang sedari kemarin menjalari, dan kesal lantaran tak ada satu pun orang yang menjawab kegusaranku akan kos yang terkunci ini bersatu padu menghancurkan pertahananku. Aku menangkat tangan kananku. Dengan pendengaranku, kuperhatikan ponsel yang tergenggam di tangan. Namun ponsel itu tetap bisu. Lama kuamati, namun ponsel itu tak juga mengeluarkan dering, yang terdengar hanya bunyi screen reader yang mengoceh entah minta apa. Aku kecewa. Seolah tak ada harapan. Haruskah saya berdiam di depan kos hingga Rizki pulang dari gereja? Yang benar saja? Tidakkah merasa kurang pandai bila saya harus berdiri disini hingga pukul sembilan tiba? Tidak, tampaknya saya tak ingin menjadi sebodoh itu, dan sebuah nama di ponselku menjadi tempatku mencari pertimbangan.


 


“Haloo…” suraku gemetar meski sedikit kehangatan merasuk dalam jiwaku sempurna ketika bunyi itu membalas ucapanku.


 


“Iya…” suaranya beradu dengan musik. Kurasa ia masih di jalan, di dalam bus lebih tepatnya.


 


“Mas, saya takut. Aku sedih. Aku gak bisa masuk kos,” saya merajuk, persis menyerupai anak kecil yang mengadu pada ayahnya atas perlakuan sahabat yang mengambil mainannya.


 


“Kok bisa?”


 


“Gak tahu. Gak ada yang bukain pintu. Aku udah gedor-gedor juga gak ada yang bukain. Nelpon Mbak Lili juga gak diangkat. Di-SMS juga gak dibales. Nelpon Rizki juga gmalah gak aktiv nomernya,” panjagn lebar kujelentrehkan nasib sialku pada cowok itu. Namun, belum sempat dia menjawab, telponku berbunyi ‘bip bip bip’, tandanya ada telepon masuk ke ponselku. Akhirnya kuminta cowok itu mengakhiri pembicaraan kami semoga saya bisa mendapatkan panggilaln masuk ke ponselku.


 


“Hallooo…” kataku dengan impian sebesar-besarnya.


 


“Iya, Mbak. Mbak Eka dimana?” saya tahu siapa penelpon itu. Mbak Lili, dialah penelpon yang teleponnya kutunggu semenjak tadi.


 


“Aku di depan kos, Mbak. Aku gak bisa masuk. Aku udah gedor pintu tapi gak ada yang bukain. Mbak Lili dimana? Di dalam ada siapa, Mbak?” kalimatku memburu. Terdengar tak sabar, dan tentu berharap ada kalimat penyejuk yang tiba dari wanita berstatus mahasiswa itu.


 


“Saya tidak ada di kos, Mbak. Bukannya kemarin sudah dibagi kunci masing-masing? Kenapa tidak dipakai?” saya gondok. Jalan keluar tak kudapati, namun kunci yang dibagi Cuma-Cuma kemarin malah dijadikan alasan.


 


“Aku lupa bawa, Mbak. Kuncinya saya tinggal di kamar, soalnya kan kemarin juga belum dewasa pada gak pake kunci, Mbak,” kataku membela diri.


 


“Terus di dalam ada siapa, Mbak?” lanjutku mencari angin segar.


 


“Aduh, saya tidak tahu, Mbak. Coba hubungi Mbak Cinde,” pintanya.


 


“Gak punya, Mbak. Aku gak punya nomer temen-temen. Rizki juga malah gak aktif nomernya,”


 


“Ya udah saya kirim nomernya Mbak Cinde ya,”


 


Pembicaraan di antara kami pun berakhir. Jujur saya sudah agak tenang, meski belum benar-benar tenang. Aku tahu Cinde, salah seorang sahabat kosku tidak sedang berada di kos, lantaran bila dia ada di kos, sudah barang tentu dia bukakan pintu yang kugedor tadi. Mustahil bila pintu yang kugedor kuat-kuat tadi tak ada yang mendengar. Namun, satu menit, lima menit, sepuluh menit, Mbak Lili tak kunjung menawarkan nomer teleppon yang kuminta. Ketika kukirim SMS pun dia tak membalas. Gondok, saya benar-benar gondok. Rasanya ingin marah, namun ini bukankah murni kesalahanku? Benar kan?


