Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yakinkan Mereka Dengan Bukti

Bel tanda pelajaran pertama telah menjerit, ketika Ramadhan memasuki gerbang Sekolah Menengan Atas negeri 6 makassar. Dengan langkah cepat, ia pun segerah menuju kelasnya yang sebenarnya, ia belum hafal betul letaknya. Tapi, dengan modal nekat yang ia miliki, diteruskannya langkah menuju ke area belakang sekolah.


Ramadhan seorang lowvision. Kedua matanya sudah mempunyai keterbatasan semenjak ia masih bayi. Dengan ragu-ragu, ia memperhatikan setiap ruangan yang letaknya di bab belakang sekolah itu. Setidaknya, ada 2 ruangan yang membuatnya bingung.


“yang mana ya, kelasku?” tanyanya dalam hati. Benaknya mencoba mengingat-ingat.


Hari itu merupakan hari keempatnya bersekolah di Sekolah Menengan Atas 6 Makassar. Hari pertama dan kedua, ia mengikuti masa orientasi siswa. Dan penentuan kelas bagi siswa baru, ditentukan pada hari ketiga. Penglihatannya yang samar, tidak cukup membantu mobilitasnya di sekolah itu.


“Weh, kelasmu disini!.” Seru seorang anak lelaki yang berperawakan cukup besar. Dari nada bicaranya, ia nampak kurang ramah. Tapi, itu bukanlah perkara bagi Ramadhan. Perlakuan mirip itu sudah biasa didapatkannya. Bahkan sewaktu ingin mendaftar disekolah itu, ia menerima sambutan yang kurang erat dari petugas penerimaan siswa baru.


Waktu itu, ia telah dinyatakan lulus berkas. Tetapi sewaktu pengambilan kartu tes, barulah perkara itu tiba. Seorang petugas mempermasalahkan ketunanetraannya. Menurutnya pihak sekolah belum melaksanakan rapat pri hal diterimanya atau tidak seorang tunanetra untuk bersekolah ditempat itu. Tapi Ramadhan tidak kehabisan akal.


“Saya kira, sebelum-sebelumnya pihak sekolah tidak mempermasalahkan hal itu?. Buktinya sudah empat orang tunanetra yang pernah bersekolah di sekolah ini.” Kata Ramadhan pada petugas tersebut.


“Ia, tapi kan itu sudah lama. Lima tahun belakangan ini, tidak ada lagi tunanetra yang bersekolah disini. Apalagi, pimpinan sekolah ini telah berganti.”


Penjelasan dari petugas itu, menciptakan Ramadhan terdiam. Waktu itu ia sudah tetapkan untuk pulang. Tiba-tiba salah seorang wakil kepala sekolah datang.


“Kenapa?” Tanyanya pada petugas tadi.


“Ini pak, ada seorang tunanetra yang ingin bersekolah disini.”


“Terus, kenapa tidak diterima?”


“Apa tidak jadi perkara nantinya, pack?”


“Kan gres mau ikut tes, bu. Lagi pula perkara apa yang ibu khawatirkan? Selama ini kita tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Biarkanlah dulu anak itu ikut tes. Jika ia lulus, kita terima. Tapi kalau tidak, ya jangan. Saya rasa tidak ada yang akan mempermasalahkan anak itu. Kalau pun ia lulus dan ada yang mempermasalahkan, nanti saya yang bertanggung jawab.”


Karena klarifikasi bapak itulah, Ramadhan balasannya bisa bersekolah di Sekolah Menengan Atas 6. belakangan ia ketahui orang itu berjulukan pak Amri. Orang yang menjabat sebagai wakasek bab kurikulum waktu itu.


Memang, semenjak tahun 2004. Sekolah Menengan Atas negeri 6 Makassar telah terdaftar sebagai sekolah inklusi di dinas pendidikan provinsi sulawesi selatan. Artinya, sekolah itu bisa mendapatkan siswa yang mempunyai keterbatasan fisik. Atau istilah krennya disebut penyandang disabilitas. hal itu alasannya Sekolah Menengan Atas 6 ialah Sekolah Menengan Atas negeri pertama di Makassar atau pun di sulawesi selatan, yang pernah mendapatkan siswa disabilitas. Kaprikornus sangat cukup mengherankan kalau petugas penerimaan siswa gres itu ingin mempermasalahkan Ramadhan.


