Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bias Danau Cinta (Part Ii.)

BAB II. Ruang aula asrama itu tampak berbeda sekali dari sebelumnya. Didesain mirip kelas dengan meja-meja berderet memenuhi ruangan. Ada sekitar 25 kursi dengan masing-masing terdiri dari dua kursi. Di atas meja tampak seperangkat komputer, lengkap dengan headphone dan speaker. Kudengar bunyi beberapa sahabat di asrama dan beberapa orang yang tak kukenal, riuh saling bicara mengobrol seputar kegiatan pelatihan. Mungkin tidak semua akseptor direkrut dari asrama, lantaran banyak pula akseptor dari luar sepertiku yang antosias mengikuti training andal ini. Hampir seluruh akseptor yang berjumlah 50 orang tunanetra ini didominasi oleh mahasiswa dan alumni. Sengaja untuk kelompok mahasiswa disediakan waktu sore dikarenakan pagi dan siang harus beraktifitas di kampus dan tempat kerja. Sedangkan waktu pagi diperuntukan untuk pelajar dan guru yang ada di lingkungan asrama. Sebelum dimulai, kami diberi nomor akseptor dimana satu meja akan digunakan oleh dua orang. Sayang saya tak berpasangan dengan Tri, beliau duduk jauh di meja nomor 18 sedangkan saya menerima pasangan seorang cewek imut berjulukan Nensi dengan nomor meja 03. “Jangan khawatir Nir! Nensi orangnya baik kok!” Bisik Tri sambil meninggalkan mejaku. “Baiklah! sebelum dimulai, silahkan berkenalan dengan sahabat semejanya lebih dahulu! semoga ketika training kita sanggup menjalin kerjasama yang baik satu dengan lainnya!” Begitu instrupsi dari salahsatu instruptur berwibawa melalui Mikrofon di depan kelas. “Hai! saya Nensi! kau siapa?” Selesai instrupsi itu Nensi menyalami tanganku. Kurasakan tangannya yang halus dan sikapnya yang ramah membuatku tak ragu dalam berkomunikasi. “Saya Nirina.” Jawabku disambung senyum. Dari perkenalan itu saya mengenal Nensi sebagai pribadi yang baik, supel dan ramah. Dia tinggal di sebelah kamar Tri. Aku memang gres mengenalnya lantaran kami jarang bertemu. Sejak saya ikut mencar ilmu orientasi mobilitas dan menulis Braille di asrama, Nensi tengah sibuk dengan persiapan masuk perguruan tinggi tinggi. Pagi-pagi sudah meninggalkan asrama dan sore hari gres pulang justru ketika saya sudah kembali ke rumah. Mahasiswi semester lima Unpas itu selain smart juga sangat kritis. Dapat terlihat dari begitu aktifnya beliau dalam bertanya selama training berlangsung. Dia bahkan tak sungkan membantuku dalam mengoprasikan segala sesuatu pada perangkat komputer. Setelah kami saling berkenalan, maka training itupun dimulai dengan perkenalan oleh tim instruptur yang katanya berasal dari kota kelahiranku itu. Ada sekitar enam orang instruptur yang akan menjadi pengajar selama training berlangsung. Mereka terdiri dari empat pria dan dua perempuan. Hampir keseluruhannya masih berstatus sebagai mahasiswa. Yang pertama memperkenalkan diri berjulukan Riqo. Mahasiswa semester lima sebuah universitas suasta di daerah Tanggerang. Yang kedua berjulukan Dimas. Mahasiswa semester lima sebuah universitas negeri di daerah Depok. yang lainnya yaitu mas Aris, Mas Iwa, mbak Sarah dan mbak Rina. Setelah itu mereka memaparkan pelajaran sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ada yang akan melatih pengetikan, pengenalan jadwal hingga Browsing melalui internet. Sudah kubayangkan bahwa lima