 


Aku tak lagi bergairah. Aku pasrah, tak ingin ambil pusing dengan segalanya. Biar nasibku kupertaruhkan saja pada waktu. Bila sudah bertakdir pintu terbuka dan saya bisa masuk, ya beruntunglah aku. Namun bila saya harus di depan kos dengan perasaan kalut dan takut hingga pukul sembilan tiba, ya tetap harus kuterima. Ibu, kurasa ibuku ialah tempat yang tepat. Lantas kutelepon beliau, berharap menerima ketenangan dan pencerahan.


 


“Hallooo, Assalamuallaikum,” ibuku bersuara dari ujung telepon. Suaranya akrab dan hangat, meski ia berrada begitu jauh dengnaku.


 


“Wa’alaikumsalam…” saya menjawab salamnya dengan nada bunyi yang parau.


 


“Ada apa? Sudah pulang dari Pertuni?” tanyanya.


 


“Udah, tadi ikut sama orang tuanya Pak Ndaru. Tapi, Mah, Eka gak bisa masuk kos. Pintunya kekunci…” saya mulai masuk ke dalam dongeng wacana nasib sialku sore ini.


 


“Kok bisa? Sudah menelpon Mbak Lili?” ada nada kecemasan dalam kalimat beliau.


 


“Udah. Udah telepon dan minta nomer temen, tapi belum dibalesin. Eka takut, Mah. Takut…” entah mengapa kuutarakan ketakutanku padanya, padahal selama ini saya tak pernah megnatkan kata ‘takut’ meskipun saya harus berangkat ke kampus malam hari.


 


“Terus ini d depan kos?”


 


“Iya, ini di depan kos. Takut, Mah,” panas mataku semakin terasa. Entah dan entah, kata itu berputar-putar di benakku. Ya, entah mengapa saya menjadi penakut menyerupai ini. Bukankah berada di jalanan sudah tak jadi soal buatku?


 


“Ya udah, dinantikan aja SMS dari Mbak Lili. Kamu berdoa. Kalau takut, coba berdiri akrab gerbang, tapi jagnan di luar gerbang. Gerbangnya biar ditutup aja,”


 


“Udah gak usah takut. Mamah mau sholat dulu,” ia mengakhiri pembicaraan kami. Jujur saya masih tak karuan meski petuah telah ibuku sampaikan. Aku celingukan. Telinga kupasang betul-betul, sedang ponsel, digenggam erat seolah ada orang lain yang hendak merampasnya. Hingga kemudian, cowok itu, yang tadi kutelepon, suaranya kembali mengisi ponselku.


 


“Mas, saya takut. Gimana ini?” kataku dengan nada parau.


 


“Beneran gak ada yang bukain pintu? Mbak Mona gak bukain pintu?”


 


Mendengar nama ‘Mona’, bulu kudukku berdiri semua. Aku kacau. Mataku panas. Kakiku gemetar, begitu pun dengan tangan yang menggenggam ponsel. Nyaris kulepaskan ponsel dalam genggamanku. Jantungku berdetak tak karuan. Kalut, benar-benar kalut, bahkan kali ini kekalutanku sudah naik ke tingkat paling tinggi dari kalut yang pernah kurasakan.


 


“Mas! Aku takut! Kamu apa-apaan sih?” air mataku meleleh. Rasa takutku membuncah. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengendalikan rasa takutku itu. Berbagai macam memori dan bayangan berkelibat dalam benakku. Tentu hal itu semakin membuatku takut. Mengapa cowok itu sempat-sempatnya melemparkan nama itu di tengah kekcauan hatiku semenjak kemarin?


 


“Kamu kok jahat sih, Mas. Aku…aku kan sendirian…aku kan lagi…” saya tak bernafsu melanjutkan ucapanku. Aku terlanjur kecewa dengan cowok itu. Aku sesaat tak ingin mengenal cowok yang setega itu mengaduk-aduk perasaan takutku yang sudah menjadi semenjak teleponku yang pertama.


