Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramayana (Seri 4)

Pada pertemuan terdahulu telah di ceritakan, sesudah mendekati Kota Mantili, Sementara melewati tanah yang agak ditinggikan di samping dinding-dinding bentengnya, Rama melihat sepotong kerikil yang tak berbentuk, berdiri setengah terpendam di dalam tanah. Waktu Rama melewatinya, debu kakinya jatuh ke atas kerikil tersebut, dan mengubahnya, dikala itu juga, menjadi seorang perempuan cantik. Ketika perempuan itu menyembah dan berdiri di samping dengan hormat, Wiswamitra memperkenalkannya kepada Rama. “Jika kamu pernah mendengar perihal Begawan Gautama, yang kutukannya menimbulkan badan Indra terselimuti seribu biji mata, seluruhnya… Wanita ini yakni istri Begawan Gautama, namanya Ahalya.” Dan Wiswamitra menceritakan kisah perempuan itu kepada Rama.


KISAH AHALYA


Dari unsur-unsur kecantikan luar biasa, Brahma pernah membuat seorang gadis, dan diberi nama Ahalya (dalam bahasa Sanskerta berarti tanpa-cela). Batara Indra, tuhan tertinggi di antara para dewa, tertarik pada kecantikan gadis itu dan yakin bahwa hanya ia yang pantas meminangnya. Melihat kesombongan dan kecongkakan Indra, Brahma mengabaikan tuhan itu, mencari Begawan Gautama, dan menyerahkan gadis itu kepada sang Begawan. Gadis itu tumbuh di bawah asuhan sang Begawan dan ketika tiba saatnya sang Begawan mengantarnya kembali kepada Brahma dan menyerahkan gadis itu.


Brahma menghargai kemurnian hati dan pikiran Gautama (tidak pernah sekali pun terlintas hal mesum dalam pikirannya) dan berkata, “Nikahi dia, ia cocok untuk menjadi istrimu, atau lebih tepatnya, hanya kamu yang pantas menjadi suaminya.” Demikianlah maka gadis itu menikah, diberkati oleh Brahma dan dewa-dewa lainnya. Karena sudah semenjak kecil ikut Gautama, Ahalya tahu kebutuhan Gautama dan jadinya terbukti merupakan istri yang sempurna, dan mereka hidup bahagia.


Bagaimanapun juga, Batara Indra tidak pernah bisa melepaskan berahinya kepada Ahalya, dan sering tiba dengan menyamar ke akrab ashram Gautama, sambil menunggu setiap kesempatan untuk menatap dan menikmati bentuk badan dan sosok Ahalya. Indra juga mengamati kebiasaan begawan itu dan memerhatikan bahwa begawan itu meninggalkan ashram-nya setiap subuh dan berada selama beberapa jam di sungai untuk berdoa dan mandi. Karena tidak bisa menahan kepedihan cintanya lagi, Indra mencari mengambil keputusan akan mencari logika untuk mendapat perempuan itu. Pada suatu hari, alasannya yakni hampir tidak sabar menunggu begawan itu meninggalkan ashram pada jam yang biasanya, Indra menggandakan bunyi kokok ayam jantan, membangunkan begawan itu yang, alasannya yakni menerka pagi sudah tiba, kemudian berangkat ke sungai. Sekarang Indra menyamar menjadi Begawan Gautama, masuk ke pondok itu, dan mengajak Ahalya bermain cinta. Ahalya menyerahkan diri, namun pada suatu tahap menyadari bahwa orang yang tengah menikmati tubuhnya itu seorang penipu; tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu Gautama pulang, alasannya yakni secara naluriah merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan menangkap lembap pasangan itu di atas kawasan tidur. Ahalya berdiri dengan perasaan menyesal dan malu; Indra bermetamorfosis menjadi seekor kucing (bentuk hewan paling elastis untuk menyelinap keluar masuk) dan berusaha menyelinap keluar. Begawan itu memandang kucing dan perempuan itu berganti-ganti, dan tidak bisa dibohongi. Ia membuat kucing itu tidak bisa bergerak di tempatnya dengan kata-kata:


