Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hidupku, Pilihanku

Fiza, begitulah keluarga, teman-teman dan guruku memanggil. Pergi ke kampus untuk kuliah, kemudian ke panti asuhan untuk mengajar, kemudian berguru mengaji di sebuah rumah ustadzah di sekitar rumah ialah rutinitasku. Di kampus saya berguru ihwal matematika bersama angka-angka yang membosankan, rumus-rumus yang absurd bagiku, namun cukup mengejutkan dengan melaksanakan pembuktian dan juga teorema-teorema yang membuatku merasa mual. Semua itu begitu mengasyikkan dikala sanggup diaplikasikan. Salah satunya dengan mengembangkan pengetahuan bersama mereka, bawah umur panti asuhan. Bosan dengan kehidupan dunia yang melelahkan pikiran, mulailah di malam hari saya mengikuti kegiatan mengaji untuk mengisi hati semoga tidak ada lagi kehampaan, berharap esok hari akan lebih menyenangkan.


Begitulah kehidupanku sehari-hari. Aku berasal dari keluarga yang sederhana, mempunyai abang yang cukup menguasai bidang agama tapi tak kalah pandai di bidang perhitungan ibarat matematika, akutansi maupun fisika, sehingga mungkin jiwa itu menurun pada diriku juga.


***


Suatu dikala saya merasa ada yang kurang dalam hidup ini. Semua yang kulakukan tidak ada yang berbeda, berulang dengan rutinitas yang sama sehingga terasa begitu membosankan. Aku pun mencoba untuk menjadi relawan di salah satu  kegiatan “peduli disabilitas”. Kegiatan tersebut diadakan oleh teman-temanku yang telah bergabung dengan komunitas disabilitas dari luar kampus. Aku mulai bertanya-tanya apakah saya bisa berinteraksi baik dengan mereka, para penyandang disabilitas (pendis)? Apakah saya bisa menjadi sobat yang menyenangkan baginya? Ataukah saya akan membuatnya merasa sakit hati dengan perkataanku? Mungkinkah mereka akan merasa enggan denganku? Semua itu muncul dari dalambenakku. Bagaimana tidak? Karena selama ini saya hanya berinteraksi dengan insan dengan keadaan fisik yang sempurna, mempunyai sepasang bola mata yang bisa menatap lawan bicaranya, satu verbal untuk bercakap, dua oleh-oleh untuk berjabat dansepasang kaki untuk berjalan bersama. Dapatkah saya berteman baik dengan mereka yang tidak mempunyai salah satu dari semua kemampuan itu?


Jawabannya ialah YA, saya niscaya bisa! Aku harus mencobanya, bisa jadi saya akan banyak berguru dari mereka yang mempunyai motivasi dan usaha hidup yang lebih besar dibandingkan kita.


Sekarang pertanyaanku selanjutnya ialah kalau saya terlibat dalam kegiatan ini, kemungkinan besar seterusnya saya akan terus aktif di kegiatan peduli disabilitas semacam ini. Orangtua, guru, dan kakakku pernah berkata, di mana kau sering berada disitulah kemungkinan jodohmu akan bertemu jua. Mungkinkah saya akan mendapatkan jodoh seorang tuna netra, tuna rungu, ataukah tuna daksa? Entahlah, saya ragu dengan hal itu. Niatku hanya untuk memperluas jaringan sosial dan menambah sobat sebanyak-banyaknya. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi kalau salah satu di antara mereka menjadi jodohku, mungkin akan sangat mengejutkan bagi keluargaku.


***


Setelah niscaya menjadi relawan di program tersebut, kami pun merencanakan semua hal mulai dari persiapan acara, mulai dari siapa yang menjadi pembicara, bahan dan susunan acara, siapa saja media partner dan sasaran sponsorship, serta yang terpenting yaitu berapa budget yang diharapkan untuk program tersebut.


Aku menjadi relawan di bagian Humas yang bertugas menghubungi beberapa pembicara untuk mengisi program tersebut. Di sinilah bagian yang menciptakan hidupku menjadi berbeda. Dari 5 orang pembicara yang saya hubungi, ternyata ada 1 orang pembicara yang berasal dari pendis, ia ialah seorang tuna netra, Azam namanya. Aku dibentuk tercengang oleh kata-katanya yang lembut dan berkharisma. Ini ialah pertama kalinya untukku berkomunikasi dengan pendis. Aku tidak menyangka bahwa ia sanggup melaksanakan apa yang saya lakukan. Suaranya pun terdengar sangat halus. Loh?! Apa hubungannya ya, tuna netra dengan bunyi halus?? Bodohnya diriku selama ini.


Tidak berhenti hingga di situ kekagumanku. Ketika program berlangsung, saya melihat dengan mata kepalaku sendiri ia menjadi pembicara di tengah-tengah penerima yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, yang lebih renta darinya, para laki-laki dan perempuan sampaumur seusianya. Ya, mungkin ia ialah seorang tuna netra, tapi itu tidak mengakibatkan dirinya berputus asa. Ia bisa melaksanakan hal yang selama ini saya lakukan ibarat memakai hp untuk berkomunikasi dan juga komputer untuk belajar. Bahkan mungkin ia lebih high technology dari pada aku. Untuk yang ke dua kalinya saya merasa aib dengan dugaanku selama ini ihwal dirinya.