 


Teleppon itu kini sudah mati tak tersisa bunyi apa pun, yang ada hanya isakan. Ya, saya terisak. Air mataku meleleh. Sedikit lucu, lantaran saya menagis lantaran hal yang sehrusnya tak membuatku menangis. Namun bukankah tiap individu punya ‘warna-nya’ masing-masing? Lantas masuk akal adanya kan bila saya menangis lantaran ‘takut’?


 


Air mataku terus meleleh. Aku tak sanggup mengontrol diriku. Bulu kudukku masih berdiri. Aku teringat banyak hal. Berkali-kali saya menoleh pada arah belakang, seakan-akan saya tengah memastikan tak ada bayangan atau sosok apa pun di belakangku, meski bahwasanya itu konyol. Ya, tentu konyol, lantaran saya ialah seorang Tunanetra, maka tak mungkin bila saya bisa melihat sosok atau bayangan di sekitarku. Sebetulnya apa yang terjadi padaku? Cerita apa yang terjadi kemarin hingga saya menjadi kalut dan takut?


 


Ponselku berdering. Ada SMS masuk di ponsel yang semenjak tadi kugenggam. Ternyata yang mengirim SMS ialah seseorang yang sedari tadi kutunggu SMS-nya. Mbak Lili mengirim nomer telepon dua orang sahabat kosku yaitu Nindi dan Cinde. Akhirnya pertama kali kuputar nomer telepon Nindi. Beda dengan nomer-nomer sebelumnya yang sulit kuhubungi, mahasiswa semester dua itu justru eksklusif mengangkat teleponku. Namun, bunyi di sekitar Nindi begitu gaduh. Tentu dari suara-suara itu saya bisa menebak bila Nindi sedang tak ada di kos. Tak apa, pikirku. Yang terpenting adalah, saya bisa tahu keberadaan teman-teman lainnya, yang siapa tahu ada di dalam kos dan tertidur sehingga tak mendengar pintu yang kugedor.


 


“Nindi, kau gak ada di kos ya?” tanyaku to the point.


 


“Ini Mbak Eka ya?” ia balas tanya.


 


“Iya, Nin. Aku mau masuk kos, tapi kok kosnya kekunci ya? Kok gak bisa dibuka ya?”


 


“Aduh saya gak ada di kos, Mbak. Dini dan Mbak Cinde juga gak ada. Emang Mbak Eka gak bawa kunci?”


 


“Gak, Nin. Aku lupa bawa. Terus gimana ya? Di dalam ada siapa ya?”


 


“Kurang tahu, Mbak. Tapi jikalau Mbak mau masuk, coba cari kunci di sekitar garasi. Tadi saya naro kunci disitu buat Dini,”


 


Pembicaraan berakhir. Entah nasib baik tengah tiba padaku, atau justru kesialan yang lagi-lagi datang. Teman-teman kosku ternyata tak ada di dalam, sedang saya diberi jalan masuk namun ketika saya masuk, saya akan sendirian di dalam. Mampukah saya berada di dalam dengan kabar yang kemarin kuterima? Tidakkah saya mati berdiri di dalam? Lantas, akan kupaksakan masuk atau tetap berada di luar? Ah, saya tak cukup punya banyak keberanian sepeertinya. Lantas bagaimana ini?


 


Aku menimbang cukup lama. Air mataku masih meleleh, teringat perkataan cowok tadi. Aku paranoid. Aku takut. Aku ingin berlari menghambur ke pelukan seseorang dan bersembunyi di pelukannya. Aku ingin dilindungi dari rasa takut tak beralasan dan konyol ini. Kemudian, kukeluarkan ponsel yang tadi sempat kumasukan ke dalam kantong celana. Kucari nama temanku untuk kuajak menamaniku disini. ‘Guspur Udinus’, itulah nama yang kutuju. Nada tersambung mengalun di ponselku, namun ternyata tak ada jawaban. Aku galau. Siapa lagi kiranya yang bisa kutanyai dan kumintai pertimbangan? Pemuda itu lagi? Ah, benarkah saya akan menelpon cowok itu lagi? Bukankah tadi saya sempat kesal padanya? Namun saya rupanya tak cukup besar lengan berkuasa bertahan untuk tak meneleponnya. Dan sebuah bunyi cowok pun menjawab segalanya.


