Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Analisis Artikel Penerimaan Diri Pada Individu Yang Mengalami Prekognisi (Indigo)

Setelah saya dulu pernah menulis bertema Sukses Merawat Anak Indigo. Kali ini, saya ingin menggali mengenai Indigonya sendiri. Kebetulan, saya menemukan artikel mengenai ini yang sudah diteliti.


Seringkali orang mengalami firasat ibarat akan mengalami suatu insiden mengenai sesuatu yang jelek dimana hal ini dalam Psikologi disebut dengan prekognisi. Pengalaman ini sering membuat kasus individu yang mengalaminya. Ia berada antara ingin bercerita atau membisu saja dengan menyimpannya sendirian. Keadaan ini besar lengan berkuasa pada penerimaan diri individu.


Penelitian ini dilakukan pada subjek yang merupakan seorang perempuan berusia 23 tahun yang memenuhi persyaratan telah mengalami prekognisi tiga kali yang benar terjadi dan dibenarkan oleh pihak ketiga atau yang diberitahukan sebelumnya dan sampai sekarang masih mengalami prekognisi.


Normalnya, insan mempunyai lima indera yang berfungsi untuk mendapatkan informasi wacana dunia sekitar. Diluar lima indera itu, banyak orang meyakini adanya indera keenam.


Orang akan dianggap mempunyai indera ke-enam jikalau bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat, didengar atau dirasakan orang lain (Mendatu, 2007). Jadi, indera keenam berperan sebagai indera untuk menangkap informasi wacana dunia sekitar yang tidak bisa diperoleh dengan indera biasa.


Secara ilmiah indera ke-enam dikenal dengan istilah extra sensory perception (ESP). ESP yakni kemampuan persepsi seseorang diatas panca inderanya (Heaney, 2008). Dalam ilmu psikologi, ESP sebagai salah satu fenomena spiritual dikaji dalam parapsikologi dan psikologi transpersonal.


Psikologi transpersonal telah menawarkan cara pandang yang gres mengenai insan dan kesadarannya. Vaughan Vaughan, Wittine, dan Walsh (dalam Herviana, 2004) menyebutkan empat perkiraan psikologi transpersonal yang salah satunya yakni psikologi transpersonal merupakan proses kebangkitan atau pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro. Psikologi transpersonal menganggap pengalaman spiritual akan membimbing orang menuju pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi. Jadi, sanggup dikatakan bahwa sebagai pengalaman spiritual, ESP sanggup membuat insan menjadi pribadi yang matang.


ESP sendiri terdiri dari tiga hal, yakni telepati, daya terawang jauh, dan prekognisi (Kartoatmodjo, 1995).


Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada prekognisi mengingat penelitian mengenai prekognisi jarang dilakukan dan jarang pula yang mengungkap sisi psikologis dari individu yang mengalami prekognisi.


Guiley (1991) menjelaskan bahwa prekognisi yakni pengetahuan pribadi atau persepsi akan masa depan, yang didapat melalui cara ekstrasensori. Prekognisi sanggup pula terjadi secara impulsif dalam suatu vision, tergambar dalam pikiran, halusinasi auditori, siluet atau bayangan dalam pikiran, dan perasaan “tahu”.


Pengetahuan umum dalam masyarakat menganggap bahwa kemampuan ibarat itu (ESP) hanya dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai talenta istimewa.


Namun, psikologi transpersonal menjelaskan bahwa setiap insan sanggup mengalami fenomena spiritual; secara potensial ESP ada pada setiap manusia, hanya saja dengan tingkat sensitifitas yang berbeda-beda (Radin, 2000).


Tidak banyak orang yang tahu bahwa prekognisi yang didapat kebanyakan mengenai musibah, kecelakaan, dan hal-hal buruk, sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.


Radin (2000) mengungkapkan bahwa banyak orang menawarkan respon secara tidak sadar terhadap sesuatu yang jelek bahkan sebelum hal itu terjadi.


Terjadinya prekognisi ini juga terkadang disertai reaksi fisiologis dari yang ringan sampai ekstrem ibarat pusing, mual, muntah, badan terasa sakit, pingsan, dan lain-lain.


