Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Balik Jendela Upi

Bila suatu waktu kalian menginjakkan kaki di perbatasan Bandung utara, seratus meter menjelang terminal kalian bisa lihat gedung cat krem berlantai lima.


Berada paling depan dari wilayah kampus universitas pendidikan ternama di Indonesia.


Jangan tanyakan berapa ribu mahasiswa, berapa ratus dosen, berapa puluh staf manajemen atau  sekuriti yang ada di dalamnya, lantaran bukan itu yang ingin diceritakan saya pada kalian, tapi sebuah kisah yang tengah mengalir dalam salahsatu ruang segi empat dalam gedung tersebut.


 


“Kenapa saya harus bersedih? kenapa pula harus tersinggung? saya memang marah, tapi apa itu cukup?” Itu berondongan isi hati atas keputusan Pak Makmur dalam perkuliahan Pergelaran Sastra tadi.


Setelah bersusah payah memaksimalkan diri biar lolos dalam sleksi Monolog, siapa sangka hasilnya ternyata sia-sia.


“Gak perlu khawatir, Nens! intinya kategori manapun sesungguhnya kau bisa, cuma, untuk Pergelaran ini Pak Makmur mungkin punya pertimbangan lain.” Itu kata Jen, sahabat dekatku sepanjang perkuliahan.


“Menurut kamu, saya gagal dalam Monolog lantaran saya tunanetra, yah?”


“Hus! kau ngawur, Nens! niscaya bukan itu maksudnya pak Makmur, barangkali memang kau itu lebih pas masuk dalam tim musikalisasi, lantaran dia, dan kita semua tahu suaramu bagus, Nens,”


“Tapi Menampilkan Monolog itu yaitu mimpiku semenjak lama, Jen, dan begitu kesempatan ini datang, ternyata saya tetap gagal. Hampir tak sanggup kubendung lagi gejolak perasaanku, dan menyerupai yang sudah kehabisan kata, Jen pun hanya melamun melihatku menahan kecewa.


“Yang harus kau lakukan sekarang, maksimalkan penampilan dalam musikalisasi, Nens, siapa tahu dengan kau tampil maksimal tetap bisa menciptakan pak Makmur bangga.”


Sepulangnya dari kampus hari itu, saya merenungkan ucapan Jen dengan sedikit-sedikit melupakan insiden tadi.


Sampai keesokan harinya, saya kembali ke kampus dengan perasaan yang lebih tenang.


 


Hari itu persiapan untuk Pergelaran Sastra sudah dimulai. Waktu Lima Minggu yang diberikan bukanlah waktu yang cukup demi sebuah pergelaran besar.


Setiap hari kami harus berlatih dan mempersiapkan program tersebut ditambah mengerjakan tugas-tugas dari mata kuliah lain.


Namun lantaran pergelaran itu yaitu momen yang paling ditunggu, kami benar-benar maksimal dalam mengerjakan segala sesuatunya.


“Kamu sudah OK, Nens! tinggal yang lain niih! sudah berminggu-minggu latihan kok suaranya belum pada kompak, sih?” Itu kata Fidi, reader dalam tim musikalisasi yang disambut gerutuan teman-temanku.


Dalam tim ini kami berjumlah delapan orang. empat pemain musik dan empat vokalis.


Sebenarnya hal utama yang menciptakan saya enggan masuk tim ini bukan kerena kategorinya, lantaran pekerjaan bernyanyi sudah bukan hal asing bagiku. Meskipun saya tidak berprofesi sebagaimana kebanyakan teman-teman tunanetra lainnya yang selalu menonjol dalam dunia tarik suara, namun suaraku juga tak jelek-jelek amat.


Kecanggunganku dalam tim ini hanya lantaran teman-teman  satu tim terutama pada vokalis bukan termasuk teman-teman dekatku.


Ada satu sisi interaksi sosial yang mungkin dirasakan tiap Difabel, dimana tidak semua orang sanggup dengan gampang bersikap menjadi dekat dalam lingkungannya.


Demikian pun denganku, Dua tahun bergaul bersama puluhan teman-teman sekelas tak menjamin semuanya akrab.


Nyatanya tim vocalis musikalisasi ini, yang seolah menjaga jarak denganku, meskipun entah hanya perasaanku atau memang begitu adanya.


 


 


Bukan, bukan mereka antipati dengan keadaanku, namun jarangnya kami bersama menciptakan segala sesuatunya terasa ganjil begitu saya masuk dalam bulat mereka.


Aku seorang disabilitas memang tak punya hak memaksa untuk diterima, namun bahasa badan serta ucapan, sudah cukup menciptakan saya berasumsi pada sebuah keadaan.


