Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Tolak Sebab Tak Mempunyai Sepuluh Jari

Masa penuh kebingunggan, deg-degan, dan mencari peruntungan mungkin itu ialah segala rasa dan asa yang bagai virus menjangkiti anak seusiaku kala itu. 15 tahun ialah usia labil, masa transisi dari Sekolah Menengah Pertama ke SMA yang sedang galau memilih arah hidupnya termasuk masa depannya. Euforia kelulusan tercoreng oleh bayang-bayang pertanyaan “Aku mau masuk SMA/SMK mana?”, “Kalau daftar di SMA/SMK itu saya bisa lulus tidak?”, dan banyak sekali pertanyaan lainnya yang bikin dag-dig-dug.


“Nu, kau daftar di Sekolah Menengan Atas mana?” tanya sahabat saya Tina


“SMAN 2”. Jawabku


“Yang mana sekolah pilihan pertamamu” tanyanya lagi


“Pilihan pertamaku SMAN 2, yang kedua SMAN 3, dan yang ketiga SMAN 4. Ketiga sekolah itu  satu rayon”.


Pada tahun 2000 registrasi Sekolah Menengan Atas Negeri masih menggunakan sistem rayon. Kaprikornus pada masa itu kami punya banyak pilihan sekolah yang ingin dimasuki. Dan belum ada tes ujian masuk. Kita akan di saring sesuai NEM. Masing-masing sekolah punya standar NEM untuk kelulusan.


“Kalau gitu kita sama. Kalau sekolah kejuruan kau daftar ga?” Seru ku


“Iya, di SMKN 4. Aku sudah ambil formulir dan mengisinya. Hari ini saya ingin mengembalikan Formulirnya”.


“Kalau gitu barengan saja. Aku juga mau mengembalikan formulir. Ketemu di sana ya”


“Oke”


*****


Pagi yang cerah, saya sudah rapi dan wangi. Map merah berisi formulir pedaftaran yang sudah saya isi lengkap beserta berkas-berkas pendukung lainnya kupegang erat-erat dengan tangan kiriku.


“Wow ramai sekali” kataku dalam hati ketika berada di depan pintu gerbang SMKN 4. Ratusan anak sebayaku kemudian lalang membawa map sama menyerupai aku. Satu dua orang anak terlihat  ditemani oleh orang renta mereka. Di tengah keramaian dan kebisingan tersebut saya celingak-celinguk mencari  Tina. Postur tubuh Tina yang tinggi semampai serta rambut ikal yang selalu dikuncir menciptakan saya gampang menemukannya diantara kerumunan orang.


“Hai, sudah usang tin?” tanyaku


“Yup, lumayan. Sudah masukkan gih formulirnya ke loket itu. Setelah kumpul formulir kita akan dipanggil untuk mengukur tinggi dan berat badan”.


“Hah, ukur tinggi” tanyaku dalam hati. Hadeh… kalau pakai syarat tinggi tubuh segala kemungkinan besar saya tak lulus”. Aku pesimis.


Sekitar 10 menit kemudian, seorang guru memanggil aku.


“Benar namanya Nur Sahadati”. Aku hingga kaget di tanya menyerupai itu


“Iya benar pak” Jawabku


“Bisa ikut saya sebentar” katanya lagi


“Iya baik pak”


 


Aku pun mengikutinya. Aku pikir akan di panggil ke ruang bab dalam loket registrasi untuk diukur tinggi tubuh dan berat badan. Ternyata tidak, kami sudah melewati pintu masuk ruangan tersebut dan akan menaiki tangga. “Mau di bawa kemana aku” tanyaku dalam hati.


Sesampai di lantai 2 kami memasuki sebuah ruangan. Di depan ruangan tersebut ada papan keterangan “Ruang Kepala Sekolah”.


“Ruang Kepala Sekolah? Apa salah aku? Aku kan belum jadi siswi di Sekolah Menengah kejuruan ini?” dibenakku penuh dengan pertanyaan.


Aku pun memberanikan diri memasuki ruangan tersebut. Ruangan yang sangat besar berdasarkan saya jikalau dibandingkan ruangan kepala sekolah sewaktu saya SMP.


“Masuk nak, tidak usah malu-malu” Ajak pak kepala sekolah itu


“Silakan duduk. Dia mempersilakanku duduk di kursi tamunya.


“Terima kasih pak”. Jawabku sambil tersenyum penuh ketegangan.


“Pasti kau bertanya mengapa kau di panggil ke ruangan ini”


“Iya pak”


Setelah pak Kepala Sekolah itu berbasa-basi menjelaskan panjang lebar perihal sekolahnya, jurusan-jurusan yang ada di sana, dan akomodasi yang dimilikinya. Akhirnya ia menyampaikan maksud sebenarnya.


“Maaf nak, kami tidak bisa mendapatkan kau di sekolah ini, berhubung di sekolah ini ada mata pelajaran mengetik cepat yang mengharuskan menggunakan sepuluh jari dan disini sangat disiplin jikalau tidak menggunakan kesepuluh jarinya untuk mengetik maka jari-jari siswa itu akan di pukul”. Mentalku pun jatuh ke titik nol. Aku seorang penyandang disabilitas tuna daksa dengan ajun yang lebih kecil di banding tangan kiri dan dengan jari yang tak lengkap. Kekuranganku inilah yang menciptakan Bapak dihadapanku ini merasa saya tak layak untuk menjadi siswi di sekolah yang dipimpinnya.


 dan mencari peruntungan mungkin itu ialah segala rasa dan asa yang bagai virus menjangki Di Tolak Karena Tak Memiliki Sepuluh Jari


