Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asuransi Gangguan Jiwa: Kenapa Orang Cenderung Malas Periksakan dan Bagaimana Penanganannya

Bukannya mau menakut-takuti nih, tapi faktanya mereka yang menderita penyakit kronis berpeluang menderita gangguan jiwa. Simak saja hasil penelitian yang dipublikasikan Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

 

Penelitian itu mengungkapkan sekitar 11,58% penduduk usia 15 tahun di Indonesia di tahun 2007 mengalami gangguan mental emosional. Di situ disebutkan mereka yang menderita penyakit hepatitis dan stroke berpeluang terbesar mengalami gangguan mental. Lalu berturut-turut penderita jantung, TBC, diabetes mellitus, dan kanker.

 

Intinya, jurnal itu menegaskan dari sepuluh penderita penyakit kronis, dua sampai lima pasien mengalami gangguan mental emosional! Detailnya seperti di bawah ini:

 

  1. Setiap orang berpotensi alami gangguan kejiwaan akibat penyakit fisik yang bersifat kronis
  2. Pasien dengan penyakit serius berpeluang dua kali lebih besar alami gangguan jiwa.
  3. Sekitar 30-40 persen pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit mengalami gangguan psikiatri.

 

Cuma perlu dipertegas lagi selain penyakit kronis, tentu banyak faktor lainnya yang bisa memantik seseorang mengalami gangguan mental.  Tingkat stres yang berlebihan sehingga sangat mengganggu fisik dan psikis terkadang menjadi faktor utama yang dapat menyebabkan seseorang terkena gangguan jiwa.

 

Tanda-tanda gejala awal seseorang mengalami gangguan jiwa banyak bentuknya. Bukan hanya terdeteksi dari kondisi fisik seperti perasaan curiga atau cemas, tapi juga terlihat dari perasaan yang tak stabil alias mudah berubah-ubah, tegang, cepat tersinggung tanpa alasan jelas, dan lain sebagainya.

 

Bentuk lain gejala gangguan jiwa adalah munculnya pikiran aneh, susah konsentrasi, berkurangnya daya ingat, perubaha pola tidur, kurang nafsu makan, hilangnya orientasi hidup dan lain sebagainya. Semua gejala tersebut menandakan adanya gangguan kognitif.

 

Bila sudah ada tanda-tanda mengalami gangguan jiwa maka diperlukan konseling ke dokter psikiater. Sayangnya, orang enggan memeriksakan diri sejak dini bila menemukan tanda-tanda itu.

 

Setidaknya ada tiga alasan keengganan tersebut, yakni:

1. Tidak dijamin asuransi

Banyak orang malas ke RSJ, takut dianggap enggak waras

Konseling untuk memeriksakan diri ke dokter psikiater ini tak masuk jaminan asuransi kesehatan. Sampai detik ini, belum ada asuransi gangguan jiwa yang bersedia menanggung kesehatan jiwa seseorang.

 

Baru BPJS Kesehatan saja yang bersedia ‘mengongkosi’ pengobatan gangguan jiwa. Sedangkan produk yang diterbitkan asuransi swasta hampir semuanya tak mau menanggung pasien yang mendatangi dokter psikiatri.

Misalnya saja ada pasien penyakit kronis yang tengah dirawat di rumah sakit diindikasikan mengalami gangguan mental akibat penyakitnya itu, sehingga diminta berkonsultasi ke dokter psikiatri. Meski pasien itu tercatat sebagai nasabah asuransi, tapi kemungkinan besar pihak asuransi tidak menanggung semua biaya perawatan di rumah sakit itu, khususnya biaya dan obat yang diresepkan dokter psikiatri.

 

Kadang hal ini yang membuat keengganan orang berkonsultasi ke dokter psikiater lantaran khawatir dikira sebagai pasien gangguan jiwa dan tidak berhak ditanggung asuransi. Menjadi wajar jika akhirnya orang cenderung ‘lari’ ke dokter umum atau dokter spesialis non psikiater lantaran tidak digantinya biaya konsuling dan pengobatan dokter psikiatri dari asuransi.

