Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

All Just About Time, Semuanya Hanya Persoalan Waktu

Gadis berseragam putih biru itu duduk membisu di depan teras rumahnya. Pagi masih berembun menyerupai matanya yang juga nampak berembun. Bahkan hatinyalah ketika ini yang paling berembun. Seharusnya hari ini ialah hari yang penting baginya. Hari para siswa seusianya akan bertempur dengan soal-soal ujian final nasional. Yah.. harusnya memang menyerupai itu tapi apa boleh buat bila terkadang takdir tak sejalan dengan keinginan, tak ada yang bisa melawannya. Mau berontak? Hei kawan, itu takkan membantu mengembalikan segalanya termasuk penglihatan gadis itu.


“Nurul, masuklah ke dalam rumah, Nak. Kita sarapan bersama yuk,”


Suara perempuan remaja dari dalam rumah itu memanggil, tetapkan imajinasi gadis tersebut. kini ia terpaksa harus kembali dalam dunia kasatmata yang mau tak mau harus diterimanya. Layaknya mereka yang normal, ia berjalan santai tanpa meraba-raba di sekitarnya. Ia sudah hafal persis seisi rumahnya dan langkahnya kini terhenti ketika telah berada di hadapan meja makan yang ada di ruang makan. Duduk di salah satu bangku yang terdekat.


“Dapat dimana baju seragam SMP-nya? Kan sudah setahun lebih kamu tak sekolah?” perempuan remaja yang tak lain ibunya bertanya, ada sebuah mendung tersembunyi dalam wajahnya. Dan ayah si gadis yang duduk di hadapannya juga sama-sama menyembunyikan mendung dalam wajahnya. Ayah ibu mana yang tak tahan bila melihat puteri berliannya dalam keadaan menyerupai itu. akan terasa menyakitkan meski bukan mereka yang mengalaminya.


“Di lemari baju Nurul kok, seragam lain juga masih ada terlipat rapi disana,”


Hening, hanya terdengar bunyi pertempuran antara piring beling dan sendok yang berisik. Si gadis berdehem, kemudian berkata,


“Pi… Mi.., Nurul mau sekolah, saya kan sudah sembuh. Boleh ya..? please…,”


“Jangan, Nak, tak boleh. Bagaimana kalau kamu sekolah akan memicu kembalinya tumor otakmu. Kami sangat menyayangimu, tak ingin penyakit itu kembali menyakitimu. Sudah cukup penyakit itu mengambil penglihatanmu,” kata kedua orang tuanya memberi gambaran, keduanya terlihat sedang menghela nafas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimat-kalimat yang menyedihkan itu. sang gadis tak peduli dan terus membujuk dengan seribu dalih yang menurutnya logis dan benar. Perdebatan kecil pun terbentuk yang berakhir dengan air mata kesedihan.


 