ahad ini akan jadi momen petualangan yang amat seru. “Nensi sudah pandai, yah?” Tanyaku ketika kami sudah mulai membuka jendela Microsoft Word. “Siapa bilang? sama mirip kau kok! masih awam dengan barang keramat begini.” Ucapannya selalu saja menciptakan saya ingin tertawa, selain beliau smart ternyata beliau seorang humoris. “Biasakanlah pendengaran kita dengan bunyi pembaca screen terlebih dahulu, sebelum mengetahui lebih banyak jadwal dalam komputer!” Suara instruptur yang namanya mas Aris itu kembali terdengar. “Maksudnya apa, yah?” “Maksudnya, kita harus membiasakan mendengar bunyi Jawsnya Nir!” Nensi menambahkan, menciptakan saya mengangguk-anggukan kepala. Sebelum adzan maghrib training hari pertama itupun selesai. Bergandengan Tri saya keluar dari ruang kelas sambil berbincang-bincang seru. Sementara Nensi masih berada di dalam ruangan bersama akseptor lainnya. “Besok jangan telat, yah?” Ujar Tri begitu hingga di parkiran. “Pasti! saya bakal tiba sempurna waktu! besok saya kuliah cuma hingga jam dua kok!””Tri kapan mau main ke rumah Nirina?” Mama menepuk pundak Tri. Sementara yang ditanya cuma cengar-cengir sambil memeluk bahuku. “Kalau begitu kami pamit dulu, yah! Kemudian akupun pulang dengan membawa perasaan senang. “Makasih banget ya, ma? mama udah mau anter Nirina hari ini!” “Tenang aja sayang! untuk kebaikan kau mama niscaya dukung kok!” “Kalau Nirina sudah sanggup komputer boleh gak tabungannya diambil, ma?” “Kenapa mesti buka tabungan? untuk apa?” “Untuk beli komputer lah! biar sanggup ngerjain kiprah di rumah.” Mama tak menjawab, beliau tetap konsen dengan kemudinya. Sementara saya terlena dengan lamunan ke masa yang akan datang. “Besok saya akan ceritakan pengalaman andal ini pada teman-teman di kampus! bukan cuma mereka yang sanggup menggunakan komputer! tapi saya juga bisa!” Seruku dalam hati. Tak terasa kami sudah tiba kembali di rumah. Papa segera menyambutku di depan pintu. “Gimana pelatihannya? seru?” Sebelum saya menjawab mama sudah menyuruhku untuk eksklusif masuk ke kamar. “Ternyata komputernya sama dengan yang biasa kita pakai! hanya diberi bunyi pembaca layar yang membacakan setiap programnya! Suara itu keluar dari speaker mirip kalau mendengarkan musik.” Itu dongeng mama yang disusul dengan decak kagum papa. Aku tersenyum saja lantaran mendapati suasana hati mama yang sudah banyak berubah. “Lihat saja nanti! saya akan punya friendster mirip kalian!” Itu kalimat terakhir ketika saya menceritrakan training itu kepada Jen, Yan dan Nesa. “Iah! kita jadi gak sabar nih! mudah-mudahan pelatihannya lancar, yah!” “Kamu les kan jam empat Nir! kita ke kosan Jen, yuk! ada film baru!” “Yaah! sayang banget saya gak sanggup Nes! soalnya udah janjian dengan teh Alin mau ngerjain kiprah Morfologi. Mumpung dianya lagi bisa!” Aku terpaksa menolak seruan mereka, lantaran memang sudah berjanji siang ini ke kosan teh Alin. Setelah berpisah di pintu gerbang, saya eksklusif menuju tempat kos teh Alin dengan menyusuri gang-gang belakang terminal. Sesampainya di sana dari dalam kamar kudengar teh Alin tengah mengaji. Suaranya yang lemah-lembut dengan bacaan yang fasih, menciptakan air mataku tak ayal menetes. “Sebelum saya tunanetra, saya juga suka ikut pengajian di masjid. teh.” Ucapku begitu teh Alin menutup Al-quran. “Suara