Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketuklah Maka Pintu Akan Terbuka

Waktu memperlihatkan pukul 06.15 pagi itu. Aku sudah siap meluncur dengan segala perangkat yang saya butuhkan. Aku memastikan kartu penerima tes telah kubawa. Setelah membacanya kembali, ups… Waktu pelaksanaan tesnya jam 08.30, bukan 09.00 menyerupai yang ada di pikiranku. Aku pribadi panic. Itu hari Senin. Perjalanan dari rumah ke Semanggi biasanya sekitar 90-120 menit, tapi itu hari Senin. Oh no!


Aku segera naik kendaraan beroda empat dan meminta pak sopir yang mengantarku untuk menentukan jalan yang terbaik, jalan yang tidak macet. Tapi mana ada jalan yang tidak macet di hari Senin. Waktu memperlihatkan pukul 07.45 dan kami masih berada di Jl. Buncit Raya. Aku menimbang-nimbang, kalau saya terus naik mobil, saya tidak akan bisa hingga sempurna waktu. Bisa-bisa jam 10.00 gres sampai. Pasti terlambat, dan saya tidak bisa ikut tes. Akhirnya saya tetapkan untuk mencari ojek.


Dalam perjalanan saya berdoa, semoga tukang ojek ini baik hati, semoga beliau mengantarku ke kawasan tujuan dan tidak membohongiku, semoga beliau membawa motornya dengan hati-hati supaya saya selamat, dan semoga beliau tidak memasang tarif terlalu tinggi. Waktu memperlihatkan pukul 08.22 ketika saya tiba dengan selamat. Doaku terkabul semua. Terimakasih Tuhan.


Aku punya waktu 8 menit untuk mencari ruangan tes. Dengan tergesa-gesa saya berjalan menuju elevator. Entah berapa kali saya menyampaikan “maaf” pada orang-orang yang saya serempet dan tertendang kakinya waktu itu. Aku mendarat di lantai 8, bertemu dengan petugas Sekretariat. Bapak yang baik hati itu mengantarku ke lantai 10 dan berkata, “Maria, kau kerjakan tesnya di sini ya. Teman-teman yang lain di lantai 9. Alat-alatnya kau siapkan dulu. Ini soal-soalnya”. Sambil masih mengatur nafas saya menjawab, “Oke, pak. Makasih ya, pak”.


Aku mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Lalu menancapkan kabel USB yang tersambung pada alat Clarity Capture. Ini ialah alat yang saya gunakan untuk membaca. Konsepnya menyerupai CCTV. Alat ini mempunyai sebuah kamera yang menangkap gambar dan gambar itu akan muncul di layar laptop. Ukuran gambar bisa diperbesar sesuai kebutuhan. Warnanya pun bisa diatur. Dengan alat ini saya bisa membaca semua goresan pena yang ada di lembar soal tes. Tentu saja saya pun bisa menuliskan jawabanku di lembaran itu juga. Dengan demikian saya bisa mengerjakan tes menyerupai teman-teman yang lain.


“Kalau kau sudah siap, ini soalnya pilihan ganda. Dibaca hati-hati dan pribadi disilang pada pilihan balasan yang benar. Ini kau mulainya sudah terlambat, tapi saya nggak bisa kasih waktu embel-embel ya alasannya ialah jadwal hari ini padat. Tes yang ini waktunya hingga jam 09.30, nanti sehabis itu akan ada tes berikutnya”, kata si petugas sekretariat. Saya mengangguk dan mulai mengerjakan. Walaupun sudah memakai alat bantu, saya yakin kecepatan membacaku masih tidak secepat teman-teman yang lain. Tapi, saya tidak mau diberi perlakuan khusus yang berlebihan. Aku yakin saya sanggup mengerjakan soal-soal itu dengan baik meskipun agak terburu-buru.


Tes demi tes saya kerjakan hingga semuanya terselesaikan. Petugas sekretariat tiba ke ruangan kawasan saya mengerjakan tes dan mengambil lembar tes yang terakhir, sembari berkata “Tes terakhir sudah selesai. Sekarang kau ke lantai 8 ya. Nanti wawancaranya di sana. Kamu sanggup giliran nomer 2”. Dengan bersemangat saya menjawab, “Siap, Pak”. Aku segera mengemas barang-barang dan berjalan menuju kawasan wawancara.


Dag dig dug… Banyak pertanyaan berseliweran di kepalaku. Aku menduga-duga pertanyaan yang mana yang akan diajukan kepadaku. Aku takut sekali rasanya. Dan saya sendirian di sana. Meskipun keluarga dan teman-temanku niscaya mendoakan dari jauh, tapi saya sendirian di situ. Tapi saya harus optimis, ini mimpiku.