“Apa mereka mau terima saya sebagai anggota musikalisasi, Jen? lantaran kau kan tahu, mereka menentukan kategori itu semenjak awal. Mereka menentukan sendiri siapa-siapa anggotanya, makanya saya menentukan Monolog lantaran tak yakin akan diterima di sana.


” Itu kataku ketika Pak Makmur membacakan namaku pada kategori Musikalisasi. Rasa fesimis itu juga tiba ketika ada penolakan halus dari mereka dengan menyampaikan timnya sudah over load.


Tapi sebagai dosen, pak Makmur tetaplah orang yang memegang kendali, sehingga mau tidak mau saya harus sanggup belahan kiprah dari mata kuliah itu.


 


Selanjutnya aku  berusaha mendapatkan dengan bersikap masuk akal dalam mengikuti setiap jadwal latihan. Tak sungkan ikut memberi masukan biar penampilan tim kami sukses pada waktunya.


Dari masukan-masukan itu, diputuskan empat buah puisi yang akan dibawakan dalam bentuk musikalisasi.


Dua judul puisi dari safadi Joko Damono dengan judul Hujan Bulan Juni  dan Ketika Jari-jari bunga terbuka yang telah diaransemen Fidi. Dua judul lagi yaitu pilihan teman-teman yang lain.


Namun lagi-lagi saya tak bergeming, menyerahkan semua pada teman-temanku. Begitu pula ketika mereka memberi bagianku untuk menyenyikan satu lagu, saya tak protes meskipun dalam lagu itu saya hanya bernyanyi sendiri, sementara tiga temanku menjadi trio pada tiga lagu yang lain.


 


“Kamu hanya diberi satu lagu, Nens? sendiri lagi, apa mereka gak ada yang mau sekedar jadi backing, gitu? kan kelihatannya juga aneh,”


Komentar Jen ketika saya menceritrakan hasil pertemuan dengan tim musikalisasi tadi pagi.


“Biar saja lah, toh yang penting saya pun kebagian tugas. Soal mereka mau nyanyi sendiri-sendiri atau bareng-bareng, saya gak peduli.” Timpalku sambil tersenyum. Sebenarnya geli juga waktu membayangkan pembicaraan tadi, Fidi dan pemain musik juga tampak keheranan dengan pembagian lagu itu, tapi dengan datar saya malah meyakinkan mereka dengan alasan kurang bisa menyesuaikan bunyi jikalau menyanyi berkelompok.


Saat tengah asik menghafalkan puisi dan Jen juga tengah kusuk menghafal naskah dongeng yang akan ditampilkannya nanti, masuk pesan gres pada handphonku.


Isinya dari Fidi yang memberi tahu bahwa besok siang ada jadwal latihan di aula fakultas.


“Kamu enak, Jen! gak perlu sering-sering latihan dengan yang lain, cukup di kosan sambil tiduran!” Kataku kepada Jen yang seolah begitu santai dengan tugasnya.


Sementara cewek orisinil Indramayu itu hanya tertawa.


“Habis, saya gak bisa nyanyi sih! coba suaraku bagus, pribadi tereliminasi tuh geng narsis!”


“Hus! jangan dong! memangnya sekolah tinggi fantasi apa? pake ada program eliminasi!”


 


“Kawan-kawan, tampaknya ada lagu yang harus dihilangkan lantaran Pak Makmur meminta puisi karangannya ikut ditampilkan.” Fidi membuka latihan sesudah semua berkumpul.


Teman-temanku pribadi bereaksi dengan berlomba ingin menyanyikan puisinya Pak Makmur itu.


“Tunggu dulu! maaf nih sebelumnya, lantaran pak Makmur sudah menentukan orang yang membawakannya.”


“Siapa?” Mereka ramai bertanya, seolah ingin sekali mengemban kiprah itu.


Sedang saya menyerupai biasanya, tetap damai memperhatikan. Dalam hati pun tak tertarik sama sekali dengan isu itu, terlebih rasa kecewa pada Pak Makmur yang tidak meloloskanku pada sleksi monolog.


“Iah, pak Makmur minta Nensi buat membawakan puisinya. Gimana, Nens! bisa?” Seketika suasana menjadi sepi, semuanya diam, kecuali para pemain musik yang membunyikan pelan alat musiknya.


Aku bisa mencicipi dengan jelas, bagaimana teman-temanku yang saling pandang, entah protes atau akal-akalan tak peduli, yang niscaya saya hanya mengangguk sebagai balasan atas pertanyaan Fidi.