Kejadian itu sudah berlalu dua tahun yang lalu, waktu terasa begitu cepat. Situasi dan kondisinya sudah tidak mengecewakan berbeda. Nurul si gadis menyedihkan itu kini tengah sibuk menyimak pelajaran yang dibawa oleh guru perempuan di kelasnya. Seragamnya pun beda, bukan putih biru lagi tapi putih hitam menyerupai warna kotoran cicak. Melalui gosip salah satu pamannya, ia kesannya bisa ketemu dengan sekolah luar biasa itu. jangan tanyakan bagaimana cara ia bisa sanggup menembus benteng pertahanan ayah ibunya, itu hanya dilema waktu ditambah faktor keberuntungan dan kegigihan meski ayah ibunya sesungguhnya sangat berat hati melepaskannya. Jarak yang cukup jauh dari rumahnya membuatnya terpaksa berasrama, sangat beresiko bila ia harus selalu kelelahan. Di sekolahnya yang kini keadaannya sangat jauh berbeda dengan sekolah pesantrennya dahulu yang muridnya banyak. Di sekolah yang kini muridnya sangat sedikit tiap kelasnya, dan di kelasnyalah yang bisa dikatakan mempunyai murid terbanyak diantara kelas lain. Ia ditambah ketiga sobat kelasnya yang semuanya pemuda ialah jumlah anggota dalam kelasnya, sangat minim dan tentu dialah cewek yang tercantik diantara mereka. Dan masih segar dalam ingatannya ketika awal perjumpaannya dengan ibu kepala sekolah yang tiba-tiba mengambil kedua tangannya kemudian meletakkannya di atas buku besar yang penuh dengan benjolan-benjolan kecil kayak abuh mini. Dan parahnya ia terbelalak, hampir saja menjatuhkan buku itu alasannya ialah terkejut ketika merabanya. Ia mengira benjolan-benjolan itu binatang-binatang kecil yang berhamburan di atas buku besar tersebut. dan esok harinya ia sudah tahu mengenai benjolan-benjolan itu yang disebut aksara braille. Ada enam titik namun tak semuanya dibutuhkan, ada rumus dan tekhnik tertentu untuk membuat setiap huruf. Dan alat tulisnya yang diharapkan sangat sederhana bahkan tak membutuhkan tinta tak menyerupai pulpen yang harus selalu diisi ataupun pensil yang tiap hari akan makin pendek. Pen dan riglet ialah namanya. Pen berukuran pendek, modelnya menyerupai paku payung dan dibawahnya runcing tapi juga agak tumpul yang bertujuan untuk melubangi kertas yang sudah terlebih dahulu dijepit dalam riglet yang berkolom-kolom berbentuk kotak dan tiap kotak mempunyai enam lubang. Sulit mendeskripsikannya maka lebih baik melihatnya sendiri bila ingin tau dengan bentuknya. Hari pertama nurul atau yang dipanggil Risya di sekolah kesannya berhasil menghafalnya dan mempraktekkannya dan esoknya ia sudah bisa menulis dengan alat tulis tersebut bahkan bisa membaca tulisannya. Agar ia bisa menulis lebih lancar dan alasannya ialah kebetulan hobinya menulis, sebuah cerpen dibuatnya yang berjudul “Lilin itu takkan pernah padam”. Sangat menyenangkan baginya bisa kembali bisa menulis dan membaca menyerupai dahulu ketimbang menulis dengan pulpen atau pensil yang berujung tulisannya menyerupai naik turun gunung meski masih bisa dibaca oleh orang-orang namun ia sendiri tidak bisa melbihatnya apalagi membacanya. Dan sebelum kembali ke posisi sekarangnya yang seharusnya duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama tepatnya di awal semester dua alasannya ialah di masa kelas itulah pendidikannya harus ngadat, ia untuk sementara didudukkan di kelas lima SD selama tiga bulan. Muridnya hanya dua yaitu Jusman dan dirinya sendiri, namun yang mencengangkan bukan dilema itu tetapi usia Jusman yang rupanya sudah setengah abad. Benar kata orang bijak yang menyampaikan menuntut ilmu itu tak memandang usia, selama hayat masih dikandung tubuh selama itu pula kita tetap harus terus menuntut ilmu.


 


“Hei, Sya! Kau jadi tidak ikut pembinaan komputer yang diadakan kak Rais?” tanya Niko salah satu sobat kelasnya ketika guru mereka telah meninggalkan kelas.


“Oh, tentu dong! kamu sendiri?”


“Belum niscaya sih, tapi kemungkinan saya mau ikut,”


“Ya…, ikutan ajalah. Asyik kita akan diajarin seluk beluk microsoft word, internetan, dan sebagainya,”


“Sebenarnya dari dulu saya sudah pernah ikutan pembinaan menyerupai itu sih, tapi alasannya ialah akunya jarang praktekkan, jadi lupa-lupa ingat. Oh ya, kamu mengetiknya apa sudah lancar?”