“Pengalaman kami beberapa tahun yang lalu”, lanjutnya “kami mendapatkan siswa yang mempunyai cacat pada jari-jari tangannya, ketika ia menjalani mata pelajaran tersebut siswa itu kena pukul oleh gurunya alasannya ialah tidak bisa memaksimalkan penggunaan jarinya. Akhirnya siswa tersebut mengadu ke orang tuanya, dan mereka komplain kepada guru kami. Karena kami tidak ingin mendapatkan dilema yang sama sebaiknya sedari awal kami tidak mendapatkan kau di sekolah ini”. Aku hanya termenung dan menahan tangis mendengar pengakuannya tersebut. Saat itu saya sangat shock tak bisa membela diri atau menuntut persamaan hak. Aku hanya bisa pasrah mendapatkan kenyataan yang sangat pahit.


“Baik pak, saya mengerti. Aku permisi” Hanya kata itu yang bisa saya ucapkan. Keluar dalam ruangan itu saya mencoba untuk berpengaruh dan tak menangis. Aku pun menemui sahabat saya Tina.


“Nu, kau tadi darimana?”


“Sudah selesai?” saya tidak menjawab pertanyaannya.


“Iya, tapi saya mau ke SMAN 2 lagi mau mengembalikan formulir”


“Oke bareng saja”


Setelah meninggalkan sekolah tersebut dan naik di pete-pete (nama angkutan umum di Makassar). Aku pun meluapkan segala kemarahan, kekesalan, kekecewaan, dan kesedihanku. Tina heran melihat tingkahku.


“Kamu kenapa nu?” Tanyanya kaget melihatku berderai mata.


Aku tidak bisa berkata apa-apa untuk menjawabnya saya hanya bisa menangis. Aku tidak peduli  dengan pandangan heran para penumpang pete-pete yang ketika itu seluruh bangkunya terisi penuh. Tina berusaha menenangkanku.


Selama beberapa menit lamanya, saya mulai hening dan sudah bisa menceritakan kepada Tina bencana yang terjadi di ruang kepala sekolah. Tina sangat prihatin mendengarnya, ia juga ikut sedih.


“Sudahlah nu, di situ bukan sekolah satu-satunya. Kesempatanmu untuk lolos di sekolah lain masih terbuka lebar”. Hiburnya.


“Tapi bukan begitu caranya. Mendingan saya tidak usah dipanggil dan diberitahu terus terang. Tidak meluluskan saya pada ketika pengumuman itu setidaknya tidak terlalu mengecewakan”.


“Iya juga sih. Tapi sudahlah ga usah nangis lagi Insya Allah banyak hikmahnya. Kita sudah mau hingga nih”


Benar kata  Tina, sekolah itu bukan satu-satunya masih banyak sekolah lain yang bisa menerimaku dengan cara yang lebih baik. Tuhan niscaya menyediakan sekolah terbaik untukku. Alhamdulillah, Allah meluluskanku di Sekolah Menengan Atas Negeri 11 Makassar. Inilah yang terbaik yang Tuhan berikan kepadaku. Teman-teman yang baik, guru-guru yang cerdas dan bijak, dan aturan-aturan di sekolah tanpa diskriminasi.


Sejak ketika itulah saya bertekad dalam hati bahwa saya akan menyampaikan kepada orang-orang bahwa “Hebat di keterampilan komputer bukan hanya alasannya ialah ke sepuluh jarinya bisa menari dengan indah dan lincah di atas keyboard, komputer bukan hanya urusan ketik mengetik tapi juga seni berkreasi dan berkreatifitas. Berkarya dan mencipta dengan memberdayakan logika dan software pemprograman untuk menciptakan sebuah aktivitas aplikasi yang bermanfaat”.


 


********


Hinaan, sindiran, dan anggapan enteng orang lain jangan menciptakan kita terpuruk dalam lembah kesedihan dan putus asa. Kita juga tak perlu membalas mereka dengan cara yang sama. Semuanya bisa kita ubah menjadi sebuah energi positif yang bisa menciptakan kita lebih maju dan menandakan kepada orang-orang bahwa kita tak menyerupai yang mereka bayangkan atau pikirkan. Cukup “Action and Do More”.


Ketika duduk di kursi kuliah saya mengambil jurusan “Manajemen Informatika”. Di kampus tempatku kuliah sangat Welcome dengan penyandang disabilitas. Di sana mereka tak mempermasalahkanku bisa mengetik sepuluh jari atau tidak. Pada waktu wisuda, Alhamdulillah saya menjadi wisudawan terbaik dengan IP cum laude.


Setelah kuliah saya menekuni banyak sekali profesi. Profesi pertamaku ialah seorang designer dan programmer web, sesudah itu menjadi seorang  debugger dan trainer di salah satu perusahaan pembuat software aplikasi POS (Point Of Sales) untuk mini market dan supermarket. Profesi terakhirku sebelum memutuskan resign  adalah Store Manager di salah satu mini market di Makassar.


Ingin sanggup bangkit diatas kaki sendiri dan keluar dari zona kondusif itulah yang saya lakukan ketika ini alasannya ialah saya ingin mewujudkan impian-impianku. Be a entrepreneur, be a writer, and be a blogpreneur adalah mimpiku. Saat ini saya sedang merintis bisnis sendiri, menekuni hobi menulis, blogging, dan internet marketing. Sebuah kutipan dari buku penulis favoritku Andrea Hirata “Bermimpilah alasannya ialah Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”. Trust it!!!


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Di Tolak Sebab Tak Mempunyai Sepuluh Jari"