“Andai saja kau dipermasalahkan, Dhan. Mungkin teman-teman akan beraksi lagi di sekolah itu.” Komentar salah seorang sahabat Ramadhan, Ketika ia mengisahkan pengalaman pertamanya berintegrasi.


Berkat anak lelaki itu, balasannya Ramadhan berhasil menemukan kelasnya. Sebuah ruangan berbentuk persegi panjang. Didalamnya telah tertata rapi meja dan kursi yang akan dipakai tuk berguru nantinya. Dengan sedikit ragu, balasannya Ramadhan masuk juga ke ruangan itu. Hamper semua kursi telah terisi. Namun, dengan mata suapnya, balasannya ditemukannya juga sebuah kursi yang terletak di jejeran ketiga dari depan.


Dibagian depan kelas, terdapat dua buah papan tulis berukuran normal yang tertempel pribadi ke dinding. Kedua benda itu punya fungsi masing-masing. kalau menulis dengan spidol, maka papan yang berwarnah putih yang digunakan. Tetapi kalau contohnya tinta spidol habis, solusi terbaik ialah papan yang berwarnah biru. Tentu saja dengan memakai kapur. Namun, di zaman yang serba moderen ini, sangat jarang ditemukan sekolah-sekolah yang memakai kapur. Umumnya, yang dipakai ialah spidol. Meskipun kapur masih disediakan, biasanya ia hanya akan menjadi penjaga kelas, atau materi mainan siswa-siswi Sekolah Menengan Atas yang belum bersifat dewasa.


Selain itu, dibagian depan ruangan juga terdapat sebuah meja berukuran besar dari meja-meja lainnya. Sebuah kain berwarna ping menutupi permukaannya. Yang menciptakan meja itu sedap cdipandang, alasannya diatasnya terdapat kembang buatan yang berwarna-warni. Sebuah botol kecil menjadi wadah penyimpanannya. Dan di sisi sampingnya terdapat sebuah tabrakan yang bertuliskan “hasil karya siswa-siswi x.9”. Ukiran itu seakan-akan menantang para siswa-siswi gres yang ada dikelas itu untuk menciptakan karya yang lebih mengagumkan dari kembang itu.


Hari itu, para guru yang masuk ke kelas x.9 belum ada yang terlalu menyinnggung materi pelajaran. Yang mereka lakukan hanyalah saling mengenal dulu dengan para siswa. Selain itu, mereka juga memperlihatkan mediasi pada siswa yang belum saling kenal, semoga saling mengenal antara satu dengan yang lainnya.


Sekitar pukul 12.00, semua siswa gres dipulangkan. Hari itu mereka hanya diperintahkan tuk melihat-lihat lingkungan sekolah. Misalnya untuk mengetahui apa-apa saja yang ada di Sekolah Menengan Atas 6, dan lain-lain. Namun Ramadhan merasa tak perlu dengan hal itu. Sehingga ia tetapkan pribadi pulang. Dengan kepercayaan diri yang luar biasa, ia berjalan meninggalkan kelas x.9. dan dengan mata suapnya ia juga menyempatkan tuk memperhatikan ruang-ruang yang ia anggap penting. Seperti, ruang guru, lab biologi, lab fisika, perpustakaan dan lab computer. Karena kelasnya, x.9 terletak dibagian belakang sekolah, balasannya ia sanggup melewati ruangan-ruangan itu sewaktu pulang.


Namun langkanya tiba-tiba terhenti di samping lab computer. Sesosok lelaki menghalang-halangi langkahnya. Meskipun pandangannya samar, tapi ia masih bisa tau ciri-ciri orang itu. Pakaiannya biasa saja, tampaknya ia bukan guru, tapi yang mengesankan ialah rambut gondrongnya. Ramadhan mencoba meneruskan langkah. Tapi orang itu, terus menghalanginya.