“Standar, saya kan awalnya sudah diajarin cara ngetik sepuluh jari oleh Angga dan Kak Rais juga, dan saya sudah hafal mati, hanya memakan satu hari. Tapi saya hanya diajarin hingga situ saja. Oh ya, kok jarang dipraktekkan sih? Di ruang Hayer education kan banyak komputer?”


Yah.. menyerupai itulah kawan, khusus para kaum tunanetra menyerupai mereka, tentu wajib dan menjadi persyaratan utama sanggup mengetik sepuluh jari bila hendak mengoperasikan sebuah komputer. Laptop, dan sejenisnya. Tanpa itu, entahlah…


 


Bulan demi bulan silih berganti, tak terasa Risya sudah setengah tahun menempuh pendidikan di SLB. Sehari-hari selain bertemu dengan murid-murid di SLB itu, ia juga selalu bertemu dengan orang-orang tampaknya yang juga berasrama di sana tetapi melanjutkan pendidikannya di sekolah umum hingga ke universitas-universitas. Dengan adanya alat bantu menyerupai pen dan riglet, buku braille, digital book, laptop atau komputer, handphone, alat scan, dan kanal internet, mereka bisa bersaing dengan siswa-siswa lainnya yang normal. Bahkan salah satu temannya yang berjulukan Syarif selalu peringkat satu di SMU negrinya. Alat-alat bantu mereka terkecuali buku braille, pen dan riglet, semuanya sedikit bawel alasannya ialah terus mengoceh bila sedang dipakai bertugas membacakan tulisan-tulisan yang tertera pada layar yang mereka tak bisa lihat. Software dan aplikasi yang terpasang dalam alat-alat itu sangat memudahkan kaum tunanetra menyerupai mereka. Risya pun berharap bisa menyerupai mereka yang sukses bahkan ingin lebih sukses dari mereka tentunya.


 


Jalan hidup ini tak selalu mulus bukan? Setengah tahun yang dijalani Risya di SLB-nya tiada disangka kembali bertemu dengan bahaya lubang kematian yang setiap ketika sanggup menghampirinya. Yah… tumor itu kembali bertamu dalam kehidupannya, bahkan dari hasil foto cityscan menyampaikan teroris itu kini lebih besar dari sebelumnya. Back to home, apa bisa dikata, kawan? Lagi-lagi ia harus dioperasi untuk kedua kalinya. Dan Tuhan Maha Pemurah lagi-lagi juga kembali memberinya kesempatan hidup. Hingga tak terasa sudah hampir setahun gadis itu dalam masa perawatan dan pemulihan. Meski dalam keadaan menyerupai itu, bukan Risya namanya bila pasrah begitu saja pada nasib yang sesungguhnya beberapa diantaranya sanggup kita rubah bila insan itu berusaha. Dan hasil usahanya pun tak sia-sia meski sempat ditentang keras oleh ayah ibunya alasannya ialah ia bersikeras untuk mengikuti ujian final nasional, dan lagi-lagi hanya dilema waktu. Dalam empat hari berturut-turut dan dengan didampingi oleh sahabatnya yang selalu bersedia membacakan soal-soal ujian untuknya dan sekaligus menghitamkan bundar balasan yang dipilihnya, kesannya berhasil ia lewati. Dan tak terasa tibalah hari dimana hasil ujiannya diumumkan dan ternyata ia lulus.


 


Tak puas hingga disitu saja, Risya kembali membujuk-bujuk ayah ibunya semoga ia bisa kembali bersekolah. Semuanya terasa menyerupai dejafu alasannya ialah kejadian hari itu tak jauh berbeda dengan kejadian bertahun-tahun yang lalu. Pembujukan menjelma menjadi perdebatan dan berakhir air mata.