Dalam eksperimennya, Radin menemukan bahwa sebelum sesuatu yang jelek terjadi, seseorang akan mendapatkan suatu perasaan dimana tubuhnya menawarkan respon terhadap emosi yang akan datang, walaupun pikiran sadar tidak selalu menerima pesan itu.


Seorang individu, misalkan ia menerima kabar jelek wacana seseorang, memberi tahu kabar yang ia dapatkan pada orang yang bersangkutan.


Namun, ia justru diejek, dituduh penyebar teror, pembawa sial, dan sebagainya. Banyak yang memandang rendah dan mengucilkan individu yang suka menyampaikan “hal yang tidak jelas” yang tidak diketahui darimana datangnya.


Padahal mereka sendiri resah terhadap kabar yang tanpa sengaja diketahuinya, pun mereka resah apakah sebaiknya memberi tahu kabar tersebut atau tidak.


Ada pula yang menentukan untuk tidak memberitahukan prekognisinya. Namun, dikala ternyata prekognisinya menjadi kenyataan, ia hanya sanggup menangisi dirinya, meratapi dirinya mengapa tidak memberitahukan prekognisinya, meratapi dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa, dan menutup diri.


Mendatu (2007) lebih lanjut mengambarkan bahwa banyak orang khawatir fenomena ESP betul-betul positif ada. Mereka takut mengetahui fakta bahwa hal itu ada di sekelilingnya. Oleh lantaran itu, mereka menolak untuk percaya.


Ketakutan akan kebenaran adanya fenomena psi, mungkin disebabkan beberapa alasan, ibarat contohnya fenomena psi terkait dengan kekuatan jahat, magis atau sihir jahat.


Bagi orang yang mengalami psi, mereka cenderung tidak membicarakan pengalamannya dengan orang lain dengan alasan bahwa mereka merasa pengalaman itu bersifat sangat personal, intim, dan tidak ingin mereka bagi; bahwa mereka tidak mempunyai kata-kata yang memadai untuk menceritakannya; atau mereka ketakutan jikalau orang lain akan melecehkan pengalaman itu atau menganggap mereka tidak waras atau sejenisnya. Hal ini besar lengan berkuasa pada penerimaan dirinya.


Hurlock (1974), menawarkan pandangan bahwa semakin baik seorang individu sanggup mendapatkan dirinya, semakin baik pembiasaan diri dan pembiasaan sosialnya.


Dietz (dalam Kartoatmodjo, 1995) menyebutkan bahwa ESP yakni pengamatan di luar panca indera. Dikatakan pula sebagai gejala-gejala yang subjektif, mental atau intelektual. Secara garis besar Kartoatmodjo (1995) membagi ESP atas:


1. Telepati

Telepati yakni suatu kekerabatan antara kesadaran dua orang atau lebih tanpa adanya derma indera penglihatan.

2. Daya terawang jauh (clairvoyance) Daya terawang jauh yakni kemampuan mengetahui atau melihat insiden atau objek yang sedang terjadi di daerah lain.

3. Prekognisi Prekognisi yakni pengetahuan dan pengamatan (pengalaman) secara pribadi tanpa derma indera yang biasa wacana suatu insiden yang akan terjadi atau wacana orang atau wacana benda yang waktu dan daerah kejadiannya berjauhan.


Radin (2000) mengemukakan beberapa klarifikasi terjadinya firasat (prekognisi) atau prasangka intuitif.

1. Di level bawah sadar (subconscious), individu selalu berpikir dan menyimpulkan sesuatu, tapi hal ini hanya sebagai prasangka bagi pikiran sadarnya

2. Individu menangkap sinyal / instruksi dari bahasa badan dan bunyi subliminal atau citra peripheral tanpa sadar bahwa ia sedang melakukannya

3. Pada setiap insiden kebetulan yang diingat, individu melupakan setiap kali menerima firasat

4. Individu memodifikasi ingatan untuk kenyamanannya, membuat suatu kekerabatan dimana hal itu tidak positif ada

5. Murni lantaran adanya indera ke-enam


Wagner (2004) mengemukakan langkah-langkah yang perlu diambil jikalau mengalami prekognisi, yaitu:

1. Menyiapkan buku harian.

Menulis segala prekognisi yang pernah dialami beserta

waktu dan tanggal ketika mengalaminya.