“Misi pak” Ramadhan mencoba meminta jalan. Namun, jawaban yang ia tunggu-tunggu tak tiba jua dari lelaki itu. Malahan, dengan mengunakan badannya, lelaki itu semakin mempersempit ruang geraknya. Secara perlahan ia terdorong ke tembok kelas xi Ipa 4. yang letaknya pas di samping ruangan wakasek dan di sudut depan lab computer.


Ramadhan bingung. Ia tak tau hendak berbuat apa. lelaki itu terus mendorongnya. Tas ranselnya mulai merapat ke tembok kelas xi Ipa 4. sesaat kemudian seluruh badannya sudah tak leluasa lagi. kepalanya ikut terdorong dan mulai merapat ke beling jendela kelas. Ramadhan masih bingung. Karena kaget dengan perlakuan itu, otaknya tidak bisa difungsikan. Wajahnya mulai pucat pasih. Badannya mulai mengeluarkan keringat dingin.


Karena kawasan itu merupakan jalur keluar masuk dari Sekolah Menengan Atas 6, sehingga banyak orang yang berlalu-lalang melewati kawasan itu. Namun, tak ada satu pun yang memperhatikan hal itu. Jika pun ada, mereka tak berkomentar apapun. Orang-orang itu seakan-akan sibuk dengan aktifitasnya masing-masing.


Tiba-tiba, pintu lab computer terbuka. Seorang lelaki tinggi keluar. Sejenak ia melirik ke kelas xi IPA 4. tak ada satu bahasa pun yang ia keluarkan, hanya sebuah senyuman yang di tujukan kepada lelaki gondrong yang sedang kelihatan gembira itu. Lelaki tinggi itu pun meneruskan langkahnya dan masuk ke kantor kepala sekolah.


Tentu saja, Ramadhan tidak mengetahui hal itu. Ia masih berusaha mencari logika untuk secepatnya bisa melepaskan diri dari si gondrong yang seakan-akan sedang mempermainkannya. Namun semuanya blank. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Otaknya juga demikian.


Sesaat kemudian, lelaki gondrong itu melangkah. Secara otomatis, Ramadhan sanggup leluasa lagi bergerak. Ia berusaha menghilangkan rasa tegang yang menguasainya. Dengan ujung dasinya, ia mencoba menghapus butiran-butiran peluh di wajahnya.


“Kamu kenal saya?” tiba-tiba lelaki itu mengajukan pertanyaan. Suaranya cukup berwibawa.


“Tidak, pak” hanya jawaban itu yang bisa keluar dari bibir Ramadhan. Memang, ia tak tahu siapa lelaki gondrong itu. Ia belum bisa  menghilangkan ketegangannya, ketika lelaki itu membawanya masuk ke kelas xi IPA 4. nyali Ramadhan semakin ciut. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya berdasarkan saja yang sanggup ia lakukan.


“Duduk!” seru lelaki itu sewaktu mereka masuk kedalam kelas. Ramadhan pribadi menurut. Ia kemudian duduk di sebuah kursi yang paling dekat. Lelaki itu kemudian menutup pintu.


Ramadhan semakin merasa tidak enak. Jantungnya berdetak kencang. Ketegangan yang ia rasakan semakin menjadi-jadi.


“Hmmm, siapa yang menyuruh kau duduk disitu?”


“Jadi dimana, pak?”


Braaak…! Tiba-tiba, sebuah meja melompat dari tempatnya. Dengan posisi terbalik, meja itu membentur lantai kelas. Ramadhan terhenyak. ia tidak menduga akan mirip itu kejadiannya.


“Duduk dilantai…!”


Ramadhan tak berani menolak. ia pun segera duduk dilantai. Ingin rasanya ia memberontak. Ia tak pernah diperlakukan mirip itu. Tapi ia sadar dengan dirinya. Ia mustahil melawan. Mentalnya mulai goyah. Tanpa terasa, air matanya pun mulai tak tertahankan.