Nirina niscaya bagus ketika mengaji.” “Iah. kata orang juga begitu.” Jawabku malu. “Bukankah kini ada Al-quran khusus tunanetra, Nir?” Benar teh, tapi Nirina belum pernah tahu, lantaran jarang banget tiba ke asrama. Tahunya cuma mencar ilmu menggunakan tongkat dan menulis abjad Braille saja. Tiba-tiba fikiranku kembali kemasa ketika tiba ke asrama. Sifat labil mama yang sering menghambat kedatanganku ke sana menciptakan saya banyak tertinggal dari teman-teman tunanetra lainnya. Bagaimana tidak? dalam seminggu mama hanya mengizinkanku dua kali saja untuk menyesuaikan diri dan mencar ilmu banyak hal yang memang sangat penting bagi keberlangsungan hidupku. Ditambah lagi dengan kesibukan mempersiapkan ujian di sekolah, kemudian diketatkan dengan jadwal sesudah kuliah, hampir tak ada lagi waktu untuk sekedar menyapa sahabat-sahabat baikku di tempat itu. “Cobalah bertanya pada teman-teman di sana! siapa tahu ada yang mau memberi informasi, syuqur-syuqur ada yang mau mengajari.” Teh Alin lagi-lagi menyuntikan sesuatu ke dalam diriku. Sesuatu yang selalu mengakibatkan dada ini hangat dilimpahi semangat. “Hai! Nirina!” Aku yang sudah duduk manis di ruang training tiba-tiba dikagetkan oleh tepukan Nensi di pundakku. “Hai! Nens! datangnya telat, yah?” Entah kenapa saya selalu merasa senang kalau bertemu dengan sahabat baruku itu. “Masa sih telat? kan belum dimulai? tuh! para instrupturnya juga masih pada minum kopi di kantin!” Ucapnya polos dengan diakhiri tawa renyahnya. Selagi menunggu dimulainya training kami berbincang-bincang. Aku mendadak teringat ucapan mama ihwal Nensi ketika perjalanan pulang kemarin. “Nensi sahabat gres kau itu cantik, loh! pakai jilbabnya selalu warna-warni! anaknya ceria banget kelihatannya”. Benar saja apa yang dibilang mama Bahwa beliau memang sangat menarik. “Nensi semenjak kapan pakai jilbab?” Tanyaku sebari memegang ujung jilbabnya. “Hm, semenjak SMP, tapiii, jilbab bongkar pasang gitu,” “Maksudnya?” Yaa, pergi sekolah dipasang, pulang sekolah ya dibongkar.” Lagi-lagi saya harus tertawa, geli mendengar gaya bicaranya yang polos. “Yang terpenting dari jilbab itu, bukan cuma soal menutup rambut, menutup aurat, Nir! tapi lebih pada penjagaan dari tindak-tanduk kehidupan kita sehari-hari.” “Oh, jadi? sanggup mubazir dong tuh jilbab kalau gak sanggup menjaga sikap?” Aku menyela ingin lebih tahu. “Bukan mubazir, lantaran menutup aurat itu yaitu kewajiban setiap muslimah. Hanya, kini banyak orang yang tak tahu makna menggunakan jilbab sebenarnya. Orang berjilbab, seharusnya menjadi motifasi untuk selalu memperbaiki perilaku dan sifat. Yang asalnya sering gibah, sering marah, sering menyakiti hati orang tua, maka jilbab dijadikan rem semoga lebih mengontrol itu semua.” Ada perasaan halus yang menyelinap melalui kata-kata cewek itu, eksklusif menembus pertahanan hatiku. Kalau saja Nensi tahu bahwa keinginan berjilbab itu justru jadi bumerang untuk korelasi baikku dengan mama. Tak terasa dua jam training itu berlangsung seakan hanya hitungan menit saja. Begitu Dimas mengucapkan salam epilog saya disergap rasa tak puas hingga berkeluh panjang. “Tenang saja Nir! kita masih punya banyak waktu!” Nensi menghiburku sambil memeluk bahuku. “Tapi saya gres aja melancarkan mengetik Nens! kok sudah selesai lagi yah?” Aku tak