Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramayana (Seri 2)

Pada kisah yang kemudian teelah di ceritakan. Wiswamitra bersama kedua muridnya melanjutkan perjalanannya lagi pada dini hari dan siang harinya hingga ke suatu daerah padang gurun. Istilah “gurun” itu sendiri nyaris tak bisa menggambarkan kegersangan wilayah itu. Di bawah sengatan matahari yang tanpa ampun, semua flora telah mengering dan berubah menjadi debu. Batu dan karang remuk menjadi serbuk pasir, yang membentang teramat luas, jauh hingga ke cakrawala. Di sini setiap jengkal tanah hangus, kering, dan luar biasa panas. Tanahnya retak-retak dan pecah, di mana-mana tampak lubang-lubang besar. Di sini tidak ada perbedaan antara pagi, siang, dan malam, alasannya yakni mentari seakan tak pernah terbenam dan memperabukan tanah itu tanpa bergerak. Tulang belulang yang sudah memutih acak-acakan di tempat hewan-hewan mati, termasuk tulang belulang ular besar dengan rahang menganga alasannya yakni kehausan; ke dalam rahang yang menganga lebar itulah gajah-gajah dengan frustasi bergegas (kata sang penyair) mencari tempat berteduh. Semuanya, ular maupun gajah, sudah mati dan menjadi fosil. Kabut panas membubung dan menghanguskan langit itu sendiri. Sementara melintasi tanah ini, Wiswamitra memperhatikan wajah kedua perjaka itu tertekan dan bingung, dan secara batiniah mengirimkan dua mantra (Bala dan Adi-Bala) kepada keduanya. Saat mereka memusatkan konsentrasi dan mengucapkan mantra-mantra tersebut, udara yang gersang berubah sepanjang sisa perjalanan mereka dan mereka merasa seakan tengah menyeberangi sebuah sungai yang sejuk dengan angin sepoi ekspresi dominan panas mengipasi wajah mereka. Rama, alasannya yakni selalu ingin tahu tempat yang tengah ia lewati bertanya, “Mengapa tanah ini begitu mengerikan? Mengapa tanah ini seakan dikutuk?”


“Kau akan tahu jawabannya bila mau menyimak dongeng ini—tentang seorang wanita kejam, tak kenal belas kasihan, yang melahap dan mengunyah semua makhluk hidup, serta mempunyai kekuatan seribu gajah gila.”


KISAH RATU TATAKA


Perempuan yang kumaksud yakni anak wanita Suketha, seorang yaksa, makhluk setengah tuhan yang amat kuat, tangguh dan suci. Perempuan itu manis dan energinya luar biasa. Setelah pandai balig cukup akal ia menikah dengan seorang kepala suku berjulukan Sunda. Mereka mempunyai dua orang anak, Marica dan Subahu—yang dikaruniai kekuatan supraalami besar sekali di samping kekuatan jasmani mereka; dan dalam kecongkakan dan sikap berlebihan, mereka merusak lingkungan mereka. Ayah mereka, senang melihat kedua putranya bersenda gurau dan terpengaruh suasana hati mereka, ikut serta dalam kegiatan mereka. Ia mencabuti pohon-pohon renta hingga ke akarnya kemudian melemparkan seenaknya, yang membantai semua makhluk yang ia temui di jalan. Perusakan ini kemudian diketahui oleh seorang cerdik cendekia agung, Agastya (seorang suci yang bertubuh kecil dan pendek. Sekelompok makhluk jahat pernah menyembunyikan diri di dasar laut, dan Indra minta tolong kepada Agastya untuk melacak mereka, yang kemudian menghirup air maritim itu). Pertapaan Agastya terletak di hutan ini, dan ketika melihat perusakan di sekelilingnya, ia mengutuk pelaku perbuatan ini dan Sunda pribadi mati. Ketika mengetahui sang suami mati, istri dan kedua anak-anaknya bergegas menyerbu, sambil berteriak akan membalas dendam terhadap orang suci itu. Agastya mendapatkan tantangan itu dengan mengutuk mereka. “Karena kalian yakni para perusak kehidupan, jadilah kalian asura dan tinggal di dunia bawah tanah..” (Sampai dikala ini mereka masih makhluk setengah dewa. Sekarang mereka diturunkan derajatnya menjadi iblis). Ketiganya pribadi mengalami transformasi; raut dan bentuk badan mereka jadi menakutkan, dan sifat-sifat mereka berubah menyesuaikan. Kedua anak lelaki itu pergi untuk berteman dengan raksasa-raksasa jahat. Ibu mereka ditinggal sendirian dan beliau terus tinggal di sini, menghembuskan napas api dan mengutuk segala sesuatu. Tidak ada yang tumbuh subur di sini; hanya tinggal pasir dan hawa panas. Perempuan itu suka memperabukan apa saja. Ia membawa tombak trisula yang berpaku-paku; mengenakan gelang  berupa seekor kobra melilit pada lengannya. Makhluk mengerikan ini berjulukan Ratu Tataka. Kalau sifat loba (jahat) sedikit saja bisa mengeringkan dan merusak seluruh kepribadian manusia, demikianlah kehadiran monster ini bisa mengubah satu daerah yang dulunya subur menjadi gurun pasir. Dengan resah ia terus-menerus mengganggu para petapa yang tengah berdoa; ia mencaplok apa saja yang bergerak dan menelannya masuk ke perutnya.