 


Satu, dua, tiga ahad kami bekerja keras, hasilnya hari pergelaran itu tiba.


Kesibukan tampak terang di belakang panggung. Tim penata rias berteriak-teriak memanggil teman-teman yang akan di-make up.


Lagi-lagi saya harus rela untuk make up belakangan lantaran harus menunggu teman-teman yang lain selesai.


“Begini juga kau sudah cantik, Nens! gak perlu make up berlebihan,” Itu kata Rina, salahsatu sobat dekatku yang bertugas jadi penata rias.


“Batiknya baru, yah?” Komentarnya pada batik yang kukenakan.


“Iah! mendadak beli di Tegalega.” Aku menjawab polos.


“Hus!  pake bilang-bilang beli di situ! bilang dong beli di Factory Outlet gitu! haha!” Aku dan Rina tertawa. Memang sesungguhnya hari itu selain dijadikan ajang pamer kemampuan di atas panggung, juga sebagai ajang narsis lantaran rata-rata batik kami semua baru. Teman-temanku  terutama yang cewek rempong memamerkan batik mereka dengan menyampaikan beli di butik anu, di Factory Outlet  jalan anu, di grey batik  mol anu, dan lain-lain.


 


Pukul Delapan tepat, ketika Ruang pergelaran yang terletak di lantai dua gedung Pusat Kegiatan mahasiswa ‘PKM’  telah dipadati penonton yang keseluruhannya merupakan keluarga besar Bahasa dan Sastra Indonesia, program pun dimulai.


Pak Makmur beserta jajaran dosen dan tamu undangan dari orang renta mahasiswa mennempati dingklik terdepan. Para mahasiswa yang tidak kebagian daerah duduk, bangun berdesakan hingga luar ruangan.


“Nens! ada Bang Frans!” Jen tiba-tiba berbisik ke telingaku, ketika saya tengah berlatih melancarkan lagu pak Makmur bersama Fidi.


“Beneran, Jen?” Aku akal-akalan bersikap biasa, padahal detak jantung ini tiba-tiba lebih kencang begitu Jen berbisik tadi.


“Ayo! nyanyi yang bagus! ada Bang Frans yang menunggu penampilan kamu!” Aku pribadi mencubit tangannya begitu menyadari Fidi berdehem, menciptakan wajahku serasa panas.


 


Acara dibuka dengan sambutan dari Pak Makmur selaku dosen Pergelaran Sastra. Lalu disusul oleh perwakilan dekan dan lain-lain yang mengapresiasi acara pertunjukan ini.


Mereka yang tiba menonton tampak penasaran, lantaran tema yang kami usung yakni GEMPITA PUISI NUSANTARA yaitu tema pergelaran yang unik.


Selama empat jam, empat puluh mahasiswa dari kelas B Pendidikan Bahasa dan Sastra akan menyuguhkan pertunjukan puisi yang disajikan dalam banyak sekali bentuk.


Diawali oleh pembacaan puisi berantai dari tim pembaca puisi. Tampak salahsatunya Donatus, temanku sesama disabilitas netra yang membaca teks  dengan karakter Braille.


Aku ikut dek-dekan dan berdoa biar ia lancar dalam penampilannya.


Setelah pembacaan puisi, dilanjut dengan pertunjukan rampak puisi.


Kali ini enam cewek imut teman-temanku, tampil menarik membawakan sebuah puisi karia Putu Wijaya dengan judul Raksasa.


 


“Nens! boleh minta bantuan?” Tiba-tiba Adi mencolek bahuku ketika saya tengah asik memperhatikan rampak di belakang panggung.


“Kenapa, Di?”


“Aku butuh backing  untuk monolog, kau bisa, kan?” Agak heran hasilnya saya menyetujui undangan Adi dengan menjadi backing pada monolognya.


Sementara Adi tengah menyihir seluruh penonton dengan monolog yang memukau, saya membantu di belakang dengan bersenandung lirih. Sebenarnya agak geli juga lantaran harus senandung dengan nada-nada tak terang terlebih di tengah keheningan suasana ruangan, mengiringi bunyi Adi yang membawa Monolog bertemakan kehancuran sebuah negeri.


“Aduh! gimana ini? bunyi saya serak, Jen!” Aku terbatuk-batuk begitu tepuk tangan membahana seiring Adi yang kembali ke belakang panggung.


“Minum dulu Nens! bunyi kau harus tetap OK,” Jen Menyodorkan segelas air mineral.


“Nens! makasih yah! backingnya tadi keren banget, loh!” Adi menghampiriku, ia terlihat begitu puas dengan penampilannya kali itu.