lagi sungkan menerangkan sifat rengekanku pada Cewek itu. “Sekarang waktunya pulang, Nir! oya, siapa yang jemput?” “Nah! itu dia, tadi orang rumah SMS, katanya mereka sedang ada acara, mungkin gres dijemput sesudah isya. Jawabku bingung, lantaran SMS mama yang mendadak itu menciptakan saya harus tinggal lebih usang di asrama. Sementara tadi Tri bilang selesai latihan mau mengunjungi temannya di asrama lain untuk mengerjakan tugas. “Ikut saya mau? mengajar ngaji adik-adik di masjid.” Dengan antosias saya eksklusif saja mendapatkan seruan Nensi. Malah dalam hati saya menyambut gembira lantaran dengan begitu sanggup eksklusif mengetahui al-quran Braille yang tadi siang disinggung teh Alin. Benar saja, begitu selesai shalat berjamaah Nensi mengajakku ke sebuah ruangan sebelah Masjid dimana sudah banyak belum dewasa usia SD berkumpul. “Sudah ada orang yang mengajar ternyata,” Kami berhenti di pintu ketika mendengar bunyi seorang lelaki tengah asik mengobrol dengan belum dewasa itu. “Itu suaranya Dimas, Nens!” “Iah! mau apa dia?” Kemudian Nensi mengucap salam dengan sedikit keras, kontan menciptakan semuanya menjawab serempak. “Berhubung sudah ada gurunya, abang pamit yah! mencar ilmu yang rajin!” Lelaki yang ternyata yaitu Dimas salahsatu instruptur komputer itu berpamitan. “Loh? mau kemana kak Dimas? silahkan dilanjut saja! adik-adik juga niscaya senang kok diajari mengaji oleh kak Dimas!” Kata-kata Nensi itu eksklusif disambut seruan bising dari anak-anak. Dalam masjid itu, saya bersandar pada sebuah tiang. Menyimak dua orang sahabat yang tengah berkolaburasi menanamkan nilai-nilai kebaikan pada belum dewasa tegar yang duduk melingkar. Sesekali terdengar tawa dan canda mereka, menciptakan saya iri sekaligus minder. Dari belum dewasa itu mengalir bacaan al-quran. Ada yang sudah begitu lancar, ada pula yang masih terbata-bata. “Di asrama banyak berlatih, yah! seminggu lagi kita ada tes loh!” Nensi mengingatkan seorang anak kelas empat yang membaca alqurannya masih terbata. “Nens! kapan-kapan saya mau diajari membaca Al-quran, bisa?” Akhirnya saya menyampaikan keinginan yang sudah kupendam dalam hati itu kepada Nensi begitu kami keluar dari Masjid. “Tentu saja, Nir! kapan mau mulai?” “Kamu kosongnya kapan?” “Gimana kalau sesudah maghrib? selesai pelatihan! tapi jangan setiap hari, lantaran saya juga harus mengajar adik-adik.” Jawaban Nensi menciptakan perasaanku lega. Dengan begitu mulai terbukalah jalan yang sedang ingin kutemukan. Ternyata kalau kemauan kita baik, akan baik pula jalan keluarnya. “Mulai besok saya hingga isya di asrama, ma?” Aku membuka dialog ketika sudah dalam perjalanan pulang. Saat itu kedua orangtuaku tiba kompak menjemput sepulangnya dari jadwal kantor papa. “Memangnya kenapa? pelatihannya diperpanjang?” “Bukan, ma? tapi Nirina mau mencar ilmu mengaji dulu sama Nensi.” Kali itu saya tak ragu-ragu lagi dalam menghadapi mereka, lantaran merasa sudah banyak perubahan lebih baik dari hari-hari sebelumnya. “Belajarnya satu-satu dulu lah! nanti kalau training komputer beres, kau boleh mencar ilmu yang lain!” Dek!” Jawaban mama lagi-lagi mementahkan harapanku. Kali inipun papa yang biasanya gigih membela hanya terdiam, konsentrasi pada jalanan di depannya. Menyadari situasi sedang kurang baik, akupun tak melanjutkan. Memikirkan