“Mau melawan? Ayo!” kata lelaki itu kemudian sambil bertolak pinggang.


“Ti… tidak, pak?”


“Siapa bahu-membahu yang memasukanmu kesekolah ini?”


“Saya lu” Ramadhan belum merampungkan perkataannya, namun lelaki itu pribadi memotongnya.


“Hmm, saya tidak percaya kalau kau bisa lulus murni di sekolah ini. Pasti ada yang kau andalkan. Ia kaaan?.”


Ramadhan tidak menjawab. Hatinya terasa perih.


“Kau sadar ji’ kah? Sebenarnya kau itu salah alamat sekolah disini. Mengapa kau tidak di SLB saja? Sebenarnya kau dan teman-temanmu yang dulu hanya menciptakan repot saja di sekolah ini.” Dengan logat makassarnya, lelaki itu memperlihatkan klarifikasi yang sama sekali tak mengunakan hati nurani.


Ramadhan tidak bisa menjawab. Mulutnya terkunci rapat. Ia sama sekali belum pernahh mengalami situasi mirip itu. ia belum pernahh merasakan kebahagiaan ataupun kepahitan didalam bersekolah dengan orang yang secara fisik, lebih tepat darinya. Yang bisa ia lakukan waktu itu hanyalah pasrah. Seperti kebanyakan penyandang disabilitas yang hanya pasra saja diperlakukan secara diskriminitif oleh oknum-oknum yang tak mempunyai moral dan etika.


Pintu kelas tiba-tiba terbuka. Seorang lelaki tinggi dan agak kurus masuk.


“Ada apa ini?” Tanya lelaki itu. Si gondrong tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan kembali memandang ke arah Ramadhan yang masih duduk terpaku ke lantai.


“Hm, serahkan anak ini pada saya.” Si gondrong tidak menjawab. Ia pribadi meninggalkan kelas ketika mendengar perintah orang yang gres saja masuk itu.


“Nak, saya Amri. Kamu tidak apa-apa?”


“Iya, pak”


Pak Amri kemudian membawa Ramadhan keluar dari kelas xi Ipa 4. dua langkah dari kelas itu, mereka berbelok ke kanan. Pak Amri membuka sebuah pintu. Lalu keduanya pun masuk. Ramadhan sudah mengenal ruangan itu. Disitulah ia pernahh dipersulit oleh seorang petugas penerimaan siswa baru. Ia juga gres tersadar, bahwa yang membawanya keruangan itu ialah orang yang dulu menolongnya sewaktu dipersulit.


Pak Amri membawa Ramadhan kesebuah meja yang diapit oleh dua buah kursi yang saling berhadapan.


“Duduk”. perintahnya kemudian. Ia kemudian menuju ke kursi yang satunya.


“Kamu masih bisa liat?”


“Iya, pak. Saya masih lowvision.” Jawab Ramadhan sambil berusaha menghapus sisa ketegangan dan air mata yang masih tersisa.


“Ooh, sekitar jarak berapa yang bisa kau lihatt?”.


“Kalau itu, saya sendiri kurang tau, pak. Tapi, saya masih bisa mengenal warna.”


“Kalau seseorang, masih bisa kau kenal?”


“Wah, itu yang sulit, pak. Tapi biasanya, saya bisa mengenal seseorang lewat fisiknya, ataupun dengan cara lain.”


“Mmm. Oke. Ini minum dulu”. Dengan hati-hati Pak Amri memperlihatkan segelas air minum ke tangan Ramadhan.


“Tadi, kaget ya?” Pak Amri melanjutkan pembicaraan.


“Iya, pak. Saya belum pernahh diperlakukan mirip itu.”


“Menurutmu itu pantas, tidak?” Ramadhan tidak bisa menjawab. Pak Amri tersenyum. Tanpa menunggu jawaban, iya kembali melanjutkan.


“Yang tadi, anggap saja ujian mental ya?. Kalau hanya diperlakukan mirip itu kau sudah menyerah, berarti kau bukan tipe tunanetra yang hebat.” Ramadhan mendengarkan kata-kata Pak Amri dengan serius.