 


Suasana dalam ruang pertunjukan tak lagi serius, terasa santai lantaran tengah larut dalam penampilan musikalisasi.


Setelah dua lagu dari teman-temanku selesai, saya pun hasilnya menerima giliran tampil.


Namun sebelum naik panggung, Pak Makmur terdengar memberi lagi sambutan.


“Bapak ibu, para tamu undangan, izinkanlah saya memperkenalkan satu karia puisi, yang akand ibawakan oleh salahsatu mahasiswa Istimewa kami.” Maka riuh tepuk tanganpun menyambut saya yang dituntun Jen ke atas panggung.


Entah kenapa ketika membawakan puisi berjudul Cahaya Subuh itu, air mataku turut menetes, tapi saya merasa puas dan gembira lantaran bisa menampilkan yang terbaik, yang sanggup dibuktikan dengan bergulirnya air mata seluruh penonton.


Selesai menyanyikan dua judul musikalisasi, saya menunggu Jen untuk turun dari panggung yang memang dipenuhi properti. Namun bukan main kagetnya ketika bukan tangan Sahabatku itu  yang menuntun hingga ke belakang panggung.


“Sering-sering tiba ke himpunan, yah! banyak musikalisasi bagus di sana, nanti kita buat lapak pertunjukan mingguan di Pentagon,” Ucapnya ketika kami sudah hingga di belakang.


“Maaf ya bang! saya lagi banyak tugas, mungkin semester depan gres bisa ikut gabung.” Jawabku yang pribadi disambut nada kecewa Bang Frans.


“Ciye ciyee! e hm hm!” Wajahku mendadak panas, aib dengan ulah teman-teman yang merecokiku, hingga Bang Frans pun kembali ke  dingklik penonton sambil membalas selosor teman-temanku dengan candanya.


“Kamu harusnya tahu, Nens! kita semua nangis, sedih denger kau nyanyi.”


“Maaf Jen, kali ini saya harus bilang, bahwa sebagai orang yang diminoritaskan oleh keadaan, saya takkan menjadi gentar. Orang lain boleh mencibirku, tidak menganggap ada dengan kehadiranku, tapi Tuhan itu tidak tidur, Dia tahu saya juga bisa menampilkan yang terbaik.”


Itu kata hatiku, terang tidak diperdengarkan pada Jen lantaran memang hanya saya yang akan menyimpan rapat rasa ini hingga semua mengerti.


 


Sebelum jam makan siang pergelaran itupun selesai. Semua merasa puas, para dosen, tamu undangan dan para mahasiswa mengapresiasi pergelaran itu dengan memuji-muji kami.


Begitu pula dengan kami para pemain, dari yang membaca puisi, rampak, monolog,  membaca dongeng , musikalisasi hingga dramatisasi puisi dipastikan sukses secara keseluruhan.


“Kalian semua hebat! kalian benar-benar membanggakan! selamat, yah!”


Pak Makmur menyalami kami, sanggup kurasakan kebanggan dalam hatinya yang telah mengarahkan pergelaran ini menjadi sebuah pertunjukan yang sempurna.


“Oya! saya nanti minta kopian CD-nya, yah! yang ada bunyi Nensinya,” Dosen lain malah sibuk meminta kopian CD. Aku tersenyum geli, mendapati mereka terkesan dengan penampilanku.


Saat itu banyak orang yang sengaja betul menyalami dan menegurku.


“Huuh! sebelum ini boro-boro kayaknya ada yang nge-vance, yang ngajak satu timpun kayaknya pada ogah.” Kataku kepada Jen sambil tertawa.


 


Begitulah, saya menjalani hari-hari di lingkungan kampus senormal mungkin. Tidak banyak impian terhadap mereka, bbaik itu teman-teman, para dosen atau warga sipitas kampus. Aku hanya berharap, mereka cukup menganggapku ada sebagai belahan yang juga berhak atas segala sesuatunya.


Alhamdulillah, pergelaran itu membawa sedikit imbas positif buat harapanku tersebut. Seperti insiden dua ahad setelahnya.


Kelas kami tiba-tiba dicekam rasa murung yang mendalam, ketika salahsatu di antara kami menerima musibah.


Siti, begitu nama itu kusamarkan, difonis dokter terkena abuh paru-paru.


Sudah berminggu-minggu dirawat namun belum mengambarkan kemajuan.


Badannya telah kurus, keduamata cekung, tulang pipi yang semakin tirus, ditambah rasa sakit yang selalu menciptakan ia merintih.


Suatu hari datanglah kabar dari pihak keluarga, bahwa mereka harus segera membawa Siti pulang dikarenakan sudah tak ada biaya.