2. Mengatakan pada orang lain. Ketika seseorang merasa akan mengganggu orang lain

bila menceritakan pengalaman prekognisinya, hal tersebut justru akan menghilangkan bukti penting yang orang lain harus ketahui untuk sanggup mempercayai pengalaman prekognisi tersebut. Apabila prekognisi yang dialami merupakan sesuatu yang penting, maka menceritakan hal tersebut pada seseorang yang sanggup diandalkan merupakan cara yang sanggup ditempuh.

3. Menandai tanggal ketika prekognisi terjadi.

4. Jujur jikalau prekognisi yang dialami terjadi, walau tidak 100% akurat.


Dalam penelitian ini, peneliti memakai metode wawancara dengan aliran wawancara, memakai observasi catatan lapangan, dan metode unobstrusive berupa data tertulis subjek mengenai prekognisi yang dialaminya.


HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi

ditemukan:


1. Gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu

Subjek dalam penelitian ini mengalami Prekognisi berupa auditori (bisikan), perasaan tahu, dan mimpi. Subjek menganggap semua orang bisa mengalami prekognisi hanya sensitivitasnya berbeda. Prekognisi yang dialami subjek bersifat spontan, tidak tentu kapan datangnya. Subjek mengalami perubahan mood jikalau mendapatkan prekognisi dan seringkali ada perasaan yang menekan jikalau dihiraukan, bahkan bisikannya bertambah kencang.


2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian


Subjek penelitian mempunyai penerimaan diri yang positif. Subjek sanggup mendapatkan kondisinya yang mengalami prekognisi bahkan merasa bahagia dan terbantu lantaran merasa segala tindakannya ibarat diarahkan. Subjek tidak menutup diri, justru subjek menceritakan prekognisinya kepada orang lain lantaran dengan itu pula subjek merasa damai dan hilang kegelisahannya. Walau kebanyakan prekognisinya wacana hal buruk, subjek mengaku tidak takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai dengan prekognisinya) lantaran seringkali prekognisi subjek mengarahkan tindakannya. Subjek termasuk suka menceritakan prekognisinya, tapi tidak kepada orang yang bersangkutan lantaran subjek tidak ingin mendahului Tuhan. Ibu memegang tugas mayoritas dalam mengajarkan nilai-nilai dan menyikapi prekognisi subjek, ibarat prekognisi itu bisa dialami semua orang dan bisa saja salah, lantaran datangnya dari Tuhan maka harus tetap disyukuri dengan berdoa dan tanpa memaksakan orang lain untuk percaya.

Ibu merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami prekognisi sehingga subjek suka bercerita dengan Ibunya. Peneliti melihat ada imbas antara orang renta subjek yang sudah Haji dengan pemahaman subjek wacana prekognisi yang dikaitkan dengan Ke-Tuhanan. Ibu merupakan figur yang sangat besar lengan berkuasa bagi kehidupan dan pengembangan nilai-nilai subjek dimana subjek mengidentifikasi Ibunya yang mempunyai pembiasaan diri baik. Penerimaan diri subjek yang baik juga dipengaruhi oleh lingkungan, orang-orang yang mendapatkan diri subjek tanpa melecehkan, menghina, ataupun memandang negatif.


3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Individu Faktor-faktor yang menghipnotis penerimaan diri subjek penelitian adalah

pemahaman yang baik wacana diri sendiri, perilaku anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, prekognisi subjek sering terjadi, subjek mengidentifikasi diri dengan Ibunya yang juga mengalami prekognisi dimana subjek banyak mencar ilmu cara-cara menyikapi prekognisi, perspektif diri yang luas, teladan asuh di masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, dan pembiasaan diri dan pembiasaan sosial yang positif.