“Dhan, selama ini bapak telah mengajar dua orang yang mirip kamu. Keduanya mempunyai mental yang luar biasa!. Terus terang saja, bapak kagum dengan orang-orang mirip kalian. kalian itu bisa menjadi motifasi bagi saya, dan mungkin orang lain juga begitu.”


“Oh, syukurlah pak kalau begitu.”


“Tapi, Dhan, kau juga harus tau. Tidak semua tenaga pengajar disini berpikiran mirip bapak. Mungkin saja, ada yang tidak senang denganmu sehingga nanti ia akan mempersulitmu.”


“Mungkin bapak punya bantalan an?”


“Maksudnya?”


“Pasti ada alasannya sehingga bapak berkata mirip itu?”


“Iya, Dhan. Kemarin, pihak sekolah mengadakan rapat. Nah, salah satu kegiatan rapatnya itu membahas kamu.” Pak Amri berhenti sejenak. Ia kemudian meneguk air mineral yang ada dihadapannya.


“Terus gimana, pak?” Tanya Ramadhan dengan ekspresinya yang serius.


“Memang, Dhan, ada beberapa orang guru yang senang dengan siswa sepertimu. Tapi, tak sedikit juga yang sebaliknya. Jadi, saran saya, berbuatlah yang sebaik-baiknya di sekolah ini. Jangan pernah membanta atau membangkang perintah guru. Kamu juga harus berhati-hati didalam menentukan teman. Tidak semua sahabat bisa dipercaya. Perhatikan semua tugas-tugas yang diberikan. Usahakan semuanya dikerjakan. Karena evaluasi yang paling penting selain kehadiran, ya tugas!”


“Baik, pak”


 


 


 


Kata-kata dari Pak Amri itu, tertanam terang di benak Ramadhan. Ia berusaha untuk selalu mempedomani hikmah itu untuk berperilaku di sekolah. Ia sama sekali tak berani bertingkah macam-macam. Ia selalu taat pada hukum dan berusaha mengakkrapi semua orang.


Beberapa ahad kemudian, Ramadhan  sudah bisa berinteraksi dengan baik pada semua penghuni kelasnya. Mereka sangat senang membantu Ramadhan. Diantara mereka ialah Sri. Seorang siswi orisinil bugis yang juga tertantang merasakan kerasnya persaingan pendidikan di kota Makassar.


Sri ialah seorang siswi yang sangat menyukai sesuatu hal yang baru. Selama hidupnya, ia belum pernahh berteman dengan seorang yang secara fisik, kurang dibandingkan dirinya. Namun ia tak pernahh memandang Ramadhan lebih rendah. Menurutnya, Ramadhan ialah seorang sahabat terbaik yang pernahh dikenalnya.


”Itu apa, Dhan?” tanya Sri pagi itu. Sebuah benda berbentuk persegi panjang berada di genggaman Ramadhan. Benda itu berwarna biru. Dipermukaan atasnya terdapat empat baris. Pada setiap barisnya terdapat jejeran kotak-kotak mungil berbentuk balok yang semuanya berjumlah seratus enam belas kotak.


”Oh, ini? Ini namanya riglet. Alat yang dipakai tunanetra untuk menulis.”


”Ha?, caranya bagaimana?” tanya Sri makin penasaran. dari dalam tasnya, Ramadhan kembali mengeluarkan sebuah benda yang sangat aneh dimata Sri. Benda itu berukuran kecil dari riglet. Warnahnya  sama dengan riglet. Namun bentuknya melingkar. Di salah satu permukaannya berbentuk agak runcing. Memang, bab bawah dari benda itu terbuat dari paku yang telah di modifikasi.


”Nah, ini namanya stilus. Alat komplementer dari riglet ini.” terang Ramadhan sambil menyodorkan kedua benda itu kehadapan Sri. Ramadhan kemudian mempraktekkan cara pengunaan dari riglet dan stilus tersebut.


”Bagusnya nulis apa?” tanya Ramadhan.


