Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kemilau Purnama (Part 1)

Mau nyoba buat kisah bersambung nih! semoga ada yang mau membaca dan memberi masukan.


***


Rintik hujan mulai turun, kabut tipis merambat pada pepohonan, sangat menyulitkan mereka para penduduk pedalaman yang sedang berjalan.

Di atas dipan bambu itulah Rangga terbaring.

Malam sudah hampir mendekati jantungnya, tapi kedua mata cowok malang itu belum juga terpejam. Sesekali tubuhnya beringsut kanan dan kiri, betapa kecemasan amat membayang di wajahnya yang tertimpa cahaya bulan.

Nasibnya kolam di ujung tanduk, padahal seharusnya beliau sudah berada di rumah bercanda riang dengan keluarganya.

“Mamah”! Sesekali bibirnya bergumam memanggil sosok perempuan bermata teduh yang selalu jadi referensi ingatannya.

Seakan gres kemarin insiden itu terjadi menimpa dirinya yang tetap tak mengerti.

Acara serah terima jabatan perusahaan yang dilanjutkan dengan menikmati alam wisata air dan diakhiri bunyi tembakan yang membawanya hingga ke daerah mengerikan ini.


Para penyamun sadis itu memang tidak membunuhnya, mereka hanya menahan dirinya untuk dijadikan sandera.

Kalau saja beliau tidak bertindak kurang pandai dengan berusaha kabur ke dalam hutan hingga terjerembab pada lubang jebakan hewan buruan, beliau mungkin tak kan bertemu kondisi sesulit sekarang.

Orang-orang asing itu mengangkat tubuhnya dari jaring rotan di dalam lubang. Mereka bersorak-sorak dengan bahasa asing, tak ada kain menempel pada badan mereka selain lembar-lembar kulit kayu menutupi kepingan organ yang vital.

Bayang-bayang itu tiba silih berganti, klimaxnya ialah musyawarah paling keji yang dialaminya tadi sore.

Kepala suku bertubuh pendek, bermata lebar dan mempunyai tanduk di kepalanya itu hanya memberi dua pilihan tak masuk akal.

Jika ingin keluar dari sini harus beradu dulu dengan seekor macan besar dengan kuku dan taring paling tajam, kalau mengeluarkan bunyi aumannya terdengar hampir seantero hutan belantara.

Pilihan kedua juga sama gilanya. Tetap tinggal sebagai warga suku dan menentukan seorang gadis untuk dijadikan seorang istri.

Saat pilihan kedua itulah, tiba-tiba seraut wajah jelita muncul di pelupuk matanya.

Seyogyanya Gadis itu takkan pernah rela apabila beliau hingga hati menentukan perempuan lain untuk jadi pendampingnya. Sedangkan dua bulan lagi ijab kabul itu akan segera dilangsungkan. Sebuah ijab kabul penuh bunga, di tengah perkebunan stroberi milik calon mertuanya, dengan do’a dan tawa senang dari semua keluarga.

Lalu bagaimanakah sekarang? tentu keluarganya sangat cemas menanti kabarnya, dan gadis jelita itu, calon istrinya pastilah sedang menangis menyesali dirinya yang tak kunjung pulang.


“Ayo bangun”! Kata perintah itu terbata-bata terdengar oleh telinganya. Sepasang matanya mengerjap perlahan ibarat berat untuk terbuka.

Ini hari ketujuh dari insiden penangkapan dirinya di lubang jebakan itu. Siapakah yang mengucapkan perintah bangkit barusan?

Ternyata gadis pemilik mata seindah purnama itu. Dia dengan anggun sudah berdiri di samping dipan sambil memandang ke arahnya.

Sejak tinggal di rumah penduduk pedalaman itu, gadis yang ternyata anak dari pemilik rumahlah satu-satunya orang yang masih punya hati mempedulikannya.

Gadis itu bekerjsama sama dengan duapuluh orang gadis yang kemarin ditawarkan kepala suku untuk dipilih menjadi istri Jika memang pilihannya jatuh pada pilihan kedua. Gadis ini sama-sama penduduk suku primitif dengan lembaran kulit kayu yang jadi busana epilog tubuhnya.

hal yang membedakan hanyalah tingkat kecantikannya. Gadis ini tampak lebih segala-galanya dari yang lain.