Terlintas di kepalaku sebuah memori ketika masih kuliah S1. Salah seorang dosen berkata, “Kamu yakin mau ambil S2 profesi? Kalau profesi nanti banyak lho tuntutan untuk mengobservasi. Lalu untuk melaksanakan investigasi psikologis itu sangat perlu ketelitian. Kamu bisa menentukan Magister Sains yang saya yakin kau akan bisa survive di sana. Tuntutannya tampaknya nggak seberat Magister Profesi kalau buat kamu”. Hmmmm… Kata-kata itu mengiang di kepalaku dan menciptakan semangatku turun. Setelah bergelut dengan rasa pesimis, saya berusaha mengembalikan semangatku. Yang penting saya mencoba dulu, kalau memang mereka tidak bisa menerimaku ya tidak apa-apa, pikirku.


Akhirnya tibalah giliranku. Aku masuk ke dalam ruangan dan bertemu dengan dua orang dosen. Aku mengenal salah satunya. Beliau pernah mengajarku ketika saya kuliah S1. Dosen yang lainnya belum pernah mengajarku, tapi saya pernah bertemu dengannya di ruang dosen. Mereka mengajukan banyak pertanyaan. Beberapa yang saya ingat adalah, “Kenapa kau mau lanjut kuliah S2?”, “Apa alasanmu menentukan profesi Psikologi Pendidikan Anak dan Remaja?”, “Apa saja yang sudah kau kerjakan sehabis lulus S1?”, “Apa yang kau ketahui wacana kuliah dan pekerjaan psikolog Pendidikan?”, dan “Menurut kamu, apa yang sudah kau miliki yang bisa mendukung kuliahmu di sini?”. Aku yakin pertanyaan-pertanyaan ini juga ditanyakan kepada para calon mahasiswa lainnya. Namun di samping itu, terdapat pula pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya hanya ditanyakan kepadaku yaitu, “Seperti yang kau sudah tau, di perkuliahan dan pekerjaan sebagai psikolog nantinya kau akan banyak dihadapkan pada kasus-kasus yang menuntut kau untuk melaksanakan assessment, baik dengan tes, observasi, wawancara, dan sebagainya. Dengan keterbatasanmu dalam melihat, coba tolong kau ceritakan apa kira-kira kesulitan yang akan kau hadapi dan apa solusi yang sudah kau rencanakan?”, “Selama ini apa saja pinjaman yang diberikan fakultas yang membantu kau lulus S1? Lalu, kira-kira pinjaman apa lagi yang bisa kami berikan jikalau kau kuliah S2 di sini?”, dan “Apa yang kira-kira akan kau lakukan jikalau keterbatasan penglihatanmu menjadi hambatan dalam kuliah atau dalam praktik menghadapi klien?”.


Aku berusaha menjawab semua pertanyaan itu sebaik mungkin. Satu hal yang saya rasakan, lega. Aku keluar dari ruangan wawancara dengan tersenyum. Aku mencicipi aura positif. Luar biasa, dosen-dosen di kampus ini sangat positif dan terbuka. Dari pertanyaan dan responnya tampak bahwa mereka peduli dan terbuka pada penyandang disabilitas. Aku jadi semakin yakin untuk melanjutkan S2 di situ.


Seperti harapanku, beberapa ahad kemudian saya mendengar pengumuman bahwa saya diterima sebagai mahasiswa. Sepertinya ini pertama kalinya kampus ini mendapatkan mahasiswa penyandang disabilitas dalam kegiatan magister profesi psikologi. Perkuliahan dimulai bulan Agustus. Pada ketika itulah usaha dan petualangan gres dimulai.


Perkuliahan di dalam kelas berjalan tidak jauh berbeda dengan ketika kuliah S1. Aku memakai beling pembesar elektronik untuk membaca buku di kelas. Clarity Capture saya gunakan ketika ujian tertulis. Sedangkan untuk mencatat, saya memakai laptop dengan software pembaca layar. Kuliah terasa berat namun tetap menyenangkan. Beruntung punya teman-teman yang luar biasa. Mereka membantuku membaca goresan pena di papan tulis atau membaca lembar-lembar fotokopi ketika saya lupa membawa beling pembesar. Mereka menggandengku di keramaian supaya saya tidak menyerempet atau menginjak orang. Dan banyak lagi jasa mereka yang sangat menenangkan hati.