”Tulis apa ya? Hmmm! Tulis namaku saja!”


”Oke” Ramadhan kemudian mulai menulis. Sri memperhatikannya dengan serius. Apalagi, Kombinasi antara riglet dan stilus itu ternyata menghasilkan sebuah suara yang menarik. Tuk… tuk… tuk… itulah bunyinya yang hampir ibarat suara ketika seekor ayam sedang menikmati makanannya.


Sesaat kemudian Ramadhan telah usai menuliskan nama Sri. Kertas pun di lepaskan dari jepitan riglet. Dan, nampaklah karakter timbul yang hanya berupa titik-titik kecil di permukaan kertas itu.


”Wah! Ini hasilnya? Keren…” puji Sri sambil meneliti dengan seksama huruf-huruf braille itu.


”Dhan, ajari saya menulis braille ya?” pinta Sri mulai tertarik.


”Mmm, sip lah itu”.


Peristiwa itu semakin mempererat pertemanan antara kedua anak itu.


Waktu memperlihatkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Waktu yang memperlihatkan akan dimulainya jam pelajaran pertama. Seorang perempuan gemuk memasuki kelas x.9. ia pribadi menuju meja guru.


”Dhan, ibu Tanti sudah datang. Aku ke bangkuku dulu ya?”


”Iya. Nanti kita lanjutkan berguru braille-nya.” Sri pun segera ke bangkunya.


Di bab depan kelas, ibu Tanti nampak mulai membuka buku kewarganegaraan yang ingin diajarkan. Sesekali matanya melirik ke siswa-siswinya. Tiba-tiba ia memandang ke arah Ramadhan. Ia kemudian meletakkan bukunya di meja.


”Baik anak-anaku sekalian. Ini merupakan pertemuan ketiga untuk pelajaran kewarganegaraan. Untuk pertemuan hari ini, sebelum kita menyinggung pelajaran, saya ingin memberikan bahwa pertemuan berikutnya kita ulangan harian. Jadi, mulai hari ini, persiapkan diri masing-masing untuk menghadapi pertemuan berikutnya. Paham?”


”Iya, bu…” jawab para siswa tegas. Meskipun di wajah mereka telah terbersit aneka macam ekspresi. Siap tidak siap, mereka harus mengiyakan perintah dari ibu Tanti tersebut.


”Jadi, untuk sahabat kita yang satu ini gimana?” tanya ibu Tanti sambil menunjuk ke arah Ramadhan.


”Dhan, ibu bertanya padamu” bisik Edi. Anak itu merupakan sahabat sebangku dari Ramadhan.


”Insyaallah saya juga siap bu” jawab Ramadhan mantap.


”Caranya gimana? Kamu bisa nulis?”


”Ya, kalau pake braille, bisa bu”


”Cara ibu memeriksanya gimana? Ibu kan tidak tau braille!?”


”Kalau saya yang bacakan? Gimana bu?”


”Oh, itu sama saja dengan lisan. Iya kan?”


”Iya sih, bu”


”Atau begini sajalah, gimana kalau kau ibu mulut saja?”


”Iya bu. Saya pikir, itu cara yang paling baik”


”Oh iya, Dhan. Ibu mau nanya. Boleh?”


Iya, tentu bu.”


”Kamu punya kelaebbihan apa?”


”Maksud ibu?”


”Gini, nak. maaf sebelumnya. Biasanya kan setau ibu, tunanetra itu rata-rata punya kelebihan. Sebelum kamu, ibu juga pernahh mengajar tunanetra sepertimu. Dan mereka semua telah melaksanakan sesuatu yang sangat spektakuler sehingga menciptakan nama mereka di kenang”


”Seperti apa contohnya yang mereka lakukan bu?”


”Bermacam-macam. Ada yang di kenal alasannya pernahh berceramah di masjid, ada yang alasannya kemampuannya membaca ayat suci al-qur’an dan ada juga yang jago bermain musik. Kaprikornus kalau kau sendiri, apa?”


Ramadhan terdiam. Ia juga tidak tau kelebihan apa yang ia miliki. Ia merasa sama sekali tidak mempunyai apa-apa kalau dibanding pendahulu-pendahulunya.


