Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ramayana Episode 2. Janji Nikah (Seri 5)

Mantili, sehabis selama ini hanya melihat hutan-hutan, jalan-jalan gunung, lembah serta tempat-tempat terpencil dan sepi, menyampaikan suatu perubahan menyenangkan sebagai kota yang penuh warna-warni dan kenikmatan, dengan penduduknya tampak sibuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Pada dikala Rama melangkah memasuki Mantili, ia melihat kubah dan puncak kecil-kecil keemasan, menara-menara, serta beraneka warna bendera berkibar-kibar ditiup angin seakan menyambut kedatangan seorang calon pengantin kerajaan. Jalanan berkelap-kelip oleh banyaknya pecahan embel-embel yang dibuang oleh orang-orang (kalung yang putus dikala berdansa atau mengikuti permainan; atau dilepas kemudian digantungkan alasannya terasa mengganggu sewaktu berpelukan), dan tak ada yang berniat mengambilnya dalam masyarakat yang semakmur itu. Tidak ada sedekah dalam negeri Kosala alasannya tidak ada yang mau menerimanya. Kalung bunga yang putus menumpuk di pinggir jalan dikerumuni oleh lebah-lebah madu. Musim kawin menciptakan kawanan gajah gunung mengalir turun bagai sungai hitam sepanjang jalan utama, bercampur dengan buih putih yang menetes dari lisan kuda-kuda yang mencongklang—dan diaduk dengan lumpur dan debu oleh roda kereta-kereta yang terus berputar.


Di atas teras loteng yang tinggi para perempuan menyanyi dan menari diiringi vina dan tambur. Pasangan-pasangan duduk di ayunan yang digantungkan pada pohon areca menikmati kegembiraan berayun-ayun, kalung atau untaian bunga mereka melambai-lambai. Rama dan Laksmana melewati toko-toko yang menggelar permata, emas, gading, bulu merak, manik-manik, dan wig dari rambut rusa Himalaya yang langka. Mereka mengamati arena-arena daerah berkelahi gajah yang absurd tengah berlangsung, disoraki oleh aneka macam pemuda; kelompok-kelompok perempuan berlatih mendendangkan lagu cinta dan balada di bawah kanopi-kanopi di tepi jalan; kuda-kuda tak henti mencongklang mengitari jalan-jalan khusus untuk kuda, ditonton oleh laki-laki dan perempuan molek; kolam-kolam renang dengan ikan beraneka warna berlarian ke sana kemari; terusik oleh orang-orang yang tengah berenang.


Mereka menyeberangi parit yang mengelilingi istana Janaka, dengan menara-menara emasnya menjulang lebih tinggi daripada bangunan lain di kota itu. Sekarang Rama mengamati putri Sita sedang bermain dengan teman-temannya di atas sebuah balkon. Ia terkesima oleh kecantikan gadis itu, dan pada dikala yang sama Sita juga memerhatikan Rama. Mereka bertemu pandang. Mereka sudah hidup bersama tidak usang sebelumnya di Vaikunta, kediaman orisinil mereka di kahyangan, sebagai Wisnu dan istrinya, Laksmi, tetapi dalam inkarnasi mereka yang sekarang, meskipun dengan susah payah mengalami semua keterbatasan sebagai manusia, mereka saling memandang menyerupai orang asing. Sita, di tengah hiasan dan bunga-bunga, di tengah dayang-dayangnya, menyoroti mata Rama bagaikan sekilas halilintar. Ia berhenti untuk mengamati Rama pelan-pelan lewat hingga tidak tampak lagi, bersama guru-begawan, dan adiknya. Pada dikala Rama lenyap, pikiran Sita jadi gundah tak terkendali. Mata itu telah membiarkan secercah tipis cinta masuk ke dalamnya, yang kemudian meluas dan menyebar ke seluruh dirinya. Sita merasa tidak lezat badan.


Melihat perubahan mendadak dalam diri Sita, dan tubuhnya yang mendadak lemas dan terkulai, bahkan hingga sabuk emas pada pinggangnya melorot, para dayang memapahnya masuk dan menggelar kasur empuk untuk daerah berbaring junjungan mereka.