Harapan yang realistis tidak peneliti anggap sebagai faktor yang menghipnotis karena, cita-cita subjek bukan hal yang rasional. Tidak adanya kendala dalam lingkungan juga

tidak termasuk ke dalam faktor yang menghipnotis lantaran memang tidak ada yang mendorong subjek membuatkan bakatnya, di samping subjek memang tidak ingin membuatkan prekognisinya.


KESIMPULAN

Dari hasil penelitian penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi

dapat disimpulkan bahwa:

1. Gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu

Subjek dalam penelitian ini mengalami Prekognisi berupa auditori (bisikan), perasaan tahu, dan mimpi. Subjek menganggap semua orang bisa mengalami prekognisi hanya sensitivitasnya berbeda. Prekognisi yang dialami subjek bersifat spontan, tidak tentu kapan datangnya. Subjek mengalami perubahan mood jikalau mendapatkan prekognisi dan seringkali ada perasaan yang menekan jikalau dihiraukan, bahkan bisikannya bertambah kencang.


2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian Subjek penelitian mempunyai penerimaan diri yang positif. Subjek sanggup mendapatkan kondisinya yang mengalami prekognisi bahkan merasa bahagia dan terbantu lantaran merasa segala tindakannya ibarat diarahkan. Subjek tidak menutup diri, justru subjek menceritakan prekognisinya kepada orang lain lantaran dengan itu pula subjek merasa damai dan hilang kegelisahannya. Walau kebanyakan prekognisinya wacana hal buruk, subjek mengaku tidak takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai dengan prekognisinya) lantaran seringkali prekognisi subjek mengarahkan tindakannya. Subjek termasuk suka menceritakan prekognisinya, tapi tidak kepada orang yang bersangkutan lantaran subjek tidak ingin mendahului Tuhan. Ibu memegang tugas mayoritas dalam mengajarkan nilai-nilai dan menyikapi prekognisi subjek, ibarat prekognisi itu bisa dialami semua orang dan bisa saja salah, lantaran datangnya dari Tuhan maka harus tetap disyukuri dengan berdoa dan tanpa memaksakan orang lain untuk percaya.

Ibu merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami prekognisi sehingga subjek suka bercerita dengan Ibunya. Peneliti melihat ada imbas antara orang renta subjek yang sudah Haji dengan pemahaman subjek wacana prekognisi yang

dikaitkan dengan Ke-Tuhanan. Ibu merupakan figur yang sangat besar lengan berkuasa bagi kehidupan dan pengembangan nilai-nilai subjek dimana subjek mengidentifikasi Ibunya yang mempunyai pembiasaan diri baik. Penerimaan diri subjek yang baik juga dipengaruhi oleh lingkungan, orang-orang yang mendapatkan diri subjek tanpa melecehkan, menghina, ataupun memandang negatif.


3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Individu Faktor-faktor yang menghipnotis penerimaan diri subjek penelitian yakni pemahaman yang baik wacana diri sendiri, perilaku anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, prekognisi subjek sering terjadi, subjek mengidentifikasi diri dengan Ibunya yang juga mengalami prekognisi dimana subjek banyak mencar ilmu cara-cara menyikapi prekognisi, perspektif diri yang luas, teladan asuh di masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, dan pembiasaan diri dan pembiasaan sosial yang positif.

Harapan yang realistis tidak peneliti anggap sebagai faktor yang menghipnotis karena, cita-cita subjek bukan hal yang rasional dan empiris. Tidak adanya kendala dalam lingkungan juga tidak termasuk ke dalam faktor yang menghipnotis lantaran memang tidak ada yang mendorong subjek membuatkan bakatnya, di samping subjek memang tidak ingin membuatkan prekognisinya.


Sumber :

Artikel yang bebas di download dengan


PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI PREKOGNISI

MUHAMMAD ARI WIBOWO Program Sarjana, Universitas Gunadarma



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Analisis Artikel Penerimaan Diri Pada Individu Yang Mengalami Prekognisi (Indigo)"