Terutama pada matanya. Ya, mata itu begitu indah dengan kombinasi putih biru gelap memikat. Mata itu paling bersinar di antara mata gadis manapun yang pernah dikenalnya.

Tubuhnya tinggi ramping, rambutnya lebat hitam terurai panjang hingga menyentuh mata kakinya.

Dialah yang dengan perhatian penuh merawatnya, melayani semua kebutuhannya dari bangkit tidur hingga kembali memejamkan mata.

Gadis itu dengan cekatan mengkremasi ikan, merebus labu merah dan menciptakan aren manis untuk dirinya.

Gadis itu yang menjadi teman mengembangkan selama seminggu mengerikan ini.

Selama itulah Rangga mulai menularkan bertahap prilakunya termasuk bahasanya sendiri. Jika sebelumnya mereka hanya berkomunikasi lewat gerakan tubuh, gadis itu mulai menirukan bahasa yang diucapkannya sehari-hari.

Pagi itu ialah kata kesekiankalinya yang diucapkan dengan logat lucu.

“Makan, dulu, Rangga”!

Rangga melihat sekeliling, sinar matahari menerobos lewat dinding kayu. Di sudut ruangan tersaji kelinci panggang yang masih mengepul. Asapnya membumbung ke luar jendela.

Secawan aren hangat pun diletakan tak jauh dari nampan daging.

Hmm,Perut cowok itu seketika menggeliat meminta diisi.

“Aku mau mandi”! Kalimat itu diucapkannya perlahan semoga sanggup didengar oleh gadis itu.

Meskipun belum sepenuhnya faham dengan maksud kalimat-kalimat Rangga, tapi gadis itu tampaknya sudah mafhum dengan keseharian tamu istimewanya.

Dia kemudian melangkah ke samping rumah. Rangga mengikutinya dengan ogah-ogahan. Ternyata di sebuah jamban kecil beliau berhenti.

“Baju”? Rangga terperangah, alasannya dilihatnya satu stel pakaian tergeletak di atas batu.

“Baju siapa”? Dia menoleh pada gadis itu. Seperti yang faham maksud tamunya, beliau menunjuk satu arah.

“Eh! kau mencuri”? Rangga bertanya sambil matanya menatap arah yang ditunjuk gadis itu.

Ternyata yang ditunjuknya ialah sungai. Kemudian Dia berfikir sejenak. Mungkin gadis itu menemukan pakaian yang hanyut di sana.


Kembali di daerah musyawarah, kali ini Rangga benar-benar harus memberi keputusan.

“Baiklah, saya menentukan yang kedua”. Kalimat itu memang tidak keluar dari bibirnya, alasannya terang tak akan ada yang sanggup mengerti. Rangga hanya mengacungkan kedua jari kanan sebagai tanggapan sesudah hampir setengah jam beliau berfikir.

“Baiklah! gadis mana yang akan kau pilih”? Pertanyaan kepala suku itu disimbolkan dengan tatapan penuh pertanyaan.

Pemuda itu kembali terdiam. Untuk tetapkan pilihan kedua saja teramat berat baginya, ibarat mengangkat sebongkah kerikil besar dari dasar laut, dan kini harus pula beliau menentukan seorang gadis asing untuk dijadikan istri.

Lalu bagaimana dengan Jelita? apa katanya nanti kalau suatu hari beliau terbebas tapi sudah berstatus suami orang lain?


“Cepatlah sedikit anak muda! kami tak punya banyak waktu! atau kami yang akan memilihkannya untukmu”? Kepala suku mulai tak sabar, beliau bertanya dengan mengetukkan tangan ke pergelangan Rangga.

Para penduduk yang turut hadirpun turut merasa kesal. Mereka menatap serius kepada anak muda tampan calon penduduk baru.

Ada pula Lelaki pemilik rumah, ayah dari gadis yang merawatnya. Dia juga tampak memandang lurus kepadanya.

Melihat lelaki itu fikiran Rangga segera menemukan arahnya.

“Baik”! Dia mulai mengangkat tangan siap memberi keputusan.