***


Kegiatan tersebut pun berakhir, namun kekerabatan saya dengan beliau masih berlanjut alasannya ialah saya benar-benar masih merasa ingin tau dengan dirinya, sehingga saya pun sering menghubunginya. Kita seringkali mengembangkan kisah ihwal pengalaman hidup kita masing-masing. Aku tidak sungkan menceritakan keadaan lingkunganku yang selalu terlihat normal secara fisik namun tampaknya kesempurnaan bukan segalanya. Toh semakin bertambahnya usia maka kekuatan fisik juga akan semakin melemah dan kita tidak pernah tahu kapan Dia akan mengambil salah satu dari yang kita miliki ini.


Kebiasaan saya bertemu dan berinteraksi dengan orang normal menciptakan diriku merasa sungkan dan gundah kalau bertemu dengan pendis. Akhirnya ia pun menceritakan apa yang harus saya lakukan bila bertemu dengan pendis, khususnya tuna netra. Aku harus bertanya terlebih dahulu apakah tunet tersebut butuh bantuan? Karena bisa jadi ia bisa melakukannya. Jika bertanya sebaiknya sentuh ia untuk membuktikan bahwa kita sedang bercakap dengan dirinya. Kami juga sering berdiskusi mengenai ilmu pengetahuan dan pendidikan alasannya ialah kebetulan kami berasal dari jurusan yang sama yaitu pendidikan. Hanya saja saya Pendidikan Matematika sementara ia Pendidikan Bahasa Inggris. Begitulah kira-kira kekerabatan pertemanan yang dimulai dari sebuah kegiatan antara saya dan dia. Mungkin alasannya ialah usia kita yang selisihnya tidak terlalu jauh, hanya 5 tahun membuatku merasa nyaman dengan dirinya.


***


Tiga tahun tak terasa pertemanan antara diriku dan dirinya telah berlalu. Suatu dikala ia mengajakku untuk bertemu di final pekan alasannya ialah merasa sudah usang tak berjumpa. Saat bertemu dengannya entah kenapa saya merasa sangat senang dan ibarat merasa ada yang berbeda pertemuan ini dengan yang sebelumnya. Saat berjumpa tiba-tiba saja ia berkata “Do you want to marry me?”, “Hah?!” Aku dibentuk terkejut olehnya. “Are you kidding me? Or is it real?”, saya masih tak percaya. Entahlah, apakah saya harus merasa senang dengan keadaan ini alasannya ialah beliau ialah lelaki pertama yang berani menyampaikan secara pribadi rasa cintanya kepadaku. Bukan hanya kekerabatan yang tidak kasatmata tanpa status atau bahkan berpacaran, tapi sebuah kekerabatan yang benar-benar serius di atas ikatan “Pernikahan” untuk menjalin rumah tangga. Di sisi lain, saya merasa gundah bagaimana menjelaskan semua ini kepada keluargaku? Akhirnya saya pun meminta waktu untuk memperlihatkan tanggapan secara niscaya kepadanya. Satu bulan mungkin cukup bagiku untuk meyakinkan keluargaku.


Sepulangnya dari pertemuan itu, saya pun tidak pribadi pulang ke rumah, tapi saya tiba ke rumah kakakku yang telah berkeluarga. Ia ialah abang yang terdekat denganku dari pada kakakku yang lain. Aku iseng bertanya kepadanya, “Kak, kalo seandainya saya punya suami yang pendis gitu, entah tuna netra, atau tuna rungu, gimana? Tapi beliau pinter juga ko dan rajin banget?” kakakku pribadi menjawab “Hah?! Kamu mau buat mama jantungan?” seketika kita berdua termenung dan kemudian tertawa bersama hahahahaha. “Ya sudah, berdoa saja yang terbaik kalau memang itu jodohnya, ga apa, tapi sekedar saran saja, kalau bisa cari yang agamanya satu pedoman alasannya ialah kalo berbeda akan sulit untuk menyatukan dua pedoman yang berbeda. Mungkin kau bisa saling bertoleransi dengan suamimu, tapi dengan keluarganya belum tentu bisa. Menikah itu kan tidak hanya menyatukan sepasang manusia, tapi juga dua keluarga”, begitulah pesan serius darinya.


Aku pun mulai berpikir bagaimana cara menciptakan keluargaku bisa menerimanya. Aku yakin mereka bisa menerimanya secara fisik alasannya ialah semua itu ialah ciptaan Allah, hanya saja butuh waktu dan argumentasi yang baik apakah ia benar-benar bisa menjadi Imam dikehidupanku. Akhirnya saya pun memulainya dengan menceritakan pengalamanku berorganisasi dengan pendis-pendis. Sedikit demi sedikit saya memasukkan tokoh Azam dalam ceritaku. Menceritakan pengalaman hidup, kuliah, kegiatan, dan pekerjaannya sekarang. Tapi saya masih mengurung diri untuk menceritakan niatan beliau untuk meminangku.


