Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemesraan Antara Kampus Dan Disabilitas

Semarang – Belum usang ini, dunia pendidikan tinggi di Indonesia digemparkan oleh adanya persyaratan non-disabilitas pada SNMPTN 2014. Pada beberapa agenda studi untuk rumpun IPA maupun IPS, terdapat pencantuman persyaratan tidak Tunanetra, Tunarungu, Tunadaksa maupun Buta Warna. Hal tersebut tentu saja menjadikan reaksi dari banyak sekali pihak, khususnya dari kalangan disabilitas lantaran dianggap sebagai diskriminasi. Namun, dari gejolak yang muncul di antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN), pemerintah, dan penyandang disabilitas, di salah satu sudut Indonesia justru sedang tercipta sebuah ‘kemesraan’ di antara Perguruan Tinggi dan penyandang disabilitas.


Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), itulah nama sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kota Semarang yang tengah membuat nuansa ‘mesra’ bersama penyandang disabilitas yang tengah menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta tersebut. Tepat pada hari Kamis (20/03), Udinus mengundang mahasiswa Tunanetra di kampusnya untuk menjadi narasumber dalam seminar yang bertajuk “How to Achieve Success”. Dari lima orang mahasiswa Tunanetra yang berkuliah di Udinus, hasilnya terpilih tiga orang yang menjadi narasumber. Ketiga mahasiswa dengan kendala penglihatan tersebut ialah Eka Pratiwi Taufanti, Ari Triono, dan Tri Rizki Wahyu Djari. Mahasiswa-mahasiswa tersebut menempuh pendidikan di Fakultas dan agenda studi yang sama yaitu Fakultas Ilmu Budaya dengan Program Studi Sastra Inggris.


Dalam seminar yang diselenggarakan dalam rangkaian Pekan Ilmiah dan Seni Udinus, ketiga mahasiswa Tunanetra yang hadir tersebut diminta membagi pengalaman seputar prestasi, kendala yang dijumpai selama menempuh pendidikan, dan tentu saja membagi sedikit pengalaman wacana ketunanetraan yang dimiliki. Ketiganya tentu antusias membagi pengalaman mereka, begitu pun dengan penerima seminar yang hadir di ruangan yang menampung lebih dari 300 orang tersebut.


Seminar yang dirancang dengan nuansa talk show tersebut dimulai dengan sesi perkenalan narasumber dengan penerima seminar. Kemudian talk show dilanjut dengan perjalanan hidup mereka hingga hasilnya hingga ke Udinus. Satu persatu ketiga narasumber tersebut memaparkan pertanyaan yang diajukan oleh moderator.


“Selama ini Tunanetra dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Oleh lantaran itulah saya ingin mengambarkan kepada masyarakat bahwa Tunanetra pun bisa berprestasi dan menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi,” ungkap Ari Triono yang saat itu menjadi pembicara yang pertama kali menjawab pertanyaan moderator.


Sementara itu, gadis kelahiran Papua, yang biasa disapa Rizki, mengaku bahwa ia menentukan Udinus dan Sastra Inggris lantaran ingin menguasai Bahasa Inggris sebagai modal untuk menjadi musisi internasional.


“Saya bersama-sama ingin menjadi musisi internasional. Oleh lantaran itu, saya harus bisa berbahasa inggris. Dan saya mengganggap bahwa Udinus ialah tempatnya,” ungkap Tri Rizki.


“Sebetulnya dulu saya pernah mendaftar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), tapi saya gagal,” lanjut gadis yang duduk di semester dua tersebut.


Seiring berjalannya talk show, suasana di ruangan terasa tenang namun memancarkan antusiasme dari para penerima seminar. Hal itu terbukti dari riuhnya tepuk tangan penerima seminar kepada ketiga narasumber yang hadir tepat saat ketiganya memaparkan prestasi yang dimiliki. Untuk Eka Pratiwi Taufanti dan Ari Triono mempunyai prestasi di bidang akademik menyerupai indeks prestasi dan juga karya tulis yang kerap mereka susun. Pada semester silam saja, Eka Pratiwi Taufanti berhasil memperoleh indeks prestasi 3,91, sedangkan Ari Triono berhasil memperoleh 3,85. Sementara itu, Tri Rizki memaparkan prestasinya di bidang musik dan juga akademik saat masih menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan di Solo.


“Saya pernah menjadi perwakilan di tingkat provinsi untuk bermain Gitar dan juara favorit untuk vokal. Tapi tahun kemudian saya menerima juara I dalam kontes menyanyi di Semarang. Selain itu, saat Sekolah Menengah kejuruan dulu, saya pernah ikut olimpiade matematika tingkat nasional di Manado. Ya itu olimpiade khusus disabilitas, tapi saya senang lantaran berhasil hingga tingkat nasional meskipun saya tidak menjadi juara,” ungkap Rizki yang kemudian dijawab dengan riuh tepuk tangan dari para penerima seminar.


Tak hanya itu, Rizki pun memaparkan keahliannya dalam bermain musik menyerupai Biola, Gitar Klasik atau pun Akustik, Drum, dan juga Piano. Ia mengaku bahwa keahliannya tersebut diperoleh saat ia tak mempunyai acara pasca ketunanetraan yang diterimanya tahun 2008 silam. Kemudian, skill bermusiknya tersebut semakin diasah saat ia menentukan sekolah kejuruan seni di Solo. Ketika itu ia menentukan konsentrasi pada Biola. Oleh lantaran itulah kini ini ia piawai memainkan banyak sekali alat musik, khususnya Biola.