Sita berbaring sambil membolak-balik tubuhnya dan mengeluh, “Apa kalian sudah lupa caranya menyiapkan kasur empuk. Kalian semua sengaja menggodaku.” Para dayang itu belum pernah melihat junjungan mereka dalam suasana hati menyerupai itu. Mulanya mereka gundah dan tertawa-tawa, tetapi kemudian benar-benar prihatin waktu memerhatikan air mata mengaliri pipi sang putri. Mereka mendapati junjungan mereka tanpa sadar mengigau, “Bahunya bagai zamrud, matanya bagai kelopak bunga seroja, siapa gerangan dia? Dia menyerbu hatiku dan telah benar-benar merampas rasa aib dariku! Seorang perampok yang sanggup menjerat hatiku dan merenggut kedamaian pikirku. Berbahu bidang, tetapi berlalu pergi begitu cepat. Mengapa beliau bahkan tidak menghentikan langkahnya, sehingga mungkin saya bisa memandangnya sekilas lagi, dan menghentikan kegalauan degup hatiku ini. Dia ada di sini, sebentar lagi sudah di sana, dan pergi untuk selamanya. Tak mungkin beliau seorang dewa—kelopak matanya berkedip… Atau beliau seorang tukang tenung yang melontarkan mantranya pada orang-orang?”


Mentari terbenam jauh ke dalam lautan, begitu kata sang penyair—dan manakala seorang penyair menyebut kata lautan, kita harus menerimanya. Tidak apa-apa membiarkan seorang penyair menggambarkan visinya, tidak perlu menanyakan lautan yang mana. Lengking burung-burung yang hendak beristirahat malam itu, alunan ombak di atas pantai menjadi lebih terang manakala sore merayap menjadi petang dan kemudian, malam. Angin sepoi hambar berembus dari laut, tetapi tak ada yang bisa menciptakan Sita nyaman. Saat itu menciptakan pedihnya cinta semakin pedih, dan mendebarkan hatinya dengan kerinduan sia-sia. Seekor burung langka, Anril, dari suatu daerah memanggil pasangannya. Biasanya pada jam ini, Sita akan mendengar ocehannya yang merdu, tetapi hari ini bunyi burung itu kedengaran serak dan menjijikkan. Sita memohon dengan iba, “Oh, burung, di mana pun kamu berada, kumohon diamlah! Kau cuma menciptakan keributan, menggangguku dengan jeritan dan ratapanmu. Dosa-dosa yang kuperbuat pada kelahiran sebelumnya telah bermetamorfosis menjadi bentukmu dan kini kamu tiba menyiksaku!” Bulan purnama muncul dari laut, membanjiri bumi dengan cahaya lembutnya. Melihat itu, Sita menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa bahwa semua itu asing bagi suasana hatinya dan bersatu padu untuk menambah deritanya. Para dayang memerhatikan kesedihan putri mereka dan takut suatu penyakit yang parah telah menyerang junjungan mereka itu secara tiba-tiba. Mereka menyalakan lentera-lentera temaram yang sumbunya dicelupkan ke mentega bening, tetapi ternyata nyala menyerupai itu pun tidak bisa ditanggung sang putri. Mereka kemudian mematikan lampu-lampu itu dan meletakkan batu-batu permata yang memancarkan cahaya lembut. Mereka menciptakan daerah tidur yang empuk untuk Sita di atas sepotong kerikil putih yang dilapisi dengan kelopak-kelopak bunga yang empuk, tetapi bunga-bunga itu menjadi layu. Sita menggeliat, mengerang dan mengeluh wacana segala sesuatu—malam, bintang, dan bunga-bunga: seluruh alam semesta yaitu unsur-unsur yang tidak simpatik. Pertanyaan itu terus terngiang dalam kepalanya: “Siapa cowok itu? Ke mana beliau pergi? Muncul sekilas kemudian lenyap lagi—atau saya cuma berhalusinasi? Tidak mungkin—sekedar halusinasi tidak bisa sedemikian memperlemah diriku.”