cara yang sempurna untuk melobi hati dua orang jagoan nomor satu dalam kehidupanku itu bukanlah hal yang gampang. “Nirina? jadi mencar ilmu ngaji sekarang?” Nensi eksklusif bertanya begitu Mbak Rina menutup training hari itu. “Hm, gimana, yah?” Namun sebelum saya melanjutkan tiba-tiba Handphone dalam tasku berdering, memberitahu ada pesan masuk. “Dari papa? Aku semeringah membaca isinya. “Belajar ngaji yang tenang, yah? jam delapan papa jemput! jjangan lupa makan! beli masakan yang higienis di kantin! Salam sayang untuk anak papa yang salihah!” Suara mister talks yang membaca lancar isi pesan itu menciptakan senyum ini mengembang. Luar biasa papaku ini! ayah nomor satu di dunia, yang akan selalu kuhormati, kusimpan titahnya di atas kepala selamanya!. “Gimana, Nir?” Nensi kembali membuyarkan lamunanku. “Ayo ke masjid sekarang!” Dengan bergandengan tangan kami kemudian berangkat menuju Masjid. Kali ini dalam sujud saya melerai segala kisah menakjubkan yang menghiasi hari-hari. Kuuntai semua harap atas tegarnya diri ini dalam menghadapi setiap persoalan, begitu pula ketika kejutan yang pahit dan manis ini merongrong dalam setiap kesempatan. Allah memang Zat yang Maha baik, direngkuhnya saya dalam peluk hangatNya, disiramnya jiwa kerontangku dengan tetesan cintaNya. Dalam takjub jemari ini mulai menelusuri permukaan ayat-ayat Ilahi, dalam haru bibir ini mulai mengucap kalimah-kalimah suci. Berharap sesudah ini langkahku berada pada tujuan yang benar, menetap pada cahaya yang akan selalu bersinar terang. “Subhanallah! teteh senang banget mendengar Nirina sudah sanggup mengaji! ditambah lagi sudah sanggup mengoprasikan komputer! Subhanallah! Ini kabar luar biasa, Nir!” Teh Alin menggengam tanganku, takjub dengan apa yang gres saja kusampaikan kepadanya. “Pantas Nirina jarang ke kosan, ternyata sibuk belajar, yah?” Aku hanya tersenyum mendengar ucapan itu. “Terimakasih ya, teh! kalau bukan lantaran teteh yang jadi jalan datangnya semangat ini, mungkin saya belum sanggup mengaji hingga sekarang.” Ah, ini pun lantaran kamunya yang selalu punya niat yang kuat, jadi Allah memberi kelancaran. Titip salam buat Nensi dan para instruptur komputer itu , yah, teteh gembira sekali dengan sahabat-sahabat Nirina itu.” “Insya Allah niscaya saya sampaikan teh!” Lalu kamipun terlibat dialog seputar pengalamanku yang sudah hampir satu bulan berlangsung. *** “Kami ucapkan selamat, kepada rekan-rekan yang sudah berhasil menguasai jadwal komputer, yang rekan-rekan dapatkan dengan terus berupaya dengan mengikuti training panjang ini. Semoga apa yang sudah didapat, bermanfaat untuk hal-hal positif dalam kehidupan kita sehari-hari. Terimakasih atas kerjasamanya selama ini, terimakasih lantaran sudah mau konsisten tiba berlatih, mohon maaf atas segala kekhilafan yang tentu banyak dirasakan oleh rekan-rekan semua.” Begitu sambutan terakhir dari Dimas, selaku perwakilan dari semua instruptur, pada sore mengharukan di ruang kelas. Aku dan Nensi juga para akseptor lain, turut mencicipi kesedihan dengan perpisahan itu. Banyak ucapan terimakasih mengharukan dari para akseptor kepada orang-orang andal tersebut, yang telah menularkan ilmunya tentu demi kemajuan para tunanetra negeri ini. “Nirina? jangan putus asa, yah! terus belajar! saya tunggu tulisan-tulisan