“Ingat ya Nurul, kamu bukanlah orang buta biasa menyerupai kawan-kawanmu yang lain. Kau buta alasannya ialah penyakitmu itu dan kamu tak boleh banyak berpikir kata dokter. Apa kamu tak sayang pada dirimu sendiri? Tak sayang papi dan mami? Kasusmu berbeda dengan kawan-kawanmu, sangat beresiko,” terang Ayahnya, ekspresi murung berpadu murka membuat gurat-gurat wajahnya berubah-ubah tak jelas.


 


Namun menyerupai biasanya, hanya waktu yang bisa mengubah segalanya. Waktulah yang bisa merobohkan istana Nabi Sulaeman, menaklukkan seorang raja yang perkasa, dan meruntuhkan gunung-gunung kokoh. Waktu, waktu, dan waktu. Waktu ialah ciptaan Tuhan yang tak bisa ditaklukkan dan dilarang oleh siapa pun terkecuali Sang Pencipta yang membuat waktu itu sendiri. Saat ini Risya tengah berada di sebuah ruangan yang ada di salah satu SMU Negri didampingi oleh Uchi salah satu sahabatnya. Di hadapan mereka terdapat selembar soal-soal tes untuk masuk ke sekolah tersebut dan selembar kertas untuk mengisi jawaban. Seorang guru perempuan menghampiri ketika Risya sedang menjawab soal yang dibacakan oleh Uchi.


“Mau masuk di sekolahan ini? Ini bukan tempatmu, disini tak ada braille,” tegas guru itu, bersikap dingin. Risya dan Uchi terhentak dan menoleh. Risya kaku di tempatnya, sebuah tangan hambar terasa mencengkram jantungnya membuatnya sesak. Matanya mulai terasa panas.


“Banyak kok teman-teman menyerupai saya bersekolah dan mengukir prestasi di beberapa sekolah umum menyerupai sekolah ini. Banyak cara untuk kami bisa menangkap dan mengikuti pelajaran dari guru,” balas Risya kesannya sesudah berhasil memberanikan diri mengungkapkan segala isi benaknya. Tanpa kata, guru tersebut beranjak pergi.


“Sabar, ya…, semangat!” hibur Uchi dan memberi dukungan. Namun sayangnya konsentrasi Risya benar-benar sudah lenyap, pecah berantakan. Sudah dua kali ia diperlakukan yang kurang menyenangkan dan mendapat diskriminasi. Tak seharusnya ia mengerjakan soal-soal tes itu dalam ruangan tersebut dan semestinya ia mengerjakannya dalam ruangan yang sama dengan calon-calon siswa lain dan sesuai dengan nomor ruangannya. Tetapi seorang lelaki yang merupakan pengawas dalam ruangannya mencegatnya semoga tak masuk ke dalam ruangan itu.


“Mau apa?” tanyanya.


“Aku mau ikut tes disini dan ini nomor ruangan saya jadi harus masuk ke ruangan ini,” jawab Risya, ada sedikit getaran terselip di sela suaranya.


“Sebaiknya ia jangan tes di ruangan ini, bisa mengganggu siswa yang lain. Coba dibawa ke kantor aja,” katanya yang ditujukan kepada Uchi, maka disinilah mereka kini berada, di ruang kantor guru dan bertemu dengan seorang guru perempuan yang tak ramah tadi. Dua kejadian di hari yang sama telah merusak suasana hatinya dan ketika pengumuman sudah beredar, ia pun tahu bahwa dirinya tak diterima tetapi namanya beserta siswa-siswa lain yang tak lulus tercantum pada lembaran di sampingnya yaitu daftar siswa SMU swasta yang gres dibuka.


“Ah pantasan saya harus mengisi dua formulir sekaligus ketika mendaftar, ada promosi sekolah gres toh. Hahaha… hmm… modus!” celoteh Risya kemudian tertawa, berusaha menyembunyikan kesedihannya.