Sebelum talk show dimulai, penerima seminar disuguhi oleh penampilan apik dari Tri Rizki Wahyu Djari yang bermain Biola. Pada kesempatan tersebut, ia memainkan instrumen lagu “My Heart Will Go On” dari Celin Dion. Karena ukiran biola yang dimainkan oleh gadis berkulit sawo matang tersebut, penerima seminar menjadi tersentuh dan hanyut dalam suasana, bahkan tak jarang dari mereka hingga menitikkan air mata. Pada kesempatan sebelumnya, Tri Rizki bersama-sama telah menampilakan kepiawannya bermain biola dalam agenda pembukaan Pekan Ilmiah dan Seni Udinus pada hari Rabu (19/03). Pada agenda pembukaan tersebut, banyak dosen dan mahasiswa yang hadir merasa tersentuh dengan permainan biola gadis yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB-a) di Solo tersebut.


Seminar bertajuk “How to Achieve Succsess” ini memang dikhususkan kepada seluruh mahasiswa di Udinus biar termotivasi dan mau berprestasi di segala bidang yang mereka minati. Oleh lantaran itulah, mahasiswa Tunanetra di Udinus yang merupakan mahasiswa minoritas di kampus berbasis IT tersebut dijadikan salah satu pemompa motivasi mahasiswa lainnya. Pihak Udinus beranggapan bahwa di antara kesulitan para mahasiswa Tunanetra dalam belajar, nyatanya mereka sanggup berprestasi layaknya bahkan lebih berprestasi dari mahasiswa non-Tunanetra. Sebetulnya yang menjadi narasumber tak hanya mahasiswa Tunanetra saja, melainkan ada mahasiswa Udinus lainnya yang juga berprestasi. Mereka ialah tim dari Game Matematikan, pemenang desain motif batik, tim robotic, dan tim animasi layang-layang. Keempat tim tersebut merupakan para pemenang tingkat nasional di bidangnya masing-masing. Dan salah satu dari keempat tim tersebut, yaitu tim animasi layang-layang, pada hari Jum’at (21/03) bertolak ke Jepang untuk memenuhi seruan beasiswa dari kedutaan Jepang demi berguru animasi di negeri sakura tersebut.


Pada sesi sesudah tim Robotic, Tri Rizki kembali hadir di atas panggung untuk membawakan sebuah lagu berjudul “Rindu” milik Agnes Monica. Tanpa iringan musik dari orang lain, Rizki membawakan lagu tersebut seraya bermain keyboard. Dan di final talk show, moderator membacakan goresan pena yang dibentuk oleh Eka Pratiwi Taufanti dimana potongan goresan pena tersebut hasilnya membuat seluruh yang hadir dalam ruangan tersebut berderai air mata, tak terkecuali dosen yang hadir.


Penggalan goresan pena tersebut :


“Aku tentu gembira dan senang dengan apa yang kudapat kini ini. Memang yang kudapat ini belum apa-apa bila dibandingkan dengan teman-teman lainnya, namun saya tetap bersyukur lantaran meskipun saya harus tinggal berpisah dengan orang tuaku yang berjualan pecel serta nasi di luar jawa, namun saya bisa tetap melanjutkan pendidikanku. Pelita di kedua mataku kini memang telahtiada , terganti gulita yang sesakkan dada. Namun berkat rasa syukur dan mimpi yang mberpijar dalam jiwa, gulita itu seolah bukan apa-apa. Pelita lain, pelita gres yang lebih benderang dari cahaya optic pada indera penglihatanku kini berpijar, menyinari kehidupan seorang anak insan yang dianugerahi sebuah ketunanetraan, seorang anak insan yang meski mempunyai keterbatasan namun tetap mempunyai mimpi sebesar bahkan lebih besar dari mereka; individu-individu yang tepat secara fisik. Seseorang dengan keterbatasan nyatanya sanggup menembus keterbatasan tanpa batas, berlari mengejar mimpi dengan keyakinan penuh dalam hati. Bagiku hidup ialah berawl dari mimpi, maka jangan takut bermimpi lantaran saat kita takut bermimpi, kehidupan ini tak akan ada untuk kita. Kuncinya, nrimo dengan takdir yang ada and do believe that God will give a hand for us!!”


Dari apa yang telah dilakukan Udinus sekiranya sanggup mengambarkan bahwa kehadiran disabilitas di Perguruan Tinggi sedikit banyak membawa manfaat, motivasi serta prestasi yang sanggup ditularkan kepada mahasiswa lainnya. Dari apa yang terlihat, sekiranya masyarakat non-disabilitas tak lagi mencurigai disabilitas untuk berperan dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan. Dari ketiga mahasiswa Tunanetra tersebut, sekiranya sanggup membuka mata, telinga, pikiran serta hati para elemen terkait di perguruan tinggi bahwa keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas yang kerap dianggap sebagai sebuah kesulitan, sejatinya sanggup dicari jalan keluar dan sanggup diatasi dengan banyak sekali cara yang reasonable, dan justru bukan dengan larangan atau pembatasan dalam menempuh pendidikan.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kemesraan Antara Kampus Dan Disabilitas"