Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Goresan Sang Perindu

Terkadang kenyataan memang menyakitkan. Memeluk dan menjunjung tinggi keadaan yaitu hal tersulit. Tapi percayalah, Tuhan mendengar seruanmu.

Banyak orang yang mengangap kesempurnaan yaitu segalanya. Pikiran mereka selalu berotasi dalam gemerlap kehidupan. Tidakkah mereka berpikir bahwa di balik gemerlap itu ada secuil perih yang di derita segelintir orang. Contohnya, aku.

Kupikir, saya bukanlah orang yang akil merangkai kata- kata. Bukan juga orang yang suka disanjung alasannya yaitu talentaku. Bahkan saya bukan orang yang bahagia berlari dalam zona kenikmatan duniawi. Aku lebih suka dengan duniaku sendiri. Terhanyut dalam hening.

Sering rasanya, merasa terhimpit oleh keadaan. Keterbatasan yang kumiliki seakan melarangku untuk berkembang. Hampir setiap waktu, saya harus beradu dengan kesulitan- kesulitan ini. Tak ayal, saya yaitu penyandang disabilitas.

Aku memang berbeda dari anak- anak lain. Cara mengungkapkan pendapat, berkomunikasi, saya punya cara khusus untuk melaksanakan ini. Cara yang tak sama dengan masyarakat umumnya. Cara yang acapkali menjepit keberadaanku. Cara yang seakan memaksaku untuk merasa terkucilkan.

Orang- orang selalu menganggapku sebelah mata. Memvonisku sebagai orang tak berguna. Betapa ironisnya ketika saya harus mendengar nista yang bersumber dari pedoman sempitnya. Sakit. Ketika saya harus berada di sudut tatapan benci, ingin rasanya menghilang dalam sekejap kedipan mata.

Terkadang saya harus berusaha terlihat tegar. Berpura tak mendengar segala sindiran pedas yang mecubit gendang telinga. Aku harus tetap menorehkan senyum pada siapapun. Terlihat sempurna, lahir dan batin.

Namun sekeras apapun saya menutupi, sekuat apapun saya berdiri, saya tetaplah aku. Orang yang ‘mungkin’ tak seberuntung insan umumnya. Orang yang harus terjun dalam keterbatasan. Bila diijinkan menentukan mungkin saya tak ingin lahir di dunia dalam keadaan ibarat ini. Karena tak ada satu pun insan yang rela dihina, tulus dipermalukan, dan berpengaruh menderita.

Tak perlu jauh- jauh, kerasnya kehidupanku tak hanya sekedar dihina atau pun dipermalukan. Betapa sesaknya, ketika saya berusaha berinteraksi dengan orang lain, namun mereka tak mengerti apa yang kubicarakan. Mereka tak paham apa yang kuinginkan. Aku berusaha menjelaskan dengan bahasa- bahasa tubuh, tapi tak banyak yang mengerti. Aku memaksakan diri untuk berkata, tapi tak ada yang mendengar. Tragis bukan?

Saat saya dalam keadaan terjepit dan benar- benar butuh bantuan, apakah orang yang menolongku akan tahu kebutuhanku? Mereka hanya akan dibentuk gundah olehku. Kemudian mereka akan menjauh sehabis tahu kondisiku sebenarnya. Lagi- lagi menyangkut kekuranganku.

Dalam benakku, selalu saja terlintas untuk pembuktian, bahwa saya bisa jadi yang terbaik. Namun saya lupa satu hal, saya punya keterbatasan untuk berjuang. Aku tidak ibarat anak lainnya, yang berhak menuntut ilmu di sekolah negeri. Mereka akan terbang bebas dengan segala kelebihan yang mereka punya. Sedangkan aku? Aku akan dikesampingkan. Aku akan dinomorduakan dari anak normal, atau bahkan dinomortigakan.

Sebagai contoh, orang- orang di sekitarku sama sekali tak ada yang mengerti bahasa isyarat. Bila saya ingin berbelanja, tak satupun penjual yang paham. Bila saya menyapa, tak satu pun yang merespon.

Aku heran, sebegitu tidak pentingkah penyandang disabilitas sepertiku? Bukankah kami pun penerus bangsa yang juga punya potensi besar untuk memajukan bangsa ini? Oleh alasannya yaitu itu, saya selalu berharap, ada kebijakan pemerintah yang mengijinkan penyandang disabilitas sepertiku memperoleh pendidikan yang sederajad dengan anak normal lainnya. Aku pun berharap, ada pembaharuan darihal terkecil. Penyuluhan/ sosialisasi ihwal bahasa kode misalnya. Jadi, setidaknya mereka bisa tahu apa yang kubicarakan.

Hampir setiap waktu, pada Tuhan saya berseru, meminta pertolongan. Aku ingin, mereka yang tertutup pintu hatinya, dibukakan. Tak ada lagi hinaan, tiada lagi nista. Aku benar- benar merindukan kehidupan yang putih, penuh kedamaian. Aku tak ingin dibedakan, atau bahkan dikucilkan. Aku merindukan perlakuan yang sama. Aku ingin menerangkan bahwa saya mampu, saya bisa jadi yang terbaik.

Airmataku tumpah menerpa kertas dan melunturkan gesekan pena. Tak ada satupun yang tahu ihwal ini. Kecuali saya dan Tuhan. Tangisku ini tiada guna tanpa usaha. Karena air mata tak akan mengubah.

Tapi saya percaya, meskipun ketika ini saya menangis, suatu ketika saya akan menuai buahnya sambil bersorak- sorai. Aku tak akan menyerah. Sebanyak apa pun orang yang meremehkanku, saya tak akan lengah. Kan kujadikan remehan itu sebagai pacuan untuk terus maju, untuk terus beradu dengan sesaknya kehidupan yang bahu-membahu tak pantas untuk ditangisi.


NB: Tulisan ini didedikasikan untuk para penyandang disabilitas. Penulis mengambil sudut pandang sebagai orang yang menyandang disabilitas, dan mencoba mencicipi apa yang mereka rasakan. Mencoba menggambarkan sebuah perjuangan. (Penulis pernah mengikutsertakan goresan pena ini dalam lomba yang diselenggarakan kartunet).



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Goresan Sang Perindu"