Pada semester ketiga, usaha gres dengan tantangan yang lebih besar dimulai. Itu ialah ketika dimulainya kerja praktik. Kami diberikan kiprah untuk menangani kasus-kasus di sekolah-sekolah, bertemu dengan belum dewasa yang membutuhkan layanan psikologis, beserta guru-guru dan orangtua mereka. Bagiku pengalaman ini sangat jauh di luar zona nyaman. Masuk ke lingkungan baru, bertemu orang-orang baru, dan harus berjuang sendiri. Ketakutan dan kecemasan mencakup diriku hamper setiap hari pada masa itu. Pertanyaan “Tantangan apa lagi hari ini?” selalu melintasi pikiranku.


Pada salah satu masalah saya menangani seorang anak yang mengalami kesulitan berkomunikasi. Ini sangat menantang alasannya ialah saya harus bergerak dengan lincah untuk bisa menarik perhatian dan berinteraksi dengannya. Pada masalah lain saya menangani anak yang pendiam dan lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa tubuh. Yang ini juga menantang alasannya ialah saya harus benar-benar teliti melihat gerak-gerik dan ekspresinya, sehingga saya harus berada cukup bersahabat dengannya semoga bisa melihat semuanya dengan jelas. Aku menyadari keterbatasanku untuk menangkap data-data visual, maka saya memakai kepekaanku dalam mendengar untuk menambahkan data yang saya butuhkan.  Aku sadar bahwa saya harus memanfaatkan kelebihanku untuk melengkapi kekuranganku.


Ketika menangani kasus-kasus ini, saya berhadapan dengan tes-tes psikologis yang cukup rumit. Beberapa tes bisa saya tangani dengan mudah, namun beberapa tes lain butuh kerja keras. Bagi teman-teman yang tidak mempunyai keterbatasan penglihatan mungkin membutuhkan waktu hanya 30 menit untuk mengusut satu hasil tes. Namun bagiku, dengan 30 menit itu mungkin saya gres bisa menuntaskan separuh atau sepertiganya. Aku tetap bersyukur dan berusaha, alasannya ialah memang inilah cita-citaku. Aku ingin membantu orang lain dengan kemampuan yang saya miliki. Dan saya yakin orang lain pun akan membantuku ketika saya membutuhkannya.


Aku melalui ujian-ujian dengan baik. Meski sempat harus mengulang salah satu ujian, saya tetap berusaha. Aku banyak dibantu di kampus ini, namun standard yang diberikan padaku sama menyerupai yang diberikan pada teman-temanku. Mereka memperlihatkan bantuan, namun mereka tidak memberi perlakuan yang terlalu khusus. Memang ini yang saya harapkan, kesempatan bukan belas kasihan. Aku memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepadaku dengan sebaik mungkin. Walaupun hasilnya tidak luar biasa, namun tetap terbilang memuaskan.


Pada awal tahun 2014 saya dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar M.Psi. Kemudian pada bulan April, bersama teman-teman seperjuangan, saya mengucapkan kesepakatan profesi. Beberapa waktu sebelum mengucapkan kesepakatan itu, saya berpikir ulang apakah saya benar-benar sanggup menjalani profesi ini dengan baik. Namun bunyi hatiku dan dukungan orang-orang di sekitarku menguatkanku. Aku niscaya bisa alasannya ialah saya sungguh-sungguh ingin melayani orang lain. Janji itu pun saya ucapkan di hadapan pemuka agama dan hadirin dalam kegiatan itu. Gelar Psikolog pun akibatnya saya peroleh.


Petualanganku dalam jenjang pendidikan magister berakhir dengan indah pada kegiatan wisuda. Sebelum kegiatan wisuda dimulai, saya berkata kepada petugas secretariat yang dulu membantuku ketika tes masuk, “Pak, nanti bantu saya di panggung ya, supaya saya nggak kesandung. Hehe..” Petugas secretariat itu nyengir dan berkata, “Tenang aja, Maria. Udah saya atur. Nanti saya Cuma bisa bantu di bawah, tapi di atas udah ada yang siap bantu kamu. Kamu tinggal senyum aja”. Saya girang sekali mendengar ucapannya. Lagi-lagi saya berpikir bahwa pelayanan di kampus ini baik sekali. Mereka sudah memahami kebutuhanku bahkan tanpa saya harus memintanya.


Benar saja, ketika saya naik ke atas panggung untuk mendapatkan ucapan selamat dari Direktur Paskasarjana dan Rektor, ada seorang petugas yang menuntunku dengan ramah. Aku hanya perlu tersenyum lebar dan menikmati kamera-kamera yang tertuju padaku. Dengan demikian saya bisa berkata bahwa usaha dan petualanganku di perkuliahan magister profesi ini berakhir dengan indah.


 


Oleh: Maria Wirastari



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ketuklah Maka Pintu Akan Terbuka"