Justru hal ini bisa memperparah keadaan pasien. Pasalnya, dokter umum atau dokter spesialis non psikiater bisa salah memberi resep obat penenang kepada pasien. Mereka mungkin kurang paham mekanisme pemberian obat penenang sehingga dikhawatirkan pasien mengalami ketergantungan terhadap obat tersebut.

Beda kasus kalau resep itu berasal dari dokter psikiater yang pastinya diberikan berdasarkan kebutuhan. Di samping itu, dokter psikiater juga ahli dalam teknik psikoterapi yang dapat membantu pasien keluar dari gangguan kejiwaan.

Maka itu, beruntunglah mereka yang sudah tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan di mana layanan psikiater masuk tanggungan, baik itu jasa dokter dan obat-obatan. Tentu dengan catatan mengikuti prosedur berobat sesuai ketentuan yang berlaku.  Maksudnya, rujukan ke dokter psikiater itu berdasarkan rujukan medis yang jelas sebagai bentuk penanganan penyakit yang diderita.

 

2. Hilangnya produktivitas

 

Kerugian lain yang timbul jika menderita gangguan jiwa adalah hilangnya produktivitas mencari nafkah, baik si pasien maupun keluarga pasien. Mengatasi gangguan jiwa butuh perawatan dalam waktu cukup panjang. Inilah yang membuat pasien maupun keluarga pasien kehilangan waktu produktivitas.

 

Namanya kerja pasti butuh konsentrasi. Kalau ada gangguan jiwa, mana bisa konsentrasi?

Meskipun pasien dinyatakan sehat, tetap saja tak ada jaminan produktivitas yang bersangkutan maupun keluarganya kembali sedia kala. Pasalnya, penyakit jiwa dikenal dengan istilah Chronic Relapsing Disease, yaitu suatu kondisi sakit yang kronis dan seringkali kambuh.

 

3. Stigma negatif

Merasa malu jadi faktor berikutnya kenapa orang enggan berkonsultasi ke dokter psikiater. Sudah muncul stigma negatif di masyarakat kalau berhubungan dengan dokter jiwa selalu diidentikkan dengan sakit jiwa.

 

Semua orang sejak awal sudah paham gangguan jiwa mesti siap menerima dampak sosial yang sangat serius berupa pengucilan, diskriminasi, maupun penolakan. Bukan hanya pasien saja yang mengalami, tapi juga keluarga pasien.

 

Padahal, gangguan jiwa itu memerlukan penanganan sedini mungkin agar gejala-gejala yang ditimbulkan tidak berkembang menjadi lebih kronis. Menunda pengobatan sama saja membuka peluang gangguan jiwa semakin parah.

 

Tiga fakor itulah yang menjadi keengganan orang melakukan pengobatan jika diindikasikan mengalami gejala gangguan jiwa. Sejatinya yang paling terasa dari gangguan jiwa adalah dampak ekonomisnya.

 

Pengobatan gangguan jiwa ini sifatnya berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama. Rata-rata pasien gangguan jiwa membutuhkan biaya Rp 2 juta per bulannya.

 

Lalu gimana caranya agar pasien gangguan jiwa bisa berobat tanpa harus khawatir besaran dana? Berikut ini ada solusi yang bisa dipilih.

1.BPJS Kesehatan

Jadi peserta BPJS Kesehatan maka pengobatan dan terapi pasien gangguan jiwa bisa gratis. Tentu ada prosedurnya untuk mendapatkan manfaat itu, yakni dengan berobat ke Faskes 1 (fasilitas kesehatan 1) dalam hal ini Puskesmas atau klinik setempat dan tak bisa langsung ke rumah sakit.