 


“Gimana?” tanyanya.


 


“Kamu kok jahat sih, Mas…” saya mengulangi kalimat yang kulontarkan pada dialog kami sebelumnya. Tangisku masih pecah, meski tak separah sebeelumnya.


 


“Terus wae gembenge digede-gedeke” ucapnya hening namun menohok. Mendengar ucapannya itu, dadaku makin sesak. Menelpon dia, tampaknya bukan jalan yang tepat. Belum lagi, dari depan gerbang kudengar ada sepeda motor terhenti namun tak kudapati seseorang membuka pintu gerbang. Perihal siapa pengguna sepeda motor itu, saya tak tahu, dan hal itu jujur membuatku semakin paranoid.


 


“Lebih baik kumatikan telepon ini,” kataku dalam hati. Namun belum sempat saya tutup, dari arah pintu kos, kudengar ada kunci yang diputar.


 


“Siapa itu?” tanyaku dalam benak. Dan betapa bahagianya saya ketika kudapati seseorang keluar dari dalam kos. Tanpa pikir panjang dan belum sempat kumatikan teleponku, kulontarkan sapa pada sosok yang gres keluar itu.


 


“Permisi. Siapa ya?” Langkah itu terhenti sempurna di hadapanku ketika kulontarkan sapa tadi. Aku berusaha mengenali langkah itu, namun ingatanku belum bisa mengenalinya. Namun sebuah kalimat singkat yang sosok itu lontarkan, akhirnya membuatku bisa mengenali sosok itu.


 


“Tyas ya?” kataku dengan yakin. Ya, tentu kuyakin seratus persen bahwa sosok itu ialah Tyas, mahasiswa semester dua asal Pekalongan.


 


“Iya, Mbak…”


 


“Kamu ngapain disini, Yas?”


 


“Mau ngambil delivery, Mbak…”


 


Ah, rupanya sepeda motor yang tadi terhenti ialah delivery yang mengantar makanan milik Tyas. Aku tentu bahagia, meski rasa takutku masih ada ketika Tyas memberikan padaku bahwa di dalam kos sangatlah sepi.


 


Kami pun masuk ke dalam bersamaan. Ia bertugas mengunci pintu, sementara saya naik ke lantai dua dan siap masuk kamar. Namun, ketika hendak naik ke lantai dua, bulu kudukku berdiri. Tak ada apa-apa, kuyakin tak ada apa-apa. Namun entah mengapa semenjak kemarin, tempat akrab tangga menjadi tempat yang membuatku merinding. Buru-buru kulangkahkan kakiku menaikki tangga. Beberapa kali nayris kakiku terselip di tangga lantaran saking terburu-burunya naik. Beruntung saya tak hingga terselip dan jatuh menggelundung ke bawah. Sesampainya di lantai dua, angin berhembus menerpa wajahku. Angin itu terasa sejuk namun saya tak suka. Entah mengapa, beberapa hal di dalam kos, menyerupai angin yang sudah biasa masuk dari loteng dan merayap menuruni tangga menuju lantai dua, khusus semenjak kemarin hingga hari ini terasa berbeda dan menyebalkan.


 


Dengan cepat saya menuju kamarku yang berada di ujung lorong. Agar tak jatuh tersandung barang-barang, tangan kananku berpegangan pada jendela kamar-kamar yang kulewati. Hingga akhirnya saya hingga di kamarku. Buru-buru kubuka pintu kamar, namun semakin saya terburu-buru, kunci itu tak berhasil masuk ke lubangnya. Tenang, tenang, saya harus tenang. Akhirnya sehabis kuatur nafasku, kukendalikan diriku, kunci itu berhasil masuk dan pintu pun terbuka.