 


Tak berhasil di SMU negri, Risya mendaftarkan diri di sebuah Madrasah Aliyah Negara mengikuti saran Ayah dan sahabatnya yang kebetulan bersekolah disana. Karena gelombang pertama sudah selesai, maka Risya mendaftar dan mengikuti tes masuk pada gelombang kedua yang dimana setiap calon siswa berhadapan eksklusif dengan seorang guru dan juga dites. Hingga tibalah giliran Risya, dengan optimis ia pun maju didampingi Ayahnya. Rupanya guru yang kini berada di hadapannya sangat tahu persis mengenai aturan yang menyatakan bahwa warga Indonesia berhak bersekolah dan memperoleh pendidikan di tanpa terkecuali sekalipun ia seorang disabilitas.


“Ibu minta maaf ya, Nak. Memang seharusnya orang sepertimu berhak bersekolah di mana pun. Namun disini kami belum pernah kedatangan murid tunanetra dan juga belum tahu cara atau metode menghadapi dan mengajarnya. Jadi, sebaiknya kamu dan Ayahmu berhadapan eksklusif dengan kepala sekolah alasannya ialah ibu hanya guru disini, tak bisa mengambil keputusan sendiri,” ucap guru itu bijaksana, sangat berbeda dengan guru yang ditemuinya beberapa tempo hari lalu. Setelah mengakhiri pembicaraan, maka berangkatlah ia dan Ayahnya beserta kedua sahabat sejatinya yaitu Mingke alumni dari sekolah itu dan Farah yang masih bersekolah disana, mereka eksklusif menuju kediaman bapak kepala sekolah. Setibanya hanya Risya dan Ayahnyalah yang masuk ke dalam rumah itu, duduk di bangku yang ada di ruang tamu.


“Ada perlu apa?” tanya tuan rumah tanpa basa-basi yang tak lain bapak kepala sekolah yang mereka cari. Risya hanya diam, debar jantung sudah tak karuan. Ayahnya pun eksklusif mengutarakan maksud dan tujuan mereka, menjelaskan ihwal segala kemampuan tunanetra sesuai yang telah diketahuinya. Lelaki di hadapan Ayahnya sejenak termangu kemudian menanggapi meski sikapnya cukup dingin.


“Hmmm… seharusnya pemerintah mendirikan lebih banyak SLB semoga gampang dijangkau….,”


Risya yang tadi hanya menunduk, mengangkat wajahnya. meski kalimat bapak kepala sekolah belum selesai, ia tak bisa lagi mendengar kalimat selanjutnya alasannya ialah apa yang dikatakan oleh lelaki itu pada awal-awal sangat menohok hatinya, membuat sesuatu dalam dirinya menggeliat hendak memberontak.


“What?! Tadi apa yang barusan bapak itu katakan? Kaprikornus menurutnya penyandang cacat


sepertiku seharusnya… haruskah selalu di SLB? SD luar biasa, Sekolah Menengah Pertama luar biasa, SMU luar biasa, berarti harus ada lagi dong universitas luar biasa? Kantor atau kawasan kerja luar biasa? Sampai kapan? Kapan bersosialisasinya? Di luar negri aja menyerupai Mesir banyak guru-guru besarnya itu orang buta! Kenapa di negri menyerupai ini yang belum apa-apa sudah berani membatas-batasi sekolah. Emang tunanetra itu bukan warga Indonesia juga apa jadi tak berhak menentukan padahal kami mampu?” berontaknya dalam hati, sangat ingin rasanya ia membantah pendapat Bapak yang duduk di hadapan Ayahnya.


“Baiklah nanti saya akan rapatkan dulu hal ini pada guru-guru lain alasannya ialah mereka-merekalah yang akan mengajar dan menghadapinya,”


 


Keesokan harinya, Risya dan Ayahnya kembali mendatangi sekolah. Keduanya sedang menanti kedatangan Arifin salah satu senior Risya yang sudah kuliah, Arifin diutus oleh ketua DPD PERTUNI Sul-Sel yang akan membantunya membela atas hak-haknya.