Malam itu Rama mengaso di rumah penginapan. Waktu sendirian di dalam kamar tidurnya, ia mulai memikirkan gadis yang tadi ia lihat di atas balkon istana. Baginya juga, rembulan serasa menciptakan rasa sepi menjadi semakin sepi. Walaupun dari luar tidak kelihatan, jauh di dalam hatinya Rama merasa gelisah. Sekarang ia terus teringat akan gadis di atas balkon itu dan rindu melihatnya sekali lagi. Siapa gerangan dia? Tidak ada menandakan yang memperlihatkan gadis itu seorang putri raja—mungkin saja salah seorang di antara ratusan gadis di sebuah istana. Gadis itu tidak mungkin sudah menikah: Rama menyadari bahwa secara naluriah sudah tentu ia akan menjauh bila gadis itu sudah menikah. Sekarang ia mendapati dirinya merenungkan setiap ciri gadis itu. Ia membayangkan gadis itu kini berdiri di hadapannya dan rindu sekali memeluknya di dalam dekapannya. Katanya dalam hati, “Bahkan bila saya tidak bisa memeluknya, apa saya akan pernah melihat lagi, meski sebentar, wajah berseri dan bibir itu? Mata, bibir, untaian anak rambut yang ikal pada kening itu—setiap ciri pada raut wajah itu seakan siap menyerang dan menguasai aku—aku, yang dengan busurku sanggup memusnahkan kejahatan, kini berada di dalam kekuasaan beliau yang hanya mempunyai busur dari batang tebu dan menggunakan bunga sebagai anak panah…” Ia tersenyum membayangkan ironi itu.


Malam itu lewat menyerupai biasa. Rama tidak nyenyak tidurnya. Rembulan terbenam dan fajar pun menyingsing. Rama tahu sudah saatnya untuk bangkit dan bersiap menemani gurunya menghadiri upacara di istana Janaka.


Raja Janaka melihat Rama dan Laksmana masuk ke dalam pendapa dan bertanya kepada Wiswamitra, “Siapa kedua cowok yang ganteng itu?” Wiswamitra menjelaskannya. Waktu mendengar garis keturunan dan kemampuan Rama, Raja Janaka berkata sambil mendesah, “Betapa saya ingin sekali bisa melamarnya untuk putriku.” Wiswamitra memahami alasan kesedihan itu. Suatu keadaan yang seolah tak tertanggungkan menggayut dalam setiap lontaran yang berkaitan dengan ijab kabul Sita.


Raja Janaka mempunyai sebuah busur besar sekali yang dulunya milik Syiwa. Syiwa meninggalkan busur itu dan menyerahkannya ke dalam penjagaan seorang nenek moyang Janaka. Busur itu sudah usang menjadi pusaka kerajaan. Sita, sebagai seorang bayi perempuan, yaitu hadiah dari Bumi Pertiwi kepada Janaka, alasannya ditemukan di sebuah alur sebidang ladang yang tengah dibajak. Janaka mengangkat anak itu, merawatnya, dan Sita pun tumbuh menjadi seorang gadis jelita. Ini mengakibatkan beberapa pangeran, yang menganggap diri mereka pantas, berdatangan ke istana Janaka dan melamar Sita. Karena tidak bisa menentukan siapa saja secara khusus, dan dengan tujuan mengusir mereka, Raja Janaka menciptakan persyaratan bahwa siapa saja yang bisa mengangkat, menarik dan membidik dengan busur Syiwa itu akan dianggap cocok menjadi suami Sita. Waktu melihat busur tersebut, para pelamar menyadari bahwa itu persyaratan yang tidak mungkin dan tidak masuk akal. Mereka meninggalkan istana itu dengan marah, dan kemudian kembali bersama pasukan mereka, bertekad merebut Sita dengan paksa. Tetapi Janaka menangkis serangan mereka, dan balasannya para pelamar itu mundur. Waktu berjalan terus, dan Janaka jadi cemas apakah ia bisa menyaksikan putrinya menikah dan hidup mapan—karena persyaratan yang pernah dibentuk tidak bisa ditarik lagi. Agaknya tak seorang pun di dunia ini yang besar lengan berkuasa mengangkat busur Syiwa. Janaka mendesah, “Aku merinding kalau memikirkan masa depan Sita, dan mempertanyakan keputusanku sendiri dalam menghubungkan nasibnya dengan pusaka suci dan besar lengan berkuasa di rumah kami ini.”