kau di website Kartunet!” Itu kata Dimas dan Riqo ketika kami tengah bersalaman. “Ia! pasti! saya kirim tulisan-tulisan saya, tapi kalau buruk jangan diketawain, yah?” “Ya enggak dong! masa belum ditulis sudah diketawain?” Kata mas Iwa yang giliran kusalami. Acara penutupan itu berakhir dengan rasa haru. Hampir semua akseptor merasa berat untuk berpisah dengan orang-orang andal tersebut. “Nir! yang rajin yah baca Al-qurannya! semangat terus buat kampanye jilbab sama mama!” Aku memeluk erat Nensi ketika kami menunggu jemputan di pintu gerbang. Tak terasa air mataku mengalir, seolah merasa ini kali terakhir saya bersama sahabatku itu. “Tapi saya yakin, tak usang lagi kau niscaya sanggup pakai jilbab.” “Nanti kalau sudah pakai jilbab, orang pertama yang akan saya temui selain teh Alin yaitu kamu, Nens!” “Ia! saya niscaya jadi orang yang paling bahagia, dan buat jilbab pertama kau nanti, kau harus pakai ini! Selamat ulangtahun, yah!” Sambil tersenyum Nensi menawarkan sebuah pin ke tanganku. Pin itu berbentuk hati, katanya berwarna biru langit, warna kesukaannya. “Pin ini kesayangan kau loh! kok dikasih aku?” Aku terharu lantaran pin ini memang selalu digunakan Nensi untuk jilbabnya. Kali itu beliau harus melepaskannya dan memberikannya padaku sebagai hadiah ulang tahun. Saat orang tuaku datang, saya eksklusif memasuki mobil. Sebelum kendaraan beroda empat melaju kami kembali berjabat tangan. Entah kenapa saya selalu ingin memegang tangan Nensi bahkan ketika papa sudah menyalakan mesin. “Alqurannya mau disimpan dimana, Nir?” Papa tiba ke kamar membawa satu kardus Al-quran Braille. Quran itu dari Nensi, yang entah kenapa beliau ingin sekali memberikannya kepadaku. “Dibaca yah! jangan cuma dipajang di lemari, loh!” Itu katanya ketika papa mengangkut alquran itu ke dalam mobil. Aku hanya terharu sambil berjanji kepadanya. “Di sini saja, pa! di bersahabat tempat tidur!” Kemudian saya berjalan menuju sebuah lemari di sudut kamar. Tiba-tiba tubuhku membentur sebuah meja. “Meja apa ini?” Tanganku kemudian meraba meja itu, dan seketika jantung ini hampir dibentuk berhenti lantaran terkejutnya. “Mama! ini komputer gres punya siapa?” Teriakku pada mama yang sudah bangun di pintu kamar. “Komputer siapa yah? mana mama tahu?” “Komputer orang kalii!” Seru papa yang tengah membereskan al-quran dalam lemari. “Tapi kok disimpan di kamar aku?” Tanyaku lagi sambil berdebar-debar. “Kalau adanya di kamar kau berarti punya kau dong!” Mama dan papa kali ini berseru kompak. Aku eksklusif saja memeluk papa, mengucapkan terimakasih kepada lelaki andal itu. “Tunggu dulu! ada lagi kayaknya benda asing di atas bantal tuh!” Ucap mama sambil tetap damai bangun di belakang papa. Tanganku kemudian reflek menyentuh bantal. Benar saja yang dibilang mama. Di atas bantal ada sebuah bungkusan dari plastik yang isinya eksklusif kukeluarkan. “Lihat pa! Nirina bagus banget ya sama jilbab biru?” Kali ini giliran mama yang kupeluk dengan eratnya. Kutenggelamkan kepalaku yang kini tertutup jilbab di dadanya. “Terimakasih atas hadiah ulangtahunnya, terimakasih, ma? terimakasih, pa?” Tak sadar air mataku mulai membanjiri wajah, diiringi belaian tangan mama saya menangis haru.


*BERSAMBUNG*



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Bias Danau Cinta (Part Ii.)"