* * *


Sambil menyentuh busur yang disandang pada bahunya, Rama bertanya, “Di mana kita bisa menemukan dia?”


Sebelum Wiswamitra bisa menjawab, wanita itu sudah tiba dengan didahului oleh gempa bumi dan angin kencang tanggapan langkahnya. Ia memandang dari atas mereka dengan mata memancarkan api, taringnya mencuat, bibirnya terbuka menampakkan lisan yang menganga bagai gua; dan alisnya berdenyut alasannya yakni marah. Ia mengangkat trisulanya dan berteriak, “Di kerajaanku ini, saya sudah membasmi rahim kehidupan paling kecil dan kalian telah dikirim ke sini biar saya tidak kelaparan lagi.”


Rama termangu; meskipun mengerikan, wanita itu tetap seorang perempuan. Bagaimana ia bisa mambunuh seorang wanita itu? Karena membaca pikiran Rama, Wiswamitra berkata, “Kau sama sekali dihentikan menganggapnya seorang perempuan. Monster semacam itu tidak patut ditoleransi. Kekuatan, kekejaman, penampilannya, tidak masuk golongan apa pun. Dewa Wisnu sendiri dulu membunuh Kyathi, istri Brigu, alasannya yakni tidak mau menyerahkan asura-asura yang minta proteksi kepadanya dan ia sembunyikan. Mandorai, seorang wanita yang berusaha keras menghancurkan semua dunia, dimusnahkan oleh Batara Indra dan umat insan patut berterima kasih kepada tuhan itu. Ini hanya dua pola saja. Seorang wanita yang sifatnya jahat tidak pantas diperlakukan sebagai seorang perempuan. Tataka ini lebih mengerikan daripada Dewa Yama, tuhan kematian, yang gres mengambil kehidupan kalau saatnya sudah tiba. Tetapi monster ini, begitu mencium bau makhluk hidup, garang untuk membunuh dan memakannya. Jangan sekali-kali membayangkan dia  sebagai seorang perempuan. Kau harus melenyapkan beliau dari dunia ini. Itu tugasmu.”


Kata Rama, “Saya akan melakukan impian Guru.”


Tataka melemparkan trisulanya ke arah Rama. Sementara senjata itu melesat mendekat sambil mengeluarkan nyala api, Rama menarik busur dan melepaskan sebatang anak panah yang menghancurkan trisula itu hingga berkeping-keping. Salanjutnya Tataka meniupkan hujan kerikil untuk menggilas musuh-musuhnya. Rama membidikkan bawah umur panahnya ke atas yang kemudian menaungi mereka dari serangan itu. Akhirnya anak panah Rama menembus tenggorokan Tataka dan mengakhiri hidupnya; hal itu juga menginisiasi misi hidup Rama untuk menghancurkan kejahatan dan kekejaman di dunia ini. Para tuhan berkumpul di langit, mengungkapkan rasa lega serta bangga mereka dan memerintahkan Wiswamitra, “Oh jago senjata yang pintar, berikan tanpa sisa semua pengetahuan dan kekuatanmu kepada anak lelaki ini. Ia seorang penyelamat.” Wiswamitra menaati perintah ini dan mengajari Rama semua teknik esoteris dalam persenjataan. Setelah itu dewa-dewi penguasa aneka macam senjata, para astra, muncul menyerahkan diri di depan Rama dan menyatakan, “Sekarang kami milikmu; beri kami perintah siang atau malam.”


Waktu mereka tiba di sebuah hutan yang tertutup kabut di atas sebuah gunung, Wiswamitra menceritakan kisah lain.


KISAH MAHABALI


Ini tanah suci tempat Wisnu pernah duduk bertapa (meskipun Rama yakni Wisnu, inkarnasinya sebagai insan menciptakan ia tidak menyadari identitasnya dikala itu). Sementara Wisnu sedang asyik bertapa, Mahabali merebut dan menjajah kahyangan dan bumi. Ia merayakan kemenangannya dengan menyelenggarakan upacara yagna besar-besaran, dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengundang dan memberi kehormatan kepada semua orang pintar. Semua tuhan yang telah luka-luka dalam pertempuran melawan Mahabali tiba bahu-membahu ke tempat Wisnu sedang bertapa dan memohon biar Wisnu mau membantu merebut kembali kerajaan-kerajaan mereka. Untuk menjawab undangan mereka, Wisnu lahir dalam suatu keluarga Brahmana sebagai orang kerdil; badan yang kecil ini padat dengan banyak sekali pengetahuan dan kekuatan. Mahabali pribadi mencicipi kehebatan orang kerdil yang muncul di gerbang istana tersebut dan menyambut tamu itu dengan ramah dan penuh rasa hormat.