 

Wajib hukumnya bahwa negara membantu mengobati orang enggak waras

Bila kasusnya adalah gangguan jiwa dan tak bisa diatasi di Faskes 1, maka dokter akan memberi rujukan ke rumah sakit umum atau rumah sakit jiwa yang bekerjasama dengan BPJS. Bisa saja langsung ke rumah sakit bila dalam kondisi darurat yang membuat pasien bisa cacat permanen.

2.Organisasi sosial/yayasan/panti sosial

Saat ini cukup banyak organisasi atau yayasan sosial yang memfokuskan pada layanan gangguan jiwa. Lantaran sifatnya sosial, maka layanan itu tidak menitikberatkan pada keuntungan semata. Mungkin bisa menjadi opsi untuk pengobatan masalah kejiwaan.

 

Contohnya adalah sebagai berikut:

 

-Tirto Jiwo di Purworejo yang berbasis sosial kemasyarakatan di mana tidak ada tarif khusus dalam penanganan pasien

-Puri Rehabilitasi Kesehatan Mental yang dikelola Prima Harapan di Bandung yang didirikan Mesakh.

-Yayasan Sosial Galuh di Bekasi yang rata-rata menangangi pasien gangguan jiwa warga miskin.

-Yayasan Keris Nangtung di Tasikmalaya yang juga tak bertujuan cari profit

-Madani Mental Health Care di Cipinang, Jakarta, yang didirikan dokter psikiater Dadang Hawari.

3.Badan Narkotika Nasional (BNN)

BNN memiliki layanan pengobatan gangguan jiwa tapi khusus untuk mereka yang kecanduan obat-obatan terlarang/narkoba. Sudah banyak kasus narkoba menjadi pelarian bagi mereka yang mengalami depresi, kecemasan, ataupun masalah mental lainnya. Pengobatan BNN sifatnya gratis karena diamanahkan undang-undang sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap rehabilitasi pecandu narkoba.

4. Klinik hipnoterapi

Penanganan gangguan jiwa juga bisa dilakukan melalui hipnoterapi. Metode pengobatan ini dipercaya juga bisa menetralisir gangguan jiwa pada seseorang.

 

Metode ini mengaplikasikan konsultasi psikologi dan menerapkan terapi holistik yang memberikan sajian positif terhadap materi pengobatan yang terkait penguatan pikiran, sugesti, motivasi dan lain sebagainya. Sebut saja Klinik ‘Accurate’ Health Center di Medan dan SYMLE Hipnoterapi Yogyakarta.

5. Pesantren

Banyak keluarga yang juga mengandalkan pesantren sebagai tempat penanganan gangguan jiwa. Cukup banyak pesantren yang melayani pengobatan terhadap pasien dengan kondisi psikis yang labil ini. Sebut saja Pesantren Nur Ikhsan di Londoh, Ponpes dan Rehabilitasi Mental Az Zainy Malang, Ponpes Suryalaya di Jawa Barat.

 

 Jangan kucilkan yang kena gangguan jiwa, justru mereka perlu didukung.

Setidaknya ada lima opsi lain dalam menangani pengobatan gangguan jiwa yang tidak menggerus keuangan. Tapi yang terpenting, dukungan keluarga dan lingkungan sekeliling turut secara signifikan mempercepat kesembuhan penderita.


Hindari mengucilkan penderita hanya karena mengalami masalah mental.

Image credit:

  • http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/633986/big/140207arsj.jpg
  • http://2.bp.blogspot.com/-iNDxWU_RQyg/VUBhpyd2_0I/AAAAAAAAAIE/M31lZiCDyFg/s1600/710.jpg
  • http://cdnimage.terbitsport.com/imagebank/gallery/large/20150303_035942_harianterbit_bpjs.jpg
  • http://images.surabayanews.co.id/2015/03/Pasien-Gangguan-Kejiwaan-Tidak-Ditanggung-BPJS-Kesehatan.jpg

Posting Komentar untuk "Asuransi Gangguan Jiwa: Kenapa Orang Cenderung Malas Periksakan dan Bagaimana Penanganannya"