Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan Disabilitas Rentan Mengalami Kekerasan Seksual

Adelaide, Kartunet – Perempuan dengan disabilitas mendapat diskriminasi berlapis lantaran posisinya sebagai seorang wanita dan juga penyandang disabilitas di masyarakat. Sudah barang tentu hak-haknya perlu mendapat dukungan dari negara dan masyarakat melihat fakta bahwa wanita disabilitas rentan mengalami kekerasan seksual.


Aktivis disabilitas, Jaka Tanukusuma, mengatakan, banyak wanita penyandang disabilitas, di antaranya tunarungu dan tunagrahita, mengalami diskriminasi hingga kekerasan seksual.


“Ini terjadi lantaran kerap mereka dinomorduakan oleh masyarakat dan negara, juga dinomortigakan lantaran mereka wanita penyandang disabilitas,” kata dia, dalam surat elektroniknya, Jumat.


Ia menyatakan itu penggalan dari kesimpulan yang disampaikan Aktivis disabilitas Jaka Anom Ahmad Yusuf Tanukusuma dan pelopor wanita Siti Maesaroh dalam diskusi dan menonton film perihal wanita tunarungu korban kekerasan seksual berjudul “Pencari Keadilan”.


Keduanya menjadi narasumber dalam acara yang digelar Perkumpulan Pelajar Indonesia di Australia (PPIA) Flinders University, Adelaide, Australia Selatan, sore ini, Jumat 5 September 2014, di Flinders University.


Menurut Tanukusuma yang menyandang tunanetra, secara umum diskriminasi ganda yang menimpa wanita penyandang disabilitas disebabkan tiga faktor, yakni sikap kultural, praktik dan tafsir agama, dan sistem di masyarakat maupun negara yang melupakan kebutuhan wanita penyandang disabilitas.


Hal tersebut bukan saja berakibat pada sulitnya mereka untuk mendapat hak-hak pendidikan dan pekerjaan, bahkan lebih memprihatinkan lagi rentan mengalami kekerasan seksual, ibarat kasus-kasus pemerkosaan.


“Perempuan penyandang disabilitas tunarungu dan tunagrahita paling banyak menjadi korban kekerasan seksual,” katanya.
“Sebab, wanita tunarungu tidak sanggup berteriak dan sangat ketakutan saat diancam untuk membisu oleh pelaku. Sedangkan wanita tunagrahita secara mental dan intelektual sulit membedakan antara eksploitasi dan kekerasan seksual dengan cinta,” kata dia.
Di depan puluhan penerima diskusi, Maesaroh yang tengah menempuh jadwal magister Disability Study di Flinders University, menguatkan pandangan itu, bahwa faktor budaya paling berpengaruh menjadi pemicu diskriminasi terhadap wanita penyandang disabilitas.


Sehingga, tantangan advokasi hukumnya pun tidak mudah. Ia yang semenjak 2008 aktif di Komnas Perempuan sangat menyesalkan pemerintah yang masih memberlakukan UU Perkawinan 1974, yang membolehkan suami poligami terhadap istri penyandang disabilitas.


Atik Ambarwati, salah satu penerima diskusi kecewa terhadap kontroversi wacana terakhir Peraturan Pemerintah perihal Aborsi yang mengadopsi ajaran MUI pada 2005.
“Fatwa perihal pengguguran sangat mendiskriminasi penyandang disabilitas. Bunyi ajaran MUI dibolehkannya pengguguran apabila, janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang jikalau lahir kelak sulit disembuhkan,” katanya.


Dia menegaskan, Komnas Perempuan mengkategorikan sterilisasi paksa terhadap wanita penyandang disabilitas korban eksploitasi dan seksual supaya tidak sanggup hamil ialah bentuk kekerasan terhadap perempuan.


Sudah seyogyanya pemerintah sebagai pembuat kebijakan lebih sensitif dari perspektif gender dan juga disabilitas. Peraturan yang dimaksudkan baik, sanggup berakibat fatal apabila tidak memperhitungkan kebutuhan tiap insan yang beragam. Tak boleh ada aturan yang dibentuk malah dengan sengaja atau tidak, merugikan keberadaan para penyandang disabilitas, khususnya wanita disabilitas rentan mengalami kekerasan seksual.(DPM)

sumber: Antara News 5 September 2014



Sumber gamepelajar.xyz

Posting Komentar untuk "Perempuan Disabilitas Rentan Mengalami Kekerasan Seksual"