Tamu itu berkata, “Aku sudah tiba dari tempat yang amat jauh alasannya yakni mendengar kehebatanmu. Aku punya ambisi dalam hidupku untuk bertemu sejenak dengan orang yang juga populer alasannya yakni keberanian dan kemurahan hatinya. Sekarang, sehabis bertemu denganmu, saya sudah memenuhi ambisi hidupku. Prestasi menyerupai yang kaucapai memang tidak bisa diukur. Manakala seorang malang menyerupai saya melihat sekilas kehebatanmu, sebagian dari itu merasukiku juga.”


“Oh, orang hebat, kamu terlalu memujiku,” jawab Mahabali. “Bagaimanapun juga saya seorang prajurit dan penakluk—tak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pengetahuan dan pencapaian khususmu. Aku tidak praktis terperdaya oleh penampilan. Aku tahu tentunya kamu hebat sekali. Sudah tentu saya merasa senang bila kamu mau mendapatkan sebuah hadiah sebagai ganti kehormatan yang sudah diberikan dengan mengunjungiku.”


“Aku tidak menginginkan apa-apa, saya tidak membutuhkan hadiah lainnya kecuali keramahtamahanmu.”


“Tidak, kumohon jangan pergi, mintalah apa saja, sebutkan apa saja yang kauinginkan. Aku akan dengan senang hati memberikannya.”


“Jika dipaksa, baiklah, beri saya sebidang tanah.”


“Ya, pilih saja tempat yang kausukai.”


“Tidak lebih daripada yang bisa diukur dalam tiga langkah kakiku.”


Bali tertawa, sambil memandang Wisnu dari atas ke bawah, dan berkata, “Hanya itu?”


“Ya.”


“Sekarang saya akan…,” Mahabali mulai, tetapi sebelum kalimatnya selesai, gurunya, Sukacarya, menyela untuk memperingatkan, “Raja, jangan tergesa-gesa. Sosok kecil yang dilihat Paduka itu mengelabui; ia memang kecil sekali, tetapi mikrokosmos ini…”


“Oh, hentikan! Aku tahu tanggung jawabku. Memberi pada dikala kita mampu yakni dikala yang tepat, dan tindakanmu mencegah santunan hadiah itu tidak suci, tidak layak kaulakukan. Orang yang mementingkan diri sendiri tidak pernah lebih jelek daripada orang yang menghalangi tangan yang akan memberi. Jangan halangi aku,” katanya; dan menuangkan sedikit air dari sebuah baskom ke atas telapak tangan orang kerdil itu untuk menyegel janjinya (dalam beberapa goresan pena disebutkan bahwa dikala itu Sukacarya bermetamorfosis menjadi seekor lebah dan terbang masuk ke lisan baskom itu dengan tujuan mencegah keluarnya air sehingga kesepakatan itu tidak jadi tersegel. Si kerdil mencicipi ini, mengambil sebatang rumput dharba yang tajam dan mencucukkannya ke lisan baskom untuk menyingkirkan penghalang dan rumput tersebut mencucuk mata Sukacarya, yang semenjak itu jadi dikenal sebagai guru mata-satu). Sambil menuang air kesepakatan itu, Mahabali berkata kepada orang kerdil tersebut, “Sekarang ukurlah dan ambillah tanah tiga langkahmu itu.”


Pada dikala itu menyentuh tangannya, orang kerdil tersebut, yang dikala itu tubuhnya tampak lucu, bahkan bagi orangtuanya, bermetamorfosis menjadi luar biasa besar hingga merentang langit dan bumi. Dengan langkah pertama ia mengukur seluruh bumi, dengan langkah kedua ia meliputi langit. Tidak ada lagi ruang yang tersisa di seluruh alam semesta, dan ia bertanya kepada Mahabali, “Di mana saya bisa menaruh langkah yang ketiga?”


Mahabali sangat kagum, kemudian berlutut, bersujud, dan berkata, “Di sini, di atas kepalaku, bila tidak ada lagi ruang yang tersisa.” Wisnu mengangkat kakinya, menaruhnya di atas kepala Mahabali, dan menekannya ke dunia bawah. “Kau boleh tinggal di situ,” katanya, dan dengan begitu ia menyingkirkan penyiksa tersebut dari dunia ini.


* * *


Setelah selesai bercerita, Wiswamitra menyatakan, “Untuk sementara, inilah selesai perjalanan kita. Di sini saya akan mengadakan upacara kurban di bawah perlindunganmu.”


Nah, bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah upacara kurban yang akan dilaksanakan Wiswamitra berjalan dengan lancar? Apa saja kah yang dilakukan Rama dan Laksmana untuk melindungi Upacara kurban tersebut? Silahkan ikuti terus kisah ini dalam seri berikutnya.



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ramayana (Seri 2)"