”Kok diam?”


”Maaf bu, saya merasa belum punya kelebihan apa-apa”


”Yakin? Tiap-tiap insan itu punya kelebihan dan kekurangan, nak”


”Iya bu. Mungkin hanya saya saja yang belum tau apa kelebihanku”


”Ooh, gak apa-pa. Ibu hanya nanya kok”


”Iya bu.”


”Tapi ibu boleh kasi saran kan?”


”Tentu, bu”


”Berbuatlah sesuatu  yang luar biasa. Yang sanggup meyakinkan semua orang bahwa kau ialah anak yang luar biasa. Ibu yakin, dalam benakmu niscaya timbul pertanyaan. Simpan saja pertanyaan itu. Suatu saat, kau akan tau sendiri mengapa ibu berkata mirip ini.”


Ramadhan kembali membisu. Memang pada dikala itu, ada sebuah pertanyaan yang sangat ingin ia keluarkan. Tapi ibu Tanti terlabih dahulu menahannya. Mungkin ia tak boleh tau apa maksud perkataan itu. Dalam benaknya tertanam lagi satu beban yang harus ia pecahkan.


Hari itu, ia tak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Perkataan bu Tanti selalu membebani pikirannya, Menghambat sistem kerja otaknya dan menghalangi kecerdasannya untuk menemukan ide-ide cemerlang.


**********


 


Minggu berikutnya, balasannya Ramadhan mengikuti ulangan harian yang telah dijanjikan oleh Bu Tanti. Hasilnya cukup membanggakan. Dari lima soal esai yang diberikan, ia berhasil menjawab empat soal dengan benar, dan satu lagi hanya salah setengah. Tiap-tiap soal bobot nilainya dua puluh. Dan hari itu ia mendapatkan nilai sembilan puluh!, sebuah nilai yang cukup tinggi kalau dibandingkan dengan nilai anak kelas x.9 yang lain.


Setelah ulangan itu berakhir, Ibu Tanti memanggil Ramadhan ke ruang guru. Ia berniat memberikan sesuatu hal pada anak itu. Bersama sahabatnya, Sri, Ramadhan pun mengikuti Bu Tanti ke luar kelas.


“Begini, dhan. senin yang akan datang, kelasmu menjadi pelaksana upacara.” Kata Bu Tanti sesampainya ke ruang guru.


“Karena itu, ibu mengharapkan kalau kau juga ambil bab dalam pelaksanaan upacara tersebut.” Ramadhan terdiam. Ia gundah mau berkata apa.


“Saya yakin, ia bisa, bu,” tiba-tiba Sri menanggapi.


“Hmmm. Bagaimana menurutmu, dhan?”


“Insyaallah, saya bisa, bu.”


“Oke. Kalian ke kelas. Sampaikan pada ketua kelasmu perihal hari senin.”


“Baik bu” jawab Ramadhan dan Sri bersamaan. Kedua anak itu meninggalkan ruang guru, dan pribadi menuju kelasnya.


**********


“Apa, dhan? Kamu serius?” komentar Kiki, sang ketua kelas ketika mendengar sebuah informasi yang gres saja keluar dari bibir Ramadhan.


“Iya, Ki. Bu Tanti sendiri yang mengatakannya padaku.”


“Astaga, mengapa begitu cepat. Kita kan belum genap tiga bulan di sini. Kita belum cukup mempunyai mental untuk mengemban kiprah itu,”


“Jadi bagaimana menurutmu, ki?” Kiki terdiam. Ia mencoba berpikir sejenak.


“Apa kau mau mengecewakan Bu Tanti?” tiba-tiba Sri yang semenjak dari tadi mendengarkan pembicaraan Ramadhan dan Kiki berkomentar.


“Tentu tidaklah!” seru Ramadhan dan Kiki hampir bersamaan.


“Kalau begitu, berarti kita harus mengerjakan kiprah ini. Kita masih punya sekitar empat hari untuk mempersiapkannya. Bagaimana?”