 


Bruk! Aku menutup pintu kencang-kencang. Buru-buru kulempar tubuhku di atas kasur. Boneka koala besar yang menghuni pojok kasur pun saya tarik dan kupeluk. Sesaat kemudian, saya terlentang menghadap langit-langit kamar. Aku menarik nafas, mencoba melupakan segala yang terjadi beberapa waktu tadi. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Pikiranku menerawang pada ketakutan tak masuk nalar yang kubawa semenjak kemarin.


 


“Kenapa saya ini?” tanyaku pada diri sendiri.


 


“Kenapa saya takut sama Mbak Mona?”


 


“Kenapa?”


 


Bukankah dia sahabat kos yang baik?”


 


“Dia bukan hantu kan? Lantas kenapa saya takut?”


 


“Apa yang perlu ditakuti dari sosok yang kerap membantu mengangkat barangku, membukakan pintu kos bila penjaga kos sedang tak ada dan sosok yang ramah itu? Kenapa? Kenapa dengan Mbak Mona?”


 


Bukankah dia cantik? Bukankah dia bukan hantu? Lantas kenapa takut?” Aku terus melemparkan pertanyaan pada diriku sendiri.


 


Kemarin, sempurna pada tanggal 4 April 2014, saya mendengar kabar dari salah seorang sahabat kosku. Ia memberitahuku bahwa Mbak Mona, salah satu sahabat kos, tengah koma di rumah sakit akhir kecelakaan. Ya, mahasiswa jurusan kesehatan itu tengah terbaring koma, bahkan temannya yang juga berada dalam kecelakaan itu harus rela menghadap Tuhan lebih dulu. Sebetulnya tak ada alasan buatku untuk takut. Namun, teman-teman di kampus sudah terlanjur merasuki pikiranku, jadinya saya selalu membayangkan yang tidak-tidak. Betapa tidak, sahabat Mbak Mona yang meninggal itu bahwasanya kerap main ke kosku, dan gosip itu eksklusif dimanfaatkan teman-temanku untuk menakut-nakutiku.


 


“Biasanya jikalau orang meninggal lantaran kecelakaan, arwahnya gentayangan ke tempat-tempat yang biasa dia datengi lho. Apa lagi dia sering main ke kosmu, niscaya sering tiba tuh arwahnya,” Mendengar kalimat itu tentu saya eksklusif bergidik ngeri. Belum lagi kalimat lain yang tak kalah menakutkan.


 


“Mbak Mona kan koma, nah biasanya orang koma itu arwahnya keliaran kemana-mana. Udah niscaya arwahnya keliaran ke kosmu, kan disitu tempat ia menghabiskan hari-harinya…”


 


Ah, saya jadi gila mendengar kalimat-kalimat yang angker itu. Sejak kabar itu kuterima, saya eksklusif kacau. Tubuhku selalu gemetar. Aku tak karuan. Aku bahwasanya aib dengan apa yang kulakukan, namun saya tak sanggup berbuat apa-apa. Rasa takutku terlalu besar. Aku tak bisa melawan rasa takut yang tak beralasan itu. Ah, sungguh saya malu, lantaran rasa takut itu hingga membuatku menangis di depan kos dan nyaris menggelinding di tanga. Sampai detik ini, saya masih berbalut rasa takut, dan entah kapan akan berakhir.


 


Sejak hari Jum’at hingga hari Minggu, kosan memang sepi. Banyak penghuni kos yang pulang kampung, termasuk penjaga kos yang orisinil Demak. Dengan kondisi kos yang sepi, ditambah kabar mengharukan perihal kecelakaan yang menimpa sahabat kosku, tentu saya jadi kurang nyaman di kos. Maklum saja, di lantai dua hanya ada saya dan Rizki, selebihnya kamar-kamar ditinggalkan pemiliknya. Tak jauh dengan lantai dua, lantai satu pun kosong melompong, hanya segelintir anak saja yang ada disana. Kapan kosan kembali ramai? Aku sudah tak sabar. Aku terlalu tersiksa dengan perasaan takut yang kucipta sendiri…


 


–          Nakula Raya 2, Semarang –


 


Foot note :


Terus wae gembenge digede-gedeke artinya “Terus saja cengengnya dibesar-besarkan”


 



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kenapa Takut???"