“Jangan putus asa,” kata Wiswamitra menghibur. “Bagaimana kamu tahu kalau bukan suatu wangsit suci yang membuatmu berpikir begitu?”


“Dalam semua dunia, apa ada orang yang bisa menangani busur ini, padahal sekedar melihatnya dipegang saja oleh Syiwa, para tuhan dan makhluk setengah tuhan sudah gemetar ketakutan dan pingsan—sehingga Syiwa menyingkirkannya dan tidak mau menggunakannya lagi?”


“Kalau diizinkan, bolehkah kami melihatnya?”


Kata Janaka, “Aku akan memerintahkan orang membawanya ke sini. Busur itu sudah terlalu usang disimpan di gudang… Siapa tahu, membawanya keluar akan mengubah seluruh nasib kita.” Ia menyuruh para pelayan mengambil busur tersebut… Para pelayan itu tertegun dan Raja memerintahkan, “Jika perlu, suruh prajurit mengerjakan kiprah ini. Bagaimanapun juga, daerah ini telah disucikan oleh upacara yang belum usang ini diadakan… dan busur ini cocok untuk dibawa ke sini.”


Busur itu diangkut dengan sebuah kereta roda delapan dan tiba di pendapa tersebut dengan ditarik oleh aneka macam orang. Sejak dikeluarkan dari gudang dan melewati jalan-jalan, orang banyak mengikutinya. Busur itu begitu besar sehingga tak seorang pun mengenalinya kalau hanya melihat sekilas. “Itu busur atau gunung yang berjulukan Meru, yang mengaduk Lautan Susu pada zaman dahulu kala?” rakyat terkagum-kagum. “Mau dibidikkan ke mana anak panahnya, andaikan ada yang bisa mengangkat busur itu dan menarik talinya!” ada yang membayangkan. “Kalau Janaka memang sungguh-sungguh bermaksud mencari menantu, seharusnya ia mencabut persyaratan ini. Sungguh beliau raja yang tidak bijaksana!”


Rama memandang ke arah gurunya. Wiswamitra mengangguk seakan menyampaikan “Coba saja.” Ketika Rama mendekati busur itu pelan-pelan namun dengan penuh wibawa, para penonton menahan napas dan mengamati. Ada yang rahasia mendoakan dia. Ada yang berkomentar, “Kejam sekali! Guru yang tentunya begawan itu tidak aib menyuruh seorang cowok lembut menjalani uji coba berat ini!” Raja memang jahat dan kejam, menguji cowok yang setampan tuhan itu… Jika memang serius, seharusnya ia serahkan saja Sita ke tangan cowok itu dan tidak menuntut semua perbuatan akrobatik ini” “Raja ingin mempunyai Sita selama-lamanya… ini satu cara untuk tidak berpisah dari putrinya!” “Jika cowok ini gagal, kita semua akan melompat ke dalam api,” seru beberapa gadis dewasa yang tergila-gila melihat Rama. “Jika beliau gagal, sudah terang Sita akan memperabukan diri dan kita semua akan mengikuti contohnya.”


Nah, bagaimanakah dongeng selanjutnya? Apakah Rama sanggup mengangkat busur itu dan melepaskan anak panahnya? Apakah Sita akan bertemu dengan lelaki yang selalu mengganggu fikirannya tersebut? Untuk mengetahui jawabannya, ikutilah kelanjutan Ramayana ini.


Sampai jumpa!



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Ramayana Episode 2. Janji Nikah (Seri 5)"