“Maaf ya Risya saya agak terlambat,” kata Arifin ketika ia sudah datang. Ketiganya pun memasuki kantor guru dan dipersilahkan duduk di hadapan tiga guru penting di sekolah tersebut. arifin serta merta mengeluarkan sebuah laptop sambil menjelaskan kemudian tibalah giliran Risya yang diminta untuk membaca Qur’an alasannya ialah salah satu persyaratan untuk masuk disana ialah harus sudah bisa membaca Qur’an. Ia pun mengeluarkan sebuah Qur’an braille dari tas yang dibawanya dari rumah kemudian mulai membacanya dengan khusyuk.


“Subhanallah.. hebat!” komentar ketiga guru itu ketika Risya sehabis membacakan beberapa ayat di hadapan mereka.


“Aku juga bisa kok membacanya,” canda salah seorang diantara mereka dan satu-satunya guru perempuan kemudian mengambil Qur’an braille Risya dan merabanya. Di final pertemuan, mereka meminta Ayah Risya semoga kembali tiba ke sana senin depan untuk mengetahui hasil keputusan rapat nantinya.


 


Sesuai perjanjian, Risya dan Ayahnya kembali tiba di Madrasah Aliyah Negri itu ketika para murid-murid gres dalam masa orientasi siswa sedang berlangsung. Farah yang kebetulan berpapasan dengannya meminta izin pada Ayah Risya untuk membawa dan mengajak dirinya ke kelasnya sedang Ayahnya sendiri pun mesti masuk ke kantor guru lagi. Dalam kelas Farah, Risya mendapat semangat dan sumbangan oleh Farah beserta sobat kelasnya. Setelah puas berbincang-bincang, ia kembali keluar dan mendapati Ayahnya yang sudah ada di hadapannya.


“Pi, hasilnya apa?” tanya Risya penasaran. Ayahnya menjelaskan bahwa ia untuk sementara akan diuji coba dalam sebulan semoga para guru bisa mengetahui apa dirinya bisa mengikuti keadaan dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik, bila ia berhasil melewatinya dengan baik tentu ia akan diterima di sekolah itu dan sebaliknya, bila tak berhasil ia terpaksa tak diterima. Keputusan yang begitu menyakitkan seakan dirinya seekor kelinci percobaan namun ia merasa lebih baik menyerupai itu ketimbang harus ditolak mentah-mentah. Dan ia akan menyampaikan pada mereka semua bahwa ia bisa bahkan bisa bersaing sehat dengan siswa-siswa normal lainnya.


 


Waktu bergulir begitu cepat, Risya bisa bersosialisasi dengan baik dan menemukan teman-teman yang baik dan sering membantunya, begitupun sebaliknya layaknya sedang terjadi simbiosis mutualisme dalam sebuah ekosistem. Tak terasa sebulan sudah dilaluinya, Risya bisa mencetak beberapa nilai manis di beberapa pelajaran meski ada saja satu dua guru yang tampaknya keberatan harus mengajarinya apalagi ia setiap hari membawa netbooknya yang bawel dan berisik walaupun volumenya telah ia atur di bawah standard. Seorang guru laki-laki yang suaranya amat familiar di kupingnya itu memanggilnya untuk menemuinya di kantor guru. Risya hampir lupa bahwa pada hari itu sudah waktunya pihak sekolah akan tetapkan apa ia layak bertahan disana.


“Risya selamat ya, Nak. Kau boleh tetap bersekolah di sini. Bahkan bapak kepala sekolah tetapkan bahwa kamu tak perlu membayar uang SPP hingga kamu tamat,” terang Pak Sakiran, salah satu gurunya yang selama ini pro padanya. Risya terkesima, tak bisa berucap. Kesabaran itu sudah berbuah dan di hadapannya ia bisa menikmatinya. Setelah usang terdiam, ia pun mengucapkan banyak berterima kasih padanya terlebih kepada Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "All Just About Time, Semuanya Hanya Persoalan Waktu"