Mendengar hal itu kami semua berfikir keras, bagaimana biar bisa sedikit meringankan beban keluarga Siti, terutama biar sahabat kami itu bisa kembali menerima perawatan.


Akhirnya, diputuskanlah bahwa kami akan berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan masing-masing.


Ada yang berjualan dari makanan ringan, pernak-pernik hingga pakaian.


Ada pula yang mendadak buka konter pulsa, membagi-bagikan selebaran hingga dengan mengelilingkan kotak donasi.


 


“Sudah banyak penonton, belum?” Tanyaku pada teman-teman tim musikalisasi. Saat itu sore hari selesai perkuliahan, kami membuka lapak hiburan di area danau cinta, daerah biasa para mahasiswa nongkrong.


Jika ingin tahu apa itu danau cinta bisa didapat dengan membaca Mini Novel ‘BIAS DANAU CINTA’.


“Sudah tidak mengecewakan banyak, kita bisa mulai sekarang,” Kemudian para pemain musik mulai membunyikan intro.


Saat itu antara saya dan tim vocalis sudah tak lagi canggung. Kini kami bernyanyi kompak dengan satu tujuan yakni menerima pelengkap rupiah.  Bukan hanya musikalisasi puisi yang coba kami tampilkan,tapi aneka seni sastra lainnya menyerupai Teater, Monolog, Drama dan lain-lain berganti setiap hari. Semua itu dilakukan supaya para penonton tidak jenuh dengan pertunjukan tersebut.


Suatu ketika malah jadi pengalaman yang menggelikan buatku.


Hari itu kami kembali ke lapak dengan membawa tema dramatisasi puisi dengan judul SEORANG GILA.


Aku yang tadi siang sempat ngambek lantaran menerima kiprah jadi orang gilanya, tiba ke daerah pertunjukan mengenakan pakaian yang dibentuk compang camping dengan coretan spidol di sana-sini. Belum lagi wig pengganti jilbab itu yang katanya dekilnya setengah dewa, menciptakan semua orang terpingkal-pingkal dibuatnya.


Sebagai seorang disabilitas pada penglihatan terang saya tak bisa menentukan kiprah sesuka hati, lantaran harus diperhitungkan dengan gerakan-gerakan dalam tiap adegan yang sudah barang tentu tak singkron dengan keterbatasanku.


Saat itulah kiprah sebagai orang gila yang memang tak butuh banyak gerak itu diberikan teman-temanku. Beruntung selama pertunjukan saya sanggup memainkan kiprah sebaik mungkin.


Adegan yang menciptakan semua tertawa dan itu pula yang menciptakan saya hampir lepas kontrol, adalah  ketika duduk di bawah sebuah pohon dengan dikelilingi bawah umur yang membawa batu. Saat itu saya bersikap tak peduli, malah memasang muka hambar dengan pengecap menjulur dan tangan tak berhenti garuk-garuk kepala.


“Ya ampuuun! Malunya mungkin sudah setebal debu di perpustakaan jurusan yang konon katanya bertahun-tahun tak dibersihkan.


 


Alhamdulillah, semakin hari kami melakukan misi solideritas itu, semakin banyak pengunjung yang menonton dan memperlihatkan donasinya.


Begitulah tak kurang dari dua ahad kami bekerja keras mengumpulkan satu dua rupiah sebagai wujud cinta kasih  kepada sahabat tercinta.


Hingga hasilnya dengan mengucap syuqur, terkumpulah sejumlah dana yang tidak sedikit, yang akan diserahkan kepada keluarga Siti.


Kami dating ke rumahnya di Daerah Cirebon, pribadi menerima sambutan haru Keluarga kecil itu.


Ada tangis haru dari mereka ketika bantuan itu diserahkan Pak Makmur yang turut dalam kunjungan itu.


“Nens! Katanya kemarin kau nyanyi, yah? Aku mau dengar dong!” Ditengah suaranya yang parau Siti tiba-tiba memohon.


Sambil memegang tangannya saya kemudian mulai menyanyikan bait-bait musikalisasi yang kemudian diikuti semua teman-temanku.


Ketika jari-jari bunga terbuka,


mendadak terasa betapa sengit cinta kita,


cahaya bagai kabut, kabut cahaya di langit,


menyisih awan hari ini di bumi,


meriap sepi nan purba,


ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata,


suatu pagi di sayap kupu-kupu, di sayap warna.


swara burung di ranting-ranting cuaca,,


bulu-bulu cahaya  betapa parah cinta kita,


Mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah.


 


*tamat*


 


 



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Di Balik Jendela Upi"