“Kucing, saya kenal kau; anganmu pada perempuan ini akan mendatangkan malapetaka bagimu. Semoga tubuhmu dipenuhi dengan seribu tanda perempuan, sehingga dalam semua dunia, orang akan mengerti apa yang bergotong-royong ada dalam pikiranmu sepanjang waktu.” Belum hingga kata-kata ini jawaban diucapkan, pada setiap jengkal badan Indra muncul organ perempuan. Tidak ada rasa aib yang lebih besar bagi Indra yang besar kepala dan sombong ini.


Setelah Indra mengeluyur pergi, kembali ke dunianya, Gautama memandang istrinya dan berkata, “Kau telah bedosa dengan tubuhmu. Semoga badan itu mengeras menjadi sepotong granit tak berbentuk, di kawasan kini kamu berdiri…” Dengan frustasi Ahalya memohon, “Suatu kesalahan besar telah terjadi. Adalah sifat-sifat jiwa yang agung untuk mengampuni kesalahan yang dilakukan makhluk yang lebih rendah. Kumohon… kini saya sudah mencicipi beban berat mulai merayapi kakiku. Lakukan sesuatu… kumohon tolong aku…”


Sekarang begawan itu menyesal dan berkata, “Pengampunanmu akan tiba kalau putra Dasarata, Rama, melewati jalan ini suatu hari kelak…”


“Di mana? Kapan?” Ahalya berusaha menanyakan, dengan putus asa, namun sebelum kata-katanya jawaban diucapkan ia sudah berubah menjadi sepotong batu.


Mula-mula keadaan badan Indra menjadi materi tertawaan, tetapi kemudian ternyata sangat tragis. Dewa itu berdiam di dalam kegelapan dan kesendirian, tak pernah bisa muncul di depan lelaki atau perempuan. Ini mengakibatkan semua tuhan jadi prihatin, alasannya yakni banyak sekali macam kiprah dalam banyak sekali dunia jadi terbengkalai. Bersama-sama, mereka menghadap Brahma dan mohon semoga Brahma sudi menjadi penengah dengan Gautama. Waktu itu kemarahan Gautama sudah lenyap, dan menanggapi seruan Brahma, ia berkata, “Biarlah seribu suplemen pada sosok Indra itu menjadi biji mata.”Sejak dikala itu Indra dikenal sebagai sang “dewa bermata seribu”.


* * *


Wiswamitra menutup ceritanya dan berkata kepada Rama, “Oh, yang agung, kamu dilahirkan untuk mengembalikan kebenaran dan kebajikan kepada umat insan dan membinasakan semua kejahatan. Pada yagna kita, saya melihat kekuatan kedua lenganmu, dan kini saya melihat hebatnya sentuhan kakimu.


Kata Rama kepada Ahalya, “Kau boleh mencari dan bergabung kembali dengan suamimu terkasih, dan melayaninya lagi. Jangan biarkan hatimu dibebani dengan apa yang sudah lewat dan hilang.”


Dalam perjalanan ke Mantili, mereka berhenti untuk mengaso di pertapaan Gautama, dan Wiswamitra berkata kepada resi itu, “Istrimu sudah dikembalikan kepada bentuknya yang biasa, oleh sentuhan kaki Rama. Pergilah dan bawalah ia kembali, hatinya telah dimurnikan oleh penderitaan yang sudah dijalaninya.” Setelah semua terlaksana, mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan-hutan yang beraroma wangi, dan hingga ke gerbang kota Mantili yang dilindungi benteng nan kuat.


Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa sajakah yang akan dialami Rama selama di kota mantili? Ikutilah terus Ramayana dalam episode selanjutnya dengan judul “Pernikahan”


Sampai jumpa!



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ramayana (Seri 4)"