“Aku tidak akan menentukan gadis yang kalian pilihkan itu”. Matanya menuding ke arah belasan gadis yang sudah bersiap.

“Heh! orang asing! jangan kau permainkan kami”! Kepala suku itu mengangkat sebuah pentungan dari kerikil sebagai senjata kesayangannya.

Rangga mulai bergidik tanda ngeri.

“Biar beliau menuntaskan dulu kata-katanya”! Lelaki yang ternyata pemilik rumah berbicara dengan bahasa mereka kepada kepala suku.

“Ayolah anak muda! jangan permainkan kami”! Tatapannya memohon seakan kasihan kepada Rangga anak insan dari kota yang terpaksa memasrahkan nasib di ujung jari mereka.

“Aku akan menentukan gadis yang ada di rumah tempatku tinggal”.


“Berapa tahun umur anakmu bah”? Rangga mulai melaksanakan percakapan instruksi dengan lelaki itu. Mereka gres saja meninggalkan daerah pertemuan dan sedang dalam perjalanan menuju rumah.

Sebelum menjawab lelaki yang bekerjsama mempunyai garis kasih sayang di wajahnya itu terlihat berfikir.

“Duapuluh purnama. ya, kira-kira segitu”. Akhirnya beliau mengacungkan jari-jarinya kepada Rangga.


***


Dua bulan sudah Rangga menjadi penduduk orisinil suku pedalaman.

Kesehariannya sudah sama dengan kehidupan orang-orang itu. Gaya beliau berpakaian, cara beliau bicara dan contoh makan sudah benar-benar mengikuti kebanyakan orang.

Keinginannya untuk sanggup keluar dari daerah angker itu sudah hilang sedikit demi sedikit. Dia sudah amat pasrah dengan nasibnya yang sekarang.

Dia mulai membahagiakan diri dengan tetap menjadi penduduk yang baik dan penurut.

Seperti sore itu, beliau tengah konsentrasi memangkas rambut Sibiel.

Rambut itu terlalu panjang, semalaman penuh beliau membujuk perempuan yang sudah dua bulan jadi istrinya itu semoga mau dipotong sebagian rambutnya.

Sibiel gadis yang pintar, dalam kurun waktu singkat beliau telah fasih berbahasa indonesia. Bahasa komunikasinya dengan suaminya.

“Jangan bersedih terus dong! kau akan lebih elok dengan rambut lebih rapi begini”! Rangga kembali merajuk istrinya yang pasrah melihat rambut indahnya berserak di tanah.

“Mau dengar mimpi paling indahku semalam”? Dia melanjutkan kalimatnya sesudah melihat anggukan kepala Sibiel.

“Aku bermimpi, kita berlayar di sungai itu, dan bahtera kita tiba-tiba dijatuhi bulan yang besar sekali”!


***


“Kau yakin kita tak perlu bantuan”? Aria menatap serius pada kakaknya. Yang ditanya tengah memasukan perlengkapan ke dalam koper.

Jangan khawatir, saya sudah cukup mengenal mereka dan saya pastikan tidak akan ada kejahatan mengancam kita”. Jawabnya mantap.

Sejurus kemudian mereka sudah berada di dalam bandara. Wanita yang masih terlihat elok itu melepas kedua putranya dengan airmata.

“Kalau sudah berhasil, cepatlah pulang! bawa anak dan istrimu segera”! Titahnya seraya menciumi ubun-ubun sulungnya.

Pesawat menuju Pontianak itu sudah mulai terbang. Kakak beradik itu duduk sebelahan seraya memandang awan putih dari jendela.

Sang adik mulai terkantuk. Sebentar kemudian beliau telah terlelap bersandar ke sandaran kursi.

Sementara si sulung semakin gelisah. Tatapannya seolah melayang ke sebuah tempat.

lima tahun kemudian insiden itu dialaminya, sangat kental dalam ingatan dan tak pernah sesuatupun berhasil menguburnya.

Kenangan memilukan itu justru berawal dari hari yang cerah bertabur kebahagiaan dalam rumah kecilnya.

Seminggu sesudah memotong rambut Sibiel yang seketika berubah kolam bidadari dari kayangan, mengenakan sutra halus sebagai pakaian yang didapatnya dari penduduk dusun jauh dari daerah mereka tinggal.