Dua ahad berlalu, waktuku tinggal 2 ahad lagi untuk memperlihatkan tanggapan kepadanya. Aku pun menghubungi salah satu sahabat kuliahku, Dyta dan menceritakan semua ini kepadanya.


“Dyt, gimana ya kira-kira untuk sanggup meyakinkan keluargaku?”


“Yaudah, yang penting kini diri kau sendiri yakin tidak dengan dia?”


“Iya, udah yakin kok. Udah sholat istikharah pula dan bermimpi bertemu dengannya. Wallahu ‘alam itu beneran dari Allah atau alasannya ialah saya selalu memikirkannya”.


“Oke, kalau begitu kini coba kau utarakan mengapa kau menentukan dirinya? Terutama alasannya ialah ia ialah seorang tuna netra kenapa itu tidak dilema bagi kamu?”


“Heeem. alasannya ialah saya merasa ia juga sama dengan kita yang normal, ia sanggup berguru dengan baik, bekerja, berkomunikasi, apalagi?”


“Bagaimana dengan melihat? Banyak di luar sana lelaki yang juga bisa belajar, bekerja, berkomunikasi dan melihat dengan sempurna? Kamu harus punya alasan yang berpengaruh juga?”


“Heeem begitu ya..” berpikir sejenak


“Oalah Dyt, masih ingat gak sms yang dulu pernah saya kirim ke kamu. Kira-kira begini ceritanya, suatu dikala kau berjalan di sebuah ladang flora bunga yang luas dan indah sekali. Lalu kau diperintahkan untuk berjalan tanpa bisa kembali lagi dan hanya dibolehkan untuk memetik 1 dari sekian bunga yang terindah dan cantik. Kamu pun berjalan sekitar 10 meter dan tertegun dengan kecantikan sebuah bunga, tapi kau enggan mengambilnya alasannya ialah berpikir mungkin nanti akan ada lagi bunga yang lebih cantik. Lalu, kau berjalan lagi 10 meter dan menemukan bunga yang indah dan cantik, tapi sayangnya tidak secantik ibarat di awal, hingga kau tetapkan untuk berjalan lagi. Kemudian kau berjalan lagi dan menemukan sebuah bunga yang juga elok tapi tak semenawan bunga sebelumnya hingga kesannya kau berjalan lagi. Sesampainya di ujung ladang bunga tersebut, kau belum memetik bunga alasannya ialah merasa yang terindah ialah yang di awal, tapi itu sudah terlalu jauh dan tidak bisa lagi untuk kembali. Begitulah kira-kira hidup, kita tidak akan pernah merasa puas, jadi lebih baik kita mensyukuri yang ada.”


“Alasan yang bagus, tapi gimana kalau tiba-tiba aja orangtua kau menjodohi kau dengan lelaki yang menurutnya lebih baik secara fisik secara bersamaan?”


“Heeeem” berpikir sejenak


“Entah kenapa saya yakin dengan dirinya. Kenapa orang lain hanya melihat dari fisiknya? Apakah sukses atau tidaknya seseorang hanya dilihat dari fisiknya? Toh lama-kelamaan semakin bertambah usia kita juga akan sama dengan dirinya yang kehilangan penglihatan dan kekuatan. Aku juga yakin alasannya ialah Allah sendiri yang berjanji akan meninggikan derajat orang-orang yang BERIMAN dan BERILMU di Alquran surat al-mujadalah ayat 11. Aku merasa kita satu keyakinan dan saya yakin beliau berilmu. Kaprikornus dikala kita bersatu untuk tujuan ibadah, saya yakin Allah akan memudahkan jalan kita”.


“Siip. itu gres terlihat dirimu sangat yakin dengannya”.


“Oh ya?, thanks, Dyta. Kamu udah membantuku dalam berpikir. Oke, saya akan ungkapkan apa yang kita bicarakan ini kepada keluargaku. Semoga mereka bisa menerimanya”.


“Oh ya, Za, kau ga takut kalau nanti anakmu akan tuna netra juga ibarat ayahnya?”


“Heeeem, enggak tuh. Kita nggak pernah tahu apakah kalau saya menikah dengan seorang yang normal , maka akan normal pula anaknya. Semua itu ialah kehendak-Nya. Justru saya akan sangat bersyukur kalau saya punya seorang anak yang tunet saya ga akan kaget lagi alasannya ialah saya sudah terbiasa hidup dengan tunet suamiku dan beliau  yang akan pribadi membimbing anaknya. Coba kalau suamiku normal, saya normal, anak kita tunet niscaya kita akan shock dan gundah bagaimana merawat dan mendidiknya.”


“Oooh iya juga si, pinter-pinter”


“Sudah dulu ya Dyt,  aku sudah tak sabar untuk mengkomunikasikannya dengan keluargaku”.


“Iya, good luck ya! jangan lupa berdoa dulu”


“Siip. thanks”



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Hidupku, Pilihanku"