“Sip lah kalau begitu.” Kiki kemudian mengambil sesuatu dalam tasnya. Sebuah spidol. Ia kemudian beranjak ke depan kelas. Diatas permukaan papan tulis yang berwarna putih, ia menuliskan sesuatu:


“Pada semua siswa kelas x.9, diberitahukan bahwa hari senin yang akan datang, kelas kita yang tercinta ini menerima kehormatan sebagai pelaksana upacara. Kaprikornus dibutuhkan pada semua penghuni kelas untuk bersiap-siap!”.


“Kamu juga bisa kan, Dhan?”. Tanya sang ketua kelas.


“Iya. Meskipun saya belum tau apa yang bisa kulakukan dalam upacara nanti, tapi baik lah, saya juga siap”.


Keesokan harinya, kelas x.9 dibentuk geger oleh pengumuman yang terpampang di papan tulis. Komentar penghuni kelas itu berpariatif. Ada yang ragu, ada yang tak percaya dan ada yang cuek-cuek saja.


Tak terasa, hari itu pun tiba. Hari yang telah menciptakan sebagian besar penghuni x.9 berdebar-debar. Hari yang mewajibkan semua penghuni kelas itu untuk tiba lebih awal dibanding penghuni kelas lain. Secara kebetulan, Sri, Kiki dan Ramadhan muncul bersamaan di pintu gerbang sekolah. Ketiganya tiba tepat pukul 06.35, atau sekitar setenga jam sebelum upacara itu dimulai.


“Apa yang lain sudah tiba ya?” Kiki pribadi memasang wajah khawatirnya. Ekspresinya pribadi berubah ketika satu persatu sahabat kelasnya mulai berdatangan. Bersama Bu Tanti yang merupakan wali kelasnya, Ia pribadi mengkordinir teman-temannya untuk menuju ke lapangan upacara.


Sementara itu, tiga buah lapangan yang ada di sma negeri 6 mulai ramai dipenuhi oleh semua siswa penghuni sekolah. Mereka telah berbaris rapi berdasarkan kelasnya masing-masing.


“Gimana, Dhan? Sudah siap?” tiba-tiba Bu Tanti muncul di hadapan Ramadhan dan pribadi bertanya.


“Iya Bu, Insyaallah.”


Beberapa dikala kemudian, upacara itu pun dimulai. Suatu kebangaan yang teramat sangat di dalam hati Bu Tanti. Betapa tidak, semua anak walinya melaksanakan kiprah yang diberikan dengan begitu sempurnah. Apa lagi Ramadhan. Anak itu berhasil memukau semua orang yang hadir pada upacara itu. Tanpa diduga-duga oleh semua orang, iya ternyata juga ambil bab dalam pelaksanaan upacara itu. Iya memang telah berniat untuk melaksanakan sesuatu yang waw pagi itu. Beberapa hari sebelum upacara itu dilaksanakan, iya telah berusaha untuk sanggup menghafal naskah teks pembukaan uud 1945 dengan sempurna. Iya ingin menjadi pembaca undang-undang dalam upacara.


Beban itu pun selesai. Ramadhan berhasil melaksanakan keinginannya dengan baik. Tanpa ia sadari, disekelilingnya banyak wajah-wajah yang menatapnya dengan simpatik. Tanpa ia sadari, banyak decakan kagum yang keluar dari bibir para dewan guru. Dan tanpa ia sadari, berkat aksinya itu, banyak tatapan sinis dan meremehkan terhadap dirinya mulai beranjak pergi. Hal itu menjadikan paradikma gres dari guru-guru mau pun siswa yang ada di sekolah itu.


Ramadhan bahu-membahu tidak mementingkan itu semua. Ia hanya ingin menunjukan bahwa dirinya juga bisa melaksanakan sesuatu yang bisa dilakukan orang lain. Ia hanya ingin membantah pandangan yang selalu membuatnya terbelakang. Seolah-olah dialah insan paling malang.


Makassar, 31 oktober 2012



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Yakinkan Mereka Dengan Bukti"