Sibiel tampil kolam bidadari yang kecantikannya melebihi perempuan manapun di dunia ini.

Rambutnya sudah terpotong jadi sebatas pinggang, bergelombang, berkilau tertimpa sinar matahari. Membuat Rangga tak sanggup berpaling walau sedetik.

“Suara apa itu Kanda”? Dia melilitkan tangannya di pinggang rangga ketika burung raksasa itu melintas percis di atas kepala mereka.

Entah harus senang atau justru murung ketika sesuatu yang ditunggu-tunggunya itu datang.

Dalam keadaan yang sudah terlanjur kiranya beliau tak punya banyak pilihan.

“Bagaimana Rangga? kau menentukan ikut bersama mereka keluargamu, atau tetap di sini bersama kami yang juga sudah jadi keluargamu”? Kepala suku menatap tajam ke arahnya. di sebelahnya berdiri Aria dengan tatapan penuh kerinduan.

“Ingat mamah kak! beliau terus menangis lantaran kehilanganmu”! Gumamnya memohon.

Sementara tak jauh dari tempatnya berdiri, ada Sibiel yang dipegangi ayahnya. Menangis dan memohon sungguh-sungguh pada suaminya.

Gadis itu tak mengeluarkan kata-kata, hanya tatapan nanar yang mewakilinya.

“Jangan pergi Kanda! saya mohon”! Sungguh mata itu, mata seindah purnama yang tak pernah surut memberi cinta dan ketulusan dimana takkan sanggup ditemui di belahan bumi manapun.

“Kak! selama kau tak ada, mamah terbaring ibarat koma, beliau benar-benar kehilangan sumber semangatnya! kasihanilah mamah kak”! Kembali Aria mengeluarkan kalimat pembujuknya, kalimat yang tiba-tiba meluluhkan hampir seluruh sendinya.

“Baiklah, saya akan … … … Pulang”!

Seketika badan Sibiel melunglai, kalau tidak titahan tangan ayahnya beliau sudah melorot jatuh ke tanah.

Pintu helli itu hampir tertutup, ketika telinganya mendengar sesuatu dari bawah dan membuatnya harus membalik tubuhnya kembali.

“Kanda! saya mohon! demi calon anak dalam perutku ini”!


“Tunggu saya dinda! saya akan menjemputmu dan anak kita! dan sesudah ini takkan ada lagi yang memisahkan, cukup kita saja”!

Dia bergumam sambil melafazkan do’a bagi keselamatan perjalanannya.

Tiba di Pontianak, Dia menyewa sebuah helli semoga sanggup masuk ke pedalaman hutan. Seorang rekannya berjulukan Amru yang berbaik hati mengantar mereka ke sana.

Dari sini kalian harus berjalan kaki untuk sanggup menembus hutan dan menemukan perkampungan itu! ingat! kalian harus tetap waspada! kabarnya sesudah kau lolos lima tahun kemudian mereka kian gencar melawan orang asing”. Amru mengingatkan ketika mereka mendarat di tepi hutan.


Hari sudah beranjak senja ketika abang beradik yang kompak semenjak kecil itu berjalan menaiki perbukitan.

“Sudah hingga di perkampungan kak! kemudian kita kemana”? Aria bertanya ketika mereka harus mengendap di semak-semak demi terlindung dari pandangan orang.

“Jalan menuju rumah Sibiel sesudah sungai itu! tapi hati-hati! biasanya jam segini banyak orang sedang mandi”!

“Siiiip! ayo kita mulai”! Dengan semangat lantaran hendak bertemu ipar dan ponakannya Aria berjalan mendahului kakaknya.

“Waw! lihat kak! ada bidadari sedang mencuci”! pekiknya ketika tiba di hulu sungai.

Ditunjuknya seorang perempuan dengan wajah ibarat purnama yang tengah mencuci sayur-sayuran. Tak jauh darinya seorang anak lelaki tengah berenang penuh kegembiraan.

Dari balik semak itu Rangga mengusap dada. Matanya terasa panas ingin memecahkan bendungan rindu yang selama ini ditanggungnya.


*bersambung*



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Kemilau Purnama (Part 1)"